Tata laksana kehidupan di desa seperti pepatah kuno warisan leluhur:
SAGILIK-SAGULUK SALUNGLUNG SABAYANTAKA, PARAS-PAROS SARPANAYA, SALING ASAH, SALING ASIH, SALING ASUH
Artinya: bersatu-padu, saling menghargai
pendapat orang lain, dan saling mengingatkan, saling menyayangi, saling
tolong-menolong.
Bagus memang, jika maknanya diarahkan
pada kehidupan bersama yang bernafaskan kegotong-royongan, bagaikan lidi
yang disatukan, diikat, sehingga mempunyai kekuatan yang tak mudah
dipatahkan, dibanding lidi satu persatu yang rapuh.
Namun pola kehidupan pedesaan seperti
itu banyak tergantung pada pemimpin-pemimpin di desa, mau diarahkan bagi
kepentingan umum, atau untuk kepentingan pribadi, atau hanya untuk
suatu arogansi saja.
Pola itu tertanam mula-mula sebagai
“dresta”, yakni tradisi adat yang berlaku sejak dahulu atau disebut kuna
dresta, yang berlaku bagi sekelompok orang (loka dresta), dan di suatu
tempat tertentu (desa dresta).
Ketika desa-desa diwajibkan mempunyai
awig-awig (peraturan tata-tertib), maka dresta-dresta itu menjadi
tertulis, disahkan oleh paruman desa, kemudian disakralkan dengan
upacara pasupati.
Banyak instansi pemerintah yang terlibat
dalam pengesahan awig-awig ini, mulai dari Kepala Desa, Camat, sampai
Bupati. Awig-awig ini mengikat penduduk desa bagaikan undang-undang,
lengkap dengan sanksi-sanksi atas pelanggarannya.
Hukuman bagi para pelanggar, tidak
main-main, mulai dari pengenaan denda berupa sejumlah uang, kewajiban
melaksanakan upacara agama tertentu sebagai penebusan pelanggaran adat,
dan yang paling mengerikan adalah sanksi yang disebut “kesepekang”,
artinya kira-kira: di-”persona non-grata”.
Dalam kondisi hukuman kesepekang ini, si
terhukum dikeluarkan dari paguyuban adat, dilarang menggunakan
fasilitas adat, tidak boleh diajak berbicara oleh sesama warga desa, dan
jika dia menempati tanah adat, harus segera meninggalkannya.
Larangan menggunakan fasilitas milik
adat, adalah termasuk tidak boleh bersembahyang di Pura Desa, Pura
Puseh, Pura Dalem, dan Pura-Pura lainnya di desa itu, dan juga tidak
boleh menguburkan mayat di pekuburan desa.
Dengan senjata kesepekang, pernah
seorang klian desa menghakimi warganya karena ia tidak nunas tirta di
sanggah pamerajan leluhur si klian desa, ketika warga itu melakukan
upacara agama. Keanehan ini terungkap setelah membaca prasasti di-abad
ke 12, yang dipakai dasar klian desa menetapkan hukuman.
Prasasti menyatakan bahwa leluhur si
klian desa dari sejak awal terbentuknya desa memang sudah ditetapkan
sebagai pemimpin di desa itu, baik dalam bidang pemerintahan, adat,
maupun di bidang keagamaan/ ritual.
Kepemimpinan ini berlanjut terus secara
turun-temurun. Penduduk desa itu harus tunduk dan menyembah roh leluhur
si klian yang distanakan di sanggah pamerajan.
Tragedi lain adalah hukuman adat yang
menimpa pasangan suami-istri yang melahirkan anak kembar laki-perempuan
yang di Bali disebut kembar buncing. Kata lain disebut sebagai
manak-salah artinya kelahiran yang dilarang.
Bila ini terjadi di lingkungan rakyat
biasa, maka pasutri bersama kedua anaknya harus diungsikan ke pinggir
desa, dekat sungai, atau dekat kuburan, dibuatkan pondok darurat dan
selama tiga bulan mereka harus hidup di tempat yang tidak sehat.
Kedua anak yang malang itu memang
diharapkan mati, entah kedua-duanya atau salah seorang saja, karena
hanya bayi yang punya ketahanan fisik kuat saja bisa bertahan dari
serangan radang paru-paru atau penyakit infeksi lainnya pada kondisi
lingkungan yang lembab, dingin di malam hari, panas di siang hari, tanpa
perawatan kesehatan, sebab pasutri dan kedua anaknya juga dilarang
keluar dari pengungsiannya itu, termasuk pergi berobat ke Puskesmas.
Lain halnya bila kembar buncing lahir di
Puri, kedua anak dijaga dengan cermat dan diharapkan kemudian hari bisa
dinikahkan, karena katanya sudah membawa pasangan sebagai suami-istri
sejak lahir ke dunia.
Dresta-dresta yang “aneh” seperti ini
memang sudah lama dihapuskan oleh Pemerintah di Bali, misalnya masalah
kembar buncing sudah dihapuskan sejak tahun 1951, dan tidak lagi
tercantum di awig-awig desa adat.
Tetapi tradisi kuno seperti itu di suatu
desa di Buleleng masih dipertahankan sampai sekarang, dengan dalih:
“pekayunan Ida Bhatara ring Pura Desa” artinya: kehendak Tuhan sebagai
Brahma yang berstana di Pura Desa memang seperti itu, yakni si kembar
buncing beserta kedua orang tuanya harus dihukum.
Penduduk desa yang terbelenggu oleh
kebodohan dan dresta yang tak masuk akal manut-manut saja, tak berdaya
dan juga takut pada kemarahan Tuhan.
Tuhan/ Hyang Widhi bisa marah? “Inggih
Ratu, sapunika kocap, presida ngawiyang biyuta, merana lan kebrebehan
lianan” (benar Pandita, begitu katanya bisa menyebabkan kerusuhan, wabah
dan bencana lain), jawab pasutri itu dengan muka kecut.
Kesepekang atau sanksi adat yang keras
lainnya menjadi kuat bila disertai oleh dresta yang satu ini, yang
disebut: “suryak siu”. Ini adalah bentuk kesepakatan secara aklamasi
dari penduduk desa. Suryak siu lebih menyerupai kebulatan tekad
membabi-buta, tanpa pikir panjang, dan biasanya mengikuti suara atau
kata si pemimpin yang ditakuti.
Dresta dan awig-awig desa adat hanya
berlaku bagi penduduk asli desa bersangkutan yang beragama Hindu.
Umumnya mereka disebut sebagai krama desa. Penduduk lain di desa itu
yang berasal dari luar daerah dan juga yang tidak beragama Hindu,
disebut sebagai krama tamu.
Krama tamu tidak perlu mentaati
awig-awig namun juga tidak mendapat fasilitas apapun dari desa adat.
Warga krama tamu dewasa ini termasuk pula penghuni kompleks perumahan
yang dikembangkan oleh developer.
Selain itu kaum pendatang haram, yakni
pekerja sektor non formal dari Jawa, Lombok, dan daerah lain yang
mencari penghidupan di Bali tanpa kelengkapan identitas, dapat dengan
tenang tinggal di desa.
Mereka menyewa rumah-rumah penduduk atau
membangun bedeng-bedeng liar, bekerja sebagai pelayan kafe, penjual
kain, penggali got, buruh bangunan, pedagang kaki lima, pelacur, dan ada
pula yang kerja serabutan.
Klian desa tidak bisa mengambil tindakan
pencegahan, karena mereka terpaku pada ketentuan bahwa awig-awig desa
adat hanya berlaku bagi krama desa. Pejabat lain di desa yakni Kepala
Desa atau Lurah, juga tidak mau mengambil langkah-langkah yang positif,
karena wilayah itu “dikuasai” oleh desa adat.
Sering terjadi perselisihan menyangkut
wewenang atau kekuasaan atas suatu wilayah desa. Pada setiap kasus
selalu dipikirkan lebih dahulu, apakah kasus itu boleh ditangani oleh
klian adat, ataukah boleh ditangani oleh kepala desa. Yang paling sering
terjadi, adalah sama-sama diam, tidak bereaksi apa-apa karena takut
menimbulkan konflik kepentingan.
Dengan demikian, krama desa bisa
dikatakan tidak mendapat perlakuan yang adil di tanah kelahirannya
sendiri. Ketakutan krama desa pada hukuman kesepekang, sama sekali tidak
ada pada krama tamu.
Misalkan seorang krama tamu meninggal
dunia, keluarganya dengan mudah mendapat ijin menguburkan jenazah di
pekuburan Islam atau Kristen. Tetapi bila seorang krama desa kena
kesepekang, maka di pekuburan Hindu manapun ia tidak bisa menguburkan
mayat.
Ini salah satu sebab umat Hindu beralih
ke agama lain, karena ingin lepas dari “cengkraman” beberapa pasal
awig-awig desa adat yang keras dan tak masuk akal.
Struktur organisasi desa pakraman di
Bali beberapa tahun yang lampau telah dibenahi dengan membentuk Majelis
Desa Pakraman baik di wilayah Kecamatan, Kabupaten, maupun Propinsi.
Satu hal yang perlu ditanyakan, dengan pembentukan struktur yang bagus
ini, sudahkah Desa Pakraman berperan dalam melindungi Bali dan penduduk
Bali dalam arti luas?
Ulasan Singkat Mengenai Dresta
Ada
empat jenis Dresta, yaitu: Kuna Dresta, Desa Dresta, Loka Dresta, dan
Sastra Dresta. Arti sebenarnya dari Dresta yang ditulis dalam kamus
Bahasa Kawi Prof. Drs. S. Wojowasito: drsta = terlihat, kelihatan, sudah
dilihat.
Kuna Dresta adalah kebiasaan-kebiasaan dalam tatanan adat dan ritual yang diyakini dan sudah diwarisi sejak dahulu.
Desa Dresta adalah kebiasaan-kebiasaan dalam tatanan adat dan ritual yang diyakini dan berlaku di suatu wilayah tertentu.
Loka Dresta adalah kebiasaan-kebiasaan dalam tatanan adat dan ritual yang diyakini oleh sekelompok orang.
Sastra Dresta adalah kebiasaan-kebiasaan
dalam tatanan adat dan ritual yang diyakini berdasarkan kebenaran Weda,
Wedangga, dan Upaweda.
Kuna Dresta, Desa Dresta, dan Loka
Dresta adalah kelompok Dresta yang tidak berdasar Weda, Wedangga dan
Upaweda, oleh karena itu ketiga Dresta itu terkena pengaruh: desa, kala,
patra; artinya bisa tidak kekal atau dapat berubah, dan tidak
universal.
Sastra Dresta berdasar Weda, Wedangga
dan Upaweda, oleh karena itu Sastra Dresta tidak terkena pengaruh: desa,
kala, patra; artinya kekal atau tidak dapat berubah, dan universal.
Kuna Dresta, Desa Dresta, dan Loka
Dresta lahir dari perjalanan sejarah, sedangkan Sastra Dresta lahir dari
wahyu Ida Sanghyang Widhi Wasa dan anumana pramana para Maha Rsi.
Sang Sadaka (Pandita) dan Pemangku dalam
swadarma-nya sebagai pengabdi utama Ida Sanghyang Widhi Wasa senantiasa
berpedoman pada Weda, Wedangga, dan Upaweda. Oleh karena itu tidak
bijaksana bila berpedoman pada Kuna Dresta, Desa Dresta dan Loka Dresta.
SUMBER: PANGGILAN WEDA, DRS. WAYAN SADYA, YAYASAN DHARMA SARATHI, JAKARTA 1992
Tidak ada komentar:
Posting Komentar