TEKANING WINDHU ATUS NGARAN WINDHU TURAS, AGENG PRAWESA PAGENTOSING JAGAT,KANGGE TAWUR JAGATE RING BALI. NGADASA TAHUN AMANCA BALI KRAMA RING BESAKIH, PUPUT PANCA BALI KRAMA PING DASA MAWASTA WINDHU TURAS, WAWU NGEKADASARUDRA RI RAH WINDHU TENGGEK WINDHU
(Ketika Tahun Saka berakhir dengan dua
windhu: angka 00, disebut windhu turas, besar sekali terjadinya
perubahan alam, maka saat itu dipilih untuk melaksanakan tawur-jagat/
pecaruan besar di Bali. Setiap sepuluh tahun disebut panca bali krama di
Besakih; setelah panca bali krama sepuluh kali atau seratus tahun
sekali disebut windhu turas, barulah mengadakan eka dasa rudra, disebut
juga saat itu rah windhu tenggek windhu, artinya angka satuan akhir dan
angka puluhan akhir tahun Saka-Bali disaat itu keduanya 0)
Dikutip dari Lontar: Indik Ngekadasa Rudra
Jika memperhatikan kalender Saka-Bali
tahun 2009 (Masehi), maka pada tanggal 25 Maret 2009 tertera: panglong
ping 15 (tilem) sasih kasanga, saka 1930. Itu berarti di saat matahari
terbit pada tanggal 25 Maret 2009 kita sedang memasuki hari terakhir
bulan ke-sembilan tahun saka-Bali 1930.
Maka sesuai dengan kutipan Lontar di
atas, hari itu patut diadakan upacara panca bali krama di Pura Besakih,
karena angka tahun berakhir dengan ’0′.
Bila kelak setelah sepuluh kali
mengadakan upacara panca bali krama, maka angka akhir tahun Saka-Bali
adalah ’00′ yang disebut dalam Lontar di atas ‘windhu turas’ atau rah
windhu tenggek windhu’ di saat mana diadakan upacara eka dasa rudra.
Sedangkan bila tahun saka tidak berakhir
dengan angka 0, maka di hari panglong ping 15 sasih kasanga (tilem
caitra) hanya diadakan upacara tawur kasanga di Pura Besakih dan di
wilayah desa pakraman (desa, kecamatan, kabupaten, dan propinsi di
Bali).
Jelaslah ada hubungan yang berlanjut antara upacara panca bali krama dengan upacara ekadasarudra.
Lebih jauh Lontar tersebut juga
menyebutkan bahwa upacara panca bali krama dapat pula dilaksanakan
diluar ketentuan waktu di atas, bila:
1. Terjadi bencana alam luar biasa
bertubi-tubi yang menelan banyak korban manusia dan harta benda, wabah
penyakit merebak, kejahatan manusia merajalela, dan peperangan.
2. Upacara panregteg (berkelanjutan),
yaitu upacara panca bali krama yang diadakan sepuluh tahun sebelum
upacara eka dasa rudra, misalnya di saat tahun saka-Bali berakhir dengan
angka ’90′
Dalam kelompok panca yadnya yang
dilakukan oleh pemeluk agama Hindu-Bali (karena adanya tri-rnam), yaitu:
Dewa Yadnya, Rsi Yadnya, Pitra Yadnya, Manusa Yadnya, dan Bhuta Yadnya,
maka upacara panca bali krama dapat meliputi Dewa Yadnya dan Bhuta
Yadnya.
‘Bhuta’ dalam pengertian ini adalah alam
semesta dan panca tan-matra. Di Lontar Bhuwana Kosa dan Wrhaspati
Tattwa disebutkan bahwa Sanghyang Widhi menciptakan tubuh manusia dari
unsur-unsur alam yang disebut Panca Mahabhuta, yakni: pertiwi (tanah),
apah (air), bayu (angin), teja (matahari), dan akasa (angkasa).
Oleh karena itu tubuh manusia disebut
bhuwana alit dan alam semesta disebut bhuwana agung. Dengan demikian
bila manusia menyayangi tubuhnya sendiri, ia wajib pula melestarikan
alam semesta secara skala dan niskala. Melestarikan alam semesta secara
skala artinya memelihara dan menjaga agar alam tidak rusak atau tercemar
oleh ulah perbuatan manusia.
Secara niskala, dengan melakukan
upacara-upacara tawur atau pecaruan mulai dari bentuk yang kecil
misalnya segehan sampai yang besar seperti panca bali krama dan
ekadasarudra.
Sanghyang Widhi menganugrahi manusia,
panca indria sebagai kelengkapan tubuh untuk kesempurnaan hidup, yakni:
pendengaran (sabda tan matra), penglihatan (rupa tan matra), penciuman
(ganda tan matra), rasa melalui lidah (rasa tan matra), dan rasa melalui
kulit/ kelamin (sparsa tan matra).
Panca indria berpengaruh kepada atman
(roh), disebut: panca tan-matra (lima pengaruh yang tidak kelihatan)
seperti yang disebutkan di atas. Panca tan-matra ini dapat berakibat
baik bila panca indria digunakan di jalan dharma; namun dapat berakibat
buruk bila digunakan di jalan adharma.
Penggunaan di jalan dharma menimbulkan
sifat-sifat kedewataan (kebaikan) manusia atau disebut daiwi sampad;
sedangkan penggunaan di jalan adharma, antara lain berupa pelanggaran
norma-norma trikaya parisudha akan menimbulkan sifat-sifat keraksasaan
(keburukan) manusia atau disebut asuri sampad.
Atman atau Roh yang telah menjelma
sebagai manusia melalui proses punarbhawa (re-inkarnasi) ingin
menggunakan kesempatan hidup untuk menyempurnakan kesuciannya dengan
tujuan agar kelak setelah meninggal dunia atman dapat bersatu dengan
brahman atau disebut moksah/ aworing acintya.
Proses pensucian roh ini dapat dilakukan
secara skala dan niskala pula. Secara skala yaitu dengan menjaga
pikiran, perkataan, dan perbuatan agar senantiasa di dalam jalur dharma;
secara niskala, antara lain dengan upacara-upacara tertentu, memohon
kehadapan-Nya agar dilindungi dan dihindarkan dari penyimpangan trikaya
parisudha.
Salah satu bentuk upacara itu adalah
panca bali krama, di mana dengan bhuta yadnya diharapkan akan terjadi
bhuta-hita (bhuta yang baik). Dalam kondisi bhuta-hita pemeluk
Hindu-Bali memuja Sanghyang Widhi sebagai Saguna Brahman, memohonkan
kesejahteraan, ketentraman, dan kedamaian.
Dengan demikian, upacara besar ini tidak
hanya tergolong upacara bhuta yadnya, tetapi ada juga unsur dewa
yadnya. Sanghyang Widhi yang dipuja saat upacara panca bali krama,
bermanifestasi sebagai Sadasiwa.
Dalam lontar Wrhaspati Tattwa ada tersurat sebagai berikut:
SAWYAPARAH BHATARA SADASIWA, HANA PADMASANA PINAKA PALUNGGUHANNIRA, APARAN IKANG PADMASANA NGARANIYA, SAKTI NIRA, SAKTI NGARANIYA WIBHUSAKTI, PRABUSAKTI, JNANASAKTI, KRIYASAKTI, NAHAN HYANG SADUSAKTI.
(Adapun Bhatara Sadasiwa, ada padmasana
sebagai kedudukan-Nya, di mana padmasana itu adalah kemahakuasaan-Nya,
maha-ada, maha-kuasa, maha-tahu, maha-pencipta, demikianlah nama empat
kemahakuasaan-Nya).
Empat kemahakuasaan Sadasiwa membentang
ke empat penjuru mata angin: purwa (timur), daksina (selatan), pascima
(barat), dan uttara (utara) masing-masing dengan Dewa (penguasa):
Sadyojata (Iswara), Bamadewa (Brahma), Tatpurusha (Mahadewa), dan Aghora
(Wisnu), sedangkan pusat kemahakuasaan, yaitu Siwa berkedudukan di
tengah-tengah disebut sebagai Isana (penguasa yang maha agung).
Kelima-Nya dalam agama Hindu-Bali disebut sebagai Panca Brahma.
Salah satu ajaran Maha Rsi Mpu Kuturan
yang mengakar di masyarakat Hindu-Bali sejak abad ke-11 Masehi, adalah
Trihitakarana. Tri = tiga; hita = kebaikan; karana = penyebab. Jadi
trihitakarana artinya tiga (hal) yang menyebabkan kebaikan dunia dan
kehidupan.
Tiga hal itu ditinjau sebagai suatu
keharusan yang ada dalam bentuk hubungan keseimbangan, keselarasan, dan
keharmonisan, yakni: parhyangan yang menyangkut hubungan manusia dengan
Sanghyang Widhi, pawongan hubungan antara sesama manusia, dan palemahan
hubungan manusia dengan alam semesta.
Bila salah satu hubungan-hubungan itu
tidak terwujud atau kurang baik, maka manusia tidak akan menemukan
kebahagiaan, kesejahteraan, ketentraman, dan kedamaian.
Upacara panca bali krama yang diadakan
setiap 10 tahun sekali bertujuan juga untuk mempertahankan
trihitakarana, dengan pengertian selama sepuluh tahun perjalanan hidup
manusia di bumi, pasti ada hal-hal yang dapat menyebabkan melemahnya
trihitakarana.
Pemujaan Sanghyang Widhi sebagai Saguna
Brahman adalah wujud parahyangan, kerjasama terorganisir panitia dan
peserta yang terlibat dalam menyiapkan dan melaksanakan upacara adalah
wujud pawongan, dan proses bhuta-hita adalah wujud palemahan.
Upacara panca bali krama dan
ekadasarudra diadakan di pura Besakih, pura terbesar di lereng Gunung
Agung, Bali, sebagai pusat pemujaan Sanghyang Widhi bagi pemeluk
Hindu-Bali. Acuan ketentuan ini ditulis dalam lontar-lontar sebagai
berikut:
1. Lontar Lebu Guntur: pitutur Bhatari Durga ring Sri Aji Jayakasunu, antara lain berbunyi:
… WEKASING WEKAS, YAN HANA SANGARA LWIRNIYA DESA LEBUR ATEMAHAN TASIK, UDAN AWU, WENANG NGEKADASARUDRA RING BASUKIH, MWAH LOKA KADI AREP …
(Suatu ketika bila terjadi kesengsaraan
misalnya desa hancur dilanda air laut, hujan abu, harus diadakan upacara
eka dasa rudra di Besakih, dan di tempat bencana)
2. Lontar Raja Purana Pura Besakih:
… NIHAN AMANCA BALI KRAMA, DRUWE DALEM, RAWUH ANEMU MASALIN TENGGEK, RING PANATARAN GUNUNG AGUNG, WUSAN RING GUNUNG AGUNG, RING BANCINGAH AGUNG NORA SAIKA RING PASAR AGUNG, WUS RING DESA-DESA …
(adapun panca bali krama yang menjadi
kewajiban Raja/ pemerintah, ketika terjadi pergantian angka puluhan
tahun Saka-Bali menjadi nol, upacara diselenggarakan di lereng Gunung
Agung, setelah itu di lapangan suci Besakih, tidak lupa pula di Pasar
Agung Besakih, setelah itu di desa-desa)
3. Lontar Pawilangan Indik Pujawali ring Kahyangan Pura Besakih:
… MALIH RING PANATARAN AGUNG, KARYA MANCA BALI KRAMA, HANGKEN ADASA MASA SAPISAN, MALIH RING PANATAAN AGUNG, KARYA EKADASARUDRA, HANGKEN SATUS MASA SAPISAN …
(kemudian di Penataran Agung, upacara
panca bali krama setiap sepuluh tahun sekali, kemudian di Penataran
Agung, upacara ekadasarudra setiap seratus tahun sekali)
Panca bali krama adalah upacara terbesar
kedua, setelah ekadasarudra, patut disambut oleh segenap pemeluk
Hindu-Bali mengingat demikian banyak dan besar manfaatnya bagi
kesejahteraan bumi beserta semua mahluk hidup citaan-Nya.
Penyambutan itu dilakukan tidak hanya
dengan menyiapkan pernak-pernik upakara dan lika-liku upacara yang rumit
saja, tetapi yang terpenting adalah persiapan penyambutan berupa
keteguhan rohani mempertebal keyakinan Pancasrada.
Pensucian diri dan lingkungan secara
skala dan niskala hendaknya dilakukan minimal 42 hari sebelum puncak
upacara. Masa itu lazim disebut masa nyengker.
Di masa nyengker, selain berusaha
menepati trikaya parisudha, hindari pula upacara-upacara lain kecuali
Dewa Yadnya dan Bhuta Yadnya. Beberatan (larangan/ kewajiban) ini
berakhir setelah Ida Bhatara di Besakih mesineb, atau dengan kata lain,
upacara panca bali krama telah berakhir, biasanya 30 hari setelah hari
upacara puncak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar