Selasa, 11 April 2017

DHARMA KAPATUTAN

Siapakah Sang Dharma
Jogor Manik kah ??
Sang dharma Yudistira  ???
Apa Asune ???
Plajari dulu dengan baik sejarahnya, Agama tidak mengajarkan umatnya berdebat ada kalah dan menang, duduk dengan tenang tujuan agama adalah angawe sukaning wong len, menyenangkan semua pihak tanpa ada merasa dilecehkan ataupun melecehkan umatnya, semua pasti ada hikmahnya.

Dharma adalah aturan, hukum, dan kewajiban yang hendaknya dijalankan secara baik dan bertangggung jawab untuk dapat mencapai kebahagiaan dan kebenaran sejati.

Terkadang sebuah dharma kebaikan dalam hidup ini dijalankan; "Ibaratnya seperti kita menanam padi, kadang rumput pun ikut tumbuh, tapi saat kita menanam rumput tidak akan pernah tumbuh padi". Begitupun dalam melakukan kebaikan, kadang² hal yg buruk pun turut menyertai. Tapi saat melakukan keburukan, tidak akan ada kebaikan bersamanya. Seperti halnya dalam Hindu Dharma, disebutkan Dharma ini tidak pernah diciptakan karena Tuhan Yang Maha Esa sudah hadir sebelum yang lain-lainnya hadir.

Dharma sebagai salah satu bagian dari Catur Purusa Artha sebagai tujuan hidup disebutkan agar kita selalu dapat mentaati segala aturan, hukum, dan kewajiban agar mencapai kebenaran sejati dengan menjalankan catur dharma sebagai dharma bakti untuk kepentingan pribadi maupun untuk umum, bernegara dan alam semesta ini.

Dharma, sebagaimana yang dikutip dalam penjelasan Babad Bali, CATUR PURUSA ARTHA merupakan, kebenaran absolut yang mengarahkan manusia untuk dapat memiliki, budi pekerti yang luhur sesuai dengan ajaran agama yang menjadi dasar hidup.
Dharma itulah yang mengatur dan menjamin kebenaran hidup manusia. Keutamaan dharma sesungguhnya merupakan sumber datangnya kebahagiaan, memberikan keteguhan budi, dan menjadi dasar dan jiwa dari segala usaha tingkah laku manusia.

Juga disebutkan dalam Lalita Hita Karana bahwa, kebenaran sejati yang terkandung dalam weda tidak akan bermanfaat bagi kehidupan sehari-hari kalau kebenaran sejati itu tidak diterapkan menjadi, acara dharma, atau penerapan kebenaran agama dalam tradisi kehidupan sehari-hari, sehingga merupakan bagian yang integral dalam diri manusia dan masyarakat. Tanpa acara Dharma kebenaran sejati yang disebut Sanatana Dharma atau Satya Dharma tidak akan memberikan arah yang jelas pada kehidupan manusia dan masyarakat.
Satya Dharma merupakan, api spiritual agama, sedangkan acara dharma sebagai asap dan abunya. Kalau abu dan asap ini tidak dikontrol dengan baik, maka dapat menutup api spiritual itu sendiri.
Sebaliknya acara dharma atau tradisi keagamaan tanpa dikontrol oleh Satya Dharma tidak mustahil acara Dharma bisa menyimpang jauh dari inti kebenaran itu sendiri.

Satya Dharma merupakan kebenaran mutlak yang dijadikan dasar hidup dan pola pikir orang Hindu. Pola pikir dan landasan hidup tersebut adalah penyerahan diri secara total terhadap Tuhan Yang Maha Kuasa. Penyerahan diri kepada Tuhan Yang Maha Kuasa merupakan yadnya tertinggi.

Menurut filsafat Hindu Tuhan dalam menciptakan alam semesta ini melalui yadnya atau pengorbanan. Yadnya tersebut dilaksanakan oleh Beliau, untuk Beliau dengan diri Beliau, sebagai Sarana Yadnya.
Dengan demikian yadnya yang tertinggi nilainya yaitu persembahan terhadap Tuhan Yang Maha Kuasa melalui penyerahan diri secara total yang disebut Bhakti. Bhakti atau penyerahan diri merupakan inti dari acara Dharma yang dalam kehidupan sehari-hari kita kenal dengan Upacara dan Upakara.
Upacara menerangkan bagaimana tatanan pelaksanaan agama.  Sedangkan Upakara merupakan sarana yang dipergunakan untuk menghubungkan diri dengan Tuhan. Seperti disebutkan, acara Dharma dapat menghasilkan abu dan asap yang bisa menutup api spiritual, hendaknya selalu dikontrol agar tidak terlalu jauh menyimpang dari tujuan hidup mencapai moksa.

Moksa bagi masyarakat awam kadang-kadang sangat dibesar-besarkan sehingga barang siapa yang mendengar kata moksa sudah terlintas dalam pikirannya suatu usaha yang tidak mungkin dicapai dewasa ini. Benarkah pandangan itu?.

Kalau hal itu dianggap benar, jadilah kita benda mati yang tak pernah ada kegiatan. Karena kita sudah menyerah sebelum berbuat.
Apa gunanya kita hidup sebagai manusia yang dilahirkan semata-mata untuk memperbaiki diri untuk mencapai kesempurnaan.
Dalam kenyataan sekarang ini pendapat serupa menghantui pikiran umat, mengapa hal ini bisa terjadi?. Ini yang perlu kita cari pemecahannya.

Perjalanan Hinduisme dari negeri asalnya sampai ketempat-tempat tertentu diseantero dunia ini diumpamakan sebuah bola salju yang menggelinding mengikuti alur lintasannya.
Dalam perjalanannya bersentuhan dengan tradisi-tradisi setempat. Disamping tempat (desa) dalam perjalannya melintasi waktu (kala) yang juga memberikan pengaruh. Kalau dalam perjalanannya pada ruang dan waktu tadi Hinduisme tidak dikontrol dengan cermat oleh Satya Dharma tidak mustahil pengaruh ruang dan waktu dapat bersifat sebagai abu dan asap yang bisa memudarkan api spiritual Hinduisme itu sendiri.

Abu dan asap yang menutup api spiritual bisa berupa kepentingan ego pada setiap orang yang berkuasa pada saat itu, karena mereka sendiri sudah diperbudak oleh ego, sehingga mereka diliputi kegelapan, tidak dapat melihat lagi kebenaran abadi. Mereka terbelenggu oleh, nafsu, dan ego yang sesungguhnya semua objek dari nafsu dan ego itu adalah maya.  Kama, dan ahamkara yang sudah begitu lekat menutupi diri sejati setiap orang sehingga api spiritualnya tidak terlihat sinar terangnya.
Mereka yang digelapkan oleh kekuatan maya tidak mustahil menggunakan acara Dharma sebagai wahana untuk kepentingan individu maupun kelompoknya.

Akibat dari kenyataan ini maka sistem warna tidak berfungsi lagi. Seseorang menyebut diri seorang Brahmana namun tingkah polahnya, seperti seorang Wesya, Kesatrya, atau Sudra, seorang yang menyebut diri seorang Kesatrya, tingkah polahnya sebagai Wesya atau Sudra, demikian sebaliknya. Seseorang menyebut dirinya Brahmana dan berpredikat pendeta atau sulinggih yang pada hakekatnya, harus disibukkan membimbing umat ke jalan dharma memberikan pelayanan terhadap Yang Maha Kuasa, tekun melaksanakan sadhana agar bisa manunggal dengan Tuhan Sang Pencipta, disibukkan dengan kegiatan menjual sarana upacara yadnya, dengan dalih meringankan umat, nenerapkan upacara secara kaku bahkan cenderung berlebihan dengan harapan mendapatkan kewibawaan lahiriah.
Demikian juga sebaliknya untuk mendapatkan status sosial yang lebih tinggi di masyarakat dan tergiur dengan perolehan materi, hal tersebut disebabkan oleh karena kebodohan umat seorang yang belum mumpuni sebagai pendeta menyatakan dirinya sebagai pendeta dengan hanya bermodalkan upacara ritual yang pada hakekatnya hanya bersifat formalitas.
Siapakah disini yang dibohongi?.
Tidakkah mereka ini membohongi dirinya?.
Karena mereka tahu, Tuhan maha tahu, dan ada pada setiap orang.
Apa yang dikhawatirkan oleh pendahulu kita melalui cerita, Ni Diah Tantri, Sang Cangak menjadi pendeta hanya sekedar mencari isi perut, Begawan Darma Swami, seorang Begawan sibuk menjual kayu bakar, sehingga mereka celaka oleh dirinya sendiri.
Sangat disayangkan, apabila seseorang berbuat diluar Satya Dharma hanya sekedar memenuhi panggilan nafsu dan egonya. apabila mereka yang dijadikan panutan dalam penerapan Satya Dharma tegelincir dari Satya Dharma, yang pada gilirannya berapa banyak umat ikut tergelicir dari Satya Dharma dan terbelenggu oleh pengaruh maya.
Mengapa dosa yang harus diperbuat dalam kehidupan ini? Mengapa kita sia-siakan berkah Tuhan, kita dilahirkan sebagai manusia yang satu-satunya ciptaan-Nya dapat menolong dirinya sendiri melalui Sadhana.

Di lain pihak adanya pandangan keliru tentang bakti. Bakti yang terbesar dan mulia adalah bakti atas diri sendiri. Namun masih banyak yang belum tahu hal ini. Mereka memandang pengorbanan material wujud bakti yang tertinggi, bahkan timbul kebanggaan pada dirinya, merasakan dirinya lebih dari yang lain. Lebih disesalkan lagi mereka melaksanakan yadnya dengan harapan apa yang diinginkan agar dikabulkan oleh Tuhan. Dia berkaul (mesaudan), agar apa yang diharapkan tercapai. “Mesaudan” bahasa Bali berasal dari kata me-saud-an.
Saud artinya salah langkah. Kalau seseorang menganyam sesuatu, apabila salah satu anyamannya keliru langkahnya disebut saud dalam arti salah. Setiap orang tahu bahwa saud artinya salah namun, mengapa banyak orang melakukan?. Bukankah berarti kita sengaja berbuat salah. Tidakkah ini merupakan kebodohan yang tidak perlu terjadi?. Setiap orang tahu keberhasilan tak kunjung tiba tanpa didasari usaha yang keras.

Dalam Bhagawad Gita berulang-ulang dinyatakan bekerjalah tanpa harapan. Sepintas kelihatannya sangat tidak masuk akal, karena dalam kehidupan sehari-hari setiap usaha selalu dilandasi tujuan dan harapan. Tanpa harapan disini dimaksudkan hendaklah setiap usaha yang kita lakukan tidak dibelenggu oleh harapan dan keinginan. Tujuan, dan harapan sebagai suatu strategi dalam disiplin melaksanakan kegiatan. Kalau usaha atau kegiatan dibelenggu oleh harapan, apabila ternyata tidak sesuai harapannya dengan hasil yang diperoleh akan menimbulkan kekecewaan. Dari kecewa, timbul frustasi, dan akhirnya depresi.
Bukankah ini berarti menyiksa diri? Dalam kelahiran ini kita berkewajiban memperbaiki diri dari hidup sebelumnya. Menebus dosa-dosa yang pernah kita perbuat, melalui pelayanan terhadap Tuhan dan berbuat baik dengan sesama yang berarti juga pelayanan terhadap Tuhan.
Masalah hasil, baik, atau buruk hanya Tuhan yang tahu. Acara Dharma merupakan alat dalam penerapan Satya Dharma untuk mencapai tujuan agama sekaligus tujuan hidup yaitu moksa. Moksa merupakan tujuan hidup setiap orang pemeluk agama Hindu.

Menjalankan Dharma, seperti yang dikutip dari Catur Sadhana : Sesarining Dharma (Intisari Dharma),  Tidak hanya ngayah dan sembahyang ke pura sebagai jalan dharma, tidak hanya meditasi adalah jalan dharma, Dan melaksanakan kerja-pun juga adalah jalan dharma. Burung-burung bekerja giat mencari makan untuk anak-anaknya, monyet-monyet bekerja giat mencari kutu dan membersihkan bulu anak-anaknya.

Semua dilakukan, tanpa keluhan, tanpa protes. Dan laksanakan swadharma atau tugas-tugas kehidupan kita, menjadi guru, pegawai, orang tua, gubernur, Pejabat Pemerintah (Guru Wisesa) dll dengan sebaik-baiknya, tapi apapun hasilnya terima dengan bathin damai. Disana kerja bukan saja wujud nyata, welas asih, dan kebaikan, tapi sekaligus jalan menuju manah shanti.

Senin, 10 April 2017

MEBANTEN SAIBAN

MEBANTEN SAIBAN ATAU YADNYA SESA

Mebanten Saiban atau Ngejot merupakan suatu tradisi Hindu di Bali yang biasa dilakukan setiap hari setelah selesai memasak di pagi hari. Mesaiban / Mejotan juga disebut dengan Yadnya Sesa, merupakan yadnya yang paling sederhana sebagai realisasi Panca Yadnya yang dilaksana umat Hindu dalam kehidupan sehari-hari.

Mesaiban / Mejotan biasanya dilakukan setelah selesai memasak atau sebelum menikmati makanan. Dan sebaiknya memang mesaiban dahulu, baru makan. Seperti yang dikutip Bhagawadgita(percakapan ke-3, sloka 13) yaitu :

YAJNA SISHTASINAH SANTO, MUCHYANTE SARVA KILBISHAIH, BHUNJATE TE TV AGHAM PAPA, YE PACHANTY ATMA KARANAT

Artinya : Yang baik makan setelah upacara bakti, akan terlepas dari segala dosa, tetapi menyediakan makanan lezat hanya bagi diri sendiri, mereka ini sesungguhnya makan dosa.

Makna dan Tujuan Mesaiban
Yadnya sesa atau mebanten saiban merupakan penerapan dari ajaran kesusilaan Hindu, yang menuntut umat untuk selalu bersikap anersangsya yaitu tidak mementingkan diri sendiri dan ambeg para mertha yaitu mendahulukan kepentingan di luar diri. Pelaksanaan yadnya sesa juga bermakna bahwa manusia setelah selesai memasak wajib memberikan persembahan berupa makanan, karena makanan merupakan sumber kehidupan di dunia ini.

Tujuannya mesaiban yaitu sebagai wujud syukur atas apa yang di berikan Hyang Widhi kepada kita. Sebagaimana diketahui bahwa yadnya sebagai sarana untuk menghubungkan diri dengan Sang Hyang Widhi Wasa untuk memperoleh kesucian jiwa. Tidak saja kita menghubungkan diri dengan Tuhan, juga dengan manifestasi-Nya dan makhluk ciptaan-Nya termasuk alam beserta dengan isinya.

Sarana Banten Saiban
Banten saiban adalah persembahan yang paling sederhana sehingga sarana-sarananya pun sederhana. Biasanya banten saiban dihaturkan menggunakan daun pisang yang diisi nasi , garam dan lauk pauk yang disajikan sesuai dengan apa yang dimasak hari itu, tidak ada keharusan untuk menghaturkan lauk tertentu.

Yadnya Sesa (Mesaiban) yang sempurna adalah dihaturkan lalu dipercikkan air bersih dan disertai dupa menyala sebagai saksi dari persembahan itu. Namun yang sederhana bisa dilakukan tanpa memercikkan air dan menyalakan dupa, karena wujud yadnya sesa itu sendiri dibuat sangat sederhana.

Tempat Menghaturkan Saiban
Ada 5 (lima) tempat penting yang dihaturkan Yadnya Sesa (Mesaiban), sebagai simbol dari Panca Maha Bhuta:

Pertiwi(tanah) : biasanya ditempatkan pada pintu keluar rumah atau pintu halaman.
Apah(Air) : ditempatkan pada sumur atau tempat air.
Teja(Api) : ditempatkan di dapur, pada tempat memasak(tungku) atau kompor.
Bayu : ditempatkan pada beras,bisa juga ditempat nasi.
Akasa : ditempatkan pada tempat sembahyang(pelangkiran,pelinggih dll).

Tempat-tempat melakukan saiban jika menurut Manawa Dharmasastra adalah: Sanggah Pamerajan, dapur, jeding tempat air minum di dapur, batu asahan, lesung, dan sapu.

Kelima tempat terakhir ini disebut sebagai tempat di mana keluarga melakukan Himsa Karma setiap hari, karena secara tidak sengaja telah melakukan pembunuhan binatang dan tetumbuhan di tempat-tempat itu.

Didalam Kitab Manawa Dharma Sastra Adhyaya III 69 dan 75 dinyatakan: Dosa-dosa yang kita lakukan saat mempersiapkan hidangan sehari-hari itu bisa dihapuskan dengan melakukan nyadnya sesa.

Doa-doa dalam Yadnya Sesa (Doa Mesaiban)
Yadnya Sesa yang ditujukan kepada Hyang Widhi melalui Istadewata(ditempat air,dapur,beras/tempat nasi dan pelinggih/pelangkiran doanya adalah:

OM ATMA TAT TWATMA SUDHAMAM SWAHA, SWASTI SWASTI SARWA DEWA SUKHA PRADHANA YA NAMAH SWAHA.

Artinya: Om Hyang Widhi, sebagai paramatma daripada atma semoga berbahagia semua ciptaan-Mu yang berwujud Dewa.

Yadnya Sesa yang ditujukan kepada simbol-simbol Hyang Widhi yang bersifat bhuta, Yaitu Yadnya Sesa yang ditempatkan pada pertiwi/tanah doanya:

OM ATMA TAT TWATMA SUDHAMAM SWAHA, SWASTI SWASTI SARWA BHUTA,KALA,DURGHA SUKHA PRADANA YA NAMAH SWAHA.

Artinya: Om Sang Hyang Widhi, Engkaulah paramatma daripada atma, semoga berbahagia semua ciptaan-Mu yang berwujud bhuta,kala dan durgha.

Jadi pada kesimpulannya sebuah tradisi Hindu di Bali yaitu mesaiban/mejotan merupakan sebuah tradisi yang menghaturkan atau membersembahkan apa yang dimasak atau disajikan untuk makan dipagi hari kepada Tuhan beserta manifestasi-Nya terlebih dahulu dan barulah sisanya kita yang memakannya . Semua sebagai wujud syukur kita kepada Tuhan dan menebus dosa atas dosa membunuh hewan dan tumbuhan yang diolah menjadi makanan.

Semoga dapat bermanfaat untuk semeton. Jika terdapat penjelasan yang kurang lengkap atau kurang tepat. Mohon dikoreksi bersam

AJARAN DANGHYANG NIRATA


AJARAN-AJARAN DHANGHYANG NIRARTA.

Dhanghyang Nirarta merupakan orang ke tiga sebagai peletak dasar Dharma Hindu Bali, selain dua orang pendahulunya yaitu yang pertama adalah Rsi Markandya, dan yang kedua adalah Empu Kuturan. Sebelum membahas ajaran-ajaran Dhanghyang Nirarta ( Bhatara sakti
wawu rawuh ) terlebih dahulu kita ketahui:

RIWAYAT DHANGHYANG NIRARTA.

Dhanghyang Nirarta berasal dari Majapahit,mula-mula diam di Daha( Kediri ), di sana Beliau menikah dengan Dyah Komala/Ida Istri Mas Daha, anak dari Dhanghyang Swamba dengan Dewi Sunia, yang mempunyai seorang putri yaitu Dyah Komala. Mereka adalah Siwa Kula
yaitu pemeluk Agama Siwa. Dhanghyang Swamba telah meninggal, jadi tinggal janda almarhum dengan anaknya Dyah Komala. Danghyang Nirarta beralih dari Jina Kula ke Siwa Kula sebagai syarat dari janda mendiang Dhanghyang Swamba, untuk memenuhi keinginan Dhanghyang Nirarta menikahi Dyah Komala. Dan juga atas seijin kakaknya Dhanghyang Angsoka, juga saran dari Dhanghyang Panawasikan Dhanghyang Nirarta beralih dari Jina Kula ke Siwa Kula, untuk melanjutkan keturunan Bregu wangsa.
Mereka melahirkan seorang putri bernama Ida Swabhawa, dan sorang putra bernama Ida Wiraga Sandhi atau Ida Kulwan. Saat itu Daha dimasuki oleh Agama Islam, Dhanghyang Nirata juga ikut mempelajari Agama Islam, saking mahirnya, maka Beliau dijuluki Imam Mahdi. Beliu juga dinamakan si Jenar, karena bau keringatnya harum. Jenar adalah bunga segar yang harum semerbak. Dengan demikian Danghyang Nirarata faham betul dengan tiga Agama yaitu:

            Agama Buddha Mahayana,
            Agama Siwa. dan
            Agama Islam.

Karena Dhanghyang Nirarata tidak mau masuk agama islam maka disebut orang kafir yang harus dilenyapkan, sehingga Beliau serta
anak-anaknya, tanpa istri (tidak mau ikut) pindah ke Pasuruhan. Di Pasuruhan oleh pamannya yakni  Dhanghyang  Panawasikan,
Dhanghyang Nirarata dijodohkan dengan anaknya yang bernama Dyah Sanggawati, dan mempunyai putra dua orang yaitu :
Ida Wayahan Lor dan Ida Wiyatan. Dhanghyang Nirarta beserta keempat putranya pindah ke BLAMBANGAN karena Beliau di kejar ke Pasuruan sama halnya dengan di Daha.
Di Blambangan Dhanghyang Nirarta dan keempat putranya diterima oleh penguasa kerajaan Blambangan yakni Sri Aji Dalem Juru.
Dhanghyang Nirarta dijodohkan dengan adiknya Sri Aji Dalem Juru yang bernama Ida Istri Patni Kaniten,kemudian mempunyai tiga orang putri yaitu :
                    Ida Istri Rai( Ida Swabhawa),
                    Ida Wetan ( Ida telaga )
                    Ida Kaniten.

Karena keringat Dhanghyang Nirarta berbau harum,banyak para permaisuri Sri Aji Dalem Juru tertarik kepadanya.Inilah yang menyebabkan Dhanghyang nirarta didakwa menyebar guna-guna dan harus di " rejek " (basmi). Sehingga Dhanghyang Nirarta beserta istri dan ketujuh orang anaknya menyebrangi selat bali, Dhanghyang Nirarta menyebrang memakai Labu yang besar (waluh kili) sedangkan istri dan anak-anaknya memakai sebuah sampan yang bocor, dan mendarat di Perancak. Dalam perjanan menuju ke timur melalui hutan yang sangat lebat Beliau bertemu dengan seekor naga yang membuka mulutnya, dan Beliau masuk ke dalam mulut naga itu.
Disana beiau dapati sebuah tunjung yang sudah kembang, lalu dipitiknya, begitu beliau keluar maka kulit beliau berubah menjadi
hitam, istri dan anaknya tidak dapat mengenal beiau lagi, lalu lari sekuat-kuatnya. Akhirnya beliau beruntung dapati istri dan anak-anaknya, kecuali anaknya yang tertua jadi " Dewa Melanting " ditempat iu juga terjadi hal yang aneh, banyak cacing berganti rupa dan mereka menerangkan bahwa mereka dapat berganti rupa tak lain sebabnya ialah karena ilmu gaibnya Dhanghyang Nirarta. Setelah selesai menyembah mereka menghilang. Mereka itulah yang diam dipulaki dan disembah orang-orang di Melanting.
Ajaran atau nasehat nasehat Dhanghyang Nirarta untuk meningkatkan keimanan umat Dharma Hindu Bali,termuat dalam GAGURITAN TUTUR SEBUN BANG KUNG, Yang ditulis/disurat dalam perjalanan beliau dari Daha menuju Pasuruhan dan Blambangan.
GEGURITAN  : ADALAH SESURATAN (TULISAN) BERBENTUK PUPUH (PUISI)
                           YANG ISINYA ADALAH UNTUK MENGGEMBIRAKAN HATI YANG
                           MELAGUKAN SERTA YANG MENDENGARKAN.
TUTUR      :       NASEHAT-NASEHAT UNTUK MENINGKATKAN KEIMANAN UMAT
                            DHARMA HINDU BALI.
SEBUN      :        ARTI SEBENARNYA ADALAH SARANG BINATANG UNTUK BER -
                           TEDUH, MENGASUH ANAK-ANAKNYA.
                           TERKAIT DENGAN KATA GEGURITAN DAN TUTUR MAKA YANG
                            DIMAKSUD DENGAN SEBUN ADALAH KUMPULAN TULISAN-  
                            TULISAN BERISI NASEHAT-NASEHAT UNTUK MENINGKATKAN
                             KEIMANAN UMAT DHARMA HINDU BALI.
BANG       :          ARTINYA MERAH ADALAH WARNA DARI HYANG BRAHMA, DENGAN
                            SAKTINYA ADALAH DEWI SARASWATI, DEWINYA DHARMA AJI
                            DAN SASTRA-SATRA AGAMA.
KUNG       :          ARTINYA TRESNA ASIH ATAU CINTA KASIH,YANG DIDALAM
                            HINDU TERKENAL DENGAN " TATWAM ASI "

Dalam geguritan pupuh Sinom dasar-dasar Dharma Hindu Bali yang diletakan oleh Dhanghyang Nirarta adalah :
  - Hyang Nur yang menciptakan :
  - Bumi langit dengan segala isinya yang disebut Bhuwana Agung.
  - Manusia yang disebut Bhuwana Alit.
  - Hyang Nur adalah hyang Brahma.
  - Hyang Brahma dan Hyang Suksma adalah sebutan lain dari Sanghyang Widhi.
Dalam geguritan pupuh demung no 37 Dhanghyang Nirarta mengajarkan kepada umat Dharma hindu Bali, agar mempelajari, menekuni, melaksanakan serta mengamalkan Panca Sraddha Dharma Hindu Bali.
Panca Sraddha ini adalah keimanan yang utama dan pertama bagi umat Dharma Hindhu Bali.
Panca Sraddha adalah " igama " nya Dharma Hindu Bali.
Saat ngastiti kehadapan shanghyang widhi, haruslah disertai dengan Panca Yadnya yakni :
1. Dewa Yadnya
2. Rsi Yandya
3. Manusa Yadnya
4. Pitra Yadnya
5. Bhuta Yadnya.
Yadnya yang digelar disertai dengan sarananya berupa bebanten atau bebali. Ngastiti bhakti kehadapan Shanghyang Widhi dengan menggelar Panca Yandya inilah dinamakan " agama " Dharma Hindu Bali. " Rahayu " itulah tujuan utama umat Dharma Hindu Bali saat ngastiti bhakti kehadapan Shanghyang Widhi, inilah yang dinamakan " ugama " di dalam Dharma Hindu Bali.

Semoga wenten manfaatnya ....