Sabtu, 10 Agustus 2013

Panca Bali Krama

Panca Bali Krama

TEKANING WINDHU ATUS NGARAN WINDHU TURAS, AGENG PRAWESA PAGENTOSING JAGAT,KANGGE TAWUR JAGATE RING BALI. NGADASA TAHUN AMANCA BALI KRAMA RING BESAKIH, PUPUT PANCA BALI KRAMA PING DASA MAWASTA WINDHU TURAS, WAWU NGEKADASARUDRA RI RAH WINDHU TENGGEK WINDHU
(Ketika Tahun Saka berakhir dengan dua windhu: angka 00, disebut windhu turas, besar sekali terjadinya perubahan alam, maka saat itu dipilih untuk melaksanakan tawur-jagat/ pecaruan besar di Bali. Setiap sepuluh tahun disebut panca bali krama di Besakih; setelah panca bali krama sepuluh kali atau seratus tahun sekali disebut windhu turas, barulah mengadakan eka dasa rudra, disebut juga saat itu rah windhu tenggek windhu, artinya angka satuan akhir dan angka puluhan akhir tahun Saka-Bali disaat itu keduanya 0)
Dikutip dari Lontar: Indik Ngekadasa Rudra
Jika memperhatikan kalender Saka-Bali tahun 2009 (Masehi), maka pada tanggal 25 Maret 2009 tertera: panglong ping 15 (tilem) sasih kasanga, saka 1930. Itu berarti di saat matahari terbit pada tanggal 25 Maret 2009 kita sedang memasuki hari terakhir bulan ke-sembilan tahun saka-Bali 1930.
Maka sesuai dengan kutipan Lontar di atas, hari itu patut diadakan upacara panca bali krama di Pura Besakih, karena angka tahun berakhir dengan ’0′.
Bila kelak setelah sepuluh kali mengadakan upacara panca bali krama, maka angka akhir tahun Saka-Bali adalah ’00′ yang disebut dalam Lontar di atas ‘windhu turas’ atau rah windhu tenggek windhu’ di saat mana diadakan upacara eka dasa rudra.
Sedangkan bila tahun saka tidak berakhir dengan angka 0, maka di hari panglong ping 15 sasih kasanga (tilem caitra) hanya diadakan upacara tawur kasanga di Pura Besakih dan di wilayah desa pakraman (desa, kecamatan, kabupaten, dan propinsi di Bali).
Jelaslah ada hubungan yang berlanjut antara upacara panca bali krama dengan upacara ekadasarudra.
Lebih jauh Lontar tersebut juga menyebutkan bahwa upacara panca bali krama dapat pula dilaksanakan diluar ketentuan waktu di atas, bila:
1. Terjadi bencana alam luar biasa bertubi-tubi yang menelan banyak korban manusia dan harta benda, wabah penyakit merebak, kejahatan manusia merajalela, dan peperangan.
2. Upacara panregteg (berkelanjutan), yaitu upacara panca bali krama yang diadakan sepuluh tahun sebelum upacara eka dasa rudra, misalnya di saat tahun saka-Bali berakhir dengan angka ’90′
Dalam kelompok panca yadnya yang dilakukan oleh pemeluk agama Hindu-Bali (karena adanya tri-rnam), yaitu: Dewa Yadnya, Rsi Yadnya, Pitra Yadnya, Manusa Yadnya, dan Bhuta Yadnya, maka upacara panca bali krama dapat meliputi Dewa Yadnya dan Bhuta Yadnya.
‘Bhuta’ dalam pengertian ini adalah alam semesta dan panca tan-matra. Di Lontar Bhuwana Kosa dan Wrhaspati Tattwa disebutkan bahwa Sanghyang Widhi menciptakan tubuh manusia dari unsur-unsur alam yang disebut Panca Mahabhuta, yakni: pertiwi (tanah), apah (air), bayu (angin), teja (matahari), dan akasa (angkasa).
Oleh karena itu tubuh manusia disebut bhuwana alit dan alam semesta disebut bhuwana agung. Dengan demikian bila manusia menyayangi tubuhnya sendiri, ia wajib pula melestarikan alam semesta secara skala dan niskala. Melestarikan alam semesta secara skala artinya memelihara dan menjaga agar alam tidak rusak atau tercemar oleh ulah perbuatan manusia.
Secara niskala, dengan melakukan upacara-upacara tawur atau pecaruan mulai dari bentuk yang kecil misalnya segehan sampai yang besar seperti panca bali krama dan ekadasarudra.
Sanghyang Widhi menganugrahi manusia, panca indria sebagai kelengkapan tubuh untuk kesempurnaan hidup, yakni: pendengaran (sabda tan matra), penglihatan (rupa tan matra), penciuman (ganda tan matra), rasa melalui lidah (rasa tan matra), dan rasa melalui kulit/ kelamin (sparsa tan matra).
Panca indria berpengaruh kepada atman (roh), disebut: panca tan-matra (lima pengaruh yang tidak kelihatan) seperti yang disebutkan di atas. Panca tan-matra ini dapat berakibat baik bila panca indria digunakan di jalan dharma; namun dapat berakibat buruk bila digunakan di jalan adharma.
Penggunaan di jalan dharma menimbulkan sifat-sifat kedewataan (kebaikan) manusia atau disebut daiwi sampad; sedangkan penggunaan di jalan adharma, antara lain berupa pelanggaran norma-norma trikaya parisudha akan menimbulkan sifat-sifat keraksasaan (keburukan) manusia atau disebut asuri sampad.
Atman atau Roh yang telah menjelma sebagai manusia melalui proses punarbhawa (re-inkarnasi) ingin menggunakan kesempatan hidup untuk menyempurnakan kesuciannya dengan tujuan agar kelak setelah meninggal dunia atman dapat bersatu dengan brahman atau disebut moksah/ aworing acintya.
Proses pensucian roh ini dapat dilakukan secara skala dan niskala pula. Secara skala yaitu dengan menjaga pikiran, perkataan, dan perbuatan agar senantiasa di dalam jalur dharma; secara niskala, antara lain dengan upacara-upacara tertentu, memohon kehadapan-Nya agar dilindungi dan dihindarkan dari penyimpangan trikaya parisudha.
Salah satu bentuk upacara itu adalah panca bali krama, di mana dengan bhuta yadnya diharapkan akan terjadi bhuta-hita (bhuta yang baik). Dalam kondisi bhuta-hita pemeluk Hindu-Bali memuja Sanghyang Widhi sebagai Saguna Brahman, memohonkan kesejahteraan, ketentraman, dan kedamaian.
Dengan demikian, upacara besar ini tidak hanya tergolong upacara bhuta yadnya, tetapi ada juga unsur dewa yadnya. Sanghyang Widhi yang dipuja saat upacara panca bali krama, bermanifestasi sebagai Sadasiwa.
Dalam lontar Wrhaspati Tattwa ada tersurat sebagai berikut:
SAWYAPARAH BHATARA SADASIWA, HANA PADMASANA PINAKA PALUNGGUHANNIRA, APARAN IKANG PADMASANA NGARANIYA, SAKTI NIRA, SAKTI NGARANIYA WIBHUSAKTI, PRABUSAKTI, JNANASAKTI, KRIYASAKTI, NAHAN HYANG SADUSAKTI.
(Adapun Bhatara Sadasiwa, ada padmasana sebagai kedudukan-Nya, di mana padmasana itu adalah kemahakuasaan-Nya, maha-ada, maha-kuasa, maha-tahu, maha-pencipta, demikianlah nama empat kemahakuasaan-Nya).
Empat kemahakuasaan Sadasiwa membentang ke empat penjuru mata angin: purwa (timur), daksina (selatan), pascima (barat), dan uttara (utara) masing-masing dengan Dewa (penguasa): Sadyojata (Iswara), Bamadewa (Brahma), Tatpurusha (Mahadewa), dan Aghora (Wisnu), sedangkan pusat kemahakuasaan, yaitu Siwa berkedudukan di tengah-tengah disebut sebagai Isana (penguasa yang maha agung).
Kelima-Nya dalam agama Hindu-Bali disebut sebagai Panca Brahma.
Salah satu ajaran Maha Rsi Mpu Kuturan yang mengakar di masyarakat Hindu-Bali sejak abad ke-11 Masehi, adalah Trihitakarana. Tri = tiga; hita = kebaikan; karana = penyebab. Jadi trihitakarana artinya tiga (hal) yang menyebabkan kebaikan dunia dan kehidupan.
Tiga hal itu ditinjau sebagai suatu keharusan yang ada dalam bentuk hubungan keseimbangan, keselarasan, dan keharmonisan, yakni: parhyangan yang menyangkut hubungan manusia dengan Sanghyang Widhi, pawongan hubungan antara sesama manusia, dan palemahan hubungan manusia dengan alam semesta.
Bila salah satu hubungan-hubungan itu tidak terwujud atau kurang baik, maka manusia tidak akan menemukan kebahagiaan, kesejahteraan, ketentraman, dan kedamaian.
Upacara panca bali krama yang diadakan setiap 10 tahun sekali bertujuan juga untuk mempertahankan trihitakarana, dengan pengertian selama sepuluh tahun perjalanan hidup manusia di bumi, pasti ada hal-hal yang dapat menyebabkan melemahnya trihitakarana.
Pemujaan Sanghyang Widhi sebagai Saguna Brahman adalah wujud parahyangan, kerjasama terorganisir panitia dan peserta yang terlibat dalam menyiapkan dan melaksanakan upacara adalah wujud pawongan, dan proses bhuta-hita adalah wujud palemahan.
Upacara panca bali krama dan ekadasarudra diadakan di pura Besakih, pura terbesar di lereng Gunung Agung, Bali, sebagai pusat pemujaan Sanghyang Widhi bagi pemeluk Hindu-Bali. Acuan ketentuan ini ditulis dalam lontar-lontar sebagai berikut:
1. Lontar Lebu Guntur: pitutur Bhatari Durga ring Sri Aji Jayakasunu, antara lain berbunyi:
… WEKASING WEKAS, YAN HANA SANGARA LWIRNIYA DESA LEBUR ATEMAHAN TASIK, UDAN AWU, WENANG NGEKADASARUDRA RING BASUKIH, MWAH LOKA KADI AREP …
(Suatu ketika bila terjadi kesengsaraan misalnya desa hancur dilanda air laut, hujan abu, harus diadakan upacara eka dasa rudra di Besakih, dan di tempat bencana)
2. Lontar Raja Purana Pura Besakih:
… NIHAN AMANCA BALI KRAMA, DRUWE DALEM, RAWUH ANEMU MASALIN TENGGEK, RING PANATARAN GUNUNG AGUNG, WUSAN RING GUNUNG AGUNG, RING BANCINGAH AGUNG NORA SAIKA RING PASAR AGUNG, WUS RING DESA-DESA …
(adapun panca bali krama yang menjadi kewajiban Raja/ pemerintah, ketika terjadi pergantian angka puluhan tahun Saka-Bali menjadi nol, upacara diselenggarakan di lereng Gunung Agung, setelah itu di lapangan suci Besakih, tidak lupa pula di Pasar Agung Besakih, setelah itu di desa-desa)
3. Lontar Pawilangan Indik Pujawali ring Kahyangan Pura Besakih:
…  MALIH RING PANATARAN AGUNG, KARYA MANCA BALI KRAMA, HANGKEN ADASA MASA SAPISAN, MALIH RING PANATAAN AGUNG, KARYA EKADASARUDRA, HANGKEN SATUS MASA SAPISAN …
(kemudian di Penataran Agung, upacara panca bali krama setiap sepuluh tahun sekali, kemudian di Penataran Agung, upacara ekadasarudra setiap seratus tahun sekali)
Panca bali krama adalah upacara terbesar kedua, setelah ekadasarudra, patut disambut oleh segenap pemeluk Hindu-Bali mengingat demikian banyak dan besar manfaatnya bagi kesejahteraan bumi beserta semua mahluk hidup citaan-Nya.
Penyambutan itu dilakukan tidak hanya dengan menyiapkan pernak-pernik upakara dan lika-liku upacara yang rumit saja, tetapi yang terpenting adalah persiapan penyambutan berupa keteguhan rohani mempertebal keyakinan Pancasrada.
Pensucian diri dan lingkungan secara skala dan niskala hendaknya dilakukan minimal 42 hari sebelum puncak upacara. Masa itu lazim disebut masa nyengker.
Di masa nyengker, selain berusaha menepati trikaya parisudha, hindari pula upacara-upacara lain kecuali Dewa Yadnya dan Bhuta Yadnya. Beberatan (larangan/ kewajiban) ini berakhir setelah Ida Bhatara di Besakih mesineb, atau dengan kata lain, upacara panca bali krama telah berakhir, biasanya 30 hari setelah hari upacara puncak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar