Tujuh Perilaku Mengamalkan Dharma
|
Sila yadnya tapo daanam
pravrajya bhiksu revaca
yogascaapi savasena
Dhamasyeke vinirnayah. (Wrehaspati Tattwa 25).
Maksudnya: Mewujudkan sila, yadnya, tapa, daana, prawrajya, bhiksu dan melakukan yoga, itulah rincian pengamalan dharma. Itu juga yang disebut jnana. Agar manusia dapat melakukan tujuh pengamalan dharma pertama-tama dharma diarahkan untuk membina diri sendiri (swaartha), kemudian dijadikan kekuatan untuk melayani hidup sesama (para artha). Semuanya itu sebagai wujud bhakti kepada Tuhan (parama artha). Menurut pustaka Wrehaspati Tattwa 25 di atas ada tujuh perilaku yang seyogyanya dilakukan sebagai wujud pengamalan dharma. Tujuh perilaku itu sebagai berikut: Sila ngaraning mangraksa acara rahayu. Artinya, sila namanya menjaga kebiasaan baik dan benar. Mengamalkan dharma menurut Sarasamuscaya 275 dengan cara membangun atau merealisasikan ajaran dharma sampai menjadi adat kebiasaan (mangabiasaken dharmasahana). Dalam kehidupan sehari-hari banyak godaan hidup yang akan dilalui oleh setiap orang. Cuma bentuknya yang berbeda-beda. Untuk menghadapi godaan itu berbagai kebiasaan baik harus terus dilakukan setiap hari dengan kebulatan tekad. Misalnya, sembahyang setiap hari, tidur tidak terlalu malam, bangun pagi tepat waktu, disiplin dalam hal makanan dan minuman, dan mengontrol dengan ketat pikiran, perkataan dan perilaku. Berbagai kebiasaan yang positif harus diupayakan terus dilakukan setiap saat. Meskipun hal ini tidak mudah menjaganya. Karena ajaran suci Weda itu harus diwujud dalam tradisi kehidupan seperti dinyatakan dalam Sarasamuscaya 260 dengan istilah ''Weda abyasa'' yang maksudnya ajaran Weda dijadikan kebiasaan hidup. Kalau sudah menjadi kebiasaan hidup yang kuat dan melembaga dalam kehidupan sehari-hari baik dalam kehidupan individual maupun dalam kehidupan sosial maka akan terbentuk tradisi kebudayaan Weda dalam kehidupan ini. Kalau sudah terbentuk tradisi kebudayan Weda maka tinggal memeliharanya dengan ajaran Tri Kona (Utpati, Stithi dan Pralina) dan penguasaan Tri Guna (Sattwam, Rajah, Tamas). Yadnya ngaraning menghadakaken homa. Upacara Homa Yadnya juga disebut Upacara Agni Hotra atau Agni Homa. Upacara Homa Yadnya ini diajarkan dalam pustaka Rg Weda X.66.8 dan kitab Atharwa Weda XXVIII.6. Dalam pustaka suci itu dinyatakan bahwa Yadnya Agni Hotra tersebut sebagai Spatika Yadnya atau mutiaranya yadnya. Upacara Homa itu dilakukan oleh mereka yang hatinya mulia. Agni Hotra dapat menimbulkan kedamaian hati, dapat menggugah hati para pemimpin, untuk bekerja dengan baik, membina masyarakat dan tidak menyakiti hatinya serta memelihara binatang ternaknya dengan baik. Di Bali Upacara ini pernah mentradisi dari abad ke 11 Masehi. Meredup sekitar abad ke 17 M. Dewasa ini mulai dilakukan lagi oleh kelompok spiritual umat Hindu di Nusantara. Sudah semakin banyak umat Hindu yang merasakan manfaat spiritual dari upacara Homa tersebut. Tanpa: ngaraning umatinindryania. Maksud ajaran tapa adalah berupaya untuk terus menerus menguasai indria, agar dinamika indria dalam kendali pikiran. Dalam Sarasmuscaya disebut ''kahrtaning indria''. Menurut Bhagawad Gita III. 42 Indria ini harus dipelihara dengan sebaik-baiknya agar sehat dan berfungsi sempurna. Tetapi ekspresi indria itu harus terus berada dalam kendali pikiran. Pikiran berada dalam kesadaran budhi. Struktur diri yang demikian itulah akan dapat merealisasikan kesucian atman dalam perilaku. Daana: Ngaraning paweweh. Artinya, daana itu adalah membangun sifat yang suka memberi. Karena dalam Sarasamuscaya dinyatakan orang kaya itu adalah orang yang selalu menyisihkan penghasilannya untuk di-daanapunia-kan. Dalam Manawa Dharmasastra 186 dinyarakan prioritas beragama Hindu zaman Kali ini adalah berdaana punia. Daana punia untuk memajukan pendidikan amatlah mulia, karena dalam Slokantara 2, dinyatakan jauh lebih mulia mendidik seorang suputra daripada melakukan upacara yadnya seratus kali. Prawrajya: Ngaraning wiku ansaka. Maksudnya, menyebarkan secara terus menerus ajaran suci dharma ini oleh Wiku suci yang kompeten. Berbagai ajaran Agama Hindu dalam pustaka suci tidak dipahami secara benar, sehingga dalam praktiknya menjadi tidak sesuai dengan konsepnya menurut pustaka suci. Bahkan ada yang bertentangan dengan sumbernya yakni pustaka suci. Bhiksu: Ngaraning diksa. Bhiksu namanya proses penyucian diri. Kata diksa dalam bahasa Sansekerta artinya suci. Bhiksu itu adlah tahapan hidup yang keempat yang juga disebut Sanyasin Asrama. Tahapan hidup sampai pada Bhiksuka dicapai melalui tahapan hidup Brahmacari, Grhasta dan Wanaprastha. Ini artinya orang mencapai hidup suci apa bisa sudah menyelesaikan swadharmanya dalam tiga tahapan hidup. Hal ini dikecualikan bagi yang menempuh hidup Sukla Brahmacari yang sepanjang hidupnya tidak menempuh tahapan hidup Grhasta Asrama. Yoga: Ngaraning magawe samadhi. Yoga ini ditujukan untuk hidup mewujudkan kejernihan pikiran. Dalam pustaka Yoga Patanjali I.1.sbb: Yogascitta vrtti nivodhah. Artinya: Yoga adalah pengendalian gelombang pikiran dalam alam pikiran. Untuk mencapai rohani yang jernih Yoga Patanjali mengajarkan agar kita melakukan delapan tahapan Yoga yaitu Yama, Niyama, Asana, Pranayama, Pratyahara, Dharana, Dhyana dan puncaknya barulah Samadi atau kondisi rokhani suci yang tenang jernih. Demikianlah tujuh yang seyogianya dilakukan dalam mengamalkan Dharma atau Agama Hindu. |
Sabtu, 31 Agustus 2013
Tujuh Perilaku Mengamalkan Dharma
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar