Kamis, 08 Agustus 2013

Tradisi / Dresta

Dresta

Tata laksana kehidupan di desa seperti pepatah kuno warisan leluhur:
SAGILIK-SAGULUK SALUNGLUNG SABAYANTAKA, PARAS-PAROS SARPANAYA, SALING ASAH, SALING ASIH, SALING ASUH
Artinya: bersatu-padu, saling menghargai pendapat orang lain, dan saling mengingatkan, saling menyayangi, saling tolong-menolong.
Bagus memang, jika maknanya diarahkan pada kehidupan bersama yang bernafaskan kegotong-royongan, bagaikan lidi yang disatukan, diikat, sehingga mempunyai kekuatan yang tak mudah dipatahkan, dibanding lidi satu persatu yang rapuh.
Namun pola kehidupan pedesaan seperti itu banyak tergantung pada pemimpin-pemimpin di desa, mau diarahkan bagi kepentingan umum, atau untuk kepentingan pribadi, atau hanya untuk suatu arogansi saja.
Pola itu tertanam mula-mula sebagai “dresta”, yakni tradisi adat yang berlaku sejak dahulu atau disebut kuna dresta, yang berlaku bagi sekelompok orang (loka dresta), dan di suatu tempat tertentu (desa dresta).
Ketika desa-desa diwajibkan mempunyai awig-awig (peraturan tata-tertib), maka dresta-dresta itu menjadi tertulis, disahkan oleh paruman desa, kemudian disakralkan dengan upacara pasupati.
Banyak instansi pemerintah yang terlibat dalam pengesahan awig-awig ini, mulai dari Kepala Desa, Camat, sampai Bupati. Awig-awig ini mengikat penduduk desa bagaikan undang-undang, lengkap dengan sanksi-sanksi atas pelanggarannya.
Hukuman bagi para pelanggar, tidak main-main, mulai dari pengenaan denda berupa sejumlah uang, kewajiban melaksanakan upacara agama tertentu sebagai penebusan pelanggaran adat, dan yang paling mengerikan adalah sanksi yang disebut “kesepekang”, artinya kira-kira: di-”persona non-grata”.
Dalam kondisi hukuman kesepekang ini, si terhukum dikeluarkan dari paguyuban adat, dilarang menggunakan fasilitas adat, tidak boleh diajak berbicara oleh sesama warga desa, dan jika dia menempati tanah adat, harus segera meninggalkannya.
Larangan menggunakan fasilitas milik adat, adalah termasuk tidak boleh bersembahyang di Pura Desa, Pura Puseh, Pura Dalem, dan Pura-Pura lainnya di desa itu, dan juga tidak boleh menguburkan mayat di pekuburan desa.
Dengan senjata kesepekang, pernah seorang klian desa menghakimi warganya karena ia tidak nunas tirta di sanggah pamerajan leluhur si klian desa, ketika warga itu melakukan upacara agama. Keanehan ini terungkap setelah membaca prasasti di-abad ke 12, yang dipakai dasar klian desa menetapkan hukuman.
Prasasti menyatakan bahwa leluhur si klian desa dari sejak awal terbentuknya desa memang sudah ditetapkan sebagai pemimpin di desa itu, baik dalam bidang pemerintahan, adat, maupun di bidang keagamaan/ ritual.
Kepemimpinan ini berlanjut terus secara turun-temurun. Penduduk desa itu harus tunduk dan menyembah roh leluhur si klian yang distanakan di sanggah pamerajan.
Tragedi lain adalah hukuman adat yang menimpa pasangan suami-istri yang melahirkan anak kembar laki-perempuan yang di Bali disebut kembar buncing. Kata lain disebut sebagai manak-salah artinya kelahiran yang dilarang.
Bila ini terjadi di lingkungan rakyat biasa, maka pasutri bersama kedua anaknya harus diungsikan ke pinggir desa, dekat sungai, atau dekat kuburan, dibuatkan pondok darurat dan selama tiga bulan mereka harus hidup di tempat yang tidak sehat.
Kedua anak yang malang itu memang diharapkan mati, entah kedua-duanya atau salah seorang saja, karena hanya bayi yang punya ketahanan fisik kuat saja bisa bertahan dari serangan radang paru-paru atau penyakit infeksi lainnya pada kondisi lingkungan yang lembab, dingin di malam hari, panas di siang hari, tanpa perawatan kesehatan, sebab pasutri dan kedua anaknya juga dilarang keluar dari pengungsiannya itu, termasuk pergi berobat ke Puskesmas.
Lain halnya bila kembar buncing lahir di Puri, kedua anak dijaga dengan cermat dan diharapkan kemudian hari bisa dinikahkan, karena katanya sudah membawa pasangan sebagai suami-istri sejak lahir ke dunia.
Dresta-dresta yang “aneh” seperti ini memang sudah lama dihapuskan oleh Pemerintah di Bali, misalnya masalah kembar buncing sudah dihapuskan sejak tahun 1951, dan tidak lagi tercantum di awig-awig desa adat.
Tetapi tradisi kuno seperti itu di suatu desa di Buleleng masih dipertahankan sampai sekarang, dengan dalih: “pekayunan Ida Bhatara ring Pura Desa” artinya: kehendak Tuhan sebagai Brahma yang berstana di Pura Desa memang seperti itu, yakni si kembar buncing beserta kedua orang tuanya harus dihukum.
Penduduk desa yang terbelenggu oleh kebodohan dan dresta yang tak masuk akal manut-manut saja, tak berdaya dan juga takut pada kemarahan Tuhan.
Tuhan/ Hyang Widhi bisa marah? “Inggih Ratu, sapunika kocap, presida ngawiyang biyuta, merana lan kebrebehan lianan” (benar Pandita, begitu katanya bisa menyebabkan kerusuhan, wabah dan bencana lain), jawab pasutri itu dengan muka kecut.
Kesepekang atau sanksi adat yang keras lainnya menjadi kuat bila disertai oleh dresta yang satu ini, yang disebut: “suryak siu”. Ini adalah bentuk kesepakatan secara aklamasi dari penduduk desa. Suryak siu lebih menyerupai kebulatan tekad membabi-buta, tanpa pikir panjang, dan biasanya mengikuti suara atau kata si pemimpin yang ditakuti.
Dresta dan awig-awig desa adat hanya berlaku bagi penduduk asli desa bersangkutan yang beragama Hindu. Umumnya mereka disebut sebagai krama desa. Penduduk lain di desa itu yang berasal dari luar daerah dan juga yang tidak beragama Hindu, disebut sebagai krama tamu.
Krama tamu tidak perlu mentaati awig-awig namun juga tidak mendapat fasilitas apapun dari desa adat. Warga krama tamu dewasa ini termasuk pula penghuni kompleks perumahan yang dikembangkan oleh developer.
Selain itu kaum pendatang haram, yakni pekerja sektor non formal dari Jawa, Lombok, dan daerah lain yang mencari penghidupan di Bali tanpa kelengkapan identitas, dapat dengan tenang tinggal di desa.
Mereka menyewa rumah-rumah penduduk atau membangun bedeng-bedeng liar, bekerja sebagai pelayan kafe, penjual kain, penggali got, buruh bangunan, pedagang kaki lima, pelacur, dan ada pula yang kerja serabutan.
Klian desa tidak bisa mengambil tindakan pencegahan, karena mereka terpaku pada ketentuan bahwa awig-awig desa adat hanya berlaku bagi krama desa. Pejabat lain di desa yakni Kepala Desa atau Lurah, juga tidak mau mengambil langkah-langkah yang positif, karena wilayah itu “dikuasai” oleh desa adat.
Sering terjadi perselisihan menyangkut wewenang atau kekuasaan atas suatu wilayah desa. Pada setiap kasus selalu dipikirkan lebih dahulu, apakah kasus itu boleh ditangani oleh klian adat, ataukah boleh ditangani oleh kepala desa. Yang paling sering terjadi, adalah sama-sama diam, tidak bereaksi apa-apa karena takut menimbulkan konflik kepentingan.
Dengan demikian, krama desa bisa dikatakan tidak mendapat perlakuan yang adil di tanah kelahirannya sendiri. Ketakutan krama desa pada hukuman kesepekang, sama sekali tidak ada pada krama tamu.
Misalkan seorang krama tamu meninggal dunia, keluarganya dengan mudah mendapat ijin menguburkan jenazah di pekuburan Islam atau Kristen. Tetapi bila seorang krama desa kena kesepekang, maka di pekuburan Hindu manapun ia tidak bisa menguburkan mayat.
Ini salah satu sebab umat Hindu beralih ke agama lain, karena ingin lepas dari “cengkraman” beberapa pasal awig-awig desa adat yang keras dan tak masuk akal.
Struktur organisasi desa pakraman di Bali beberapa tahun yang lampau telah dibenahi dengan membentuk Majelis Desa Pakraman baik di wilayah Kecamatan, Kabupaten, maupun Propinsi. Satu hal yang perlu ditanyakan, dengan pembentukan struktur yang bagus ini, sudahkah Desa Pakraman berperan dalam melindungi Bali dan penduduk Bali dalam arti luas?

Ulasan Singkat Mengenai Dresta

Ada empat jenis Dresta, yaitu: Kuna Dresta, Desa Dresta, Loka Dresta, dan Sastra Dresta. Arti sebenarnya dari Dresta yang ditulis dalam kamus Bahasa Kawi Prof. Drs. S. Wojowasito: drsta = terlihat, kelihatan, sudah dilihat.
Kuna Dresta adalah kebiasaan-kebiasaan dalam tatanan adat dan ritual yang diyakini dan sudah diwarisi sejak dahulu.
Desa Dresta adalah kebiasaan-kebiasaan dalam tatanan adat dan ritual yang diyakini dan berlaku di suatu wilayah tertentu.
Loka Dresta adalah kebiasaan-kebiasaan dalam tatanan adat dan ritual yang diyakini oleh sekelompok orang.
Sastra Dresta adalah kebiasaan-kebiasaan dalam tatanan adat dan ritual yang diyakini berdasarkan kebenaran Weda, Wedangga, dan Upaweda.
Kuna Dresta, Desa Dresta, dan Loka Dresta adalah kelompok Dresta yang tidak berdasar Weda, Wedangga dan Upaweda, oleh karena itu ketiga Dresta itu terkena pengaruh: desa, kala, patra; artinya bisa tidak kekal atau dapat berubah, dan tidak universal.
Sastra Dresta berdasar Weda, Wedangga dan Upaweda, oleh karena itu Sastra Dresta tidak terkena pengaruh: desa, kala, patra; artinya kekal atau tidak dapat berubah, dan universal.
Kuna Dresta, Desa Dresta, dan Loka Dresta lahir dari perjalanan sejarah, sedangkan Sastra Dresta lahir dari wahyu Ida Sanghyang Widhi Wasa dan anumana pramana para Maha Rsi.
Sang Sadaka (Pandita) dan Pemangku dalam swadarma-nya sebagai pengabdi utama Ida Sanghyang Widhi Wasa senantiasa berpedoman pada Weda, Wedangga, dan Upaweda. Oleh karena itu tidak bijaksana bila berpedoman pada Kuna Dresta, Desa Dresta dan Loka Dresta.
SUMBER: PANGGILAN WEDA, DRS. WAYAN SADYA, YAYASAN DHARMA SARATHI, JAKARTA 1992

Tidak ada komentar:

Posting Komentar