Sabtu, 31 Agustus 2013

Tujuh Perilaku Mengamalkan Dharma

Tujuh Perilaku Mengamalkan Dharma
Sila yadnya tapo daanam
pravrajya bhiksu revaca
yogascaapi savasena
Dhamasyeke vinirnayah. (Wrehaspati Tattwa 25).

Maksudnya: Mewujudkan sila, yadnya, tapa, daana, prawrajya, bhiksu dan melakukan yoga, itulah rincian pengamalan dharma. Itu juga yang disebut jnana.

Inti sari ajaran Agama Hindu adalah Sanatana Dharma yaitu kebenaran yang kekal abadi. Artinya, kebenaran yang berlaku sepanjang zaman. Cuma bentuknya nutana artinya terus dapat diremajakan atau diperbaharui pengamalannya sesuai dengan kebutuhan zaman akan kebenaran dharma yang kekal abadi itu. Dharma amat luas artinya. Dharma berarti kebenaran, kewajiban dan juga berarti kebajikan. Dalam Santi Parwa dinyatakan dharma berasal dari kata dharana yang artinya menyangga atau mengatur. Segala yang ada di dunia ini diatur berdasarkan dharma.

Agar manusia dapat melakukan tujuh pengamalan dharma pertama-tama dharma diarahkan untuk membina diri sendiri (swaartha), kemudian dijadikan kekuatan untuk melayani hidup sesama (para artha). Semuanya itu sebagai wujud bhakti kepada Tuhan (parama artha).

Menurut pustaka Wrehaspati Tattwa 25 di atas ada tujuh perilaku yang seyogyanya dilakukan sebagai wujud pengamalan dharma. Tujuh perilaku itu sebagai berikut:

Sila ngaraning mangraksa acara rahayu. Artinya, sila namanya menjaga kebiasaan baik dan benar. Mengamalkan dharma menurut Sarasamuscaya 275 dengan cara membangun atau merealisasikan ajaran dharma sampai menjadi adat kebiasaan (mangabiasaken dharmasahana). Dalam kehidupan sehari-hari banyak godaan hidup yang akan dilalui oleh setiap orang. Cuma bentuknya yang berbeda-beda. Untuk menghadapi godaan itu berbagai kebiasaan baik harus terus dilakukan setiap hari dengan kebulatan tekad. Misalnya, sembahyang setiap hari, tidur tidak terlalu malam, bangun pagi tepat waktu, disiplin dalam hal makanan dan minuman, dan mengontrol dengan ketat pikiran, perkataan dan perilaku. Berbagai kebiasaan yang positif harus diupayakan terus dilakukan setiap saat. Meskipun hal ini tidak mudah menjaganya. Karena ajaran suci Weda itu harus diwujud dalam tradisi kehidupan seperti dinyatakan dalam Sarasamuscaya 260 dengan istilah ''Weda abyasa'' yang maksudnya ajaran Weda dijadikan kebiasaan hidup. Kalau sudah menjadi kebiasaan hidup yang kuat dan melembaga dalam kehidupan sehari-hari baik dalam kehidupan individual maupun dalam kehidupan sosial maka akan terbentuk tradisi kebudayaan Weda dalam kehidupan ini. Kalau sudah terbentuk tradisi kebudayan Weda maka tinggal memeliharanya dengan ajaran Tri Kona (Utpati, Stithi dan Pralina) dan penguasaan Tri Guna (Sattwam, Rajah, Tamas).

Yadnya ngaraning menghadakaken homa. Upacara Homa Yadnya juga disebut Upacara Agni Hotra atau Agni Homa. Upacara Homa Yadnya ini diajarkan dalam pustaka Rg Weda X.66.8 dan kitab Atharwa Weda XXVIII.6. Dalam pustaka suci itu dinyatakan bahwa Yadnya Agni Hotra tersebut sebagai Spatika Yadnya atau mutiaranya yadnya. Upacara Homa itu dilakukan oleh mereka yang hatinya mulia. Agni Hotra dapat menimbulkan kedamaian hati, dapat menggugah hati para pemimpin, untuk bekerja dengan baik, membina masyarakat dan tidak menyakiti hatinya serta memelihara binatang ternaknya dengan baik. Di Bali Upacara ini pernah mentradisi dari abad ke 11 Masehi. Meredup sekitar abad ke 17 M. Dewasa ini mulai dilakukan lagi oleh kelompok spiritual umat Hindu di Nusantara. Sudah semakin banyak umat Hindu yang merasakan manfaat spiritual dari upacara Homa tersebut.

Tanpa: ngaraning umatinindryania. Maksud ajaran tapa adalah berupaya untuk terus menerus menguasai indria, agar dinamika indria dalam kendali pikiran. Dalam Sarasmuscaya disebut ''kahrtaning indria''. Menurut Bhagawad Gita III. 42 Indria ini harus dipelihara dengan sebaik-baiknya agar sehat dan berfungsi sempurna. Tetapi ekspresi indria itu harus terus berada dalam kendali pikiran. Pikiran berada dalam kesadaran budhi. Struktur diri yang demikian itulah akan dapat merealisasikan kesucian atman dalam perilaku.

Daana: Ngaraning paweweh. Artinya, daana itu adalah membangun sifat yang suka memberi. Karena dalam Sarasamuscaya dinyatakan orang kaya itu adalah orang yang selalu menyisihkan penghasilannya untuk di-daanapunia-kan. Dalam Manawa Dharmasastra 186 dinyarakan prioritas beragama Hindu zaman Kali ini adalah berdaana punia. Daana punia untuk memajukan pendidikan amatlah mulia, karena dalam Slokantara 2, dinyatakan jauh lebih mulia mendidik seorang suputra daripada melakukan upacara yadnya seratus kali.

Prawrajya: Ngaraning wiku ansaka. Maksudnya, menyebarkan secara terus menerus ajaran suci dharma ini oleh Wiku suci yang kompeten. Berbagai ajaran Agama Hindu dalam pustaka suci tidak dipahami secara benar, sehingga dalam praktiknya menjadi tidak sesuai dengan konsepnya menurut pustaka suci. Bahkan ada yang bertentangan dengan sumbernya yakni pustaka suci.

Bhiksu: Ngaraning diksa. Bhiksu namanya proses penyucian diri. Kata diksa dalam bahasa Sansekerta artinya suci. Bhiksu itu adlah tahapan hidup yang keempat yang juga disebut Sanyasin Asrama. Tahapan hidup sampai pada Bhiksuka dicapai melalui tahapan hidup Brahmacari, Grhasta dan Wanaprastha. Ini artinya orang mencapai hidup suci apa bisa sudah menyelesaikan swadharmanya dalam tiga tahapan hidup. Hal ini dikecualikan bagi yang menempuh hidup Sukla Brahmacari yang sepanjang hidupnya tidak menempuh tahapan hidup Grhasta Asrama.

Yoga: Ngaraning magawe samadhi. Yoga ini ditujukan untuk hidup mewujudkan kejernihan pikiran. Dalam pustaka Yoga Patanjali I.1.sbb: Yogascitta vrtti nivodhah. Artinya: Yoga adalah pengendalian gelombang pikiran dalam alam pikiran. Untuk mencapai rohani yang jernih Yoga Patanjali mengajarkan agar kita melakukan delapan tahapan Yoga yaitu Yama, Niyama, Asana, Pranayama, Pratyahara, Dharana, Dhyana dan puncaknya barulah Samadi atau kondisi rokhani suci yang tenang jernih. Demikianlah tujuh yang seyogianya dilakukan dalam mengamalkan Dharma atau Agama Hindu.

Rabu, 28 Agustus 2013

Kebenaran



Kebenaran
Kebenaran, adalah suatu pandangan dan nilai yang mula-mula bersifat subjektif karena bersumber dari diri masing-masing pribadi. Kualitasnya tergantung dari tingkat kemampuan dan kecerahan olah pikir yang didasari kecerdasan, kesehatan spiritual, dan nalar seseorang.
Dalam perjalanan hidup, manusia sejak kecil terobsesi persaingan untuk mendapat keunggulan tertentu yang memunculkan eksistensi jati diri.
Pertumbuhan kecerdasan, kesehatan spiritual, dan nalar berjalan serentak melalui pendidikan formal, pendidikan informal, pendidikan non-formal, pengajaran, kerajinan mendalami ajaran agama, dan kemampuan menghimpun pengalaman-pengalaman positif diri sendiri maupun orang lain melalui komunikasi langsung atau tidak langsung, misalnya dengan membaca buku-buku hasil karya orang-orang terkemuka.
Selain itu kecerdasan, kesehatan spiritual dan nalar akan tumbuh dengan subur bila disertai disiplin tertentu dalam jalan kehidupan spiritual. Diri manusia adalah ibarat suatu laboratorium raksasa yang selalu mengkaji segala aspek, baik yang tumbuh dari dalam maupun yang datang dari luar dirinya.
Disiplin menempuh kehidupan spiritual merupakan pangkal utama keberhasilan seseorang mencapai keunggulan jati diri, karena dengan spiritual yang sehat akan terbentuk emosi, fisik, dan inteligensi yang sehat pula.
Theori “the living healthy” dari ilmu psikologi abad ke-19 seperti yang diungkapkan di atas, ternyata beribu tahun lampau sudah diulas secara rinci dalam Brhadaranyaka Upanisad di mana ditegaskan bahwa nilai-nilai kebenaran subjektif hanya akan diperoleh bila aspek spiritual diunggulkan dalam kehidupan manusia.
Penegasan ini dikuatkan oleh filsuf Hindu terkenal Adi Sankaracarya, yang menyatakan bahwa aspek spiritual sangat besar pengaruhnya pada nalar manusia.
Oleh karena nilai-nilai kebenaran didasari oleh aspek spiritual yang bersifat universal, maka pandangan yang pada mulanya subjektif kemudian menjadi dualis, yaitu subjektif dan objektif. Artinya nilai-nilai kebenaran yang diyakini seseorang haruslah mendapat pengakuan publik. Bila demikian ia akan berguna bagi kesejahteraan bersama dalam kehidupan manusia yang harmonis dengan Hyang Widhi, dengan sesama umat manusia dan dengan alam semesta.
Nilai-nilai kebenaran objektif seperti ini kemudian berkembang menjadi darsana, yaitu sebuah pandangan realistas logis yang berlandaskan observasi konseptual setelah melalui tes dalam kehidupan manusia. Bagi mereka yang merasa masih belum mendapatkan atau masih ragu pada nilai-nilai kebenaran, dapat meminta guru spiritual yang dipercaya memberikan pencerahan yang bersumber dari Veda.
Di samping itu para pencari kebenaran hendaknya “memelihara” roh atau atman yang ada didirinya dengan baik, dalam pengertian memberikan kesempatan yang luas kepada atman untuk menguasai pikiran. Dalam filsafat Hinduisme “Advaita”, atman adalah Brahman/ Hyang Widhi.
Jadi bila manusia berhasil menguatkan kedudukan atman pada dirinya, berarti menguatkan pula stana Hyang Widhi dalam dirinya. Ia dengan segera akan mendapat pencerahan, sehingga segala kayika (perbuatan) dan wacika (perkataan) terkendali dengan baik dari manacika (pikiran) yang dirasuki Brahman.
Kitab suci Veda mempunyai otoritas tertinggi dalam menentukan kebenaran, sedangkan nalar atau pikiran yang disebut tarka menegaskan nilai-nilai itu untuk mencapai intuisi humanitas. Upanisad menyatakan bahwa dengan mendengarkan (sravana), refleksi (nidhiyasana), dan meditasi (upasana) seseorang dapat mencapai pengetahuan intuitif Brahman.
Dengan demikian maka unsur-unsur kebenaran meliputi tiga hal pokok:
  1. nilai hakiki, yaitu Veda
  2. sarana, yaitu tarka
  3. tes kebenaran, yaitu pengakuan publik
Mengenai nilai hakiki dan sarana, telah dijelaskan di atas. Kini dilanjutkan dengan masalah tes kebenaran.
Kebenaran dalam ilmu pengetahuan atau sains mempunyai keterbatasan karena hanya mengetahui fakta-fakta di dalam hubungannya dengan fakta yang lebih besar. Di sisi lain fakta-fakta yang baru dapat menggantikan fakta-fakta yang lama yang sudah dianggap usang dan tidak digunakan lagi.
Kebenaran dalam aspek spiritual yang abadi tidak hanya mencakup hal-hal material tetapi juga mencakup aspek-aspek halus yang tidak berwujud misalnya: tanmatra, yaitu pengaruh panca indra pada atman melalui pikiran yang membentuk trikaya (perbuatan, perkataan, dan pikiran) seseorang: rajas, tamas, dan sattwam, kemudian pada gilirannya menentukan karmawasana-nya. Tes kebenaran spiritual tidak dapat dilakukan secara nyata dan segera, karena memerlukan pembuktian melalui analisis objektif publik.
Bagi masyarakat yang keyakinan Hinduisme-nya kuat, salah satu sarana tes kebenaran misalnya dapat diambil dari bagian pancasrada, yaitu karmaphala. Bahwa perbuatan yang baik dan benar akan mendapat pahala yang baik, sedangkan perbuatan yang jelek dan salah akan mendapat pahala yang buruk.
Demikianlah misalnya seorang pemimpin yang semasa aktif diragukan kebenaran dalam kebijaksanaannya, kemudian pada suatu saat ia jatuh dari kedudukan lalu menjadi sengsara dan dihina, maka tes kebenaran objektif publik menyimpulkan bahwa apa yang dilakukan di masa lalu adalah buruk dan salah.
Sebaliknya tokoh-tokoh spiritual yang pada mulanya menerima tentangan atau perlawanan, tetapi kemudian nilai-nilai kebenaran yang dipaparkannya menjadi kajian dan diterima sebagai pedoman kehidupan publik, lalu mendapat penghargaan serta pengikut yang luas.
Jalan yang dianjurkan untuk mendapat realisasi kebenaran ada bermacam-macam. Masing-masing darsana dari Sarva Darsana Samgraha menyampaikan cara tersendiri, ada yang melalui karma marga, melalui bhakti marga, dan melalui jnyana marga, atau kombinasi dari ketiganya.
Keberhasilannya tergantung pada disiplin pribadi dan konsistensi pelaksanaan dalam bentuk mengikuti jalan kesucian, meluaskan pengetahuan, dan menebarkan cinta kasih. Ini tidaklah mudah, karena seorang pencari kebenaran akan selalu mendapat godaan, cobaan, dan tantangan. Hakekat kehidupan manusia pada dasarnya selalu berjuang menegakkan kebenaran dan melawan atau menolak kesalahan.
Dari segi kepemimpinan, pandangan bahwa kebenaran tertinggi adalah kebenaran spiritual mestinya selalu dipertahankan, sehingga dengan sinar spirit inilah para pemimpin menggerakkan masyarakat agar dapat mewujudkan kehidupan satyam, siwam, sundaram.
Pemimpin yang bijaksana seharusnya dapat menciptakan masyarakat yang hidup dengan semboyan: “Simple living and high thinking”. Artinya hidup sederhana, tetapi berpikiran maju. Kemegahan yang dicita-citakan bukanlah kegemerlapan fisik material dalam pola kehidupan konsumtif, tetapi kemegahan jiwa mulia yang produktif mengunggulkan kualitas manusia untuk mencapai mokshartam jagaditaya ca iti dharmah.
Proses pencarian kebenaran tidak dapat dibebankan pada pundak pemimpin saja, tetapi hendaknya dilakukan secara aktif oleh seluruh masyarakat suatu bangsa. Dari individu yang paling unggul dalam mencari nilai-nilai kebenaranlah kandidat pemimpin dapat dipilih.
Bila tidak demikian, maka masyarakat akan selalu terjebak pada dilema pemimpin dan kepemimpinan yang berkualitas rendah di satu sisi, serta aspirasi dan harapan-harapan masyarakat yang tidak pernah tercapai di sisi yang lain. Keadaan ini merugikan kesehatan spiritual, bahkan menjauhkan masyarakat dari tujuan beragama.

Selasa, 27 Agustus 2013

Sekilas Reinkarnasi



Sekilas Reinkarnasi
Ketika Atman ber-reinkarnasi dapat mengambil wujud sebagai manusia, binatang dan tumbuh-tumbuhan sesuai dengan karmapala/ karmawasana Atman dalam kehidupan sebelumnya.
Jika karmawasananya baik akan menjelma sebagai manusia suputra, demikian selanjutnya menurut jenjang subha-asubha karma yang membungkus Atman.
Penjelmaan menjadi manusia adalah yang utama karena mempunyai triguna, yaitu: sabda (bisa berbicara), bayu (bisa bergerak), dan idep (bisa berpikir).
Penjelmaan menjadi binatang kurang baik karena hanya mempunyai dwiguna, yaitu: sabda (bisa menggonggong/ melenguh) dan bayu (bisa bergerak), dan tidak mempunyai idep (tidak bisa berpikir).
Penjelmaan menjadi tumbuh-tumbuhan paling buruk karena hanya mempunyai ekaguna, yaitu bayu (bisa bergerak terbatas/ tumbuh), tidak mempunyai sabda dan idep.
Baik dan buruk itu ditinjau dari kesempatan Atman untuk kembali bersatu pada Brahman sebagaimana keinginan hakiki. Ini diibaratkan sebagai udara yang berada dalam sebuah kembungan karet, dan udara yang bebas di luar.
Udara dalam kembungan karet pengandaian Atman, sedangkan udara bebas pengandaian Brahman. Keinginan udara dalam kembungan adalah bersatu dengan udara bebas. Bilamana kembungan karet itu tipis maka akan meledak dan terjadilah percampuran itu.
Pancamahabutha (tubuh manusia), Pancatanmatra (pengaruh indria pada Atman), dan Karmawasana, ibarat kembungan karet yang menghalangi persatuan Atman dengan Brahman.
Dalam kehidupannya manusia bertujuan sedikit demi sedikit menipiskan lapisan Karmawasana dengan cara berbuat subha karma sebanyak-banyaknya agar bila di kemudian hari setelah meninggal di-aben (mengembalikan Pancamahabutha), dan setelah upacara nyekah (menghilangkan Pancatanmatra), maka Atman dapat segera bersatu dengan Brahman (Hyang Widhi).
Manusia yang mempunyai daya berpikir dapat mengupayakan dirinya menuju kesatuan dengan Hyang Widhi. Binatang dan tumbuh-tumbuhan tidak dapat melakukan hal yang sama seperti manusia. Cara yang terbuka bagi mereka bilamana digunakan sebagai korban persembahan oleh manusia.
Prosesnya melalui doa-doa yang disebut sebagai “Puja Pati Wenang” dan pemuspaan ketika ada pecaruan. Hal-hal ini ada dalam lontar-lontar: Wrhaspati tattwa, Yama Purana tattwa, dan Taru pramana. Lontar-lontar itu adalah acuan bagi penganut Hindu sekte Siwa Sidanta.
Manusia diberikan wewenang untuk “nyupat” binatang dan tumbuh-tumbuhan karena Hyang Widhi-pun menciptakan Kamadhuk (alam, hewan, dan binatang) untuk kehidupan manusia.
Tata cara nyupat sudah diuraikan di atas, namun walaupun demikian tidaklah berarti manusia boleh semau-maunya melakukan pembunuhan binatang dan pembabatan tetumbuhan. Ada batasnya yang diatur dalam filosofi Ahimsa.
Manusia yang dibunuh untuk kurban persembahan tidak terdapat dalam Agama Hindu sekte Siwa Sidanta seperti yang kini dianut di Bali.
Sekali lagi Pandita ingin mengingatkan bahwa Agama Hindu di Bali adalah dari sekte Siwa Sidanta. Di India masih ada sekte-sekte lainnya yang berbeda dengan tata cara (ritual) di Bali.

Renungan
1. Kita wajib bersyukur ke hadapan Ida Sanghyang Widhi Wasa karena atas karunia-Nya Atman telah ber-reinkarnasi ke dalam tubuh manusia, yang mempunyai: sabda, bayu, idep.
Dibandingkan binatang yang mempunyai sabda dan bayu, apalagi tetumbuhan yang hanya mempunyai bayu saja.
2. Pemangku wajib bersyukur karena telah ditakdirkan menjadi manusia suci. Seorang Pemangku tidak begitu saja bisa menjadi Pemangku.
Menurut Lontar Yama Purana Tattwa, hidup dan kehidupan manusia sudah direncanakan jauh sebelum ber-reinkarnasi. Oleh karena itu janganlah menganggap bahwa menjadi Pemangku itu suatu “kebetulan”
3. Menjadi Pemangku adalah suatu kebanggaan, karena:
  1. Menjadi tapakan Widhi, disayang oleh Ida Sanghyang Widhi/ Dewata/ Bethara.
  2. Mempunyai kesempatan yang luas untuk mensucikan diri di jalan Dharma agar mencapai “moksartam jagathita”
  3. Mempunyai tugas suci mengabdi kepada masyarakat, sebagai tabungan membentuk karma wasana yang baik.
4. Oleh karena menjadi kesayangan Ida Sanghyang Widhi/ Dewata/ Bethara, pertahankanlah agar tugas suci ini dapat terlaksana dengan baik, menjadi Pemangku yang profesional, sehingga mengharumkan linggih Ida Bethara sesuwunan.
Kehidupan Pemangku adalah hidup suci dan berdisiplin.
5. Pemangku yang melaksanakan tugasnya dan kehidupannya dengan baik akan mendapat karma yang baik tidak hanya bagi dirinya, tetapi juga bagi arwah leluhurnya, sampai tujuh tingkat ke atas (Lontar Yama Purana Tattwa)
6. Pemangku adalah pengabdi: pengabdi Ida Sanghyang Widhi Wasa dan pengabdi umat manusia. Oleh karena itu dahulukan tugas/ kewajiban, daripada hak.
7. Untuk dapat menjadi pengabdi yang baik, pengetahuan mengenai: Tattwa, Susila, dan Upacara harus dikuasai dengan cara belajar.
Belajarlah dari guru yang baik, buku, lontar, Dharma wacana, kursus/ pelatihan, apa saja yang dapat menambah pengetahuan, karena menurut Lontar Dharma Kauripan, Sulinggih yang baik adalah Sulinggih yang “ber-Ilmu”.
8. Pelajar akan cepat mencapai kemajuan bila mempunyai sifat-sifat dan pemikiran sbb.:
  1. Tidak merasa diri pintar.
  2. Rendah hati.
  3. Tidak fanatik.
  4. Tidak sombong.
  5. Mau mendengarkan pendapat orang lain.
  6. Rajin dan berdisiplin.
  7. Menghargai orang lain.
  8. Berpikir kreatif dan berinisiatif.
  9. Objektif dan jujur.
  10. Pandai mengambil keputusan.

Gerindra Mampu Mensejahtrakan Masyarakat



Gerindra Mampu Mensejahtrakan Masyarakat Bila Di Berikan Amanah Oleh Rakyat Indonesia

Revolusi tani yang digagas Partai Gerindra merupakan keharusan jika dilihat dari kacamata ketahanan pangan nasional maupun penguat ekonomi pedesaan. Melalui gerakan merevitalisasi bidang pertanian diharapkan munculnya jutaan lapangan kerja baru yang berperan dalam peningkatan produktivitas serta kesejahteraan masyarakat.
Latar belakang gerakan tani oleh Gerindra berawal dari kesadaran untuk mengangkat harkat martabat petani Indonesia. Dalam hal ini H Prabowo Subianto selaku Ketua HKTI memandang penting sektor pertanian dalam menumbuhkan kedaulatan pangan nasional.
“Bangsa ini tidak boleh menyerahkan urusan pangan rakyatnya kepada bangsa luar. Bagaimana rakyat kita bisa sejahtera jika beras, jagung, palawija, gandum semuanya import dari luar. Padahal dengan potensi lahan dan iklim yang dimiliki, kita sangat mungkin berswasembada pangan,” tegasnya.
 “Kita usulkan UU Bank Tani agar petani dapat dengan mudah memperoleh modal, lalu ada UU resi gudang yang dimaksudkan agar petani kita bisa memperoleh jaminan penyimpanan hasil panen digudang yang ditunjuk pemerintah serta beberapa kebijakan lain yang pro petani,” tambahnya.
Selain itu, Gerindra juga tegas menolak kebijakan import bahan pangan, seperti di Jawa Timur. “Kita menolak masuknya import beras dari Vietnam disaat petani padi kita memasuki masa panen. Karena dengan masuknya beras import tersebut, harga beras yang dihasilkan petani kita jatuh harganya, ini baru sedikit dari usaha kita untuk menggerakkan sector pertanian sebagai tumpuan pembangunan nasional, dan ini semua agar petani Indonesia bisa sejahtera dan berdaulat,” tandasnya.
Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra Prabowo Subianto berseloroh bahwa pemerintah saat ini belum mampu mengelola kekayaan alam untuk menyejahterakan rakyat. Hal itu disampaikan Prabowo saat berorasi dalam pertemuan silaturahim (simakrama) Keluarga Besar Hasyim Djojohadikusumo di Kuta, Bali, Minggu, 25 Agustus 2013 malam.
”Saya sudah sering berbicara, teriak di media bahwa Indonesia memiliki kekayaan sumber daya alam yang luar biasa. Mestinya bisa dikelola yang benar. Gerindra sejak 2004 sudah punya strategi dan enam program aksi ekonomi,” tuturnnya.
Meski pemerintah mengklaim pertumbuhan ekonomi kuat, namun yang terjadi sekira 52 persen rakyat tidak menikmati hasil pembangunan. Justru banyak sumber-sumber kekayaan dikuasai dan dinikmati orang lain atau pihak luar.
Salah satu cara untuk menumbuhkan pemerataan ekonomi adalah ketersediaan infrastruktur. Bicara soal infrastruktur, yang paling penting adalah jalan.
Ia pun sesumbar, bila partainya memenangkan pemilu, salah satu programnya adalah membangun jalan sepanjang 3.000 kilometer di Tanah Air. Itu sangat mungkin dilakukan jika dibagi lima tahun. Setiap setahunnya dibangun 600 kilometer.
Untuk membangun jalan sepanjang 3.000 kilometer, dalam perhitungannya dibutuhkan dana Rp60 trilun. Hal itu sangat mungkin dilakukan.
Padahal setiap tahunnnya ada dana sampai Rp120 triliun yang menjadi bancakan atau digarong. Pemerintah, kata dia, mestinya mampu mengelola dana yang diparkir.
”Mestinya mampu. Kalau tidak, berarti kalah sebelum perang. Susahnya otak kita memang sudah dicuci (brainwashing) oleh penjajah Belanda sebagai bangsa yang kalah,” imbuhnya.