Perda Budaya Bali



Perda Budaya Bali
akan mengatur tentang

    1. Pariwisata Berbasis Budaya Bali
    2. Hak lokal dan investasi.
    3. Tentang subak.
    4. Tri Hita Karana. 
  1. Promosi Pariwisata Bali
    Bali adalah objek wisata internasional. Nama Bali sudah mendunia. “Bali” di sini menyangkut berbagai aspek: Agama, Budaya, Adat, Panorama, dan lain-lain, yang sangat unik tiada duanya, dan berkaitan erat antara satu aspek dengan aspek yang lain.
    Namun potensi yang luar biasa ini belum dipelihara dengan baik. Padahal jika dipelihara dengan baik dapat memberikan manfaat besar yang bermuara pada peningkatan kesejahteraan orang Bali.
    Salah satu hal yang perlu dipikirkan bersama adalah promosi pariwisata yang kurang koordinatif. Selama ini promosi secara sporadis dilakukan oleh Hotel, Travel Biro, dan jasa wisata lainnya, yang diprakarsai oleh pemilik modal. Itu pun jangkauannya masih sempit karena hanya meliputi kegiatan bisnis.
    Promosi, apapun bentuknya adalah bagian dari marketing dalam arti luas; dan jika berbicara soal marketing, tak lepas kaitannya dengan benefit sebagai tujuan akhir. Benefit tentu tidak hanya berbentuk material, tetapi juga immaterial, atau lebih tepatnya berbentuk suatu ‘advantage’ yang dapat meliputi bidang-bidang sosial dan politik di samping bidang ekonomi.
    Di sinilah dasar pijakan yang memerlukan kesepakatan bersama masyarakat Bali, agar promosi pariwisata dapat dilaksanakan secara total dalam artian tidak hanya dilakukan oleh pihak-pihak yang berkaitan dengan dunia bisnis saja, tetapi oleh segenap lapisan masyarakat Bali yang mencakup bidang-bidang yang lebih luas.
    Dengan singkat dapat dikatakan bahwa promosi pariwisata secara total adalah menjawab pertanyaan: “Bagaimana menjaga agar Bali tidak hilang ke-Bali-annya”. Rumusan “ke-Bali-an” itu perlu dikaji, karena akan mencakup sosial-budaya, politik dan ekonomi.
    Jika banyak pakar mengatakan bahwa “Bali” berakar pada sektor agraris, pertanyaan berikut yang bertubi-tubi akan muncul: “Benarkah Bali kini sudah bergeser dari sektor agraris ke sektor lain (industri dan/ atau jasa)?” atau: “Bagaimana nasib Bali bila di kemudian hari sektor industri dan jasa menjadi dominan sedangkan sektor agraris ditinggalkan?”
    Pilihan berpulang pada kesepakatan kita (orang Bali) sendiri. Mau “Tetap Bali” atau menjadi “Bekas Bali”. Konsekuensi dari pilihan itu dapat dipastikan bahwa jika kita memilih menuju “Bekas Bali” maka jangan mengharap Industri Pariwisata yang kini gencar dibangun akan tetap ajeg. Ia akan runtuh sama sekali.
    Jika kita memilih menjadi “Tetap Bali” sektor agraris mesti dibangun kembali dengan pola yang lebih up-to-date yang mengadopsi teknologi modern dalam produksi, mengenalkan sistem risk protection dalam pemasaran hasil panen, sehingga sektor agraris menjadi menarik.
    Mungkinkah hal itu dapat diwujudkan? Kaum optimistik akan menjawab: “Mungkin, kenapa tidak?” apalagi bila Pemerintah turun tangan memberikan proteksi yang kuat pada sektor agraris.
    Bahkan ada juga kemungkinan bantuan akan datang dari Lembaga-Lembaga Internasional yang sujatinya sangat mendambakan agar Bali tetap “Bali”, karena Bali tidak hanya dimiliki oleh orang Bali saja, tetapi sudah menjadi milik dunia, kalau tak berlebihan bisa dikatakan sebagai suatu “keajaiban” dunia yang patut dilestarikan
  2.  Bali Kuna                                                                                                       Pendahuluan
    Bali Kuna adalah Bali sebelum ditaklukkan Majapahit (tahun 1343 Masehi). Penyebutan nama Bali Kuna mula-mula oleh Dr. R. Goris, pada tahun 1948. Beliau adalah anthropologist berkebangsaan Belanda yang menetap di Singaraja.
    Istilah itu digunakan untuk membatasi wilayah penelitian antara pra dan pasca pendudukan Majapahit yang membawa pengaruh besar pada bidang: kehidupan sosial, budaya, politik, dan perekonomian.
    Tidak ada penjelasan tentang penggunaan kata ‘Kuna’ dalam batasan ini.  Bali Kuna kemudian berubah menjadi Bali Aga, yakni sebutan bagi penduduk Bali Kuna yang mengungsi ke pegunungan (Aga = gunung) karena terdesak oleh migrasi besar-besaran dari Majapahit di Jawa Timur sekitar abad ke-14, pada saat mana Agama Islam mulai berkembang di Jawa.
    Sumber sastra yang menguatkan hal ini terdapat pada Kidung Harsa Wijaya, Kidung Ranggalawe, Kidung Sunda, Usana Jawa, Usana Bali, Babad Dalem, dan Dwijendra Tattwa.
    Penelitian ilmiah tentang Bali Kuna diadakan tahun 1885 oleh Dr. Van der Tuuk dan Dr. Brandes berdasarkan prasasti-prasasti yang ditemukan di Blantih, Sangsit, dan Klandis. Selanjutnya prasasti yang ditemukan di Julah pada tahun 1890 lebih memudahkan penelitian Brandes.
    Perhatian Pemerintah Hindia Belanda pada sejarah Bali Kuna makin mendalam, sehingga pada tahun 1926 terbitlah kumpulan dokumen penelitian yang dinamakan Epigraphia Balica yang disusun oleh Dr. Van Stein Callenfels.
    Dokumen-dokumen itu kemudian terus disempurnakan dengan foto arca-arca, dan Pura-Pura kuno serta tambahan temuan-temuan dari Dr. Stutterheim.
    Tahun 1930 terbitlah buku yang berjudul Oudheden van Bali yang menguak tabir misteri Bali Kuna. Penulis menduga kata ‘Kuna’ oleh Goris, mungkin dipengaruhi kata ‘Oudheden’ dari buku itu. I Nyoman Singgin Wikarman, dalam bukunya ‘Leluhur orang Bali’ menggunakan istilah ‘Bali Mula’ untuk Bali Kuna.
    Beliau menggali lebih dalam berdasarkan temuan Drs. Soekmono (1973) , temuan Dr. R.P. Soejono (1961), dan tulisan I Made Sutaba, masing-masing mengungkap keberadaan orang-orang Bali sejak zaman batu, zaman perundagian, sampai zaman kehidupan agraris. Mereka termasuk rumpun manusia Austronesia, yang belum beragama.
    Pada abad ke-8 Masehi, seorang yogi dari India Selatan bernama Maha Rsi Markandeya datang menyebarkan Agama Hindu sekte Waisnawa. Sebelum ke Bali beliau telah mendirikan pasraman di Gunung Dieng dan Gunung Raung. Kedatangannya di Bali, pertama mengunjungi Besakih, kemudian menetap di Taro (Tegallalang).
    Peradaban Budha dan Hindu
    Peradaban awal yang ditemukan pada stupa-stupa dan batu bertulis di situs Pejeng dengan angka tahun Isaka 700 (778 Masehi)  dalam bahasa Sanskerta adalah  kutipan sebuah mantra Budha:
    YE DHARMA HETU PRABHAWAHETUN TESAN TATHAGATO HYAWADATTESANCA YO NIRODHAEWAM WADI MAHASRAMANAH
    artinya: Keadaan tentang sebab-sebab kejadian (terciptanya dunia) sudah dijelaskan oleh Sang Budha yang maha mulia.
    Beliau sudah menerangkan pula apa yang seharusnya dilakukan manusia (di dunia ini).  Ini membuktikan Bali Kuna lebih dahulu mengenal Agama Budha daripada Agama Hindu.
    Karena perbedaan waktu antara kedatangan para Bhiksu dengan kedatangan para misionaris Hindu (antara lain Maha Rsi Markandeya) tidak banyak, atau boleh dikatakan hampir bersamaan maka terjadilah percampuran antara dua agama itu.
    Prasasti-prasasti yang bertarikh tahun 804 Isaka (tahun 882 Masehi) sudah menyebutkan nama-nama bulan kalender dengan solar system (Hindu) seperti di India berturut-turut: Waisaka, Jyesta, Ashadha, Srwana, Badrapada, Aswina, Kartika, Margasira, Pausha, Magha, Phalguna, dan Chaitra.
    Selain itu, prasasti batu padas yang ditemukan di Blanjong (Sanur) telah bertuliskan tahun Saka menurut sistem candra sangkala dari peradaban Hindu: Khecara Wahni Murti. Cara membaca system candra sangkala adalah dari belakang ke depan; Murti = Siwa = 8; Wahni = cahaya = 3; Khecara = bintang = 9.
    Jadi sistem candra sangkala itu menunjukkan tahun kejadian yakni: Isaka 839 (917 Masehi).  Sistem candra sangkala selain menunjukkan tahun kejadian, juga berbentuk kalimat yang dapat ditafsirkan sebagai pemberitaan, dalam hal ini Khecara Wahni Murti, artinya: Bintang yang terang bercahaya bagaikan Bhatara Siwa.
    Oleh para ahli kalimat ini ditafsirkan sebagai pujian kepada Raja: Kesari Warmadewa yang ketika itu berkuasa dan beristana di Singhadwala, beragama Budha dari sekte Mahayana.
    Percampuran budaya Budha – Mahayana dengan Hindu sekte Siwa Sidantha dan sekte Waisnawa telah terjadi di Bali Kuno setidak-tidaknya sejak tahun 882 Masehi seperti yang diuraikan di atas, jauh sebelum kejadian yang sama di Jawa Timur.
    Percampuran Siwa-Budha di Jawa Timur baru secara resmi diakui sejak tahun 1365 Masehi oleh Mpu Prapanca dalam tulisan kekawinnya berjudul: Desawarnana, dan selanjutnya Mpu Tantular menulis hal sama pada kekawinnya: Arjuna Wiwaha (1367 Masehi) dan Sutasoma (1380 Masehi).
    Raja-Raja dan Penguasa di Bali Kuno
    Pulau Bali tidak pernah dikuasai secara mutlak (de facto & de yure) oleh seorang Raja atau Penguasa saja. Di zaman Bali Kuno, wilayah-wilayah tertentu dengan kelompok-kelompok penghuninya dipimpin oleh tokoh berbeda, tanpa hubungan darah satu dengan yang lain.
    Sering terjadi peperangan diantara mereka untuk merebut kekuasaan. Berikut ini adalah daftar Raja-Raja/ Penguasa yang pada umumnya mempunyai wilayah dan pengaruh luas. Ada beberapa berasal dari dinasti yang sama, misalnya dinasti Warmadewa.
    Tahun  Masehi
    Nama (Bhiseka) Raja-Raja/ Penguasa
    Kedudukan (Istana)
    912 -   942
    Sri Ugrasena
    Singhamandawa (Kintamani)
    913 -   955
    Sri Kesari Warmadewa
    Singhadwala (Besakih)
    955 -   967
    Sri Hari Tabanendra Warmadewa &Sri Subadrika Warmadewa
    Tabanan
    967 -    968
    Sri Candrabhayasingha Warmadewa
    Tampaksiring
    968 -    983
    Sri Janasadhu Warmadewa
    Bedahulu
    983 -    988
    Sri Wijaya Mahadewi
    Kadiri
    983 –  1011
    Sri Dharmodayana Warmadewa (Udayana) & Sri Mahendradatta (Sri Gunapriyadharmapatni)
    Bedahulu
    1001 -  1015
    Sri Ajnyadewi
    Kintamani
    1011 -  1072
    Sri Suradhipa
    Bedahulu
    1072 -  1098
    Anak Wungsu (Dharmawangsa Wardana Marakata Pangkaja Sthana Uttunggadewa)
    Tampaksiring
    1098 -  1133
    Sakala Indukirana Isanagunadharma Laksmi Dharawijaya Uttunggadewi
    Tampaksiring
    1133 -  1173
    Jayapangus
    Kintamani
    1173 -  1198
    Jayasakti
    Kintamani
    1198 -  1284
    Bhatara Sri Parameswara Sri Hyang -Ning Hyang Adidewa
    Kintamani
    1284 -   1324
    Kebo Parud (Kerajaan Singasari-Jawa)
    Bedahulu
    1324 -   1325
    Sri Tarunajaya
    Bedahulu
    1325 –  1328
    Dharma Uttungga Warmadewa
    Bedahulu
    1328 -   1337
    Bhatara Sri Wala Jaya Kertaning Rat
    Bedahulu
    1337 –  1343
    Bhatara Sri Asta Asura Ratnabumibanten (Sri Tapolung)
    Bedahulu
    Pemerintahan
    Lembaga tertinggi Pemerintah adalah sebuah Badan Penasehat yang disebut dengan berbagai nama, yaitu: Panglapuan, Samohanda, Senapati, Pasamaksa, dan Palapknan. Badan ini bisa hanya satu orang saja, atau bisa lebih dari satu orang.
    Mulai tahun 1001 pada Pemerintahan Raja Udayana, Badan Penasehat itu bernama: Pakira-kiran I Jero Makabaihan diketuai oleh Mpu Kuturan dan  beranggotakan beberapa Senapati (Penguasa Sub-Wilayah), Kasaiwan (Pendeta-Pendeta Siwa), dan Kasogatan (Pendeta-Pendeta Budha).
    Nama-nama Senapati yang menjadi anggota Pakiran-kiran I Jero Makabaihan, adalah: Wrsabha (Wrsanten), Pancakala, Waranasi, Tira, Danda (Waci), Wwit, Byut, Balabaksa, Dalembunut (Balembunut), Dinganga, Maniringin, Pinatih, Srbwa, dan Tunggalan.
    Nama-nama Pendeta Siwa dan Pendeta Budha yang menjadi anggota Pakiran-kiran I Jero Makabaihan, tidak disebutkan dalam prasasti-prasasti. Yang disebut hanyalah nama-nama Griya tempat tinggal para Pendeta itu.
    Untuk Kasaiwan (Pendeta-Pendeta Siwa) dari Griya-Griya: Air Garuda, Air Gajah, Antakunjarapada, Binor, Dharma Hanar, Hari Tanten, Kanyabhawana, Kusumadanta, Lokeswara, Suryamandala, dan Udayalaya.
    Untuk Kasogatan (Pendeta-Pendeta Budha) dari Griya-Griya: Bajrasikhara, Badaha, Wihara Bahung, Buruan, Canggini, Dharmarya, Kusala, Kuti Hanar, Lwa Gajah, Nalanda,  dan Waranasi.
    Raja dapat mengambil keputusan sendiri, tetapi untuk masalah-masalah yang penting misalnya: pengaturan keamanan/ pertahanan, perintah perang, penetapan pajak, pengangkatan pejabat, dan penetapan hukuman mati, Raja perlu mendapat pertimbangan dari Pakira-kiran I Jero Makabaihan.
    Penyelenggara Pemerintahan di Pusat Kerajaan dilaksanakan oleh pegawai-pegawai yang dinamakan: Nayaka, Ser, dan Samgat. Panglima Perang disebut: Rakyan. Penyelenggara Pemerintahan di Sub-Wilayah adalah Senapati.
    Kehidupan sosial dan religi
    Laut, sungai, mata air, danau, dan hutan dikuasai oleh Raja. Kelompok penduduk yang ingin memanfaatkannya untuk menunjang kehidupan harus meminta ijin melalui Senapati setempat. Setelah mempertimbangkan dengan seksama, Senapati meneruskan permohonan itu kepada Raja.
    Ijin yang diberikan kepada kelompok (bukan perorangan/ pribadi) ditulis dalam prasasti dari bahan tembaga, lontar, atau batu. Pemberian ijin itu disertai dengan kewajiban berupa pajak dan kewajiban menjaga kelestarian alam. Ijin yang telah diberikan tidak boleh dipindah tangankan kepada orang/ kelompok lain tanpa persetujuan Raja.
    Senapati wajib menuntun rakyatnya untuk menyembah Bhatara-Bhatari yang disakralkan seperti: Bhatara Da Tonta di Turunan (Trunyan),  Bhatari Mandul di Bukit Panulisan, Bhatari lumah ri: Air Madatu, Buruan, Banyu Wka, Camara, Jalu,  Dharma Hanar, Banyu Palasa, Buah Rangga, Candri Manik, Candri Linggabhawana, Dewastana, Air Talaga, dan Senamukha.
    Bhatara Da Tonta adalah manifestasi Sanghyang Widhi yang dipuja untuk memohon kemakmuran dan kesejahteraan, Bhatari lumah ri adalah Roh-Roh leluhur dari Udayana dan Raja-Raja berikutnya dari dinasti Warmadewa.
    Bhiksu-Bhiksu Budha banyak mendirikan wihara di tepi-tepi sungai seperti: Patanu, Pakerisan, Uwos, Kungkang, di pegunungan seperti: Gunung Kawi, Goa Patinggi, Gunung Agung, Bukit Petung, Cintamani, Songan, Watukaru, di danau-danau seperti: Batur, dan Tamblingan, di tepi pantai seperti: Julah,  dan Dharmakuta.
    Perekonomian
    Mayoritas penduduk Bali Kuno hidup dari penghasilan sektor agraris: pertanian, peternakan, perikanan, dan mengumpulkan hasil hutan. Sebagian kecil penduduk hidup dari sektor perdagangan sebagai pengepul hasil bumi terutama beras, untuk dijual kepada saudagar-saudagar Cina.
    Sebaliknya mereka membeli barang-barang kelontong dan barang-barang kerajinan dari pedagang-pedagang Cina seperti kain, porselain, pecah-belah, dan keperluan rumah tangga lainnya.  Perdagangan di pantai utara Pulau Bali lebih ramai dari pantai selatan, karena kesibukan lalu lintas kapal-kapal dagang lebih banyak di pantai utara.
    Jalur pelayaran di Nusantara mulai dari semenanjung Malaka menyusuri pantai timur Sumatra, pantai utara Jawa, pantai utara Bali, berbelok ke selatan di Selat Lombok, seterusnya ke Sumbawa, Sulawesi Selatan dan Maluku.
    Pelabuhan-pelabuhan laut di pantai utara Bali adalah: Teluk Terima, Pemuteran, Buleleng, Sangsit, Kubutambahan, dan Julah. Sedangkan pelabuhan di pantai selatan Bali hanya Sanur.
    Jalur perdagangan di daratan pulau Bali bermula dari pelabuhan menuju ke pegunungan. Dari Teluk Terima, jalur darat menuju Desa-Desa: Busungbiu, Munduk, Tamblingan, Candi Kuning, terus ke Tabanan. Dari Pemuteran mengikuti jalur yang sama dengan jalur Teluk Terima.
    Dari Buleleng, ada jalur ke: Gitgit, Wanagiri, Buyan, Candi Kuning, terus bersatu dengan jalur ke Tabanan. Dari Sangsit, Kubutambahan dan Julah, jalur yang paling ramai menuju Desa-Desa pegunungan bagian timur, akhirnya menuju pusat kerajaan di Cintamani, dan Bedahulu.
    Awalnya perdagangan dilakukan secara barter, yakni tukar-menukar barang (mepurup-purup), karena Raja-Raja tidak menciptakan mata uang bagi negerinya. Kedatangan saudagar-saudagar Cina yang membawa mata uang Cina serta mengajarkan kepada penduduk Bali Kuna sistem jual-beli menggunakan uang kartal, menarik perhatian Raja Udayana.
    System ini dinilai baik karena praktis, melancarkan perdagangan, dan memudahkan Raja memungut pajak. Walaupun penduduk telah mengenal dan menggunakan mata uang Cina sebelum pemerintahan Sri Ugrasena, namun Raja Udayana-lah pada tahun 989 Masehi yang secara resmi menetapkan berlakunya mata uang Cina sebagai uang kartal atau alat tukar yang syah.
    Orang Bali Kuna menyebut mata uang itu: pis-bolong.  Pis bolong yang mulai beredar di Bali Kuna pada abad ke-7 dibuat di Cina pada zaman pemerintahan Dinasti Tang (618 M – 907 M). Peranan pis bolong sebagai alat tukar di Bali Kuna makin kuat, karena beberapa hal, yaitu:
    1. Perkawinan Raja Sri Jaya Pangus (1133 M – 1173 M) dengan seorang putri Cina, kerabat Raja Khu Bilai Khan.
    2. Bali Kuna pernah dijajah oleh kerajaan Singasari (1284 – 1324), sedangkan Singasari ketika itu dikuasai Cina di bawah Gubernur militer Jendral Meng Khi. Pemerintahan Singasari di Bali adalah untuk dan atas nama Jendral Meng Khi. Pejabat yang ditunjuk, seorang panglima militer Singasari bernama Kebo Parud.
    3. Jalur perdagangan keluar negeri dari Bali dimonopoli Cina untuk menjaga agar keuntungan dari perdagangan candu (opium) terjaga.
    4. Setelah pemerintahan Dinasti Tang di Cina berakhir, Dinasti Sung malah lebih banyak menyebarkan pis bolong ke Nusantara, khususnya ke Bali Kuna. Jumlah ekspor pis bolong dari Cina ke  Majapahit diperkirakan 1,8 miliar qian (= keteng) setahun.
    Pengaruh kebudayaan Cina pada Bali Kuna
    Pelabuhan-pelabuhan penting di Bali Utara seperti Pabean Buleleng dan Pabean Sangsit dikendalikan oleh pedagang terkemuka, sekalian merangkap sebagai pejabat militer Cina. Di Pabean Buleleng pejabat itu berpangkat Kapitain (tidak jelas namanya), dan seorang berpangkat Mayor yang bernama Kho Bun Sing sebagai penguasa di Pabean Sangsit.
    Pejabat dan saudagar-saudagar ini sangat kaya dan berpengaruh. Mereka menguasai tanah pertanian yang luas dari praktek meminjamkan uang kepada para petani dengan suku bunga tinggi atau disebut sistim riba.
    Penduduk Bali Kuna yang dahulunya belum mengenal candu (opium), kemudian menjadi ‘kecanduan’ sehingga hidupnya sengsara; sawah – kebun tergadai, kehilangan pekerjaan, sampai ada yang menjual anak-anak untuk menjadi budak saudagar-saudagar Cina. Orang Bali Kuna menamakan candu: madat.
    Kebiasaan berjudi pada orang-orang Cina ditiru oleh penduduk lokal, seperti permainan: Ceki, Cap Bi Kie, Mong-mong, Tokek, Tog-tog, Contok, dan Truwie. Dengan adanya pis bolong sebagai mata uang kartal yang sah, perjudian semakin marak, menyebabkan penduduk asli banyak yang jatuh miskin karena kalah berjudi.
    Penduduk mulai mengenal pola-pola pikir spekulatif, ingin mendapat keuntungan dengan cepat, dan yang berniat melakukan kejahatan pencurian dan perampokan makin berpeluang.
    Yang terakhir ini menjadi lebih mudah karena penduduk asli yang semula menimbun hasil panen dalam bentuk natura, kemudian menabung dalam bentuk uang kartal, sehingga memudahkan para pencuri dan perampok menguras harta benda mereka.
    Perkawinan Raja Sri Jayapangus dengan seorang wanita Cina, dipuja-puja rakyatnya. Bentuk pemujaan ini dengan menstanakan Bhatari Cina di Pura Ulun Danu Batur, Bhatari Ratu Subandar di Besakih, dan simbol-simbol lain misalnya adanya barong landung lanang wadon yang merupakan replika Sri Jayapangus dan permaisurinya.
    Cerita-cerita rakyat Cina-pun menyebar di Bali, misalnya kisah Sampik – Ing Tay. Ilmu silat dari Cina juga berkembang di Bali Kuna dalam bentuk pencak, dan dalam bentuk tarian masal, misalnya: baris dapdap, baris demung, baris presi, baris tumbak, baris tamiang, dan lain-lain.
    Pis bolong selain digunakan sebagai uang kartal, juga digunakan dalam upacara dan upakara. Beberapa jenis banten harus menggunakan pis bolong. Pretima dan prerai dibuat dari pis bolong tertentu yang dinamakan pis koci. Pis bolong yang bernama pis krinyah digunakan dalam upacara kematian. Canang sari dan kwangen menggunakan pis lumrah.
    Jenis-jenis pis bolong yang disebutkan di atas disakralkan, tidak boleh digunakan berjudi. Untuk berjudi digunakan jenis pis wadon, pis lembang dan pis jahi.
    Ada juga jenis pis bolong yang digunakan sebagai jimat, misalnya pis Siwa, pis Gana, pis Jogor Manik, pis rerajahan, pis Anoman, pis Kresna, pis Rama, pis Bima, pis Rejuna, pis Dedari, pis Jaran, pis Padang,  dan pis Jaring.
    Di bidang kemiliteran, tentara Bali Kuno mulai mengenal senjata-senjata jenis panah, tombak, pedang dan perisai (tamiang) yang lebih berkualitas karena dibuat dari baja yang halus dan tajam. Industri peleburan baja belum ada di Bali. Oleh karena itu senjata-senjata jenis itu kebanyakan diimpor dari Cina.
    Pakaian-pakaian mahal yang digunakan oleh Raja-Raja dan kaum bangsawan berbahan sutera (kain pere) yang dibeli dari saudagar-saudagar Cina. Sejenis kertas buatan Cina yang dinamakan kertas ulan taga, di Bali Kuna disakralkan, hanya digunakan sebagai salah satu sarana penting dalam upacara kematian.
    Perkawinan campuran antara orang-orang Cina dengan penduduk asli banyak terjadi. Orang Cina yang sudah membaur menjadi penduduk Bali biasanya menggunakan nama kombinasi Cina-Bali, misalnya: Babah Ketut, Babah Nyoman, dll.
    Di kalangan bangsawan dan saudagar kaya, dikenal nama-nama yang berbau Cina, misalnya: Kho Cin Bun (yang menetap di Desa Sinabun), Kho Ping Gan (yang menetap di Desa Pinggan – Kintamani),  Ma Sui La dan Ma Sui Lie, anak-anak kembar buncing dari Kho Ping Gan (oleh orang Bali dinamakan Masula – Masuli), keluarga Beng Kui Lun yang menetap di Desa Bungkulan, dan keluarga Ma Pa Cung yang menetap di Desa Pacung.
    Penutup
    Demikianlah sekilas sejarah Bali Kuna, yang membentuk budaya Hindu-Bali dengan ciri-ciri khas yang membedakannya dengan budaya Hindu di daerah lain.


    Jadi Petani Menuju Otonomi Khusus
    Anak-anak muda putus sekolah di zaman sekarang kebanyakan enggan menjadi petani. Mereka lebih memilih profesi yang kelihatannya “wah” walaupun sebenarnya jenis pekerjaan yang ditekuni tidak lebih baik dari bertani.
    Dalam artian, peluang petani meningkatkan pendapatan lebih luas dari pada, misalnya pekerja di sektor pariwisata, yang hanya menjadi satpam, room-boy, cleaner, driver, dll. yang tergolong pekerjaan pelayanan dengan imbalan tetap atau the fix income group.
    Boom industri pariwisata yang menunjang kegiatan perekonomian di kota-kota sedang berkembang seperti Denpasar, Gianyar, dan Tabanan di era 1970-1980 telah merangsang derasnya aliran urbanisasi besar-besaran penduduk pedesaan dari seluruh Bali.
    Kebanyakan mereka pindah ke Denpasar mencari pekerjaan-pekerjaan yang mudah, sehingga sedikit yang mau tetap tinggal di desa untuk bekerja sebagai petani. Bisa dipastikan bahwa mereka yang kini masih tinggal di desa, karena belum mendapat lowongan kerja di kota-kota besar.
    Tidak banyak yang mengetahui bahwa dalam Kitab Suci Reg Veda, profesi petani justru sangat diagungkan. Lihatlah Mandala I, Bab ke-5, Sukta 187.5:
    TAVA TYE PITO DADATAS, TAVA SVADISTHA TE PITO, PRA SVADMANO RASANAM, TUVIGRIVA IVERATE
    Wahai makanan yang lezat pemberi kehidupan, mereka yang mulia tidak hanya menikmatimu, tetapi juga memproduksi, dan membagikannya kepada orang lain. Sebaliknya mereka yang hanya menikmati cita rasa makanan saja adalah orang-orang yang sombong.
    Selanjutnya lebih ditegaskan lagi dalam Reg Veda Mandala III, Bagian ke-5, Sukta 55.22
    NISSIDHVARIS TA OSADHIR UTAPO, RAYIM TA INDRA PRTHIVI BIBHARTI, SAKHAYAS TE VAMABHAJAH SYAMA, MAHAD DEVANAM ASURATVAM EKAM
    Tanam-tanaman hidup atas berkah-Mu. Air mengalir, dan bumi menyimpan harta bendanya. Semoga kami (para petani) dapat menjadi teman-Mu dan berbagi berkah ini, karena kemuliaan dan kedermawanan-Mu pada alam sangat agung dan tiada tara.
    Masyarakat petani mempunyai himpunan kegiatan yang tidak pernah lepas dari pemujaan kepada Ida Sanghyang Parama Kawi karena mereka sangat tergantung dari alam, mulai dari tersedianya lahan yang subur, air yang cukup, cuaca yang memadai, terhindar dari penyakit dan hama tanaman.
    Karena itu pula, mereka sangat mencintai alam sehingga selalu memperhatikan kelestariannya.
    Upacara-upacara keagamaan yang berkaitan dengan kehidupan sektor pertanian berlangsung tiada henti, baik dalam skala kecil maupun besar, misalnya upacara-upacara: mulai menanam padi, menanam buah-buahan, menanam palawija, mulai memelihara ternak, mabiu kukung, panen dan menaikan padi ke lumbung, ngerasakin, ngusaba nini, ngusaba desa, segara kertih, wana kertih, nangluk merana, dll.
    Kalender Hindu-Bali sebagian besar mengatur ala-ayuning dewasa dipandang dari sudut kehidupan petani. Tak berlebihan jika dikatakan bahwa petanilah yang selalu ‘dekat’ dan selalu mohon perlindungan Tuhan dalam menunaikan pekerjaannya.
    Hasil-hasil pertanian juga sebagai bahan pokok pembuatan sesajen atau banten. Unsur-unsur banten yakni: daun-daunan, buah-buahan, bunga, biji-bijian, hewan, semuanya dihasilkan oleh para petani.
    Pekerjaan-pekerjaan di sektor pertanian selalu membutuhkan tenaga kerja yang banyak mulai dari menanam padi, palawija, memberantas hama, memanen padi, memetik cengkih, coklat, panili, buah-buahan, dll.
    Ditambah dengan adanya organisasi Subak yang mengatur pembagian air dan juga adanya sekehe-sekehe manyi, maka terwujudlah sistim kerja gotong-royong yang kemudian membentuk pola kehidupan masyarakat pedesaan secara kekeluargaan seperti yang terungkap dalam peribahasa:
    SAGILIK-SAGULUK SALUNGLUNG SABAYANTAKA, PARAS-PAROS SARPANAYA, SALING ASAH, SALING ASIH, SALING ASUH
    Kehidupan petani memang penuh dengan kedamaian, persaudaraan, dan bhakti kepada Tuhan, Sang pencipta. Di abad ke-13-15, Bali pernah menjadi pengekspor beras, bahkan sampai ke Cina. Para pedagang dari Asia Tengah, dan Asia Tenggara berlomba-lomba membeli beras ke Bali, karena beras Bali terkenal pulen, harum, dan gurih.
    Selain itu, buah salak, sawo, jeruk, manggis, mangga, dan wani dari Bali terkenal ke seluruh dunia. Mengapa kejayaan Bali tempo dulu kita lupakan? Hanya karena silau dengan dollar dan hiruk-pikuknya industri pariwisata?
    Kita mengira ada kehidupan yang lebih menjanjikan, padahal sektor agraris sudah terbukti membawa kemakmuran pada rakyat. Bali bukanlah Bali jika tanpa pertanian. Tradisi beragama, budaya, dan pariwisata semua berpijak pada sektor agraris. Karena itu, mari kita kembali ke sektor agraris, sektor pertanian dalam arti luas.
    Jangan biarkan tanah-tanah menganggur, juga jangan menjual tanah, jangan memandang rendah profesi petani. Mari kita benahi bersama agar pertanian menjadi menarik.
    Pembenahan ini meliputi bidang-bidang; teknologi pertanian modern, sistem pemasaran, jaminan resiko gagal panen (crops insurance), dll. Bila kita bersatu padu membangun pertanian, pasti berhasil. Wujudkan Ajeg Bali melalui pembenahan sektor agraris.
    Negara-negara lain seperti Thailand dan Phillipines, perekonomian nasionalnya tetap berbasis agraris. Pemerintah di Negara-negara itu sangat memperhatikan dan membela kepentingan petani. Berbagai bibit unggul telah dikenalkan oleh kedua Negara dan mendapat pengakuan dunia.
    Pemerintah menjamin perimbangan antara harga bibit, pupuk, obat-obatan dengan harga hasil panen. Proteksi hasil panen dengan menetapkan patokan harga pasar terendah, terkadang dirasakan cukup berat oleh warga lain yang tidak bekerja di sektor pertanian. Tetapi itu sekaligus mendorong agar sektor pertanian tetap eksis.
    Kita di Bali perlu mencoba mandiri dalam merancang tatanan sektor agraris. Masih banyak bidang agraris yang belum digarap dengan baik. Lihatlah potensi kelautan/ perikanan, potensi peternakan, pengolahan buah-buahan seperti anggur, salak, mangga, dan nenas. Hasil sayur mayur dan bunga-bungaan melimpah.
    Alangkah mulianya bila krama Bali yang mempunyai modal kuat tidak berinvestasi hanya di bidang industri pariwisata saja. Lebih bagus dihimpun untuk disalurkan ke sektor agraris baik secara langsung atau mungkin melalui Koperasi Krama Bali, yang kini bangkit dan semakin berkembang.
    Selain itu pakar-pakar kita di bidang teknologi pertanian, ekonomi pertanian, dan bidang pemasaran cukup banyak. Tinggal memanfaatkan mereka saja dalam suatu sistem management yang bernuansa Hindu-Bali.



    Tabuh Rah

    Kata Tabuh Rah tidak asing lagi dikalangan umat Hindu Bali karena setiap prosesi upacara keagamaan di bali sudah barang tentu tabuh rah merupakan runtutan upacara pecaruan (bhuta yadnya)


    1. PENGERTIAN TABUH RAH.
      Tabuh rah adalah taburan darah binatang korban yang dilaksanakan dalam rangkaian upacara agama (yadnya).
    2. SUMBER PENGGUNAAN TABUH RAH.
      Sumber penggunaan tabuh rah terdapat pada Panca Yadnya.
    3. DASAR- DASAR PENGGUNAAN TABUH RAH.
      Dasar- dasar penggunaan tabuh rah tercantum di dalam :
      1. Prasasti Bali Kuna (Tambra prasasti).
        1. Prasasti Sukawana A l 804 Çaka.
        2. Prasasti Batur Abang A 933 Çaka.
        3. Prasasti Batuan 944 Çaka.
      2. Lontar- lontar antara lain :
        1. Siwatattwapurana.
        2. Yadnyaprakerti.
    4. FUNGSI TABUH RAH:
      Fungsi tabuh rah adalah runtutan/ rangkaian dan upacara/ upakara agama (Yadnya).
    5. WUJUD TABUH RAH:
      Tabuh Rah berwujud taburan darah binatang korban.
    6. SARANA :
      Jenis- jenis binatang yang dijadikan korban yaitu : ayam, babi, itik, kerbau, dan lain- lainnya.
    7. CARA PENABURAN DARAH
      Penaburan darah dilaksanakan dengan menyembelih, "perang satha " (telung perahatan) dilengkapi dengan adu- aduan : kemiri; telur; kelapa; andel- andel; beserta upakaranya
    8. PELAKSANAAN TABUH RAH:
      1. Diadakan pada tempat dan saat- saat upacara berlangsung oleh sang Yajamana.
      2. Pada waktu perang satha disertakan toh dedamping yang maknanya sebagai pernyataan atau perwujudan dari keikhlasan Sang Yajamana beryadnya, dan bukan bermotif judi.
      3. Lebih lanjut mengenai pelaksanaan tabuh rah
    9. Aduan ayam yang tidak memenuhi ketentuan- ketentuan tersebut di atas tidaklah perang satha dan bukan pula runtutan upacara Yadnya.
    10. Di dalam prasasti- prasasti disebutkan bahwa pelaksanaan tabuh rah tidak minta ijin kepada yang berwenang.
    11. Penjelasan- penjelasan: di bawah ini:

    Memperinci Pelaksanaan 'Tabuh Rah" dalam Bhuta Yadnya

    1. Tabuh Rah dilaksanakan dengan "penyambleh", disertai Upakara Yadnya. Adalah penaburan darah binatang korban dengan jalan memotong leher binatang itu atau menikamnya dengan keris. Di zaman Majapahit diistilahkan dengan "Menetak gulu ayam ".
    2. Tabuh Rah dalam bentuk "perang sata" adalah suatu dresta yang berlaku di masyarakat yang pelaksanaannya boleh diganti dengan "penyambleh".Adalah pertarungan ayam yang diadakan dalam rangkaian upacara agama (yadnya). Dalam hal ini dipakai adalah ayam sabungan, dilakukan tiga babak. ( telung perahatan) yang mengandung makna arti magis bilangan tiga yakni sebagai lambang dari permulaan tengah dan akhir. Hakekatnya perang adalah sebagai symbol daripada perjuangan (Galungan) antara dharma dengan adharma.
    3. Apabila akan melakukan "perang sata", harus memenuhi syarat sebagai berikut :
      1. Upacara Bhuta Yadnya yang boleh disertai "perang sata" adalah :
        1. Caru Panca Kelud (Pancasanak madurgha).
        2. Caru Rsi Ghana.
        3. Caru Balik Sumpah.
        4. Tawur Agung.
        5. Tawur Labuh Gentuh.
        6. Tawur Pancawalikrama.
        7. Tawur Eka Dasa Rudra.
      2. Pelaksanaannya dilakukan di tempat upacara pada saat mengakhiri upacara itu.
      3. Diiringi dengan adu tingkih, adu pangi, adu taluh, adu kelapa, andel- andel serta upakaranya.
      4. Pelaksanaannya adalah sang Yajamana dengan berpakaian upacara.
      5. Perang sata maksimum dilakukan "tiga parahatan" (3 sehet) tidak disertai taruhan apapun.
    4. Selain dari yang tersebut dalam butir, 1, 2, 3, di atas adalah merupakan suatu penyimpangan.
    Dasar penggunaan tabuh rah adalah prasasti- prasasti Bali Kuna dan lontar- lontar antara lain
    Prasasti Batur Abang A l. tahun 933 Çaka
    ............... mwang yan pakaryyakaryya, masanga kunang wgila ya manawunga makantang tlung parahatan, ithaninnya, tan pamwita, tan pawwata ring nayakan saksi.............
    .............. lagi pula bila mengadakan upacara- upacara misalnya tawur Kasanga patutlah mengadakan sabungan ayam tiga sehet (babak) di desanya, tidaklah minta ijin tidaklah membawa (memberitahu.) kepada yang berwenang...........
    Prasasti Batuan yang berangka tahun 944 Çaka
    .............. kunang yan manawunga ing pangudwan makantang tlung parahatan, tan pamwita ring nayaka saksi mwang sawung tunggur, tan knana minta pamli...............
    ................... adapun bila mengadu ayam di tempat suci dilakukan 3 sehet (babak) tidak meminta
    ijin kepada yang berwenang, dan juga kepada pengawas sabungan tidak dikenakan cukai :.........
    Lontar Çiwa Tattwa Purana
    Muah ring tileming Kesanga, hulun magawe yoga, teka wang ing madhyapada magawe tawur kesowangan, den hana pranging satha, wnang nyepi sadina ika labain sang Kala Daça Bhumi, yanora samangkana rug ikang ning madhyapada
    Lagi pula pada tilem Kasanga Aku (Bhatara Çiwa)
    mengadakan yoga, berkewajibanlah orang di bumi
    ini membuat persembahan masing- masing, lalu
    adakan pertarungan ayam, dan Nyepi sehari (ketika) itu beri korban (hidangan) Sang Kala Daça
    Bhumi, jika tidak celakalah manusia di bumi .....
    Lontar Yajna Prakerti
    ........... rikalaning reya- reya, prang uduwan, masanga kunang wgila yamanawunga makantang tlung parahatan saha upakara dena jangkep......
    ............... pada waktu hari raya, diadakan pertarungan suci misalnya pada bulan Kasanga, patutlah mengadakan pertarungan ayam tiga sehet lengkap dengan upakaranya...............


    Tawur Agung

    Tawur adalah : Penyucian/ pemarisudha bhuta kala yang dalam pemujaan dimurtikan, setelah diberi tawur menjadi somiya.

    Ngerupuk adalah lanjutan daripada pelaksanaan tawur yang dilaksanakan di tiap- tiap pekarangan rumah.

    Pelaksanaan Tawur:
    Kontroversi:
    • Menurut Sundarigama tawur, diadakan pada perwanining tilem kesanga.
    • Menurut Swamandala, tawur diadakan pada tilem kesanga, tidak membenarkan berlakunya pada perwaninya. Selanjutnya Swamandala tidak membenarkan dilaksanakannya tawur pada waktu cetramasa, apabila kebetulan jatuh sesudah wuku Dungulan, sebelum Budha Keliwon Pahang, oleh karena itu tawur tersebut dilakukan pada Tilem Kedasa.
    • Kemudian Widhi Sastra dalam lontar Dewa Tattwa Niti Bhatara Putrajaya, memperkuat Swamandala. Rupanya sesudah Budha Keliwon Dungulan sampai dengan Budha Keliwon Pahang adalah somiyanya Bhatari Durgha, sebab itu tidak baik melaksanakan tawur, karena tawur adalah untuk Durgha Murti.

     

  3. Tantangan Subak di Zaman Postmodern
    Subak merupakan suatu masyarakat hukum adat yang memiliki karakteristik sosioagraris-religius, yang merupakan perkumpulan para petani yang mengelola air irigasi di lahan sawah. Pengertian subak seperti itu pada dasarnya dinyatakan dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 02/PD/DPRD/1972. Subak menjadi suatu organisasi yang terdiri atas kumpulan petani dari suatu daerah pertanian tertentu. Ketua yang memimpin suatu organisasi adat subak disebut pekaseh. Organisasi Subak bercorak sosio religius dan berlandaskan Tri Hita Karana dengan fungsi utamanya adalah pengelolaan air irigasi untuk memproduksi tanaman pangan khususnya padi dan palawija. Subak memiliki karakteristik sosio religius karena nilai-nilai falsafah Tri Hita Karana (harmoni antara manusia dengan Sang Pencipta, harmoni antara manusia dengan alam, dan harmoni antara manusia dengan manusia) melandasi setiap kegiatan subak.

    Lembaga Subak berdiri sendiri dan sifatnya otonom terlepas dari Banjar. Hal ini disebabkan karena orang-orang yang menjadi warga subak tidak semuanya sama dengan orang-orang yang menjadi warga suatu banjar. Warga subak ialah para pemilik atau penggarap sawah-sawah yang menerima air irigasinya dari bendungan-bendungan yang diurus oleh suatu subak. Ada kemungkinan warga subak tidak hidup di suatu banjar adat yang sama, atau mungkin ada satu warga banjar yang mempunyai banyak sawah terpencar dan mendapat airnya dari bendungan-bendungan yang diurus oleh beberapa subak. Dengan demikian warga banjar tersebut akan menggabungkan diri dengan semua subak di mana ia mempunyai sebidang sawah (Koentjaraningrat, 2010:298).

    Dalam sebuah lembaga atau organisasi sudah barang tentu terdapat peraturan dan norma-norma yang menjadi kesepakatan para anggota suatu organisasi. Demikian pula halnya dengan subak. Organisasi subak biasanya memiliki awig-awig sebagai aturan tertulis, yang pada umumnya sangat dihormati pelaksanaannya oleh anggota subak. Di samping awig-awig terdapat pula aturan-aturan lain yang disebut kerta-sima, yaitu kebiasaan-kebiasaan yang sudah sejak lama dilaksanakan dalam aktivitas subak dan ada pula aturan yang tidak tertulis yang berdasarkan pada kesepakatan subak pada saat dilaksanakan rapat subak dan lain-lain, yang umumnya disebut dengan perarem. Dalam aturan tersebut umumnya berisi hal-hal yang berkait dengan kiat agar lembaga subak mengelola sistem irigasi berdasarkan harmoni dan kebersamaan. Nilai-nilai luhur kebersamaan berdasarkan Tri Hita Karana yang melandasi subak bukan saja dikagumi oleh masyarakat Bali, akan tetapi dunia pun mengakuinya. Hal ini terbukti pada tanggal 20 Juni 2012 di St. Petersburg, Rusia, subak diakui sebagai Warisan Budaya Dunia yang perlu dilindungi dan dilestarikan keberadaannya. Hal ini tentu merupakan kebanggaan masyarakat Indonesia khususnya masyarakat Bali karena budaya kita diakui dunia. Akan tetapi, hal tersebut juga membuat kita menyadari adanya tantangan bahwa kini eksistensi subak tengah terancam digilas zaman postmodern sehingga perlu dilestarikan.

    Terjadinya zaman perubahan di segala aspek kehidupan masyarakat turut berdampak pada eksistensi subak di Bali. Pada era kehidupan global dewasa ini, di mana peradaban kehidupan manusia telah melampaui peradaban modern, keberadaan subak sebagai suatu organisasi tradisional menjadi terancam. Zaman global atau disebut juga postmodern yang tidak saja ditandai dengan kemajuan industri, ilmu pengetahuan dan teknologi, pola pikir dan kebiasaan hidup, manusia juga mengalami dinamika mengikuti perkembangan zaman tersebut. Pola-pola kehidupan masyarakat Bali yang awalnya agraris, mengutamakan pertanian sebagai mata pencaharian, kini berubah mengutamakan industri. Terlebih lagi dengan pesatnya pertumbuhan Pariwisata Bali. Kemajuan Pariwisata Bali memang berdampak positif bagi pertumbuhan ekonomi Bali, namun juga memiliki kemungkinan mengancam eksistensi subak di Bali.

    Pulau Bali terkenal di seluruh dunia karena pariwisatanya. Akan tetapi, pariwisata di Bali berupa pariwisata budaya yang menjadikan budaya sebagai objek jual bagi tourist-tourist agar tertarik mengunjungi Bali. Oleh karena itu, subak sebagai salah satu bentuk budaya Bali hendaknya dilestarikan keberadaannya. Bebagai upaya perlu dilakukan untuk memperkuat dan melestarikan eksistensi subak sebagai warisan budaya yang sangat unik dan dikagumi oleh banyak pemerhati irigasi di mancanegara. Sebab, jika subak yang dipandang sebagai salah satu pilar penopang kebudayaan Bali sampai sirna, maka dikhawatirkan stabilitas sosial akan terganggu dan kelestarian kebudayaan Bali bisa terancam.

    Perubahan dan dinamika merupakan suatu ciri yang hakiki dalam masyarakat dan kebudayaan. Tidak ada suatu masyarakat pun yang statis dalam arti yang absolut. Setiap masyarakat selalu mengalami transformasi dalam fungsi waktu, baik masyarakat tradisional maupun masyarakat modern, meskipun dengan laju perubahan yang bervariasi (Pitana, 1994: 3). Perubahan masyarakat dan kebudayaan Bali dapat dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor internal yaitu dinamika kebudayaan Bali sendiri dan faktor eksternal yang berupa pengaruh dari kebudayaan luar. Dinamika perubahan mempengaruhi masyarakat Bali dalam berbagai lini kehidupan, contohnya dari segi kehidupan ekonomi masyarakat terjadi loncatan dari kebiasaan masyarakat agraris menjadi industri dan jasa. Berikut juga dari segi agama, masyarakat Bali yang dominan menganut agama Hindu mengalami pergeseran dalam pelaksanaan agamanya, yaitu dari masyarakat yang ritualistis menjadi bersifat tattwaisme. Begitu pula dengan subak. Subak yang dulunya merupakan suatu organisasi sosial tradisional atau di Bali disebut dengan sekaa, juga tidak terlepas dari pengaruh perkembangan zaman global.

    Salah satu tantangan yang dihadapi subak adalah berkurangnya lahan sawah beririgasi sebagai akibat adanya alih fungsi lahan untuk kegiatan non-pertanian, baik perumahan, pabrik industri, hotel, dan lain-lain. Tidak sedikit petani, khususnya di daerah perkotaan yang tergiur oleh tawaran harga jual tanah yang tinggi, karena jika dibandingkan dengan mengusahakan usaha tani sendiri hasilnya tidak akan seimbang. Para petani saat ini mungkin lebih memilih untuk bertani di Bank berupa uang hasil menjual sawah yang ditanam di bank dan tinggal menunggu bunganya saja setiap bulan, sehingga bisa jadi hasilnya jauh lebih besar dibandingkan jika bertani di sawah. Jika penyusutan lahan pertanian di Bali terus berlanjut, dikhawatirkan organisasi subak akan terancam punah. Jika subak hilang, apakah kebudayaan Bali tetap bertahan karena diyakini bahwa subak bersama lembaga sosial yang lainnya adalah salah satu bagian dari kebudayaan Bali. Oleh karena itu, para petani anggota subak perlu dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut masalah pengalihfungsikan lahan sawah yang berada dalam wilayah subak yang bersangkutan.

    Di lain pihak meningkatnya jumlah penduduk dan pembangunan di segala bidang terutama industri pariwisata berimbas pada kebutuhan ketersediaan air meningkat tidak saja dari segi kuantitas tetapi juga kualitasnya. Sumber daya air air menjadi langka dan konflik kepentingan pemanfaatan air tidak terhindar lagi. Kompetisi antara sektor pertanian dan non pertanian menyangkut air akan cenderung meningkat di masa mendatang. Hal ini disebabkan karena air yang selama ini dimanfaatkan lebih banyak untuk sektor pertanian, saat ini dan di masa mendatang harus dialokasikan juga untuk sektor non pertanian. Oleh karena itu di tengah kelangkaan air saat ini, peranan petani subak di sini sangat penting untuk mampu mengelola penggunaan air agar lebih efisien dan hemat air. Dampak dari kemajuan industri terhadap sumber daya air juga nampak pada adanya kerusakan lingkungan, khususnya pencemaran sumber air. Banyak kita jumpai di sungai dan saluran irigasi terdapat air yang tercemar oleh limbah-limbah industri yang mengandung zat-zat berbahaya dan polutan. Selanjutnya bagaimana petani dapat menghasilkan tanaman pangan yang berkualitas baik bila air yang menjadi unsur penting dalam pertanian telah tercemar polusi.

    Tantangan terbesar juga datang dari petani itu sendiri. Pada dewasa ini sangat jarang ditemui petani-petani muda. Minimnya regenerasi masyarakat petani juga menjadi masalah pelik. Untuk saat ini sebagai besar profesi petani digeluti oleh generasi tua, sedangkan generasi muda kurang tertarik untuk menggeluti profesi tersebut. Bahkan seorang sarjana bidang pertanian pun, sangat jarang mau menekuni bidangnya itu dan menjadi petani di sawah. Kebanyakan dari mereka memilih profesi lain dengan berbagai alasan. Selanjutnya timbul dampak terhadap hasil panen pangan kita yang minim, sehingga menuntut adanya impor dari negara tetangga. Bangsa kita tinggal di negara zamrud khatulistiwa, namun masih kekurangan hasil pangan. Lalu persoalan ini menjadi tanggung jawab siapa?

    Penetapan subak sebagai Warisan Budaya Dunia memang hal yang sangat membanggakan bagi bangsa Indonesia, namun hal tersebut menyiratkan suatu tantangan bagi kita semua untuk melestarikan budaya luhur itu apalagi di tengah gencarnya perkembangan zaman postmodern saat ini. Namun, tentu saja hal ini memerlukan kerjasama dari berbagai aspek dan elemen stake holder serta masyarakat untuk menyadari dan mulai bertindak untuk pelestarian Subak. Subak adalah milik Bali dan mari kita jaga bersama.
    Eka Arsa Dewi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar