Senin, 22 Oktober 2018

Seks : KUTUKAN atau KARUNIA

Apakah seks suatu kutukan atau karunia ? Apakah seks suatu kejahatan (evil) atau kebajikan (virtue)? Agama memiliki pandangan berbeda mengenai hal ini. Agama Hindu dengan tegas menyatakan seks (kama) sebagai satu dari empat tujuan hidup manusia, yang disebutPurusharta. Tiga tujuan yang lain adalah “DHARMA“, hidup bermoral, “ARTHA“, harta kekayaan material, dan “MOKSHA”  bersatunya atman dengan Brahman(Tuhan). Seks sendiri memiliki dua tujuan: tujuan antara (prokreasi) dan tujuan dalam dirinya sendiri, yaitu untuk kenikmatan seks itu sendiri (rekreasi). Seks di sini bukan suatu kejahatan (evil) tetapi suatu karunia atau keutamaan (virtue).
Konsep penciptaan di dalam Hindu, sesuai dengan filsafat Samkya adalah perjumpaan antara purusa danpredana, dari sini alam semesta beserta isinya lahir melalui proses panjang. Suatu filsafat penciptaan yang lebih sesuai dengan teori evolusi. Keberadaan manusia di dunia ini bukan karena terlempar atau dilemparkan oleh Tuhan dari sorga, akibat kesalahan wanita. Di dalam WEDA Tuhan tidak saja dipuja sebagai Bapak, tetapi juga sebagai Ibu, seperti Ibu Pertiwi, Dewi Ibu (Mother Goddness ). Perempuan dan lelaki memiliki kedudukan sederajat ( Ardhanaraswari ). Perempuan tidak dianggap penggoda moral, yang seluruh tubuhnya dianggap pembangkit nafsu birahi seperti – maaf –vagina, karena itu harus ditutupi dari ujung rambut sampai ujung kaki.
Seks Dalam Agama Hindu.
Di dalam agama Hindu, ada dua aliran pemikiran tentang seks yang saling berlawanan. Aliran pemikiran pertama memandang seks secara negatif dipimpin olehBhagawan Wararucci dengan bukunya Sarasamuccaya. Aliran pemikiran kedua memandang seks secara positif dipimpin oleh Bhagawan Vatsyayana dengan bukunyaKama Sutra.
Wararucci antara lain mengatakan : “Ada satu alat pada tubuh si wanita, sangat menjijikkan dan sangat kotor; mestinya dibenci, dan dijauhi. Yaitu kulit yang berukuran sebesar kaki kijang. Di tengah-tengah kulit itu terdapat luka yang menganga yang tidak sembuh, yang menjadi saluran jalan air seni, penuh berisi keringat dan segala macam kotoran; itulah yang membuat orang bingung di dunia ini, kegila-gilaan, buta dan tuli karenanya “.Sarasamuccaya: 424-442 (stri/wanita)
Di tempat lain ia mengatakan betapa beruntungnya lahir sebagai manusia. Bagaimana bisa menusia lahir bila tidak melalui seks, dan bila tidak ada perempuan? Banyak orang menafsirkan bahwa pandangan Wararuccitentang seks disebabkan karena ia adalah seorangsanyasin, seorang yang sudah sepenuhnya di jalan spiritual. Dan pandangannya ini ditujukan kepada para sanyasin lain yang sama seperti dirinya.
Sebaliknya Vatsyayana menyatakan “Seksualitas adalah penting bagi kehidupan manusia, seperti makanan perlu untuk kesehatan badan, dan atas mereka bergantung dharma dan artha”
Kama adalah salah satu dari empat tujuan hidup, di samping DHARMA, ARTHA dan MOKSHA. ” Kama Sutrabukanlah karya pornografi. Ia adalah studi sistematik dan tidak berat sebelah mengenai salah satu aspek esensial dari keberadaan kita. Pertama dan utamanya, ia adalah satu gambar dari seni kehidupan khususnya seksualitas pada tubuh wanita, bagi warga kota yang beradab dan canggih, memenuhi tataran cinta, erotisme dan kenikmatan hidup, sejajar dengan risalah di bidang politik, ekonomi dan etik, Dharma Sastra dan Artha Sastra ” . ( Alain Danielou – The Complete Kama Sutra Park Street Press).
Di dalam Kama Sutra seks seolah-olah diberikan kebebasan tanpa batas, Di sini seks memang dieksploitasi secara luas dari segala kemungkinannya. Tetapi Kama Sutra juga mengatakan ” Seseorang tidak dapat memberikan dirinya kesenangan tanpa batasan. Aktivitas seseorang harus dikoordinasikan dengan memperhatikan Dharma dan Artha “. “Orang yang cabul adalah sia-sia, ia mengalami penghinaan, tidak menimbulkan kepercayaan dan mengundang cemohan orang. Mereka yang memanjakan dirinya dengan seks secara berlebihan menghancurkan dirinya sendiri dan juga hubungan-hubungan mereka “.
Kama harus diletakkan dalam bingkai Dharma dan Moksha. “Tiga tujuan pertama ( Dharma, Artha dan Kama ) tidak hanya dikejar demi kesenangan yang mereka berikan, tetapi juga demi pertumbuhan spiritual, menggabungkannya dengan tujuan keempat (Moksha) menjamin tiga tujuan pertama tidak dikejar secara tidak etis atau berlebihan, dan menyesuaikan seluruh kehidupan dan banyak kesenangannya dengan kesenangan tak terbayangkan dari pencerahan.” (Roger Walsh – Essential Spirituality )
Berbagai teknik percumbuan dan hubungan seksual dalam Kama Sutra ditujukan kepada laki-laki dan perempuan. Dengan menguasai teknik-teknik itu secara baik, kedua pasangan akan mencapai kepuasan. Jadi perempuan bukan sekedar sawah yang dapat digarap oleh laki-laki sesuka hatinya sendiri… Tujuan Kama Sutra adalah untuk menjamin kepuasan maksimal bagi suami istri, sehingga mereka dapat memelihara kasih sayang dan kesetiaan dalam berumah tangga mereka. Dan karena itu tidak mencari yang lain (selingkuh – admin).
Seks diciptakan agar manusia saling membutuhkan satu sama lain. Saling berkomunikasi satu sama lain. Saling mencintai. Dan untuk belajar rendah hati. Supaya dapat menikmati seks, kita perlu untuk dipersatukan dengan manusia yang lain untuk secara fisik menjadi cukup dekat bagi pemuasan seksual. Kita perlu mengatasi keangkuhan kita untuk membuat teman, untuk menjadi baik, romantis. Seks mengajari kita kerendahan hati !Kita harus memberi untuk menerima kasih sayang, dan kita perlu saling membantu satu sama lain. Seks mengajarkan tanpa-keserakahan, cinta dan kemurahan hati.
Seks Adalah Sesuatu Yang Alamiah.
Narasi dan simbolisasi seks dalam agama Hindu dilakukan dengan bebas dan penuh rasa hormat. Gambar-gambar wanita dengan dada subur yang terbuka, relief-relief tentang hubungan seks dipahatkan di candi-candi, dipandang secara wajar. Patung-patung itu memang tidak dibuat untuk merangsang nafsu rendah manusia. Itu adalah symbol penciptaan dan pemeliharaan. Orang-orang Hindu memandang seksualitas, tanpa kecurigaan atau ketakutan. Para  lelaki Hindu tidak memandang seksualitas pada tubuh wanita sebagai godaan bagi kesehatan moral mereka. Mereka tidak boleh melemparkan kesalahan kepada orang lain atas tindakan yang dilakukannya akibat kelemahan atau ketidakmampuan moralnya sendiri. Seks tidak dibebani dengan konsep negatif seperti dosa atau penggodaan. Kama tidak pernah dipandang sebagai suatu yang kotor.
Erotisme dan sensualitas adalah kodrat manusia. Erotisme dan sensualitas mengafirmasi kehidupan, karena melalui seks kehidupan manusia terus berlanjut di muka bumi ini. Seks yang baik akan melahirkan generasi yang baik. Oleh karena itu perilaku seksual harus di atur oleh Dharma atau moral. DHARMA dan moral menuntut pengendalian diri, atau Sedhana. Yoga bahkan memberi jalan bagi sublimasi seksual menjadi energi spiritual. Jadi seks di samping baik harus juga benar.
Dalam pandangan Hindu perempuan bukan sumber dosa, setumpuk daging yang hanya berfungsi membangkitkan nafsu seksual laki-laki, atau pabrik untuk melahirkan anak-anak, tetapi partner sejajarnya untuk membagi cinta kasih dan melahirkan generasi demi generasi.
Sumber bacaan buku ” Tuhan Agama dan Negara “ oleh Ngakan Made Madrasuta penerbit Media Hindu.

Sabtu, 13 Oktober 2018

SARASWATI

MAKNA DAN INTI PERAYAAN HARI RAYA SARASWATI

Hari raya Saraswati adalah hari yang penting bagi umat hindu, khususnya bagi siswa sekolah dan penggelut dunia pendidikan karena Umat Hindu mempercayai hari Saraswati adalah turunnya ilmu pengetahuan yang suci kepada umat manusia untuk kemakmuran, kemajuan, perdamaian, dan meningkatkan keberadaban umat manusia. Hari raya Saraswati diperingati setiap enam bulan sekali, tepatnya pada hari Saniscara Umanis wuku Watugunung.

Di hari Saraswati biasanya pagi2 para siswa sekolah sudah sibuk mempersiapkan upacara sembahyang di sekolah masing2, sehabis itu biasanya para siswa melanjutkan sembahyang ke pura2 lainnya. Dan pura yang menjadi paforit adalah pura Jagatnatha yang ada dipusatkota. Di sekolah, di pura, di rumah maupun di perkantoran semua buku, lontar, pustaka2 dan alat2 tulis di taruh pada suatu tempat untuk diupacarai.Adamitos pada hari Saraswati tidak diperbolehkan untuk menulis dan membaca lho…

Hari Raya Saraswati yaitu hari Pawedalan Sang Hyang Aji Saraswati, jatuh pada tiap-tiap hari Saniscara Umanis wuku Watugunung. Pada hari itu kita umat Hindu merayakan hari yang penting itu. Terutama para pamong dan siswa-siswa khususnya, serta pengabdi-pengabdi ilmu pengetahuan pada umumnya.

Dalam legenda digambarkan bahwa Saraswati adalah Dewi/ lstri Brahma. Saraswati adalah Dewi pelindung/ pelimpah pengetahuan, kesadaran (widya), dan sastra. Berkat anugerah dewi Saraswati, kita menjadi manusia yang beradab dan berkebudayaan.

Beliau disimbolkan sebagai seorang dewi yang duduk diatas teratai dengan berwahanakan se-ekor angsa (Hamsa) atau seekor merak, berlengan empat dengan membawa sitar/veena dan ganatri di kedua tangan kanan, tangan kiri membawa pustaka/kitab dan tangan kiri satunya ikut memainkan gitar membawa sitar/veena dan ganatri di kedua tangan kanan, tangan kin membawa pustaka/kitab dan tangan kiri satunya ikut memainkan veena atau bermudra memberkahi.

Makna dan simbol-simbol ini adalah:

1. Berkulit putih, bermakna: sebagai dasar ilmu pengetahuan (vidya) yang putih, bersih dan suci.

2. Kitab/pustaka ditangan kiri, bermakna: Semua bentuk ilmu dan sains yang bersifat se-kular. Tetapi walaupun vidya (ilmu pengetahuan spiritual) dapat mengarahkan kita ke moksha, namun avidya (ilmu pengetahuan sekular jangan diabaikan dulu). Seperti yang dijelaskan Isavasya-Upanishad: “Kita melampaui kelaparan dan da-haga melalui avidya, kemudian baru melalui vidya meniti dan mencapai moksha.”

3. Veena, bermakna : seni, musik, budaya dan suara AUM. Juga merupakan simbol keharmonisan pikiran, budhi, kehidupan dengan alam lingkungan.

4. Akshamala/ganatri/tasbih di tangan kanan, bermakna: Ilmu pengetahuan spiritual itu lebih berarti daripada berbagai sains yang bersifat secular (ditangan kiri). Akan tetapi bagaimanapun pentingnya kitab-kitab dan ajaran berbagai ilmu pengetahuan, namun tanpa penghayatan dan bakti yang tulus, maka semua ajaran ini akan mubazir atau sia-sia.

5. Wajah cantik jelita dan kemerah-merahan, bermakna: Simbol kebodohan dan kemewahan duniawi yang sangat memukau namun menye-satkan (avidya).

6. Angsa (Hamsa), melambangkan: Bisa me-nyaring air dan memisahkan mana kotoran dan mana yang bisa dimakan, mana yang baik mana yang buruk, walaupun berada di dalam air yang kotor dan keruh maupun Lumpur, (simbol vidya).

7. Merak , bermakna: berbulu indah, cantik dan cemerlang biarpun habitatnya di hutan. Dan ber-sama dengan angsa bermakna sebagai wahana (alat, perangkat, penyampai pesan-pesan-Nya).

8. Bunga Teratai/Lotus, bermakna: bisa tumbuh dengan subur dan menghasilkan bunga yang in-dah walaupun hidupnya di atas air yang kotor.

Upacara pada hari Saraswati, pustaka-pustaka, lontar-lontar, buku-buku dan alat-alat tulis menulis yang mengandung ajaran atau berguna untuk ajaran-ajaran agama, kesusilaan dan sebagainya, dibersihkan, dikumpulkan dan diatur pada suatu tempat, di pura, di pemerajan atau di dalam bilik untuk diupacarai

Widhi widhana (bebanten = sesajen) terdiri dari peras daksina, bebanten dan sesayut Saraswati, rayunan putih kuning serta canang-canang, pasepan, tepung tawar, bunga, sesangku (samba = gelas), air suci bersih dan bija (beras) kuning.

Pemujaan / permohonan Tirtha Saraswati dilakukan mempergunakan bahan-bahan: air, bija, menyan astanggi dan bunga.

Ambil setangkai bunga, pujakan mantra: Om, puspa danta ya namah.
Sesudahnya dimasukkan kedalam sangku. Ambil menyan astanggi, dengan mantram “Om, agnir, jyotir, Om, dupam samar payami“.
Kemudian masukkan ke dalam pedupaan (pasepan).
Ambil beras kuning dengan mantram : “Om, kung kumara wijaya Om phat“.
Masukkan kedalam sesangku.
Setangkai bunga dipegang, memusti dengan anggaranasika, dengan mantram:
Mantra Artinya
Om, Saraswati namostu bhyam Warade kama rupini Siddha rastu karaksami Siddhi bhawantu sadam. Om, Dewi Saraswati yang mulia dan maha indah,cantik dan maha mulia. Semoga kami dilindungi dengan sesempurna-sempurnanya. Semoga kami selalu dilimpahi kekuatan.
Om, Pranamya sarwa dewanca
para matma nama wanca.
rupa siddhi myaham. Om, kami selalu bersedia menerima restuMu ya para Dewa dan Hyang Widhi, yang mempunyai tangan kuat. Saraswati yang berbadan suci mulia.
Om Padma patra wimalaksi
padma kesala warni
nityam nama Saraswat. Om, teratai yang tak ternoda, Padma yang indah bercahaya. Dewi yang selalu indah bercahaya, kami selalu menjungjungMu Saraswati.
Sesudahnya bunga itu dimasukkan kedalam sangku. Sekian mantram permohonan tirta Saraswati. Kalau dengan mantram itu belum mungkin, maka dengan bahasa sendiripun tirta itu dapat dimohon, terutama dengan tujuan mohon kekuatan dan kebijaksanaan, kemampuan intelek, intuisi dan lain-lainnya.
Setangkai bunga diambil untuk memercikkan tirtha ke pustaka-pustaka dan banten-banten sebanyak 5 kali masing-masing dengan mantram:
Om, Saraswati sweta warna ya namah.
Om, Saraswati nila warna ya namah.
Om, Saraswati pita warna ya namah.
Om, Saraswati rakta warna ya namah.
Om, Saraswati wisma warna ya namah.
Kemudain dilakukan penghaturan (ngayaban) banten-banten kehadapan Sang Hyang Aji Saraswati
Selanjutnya melakukan persembahyangan 3 kali ditujukan ke hadapan :
Sang Hyang Widhi (dalam maniftestasinya sebagai Çiwa Raditya).
Sang Hyang Widhi (dalam manifestasinya sebagai Tri Purusa)
Dewi Saraswati.
Ucapkan mantra berikut:
Mantramnya Artinya
Om, adityo sya parajyote rakte tejo namastute sweta pangkaja madyaste Baskara ya namo namah.
Om, rang ring sah Parama Çiwa Dityo ya nama swaha. Om, Tuhan Hyang Surya maha bersinar-sinar merah yang utama. Putih Iaksana tunjung di tengah air, Çiwa Raditya yang mulia.
Om, Tuhan yang pada awal, tengah dan akhir selalu dipuja.
Om, Pancaksaram maha tirtham, Papakoti saha sranam Agadam bhawa sagare. Om, nama Çiwaya. Om, Pancaksara Iaksana tirtha yang suci. Jernih pelebur mala, beribu mala manusia olehnya. Hanyut olehnya ke laut lepas.
Om, Saraswati namostu bhyam,
Warade kama rupini,
Siddha rastu karaksami,
Siddhi bhawantume sadam. Om Saraswati yang mulia indah, cantik dan maha mulia, semoga kami dilindungi sesempurna-sempurnanya, semoga selalu kami dilimpahi kekuatan.
Sesudah sembahyang dilakukan metirtha dengan cara-cara dan mantram-mantram sebagai berikut :

Meketis3 kali dengan mantram:
Om, Budha maha pawitra ya namah.
Om, Dharma maha tirtha ya namah.
Om, Sanghyang maha toya ya namah.
Minum 3 kali dengan mantram:
Om, Brahma pawaka.
Om, Wisnu mrtta.
Om, Içwara Jnana.
Meraup3 kali dengan mantram :
Om, Çiwa sampurna ya namah.
Om, Çiwa paripurna ya namah.
Om, Parama Çiwa suksma ya namah.
Terakhir melabahan Saraswati yaitu makan surudan Saraswati sekedarnya, dengan tujuan memohan agar diresapi oleh wiguna Saraswati
MAKNA PEMUJAAN KEPADA DEWI SARASWATI.

Pada masyarakat awam bertanya apa maksud menyembah dewa-dewa atau dewi-dewi melalui simbol-simbol atau patung, gambar dan sebagai-nya? Padahal Tuhan hanya satu, kenapa ada ba-nyak dewa atau dewi?

Dewa berasal dari kata”div” yaitu sinar/pan-caran. Pengertiannya adalah bahwa Tuhan itu adalah satu, tapi mempunyai aspek-aspek de-ngan pancaran sinar-Nya (Nur Illahi) yang bermacam-macam sesuai dengan fungsinya. ang bermacam-macam sesuai dengan fungsinya. Pada saat menciptakan disebut Brahma, saat memelihara disebut Wishnu, dan saat pendaurulang disebut Shiwa, dan sebagainya. Tapi sebenarnya Brahma, Wishnu, Shiva adalah satu (Trimurti).

Paradewa ini mempunyai pendamping (Shak-ti), yaitu: Brahma shakti-Nya Saraswati, Wishnu shakti-Nya Lakshmi dan Shiwa shakti-Nya Parvati (Durga). Disini Dewi Saraswati sebagai aspek Tuhan Yang Maha Esa pada saat menganugrah-kan/munurunkan ilmu pengetahuan (vidya), ke-cerdasan, ucapan, musik, budaya dan seba-gainya. Demikian pula dijabarkan dalam konsep Gayatri yang terdiri dari tiga aspek, yaitu: Saras-wati menguasai ucapan/tutur kata, Gayatri me-nguasai intelek/budhi dan savitri yang menguasai prana/nafas.

Jadi makna pemujaan Dewi Saraswati adalah memuja dan bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan memfokuskan pada aspek Dewi Sa-raswati (simbol vidya) atas karunia ilmu penge-tahuan yang di karuniakan kepada kita semua, sehingga akan terbebas dan avidyam (kebodoh-an), agar dibimbing menuju ke kedamaian yang abadi dan pencerahan sempurna.

Setelah Saraswati puja selesai, biasanya dilakukan mesarnbang semadhi, yaitu semadhi ditempat yang suci di malam hari atau melakukan pembacaan lontar-lontar semalam suntuk dengan tujuan menernukan pencerahan Ida Hyang Saraswati

Puja astawa yang disiapkan ialah : Sesayut yoga sidhi beralas taledan dan alasnya daun sokasi berupa nasi putih daging guling, itik, raka-raka sampian kernbang payasan. Sesayut ini dihaturkan di atas tempat tidur, dipersembahkan ke hadapan Ida Sang Hyang Aji Saraswati.

Keesokan harinya dilaksanakan Banyu Pinaruh, yakni asuci laksana dipagi buta berkeramas dengan air kumkuman. Ke hadapan Hyang Saraswati dihaturkan ajuman kuning dan tamba inum. Tamba inum ini terdiri dari air cendana, beras putih dan bawang lalu diminum, sesudahnya bersantap nasi kuning garam, telur, disertai dengan puja mantram:

Om, Ang Çarira sampurna ya namah swaha.
Semua ini mengandung maksud, mengambil air yang berkhasiat pengetahuan.

MAKNA DARI PERAYAAN DEWI SARASWATI.

Dari perayaan ini kita dapat mengambil hik-mahnya, antara lain:

1. Kita harus bersyukur kepada Hyang Widhi atas kemurahan-Nya yang telah menganugrahkan vidya (ilmu pengetahuan) dan kecerdasan kepada kita semua.

2. Dengan vidya kita harus terbebas dari avidya (kebodohan) dan menuju ke pencerahan, kebe-naran sejati (sat) dan kebahagiaan abadi.

3. Selama ini secara spiritual kita masih tertidur lelap dan diselimuti oleh sang maya (ketidak-benaran) dan avidyam (kebodohan). Dengan vidya ini mari kita berusaha untuk melek/eling/bangun dan tidur kita, hilangkan selimut maya, sadarilah bahwa kita adalah atma, dan akhirnya tercapailah nirwana.

4. Kita belajar dan angsa untuk menjadi orang yang lebih bijaksana. Angsa bisa menyaring air, memisahkan makanan dan kotoran walaupun di air yang keruh/kotor atau lumpur. Juga jadilah orang baik, seperti buruk merak yang berbulu cantik, indah dan cemerlang walaupun hidupnya di hutan.

5. Kita masih memerlukan/mempelajari ilmu pengetahuan dan sains yang sekuler, tetapi harus diimbangi dengan ilmu spiritual dengan peng-hayatan dan bakti yang tulus.

6.Laksanakan Puja/sembahyang sesuai de-ngan kepercayaannya masing-masing secara sederhana dengan bakti yang tulus/ihlas, bisa dirumah, kuil, atau pura dan lain-lain.


Sabtu, 29 September 2018

TRI HITA KARANA

implementasi Tri Hita Karana dalam kehidupan

Om Swastyastu,
Istilah Tri Hita Karana pertama kali muncul pada tanggal 11 Nopember 1966, pada waktu diselenggarakan Konferensi Daerah l Badan Perjuangan Umat Hindu Bali bertempat di Perguruan Dwijendra Denpasar. Konferensi tersebut diadakan berlandaskan kesadaran umat Hindu akan dharmanya untuk berperan serta dalam pembangunan bangsa menuju masyarakat sejahtera, adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Kemudian istilah Tri Hita Karana ini berkembang, meluas, dan memasyarakat.
Tri Hita Karana merupakan suatu konsep atau ajaran dalam agama hindu yang selalu menitikberatkan bagaimana antara sesama bisa hidup secara rukun dan damai. 
Tri HitaKarana
Tri Hita Karana:
Hubungan Manusia dengan Tuhan (Parhyangan), dengan Sesama (Pawongan) dan dengan Alam Lingkungan (Palemahan)
Tri hita karana bisa diartikan Secara leksikal yang berarti tiga penyebab kesejahteraan. Yang mana Tri yang artinya tiga, Hita yang artinya sejahtera, dan Karana yang artinya penyebab. Pada hakikatnya Tri Hita Karana mengandung pengertian tiga penyebab kesejahteraan itu bersumber pada keharmonisan hubungan antara: 

  1. Manusia dengan Tuhannya (Parhyangan), 
  2. Manusia dengan alam lingkungannya (Palemahan), dan
  3. Manusia dengan sesamanya (Pawongan)

Konsep Tri Hita Karana muncul berkaitan dengan keberadaan desa adat di Bali. Hal ini disebabkan oleh terwujudnya suatu desa adat di Bali bukan saja merupkan persekutuan daerah dan persekutuan hidup atas kepentingan bersama dalam masyarakat, namun juga merupakan persekutuan bersama dalam kepercayaan memuja Tuhan. Dengan kata lain bahwa ciri khas desa adat di Bali harus mempunyai unsur wilayah, orang-orang atau masyarakat yang menempati suatu wilayah serta adanya tempat suci untuk memuja Tuhan.

Unsur- unsur Tri Hita Karana ini meliputi:
  1. Sanghyang Jagatkarana. (tuhan)
  2. Bhuana (alam dan lingkungan)
  3. Manusia
Unsur- unsur Tri Hita Karana itu terdapat dalam kitab suci Bagawad Gita (III.10), berbunyi sebagai berikut:
Sahayajnah prajah sristwa pura waca prajapatih anena prasawisya dhiwan esa wo'stiwistah kamadhuk
Artinya :
Pada jaman dahulu Prajapati menciptakan manusia dengan yadnya dan bersabda: dengan ini engkau akan berkembang dan akan menjadi kamadhuk dari keinginanmu.
Dalam sloka Bhagavad-Gita tersebut ada nampak tiga unsur yang saling beryadnya untuk mendapatkan yaitu terdiri dari:
  • Prajapati = Tuhan Yang Maha Esa
  • Praja = Manusia

Penerapan Tri Hita Karana.

Penerapan Tri Hita Karana dalam kehidupan umat Hindu sebagai berikut
  1. Hubungan antara manusia dengan Tuhannya yang diwujudkan dengan Dewa yadnya.
  2. Hubungan manusia dengan alam lingkungannya yang diwujudkan dengan Bhuta yadnya.
  3. Hubungan antara manusia dengan sesamanya diwujudkan dengan Pitra, Resi, Manusia Yadnya.

Penerapan Tri Hita Karana dalam kehidupan umat Hindu di Bali dapat dijumpai dalam perwujudan:

Parhayangan

Parhyangan berasal dari kata hyang yang artinya Tuhan. Parhayangan berarti ketuhanan atau hal-hal yang berkaitan dengan keagamaan dalam rangka memuja ida sang hyang widhi wasa. Dalam arti yang sempit parhyangan berarti tempat suci untuk memuja tuhan. dalam hal ini Parhyangan dapat dilihat  di beberapa tingkat di bali yaitu: Parahyangan untuk di tingkat daerah berupa Kahyangan Jagat, Di tingkat desa adat berupa Kahyangan desa atau Kahyangan Tiga, Di tingkat keluarga berupa pemerajan atau sanggah.

Menurut tinjauan Dharma susilanya, manusia menyembah dan berbhakti kepada tuhan disebabkan oleh sifat-sifat parama (mulia) yang dimilkinya. Rasa bhakti dan sujud pada tuhan timbul dalam hati manusia oleh karena sanghyang widhi maha ada, maka kuasa, maha pengasih yang melimpahkan kasih dan kebijaksanaan kepada umatnya. Kita Sebagai umat yang beragama yang bernaung dibawah perlindungannya sangat berutang budi lahir bhatin kepada beliau. Dan utang budhi tersebut tak akan terbalas oleh apapun. Karena hal tersebut diatas, maka satu-satunya dharma/susila yang dapat kita sajikan kepada beliau hanyalah dengan jalan menghaturkan parama suksmaning idep atau rasa terima kasih kita yang setinggi-tingginya kepada beliau.

Adapun contoh implementasi rasa syukur kita kepada tuhan adalah dengan jalan :

  1. Dengan khidmat dan sujud bhakti menghaturkan yadnya dan persembahyangan kepada tuhan yang maha esa).
  2. Berziarah atau berkunjung ketempat-tempat suci atau tirta yatra untuk memohon kesucian lahir dan bhatin
  3. Mempelajari dengan sungguh-sungguh ajaran-ajaran mengenai ketuhanan, mengamalkan serta menuruti dengan teliti segala ajaran-ajaran kerohanian atau pendidikan mental spiritual. 
Dalam Bhagawadgita dikatakan bahwa :

Satatam kirtayatom mam

Yatantas ca drsha vrtatah

Namasyantas ca mam bhatya

Ni tyayuktah upsate”(BG.IX.14)
Yang artinya adalah :
Berbuatlah selalu hanya untuk memuji-Ku dan lakukanlah tugas pengabdian itu dengan tiada putus-putusnya. Engkau yang memujaku dengan tiada henti-hentinya itu serta dengan kebaktian yanbg kekal adalah dekat dengan-Ku.
Disamping itu rasa bhakti (silahkan baca "Bhakti Marga Yoga") kepada ida sanghyang widhi wasa itu timbul dalam hati manusia berupa sembah, puji-pujian, doa penyerahan diri, rasa rendah hati dan rasa berkorban untuk kebajikan. Kita sebagai umat manusia yang beragama dan bersusila harus menjunjung dan memenuhi kewajiban, antara lain cinta kepada kebenaran, kejujuran, keikhlasan, dan keadilan.

Dengan demikian jelaslah begaimana hubungan antara sanghyang widi dengan manusia. Hubungan ini harus dipupuk dan ditingkatkan terus kearah yang lebih tinggi dan lebih suci lahir bhatin. Sesuai dengan swadharmaning umat yangb religius, yakni untuk dapat mencapai moksartam jagad hita ya ca itri dharma, yakni kebahagiaan hidup duniawi dan kesempurnaan kebahagioan rohani yang langgeng (moksa).

Pawongan

Pawonan berasal dari kata wong (dalam bahasa jawa) yang artinya orang. Pawongan adalah perihal yang berkaitan dengan orang dalam satu kehidupan masyarakat, dalam arti yang sempit pawongan adalah kelompok manusia yang bermasyarakat yang tinggal dalam satu wilayah, contohnya: Pawongan untuk di tingkat daerah meliputi umat Hindu di Bali, Untuk di desa adat meliputi krama desa adat, Tingkat keluarga meliputi seluruh anggota keluarga

Pada mulanya Tuhan yang lebih dulu menciptakan bhuwana atau alam, maka munculah palemahan, setelah itu barulah beliau menciptakan manusia beserta mahluk hidup lainya. Setelah manusia berkembang dan menghimpun diri dalam kehidupan bersama dan mendiami suatu wilayah tertentu maka muncullah masyarakat yang disebut dengan pawongan.

Selain menyelaraskan hubungan atman dengan paramatman atau hubungan manusia dengan tuhan, kita sebagai mahluk sosial juga harus membina hubungan dengan sesama Manusia dan mahluk lainya. Yang dimaksud dengan hubungan antar manusia dan mahluk lain ini adalah hubungan antar anggota keluarga , masyarakat, antara anak, suami dan istri dan lainnya. Hubungan manusia dengan mahluk lainya hendaknya dapat menciptanya suasana rukun, harmonis, dan damai serta saling bantu membantu satu sama lain dengan hati yang penuh dengan cinta kasih. Yang mana kasih merupakan dasar kebajikan. Kasih muncul dari dalam kalbu yang merupakan alam paramatman, yaitu lama ananda (kebahagiaan).

Dalam manu smerti II,138 disebut :
satyam bruyat priyam bruyam

na bruyam satyam, priyam

canartam, bruyat esa dharmah sanatanah
yang artinya:
berkatalah yang sewajarnya jangan mengucapkan kata kata yang kasar. Walaupun kata-kata itu benar, jangan pula mengucapkan kata-kata lemah lembut namun dusta. Inilah hukum susila yang abadi (sanatana dharma).
Perilaku yang baik adalah dasar mutlak dalam kehidupan sebagai manusia, karena dengan berbuat susila manusia dapat meningkatkan taraf hidupnya baik di alam sekala maupun di alam niskala. dari sloka diatas inilah setiap Umat diarahkan untuk mengimplementasikan ajaran Tri Kaya Parisudha, yakni; Wacika (bertutur kata yang baik dan sopan), Kayika (berbuat yang sesuai dengan ajaran dharma) dan Manacika (selalu berpikiran positif). dengan menerapkan ajaran tri kaya parisudha ini, maka hubungan antar sesama akan menjadi lebih baik sehinga dapat mewujudkan wilayah yang tenteram negara yang sejahtera.

Palemahan

Palemahan berasal dari kata lemah yang artinya tanah. Palemahan juga berati bhuwana atau alam. Dalam artian yang sempit palemahan berarti wilayah sutu pemukiman atau tempat tinggal. contohnya; Pelemahan di tingkat daerah meliputi wilayah Propinsi Bali, Di tingkat desa adat meliputi "asengken" bale agung, Di tingkat keluarga meliputi pekarangan perumahan.

Manusia hidup dimuka bumi ini memerlukan ketentraman, Kesejukan, ketenangan dan kebahagiaan lahir dan bhatin. Untuk mencapai tujuan tersebut manusia tidak bisa hidup tanpa bhuwana agung (alam semesta). Manusia hidup di alam dan dari hasil alam. Hal inilah yang melandasi terjadinya hubungan harmonis antara manusia dengan alam semesta ini.

Untuk tetap menjaga keseimbangan dan keharmonisan alam, umat Hindu melaksanakan upacar tumpek uye (tumpek kandang), yang bertujuan untuk menjaga kelestarian hidup binatang dan melaksanakan upacara tumpek wariga (tumpek bubuh) untuk melestarikan tumbuh-tumbuhan.

Demikianlah penjelasan mengenai pembagian dari tri hita karana tersebut. Arti penting ajaran Tri hita karana ini merupakan ajaran agama hindu yang universal. Ajaran tri hita karana mengarahkan manusia untuk selalu mengharmoniskan hubungan manusia dengan sang pencipta, manusia dengan alam semesta, dan hubungan manusia dengan alam semesta atau lingkunganya.

Arah dan sasaran dari tri hita karana adalah mencapai mokrastham jagad hita ya ca iti dharma (silahkan baca: "Tujuan Agama Hindu"), yakni mencapai kebahagiaan lahir dan bhatin sehingga dengan keharmonisan maka tercapailah kebahagiaan yang merupakan tujuan akhir dari agama hindu yakni bersatunya atman dengan paramatman. 

Implementasi Ajaran Tri Hita Karana Dalam Rumah Tangga

Berbicara kebahagiaan atau mengenai Tri Hita Karana tidaklah bisa dipisahkan antara pawongan, palemahan dan parahyangan sebab antara satu dan yang lainya saling keterikatan yang mana implementasi ketiga ajaran tersebut menentukan kebagaiaan manusia dan alam semesta ini sebab dalam Tri Hita Karana tidak saja hubungan antara manusia saja, melainkan hubungan dengan alam dan tuhan pula diajarkan.

Implementasi Tri Hita Karana sesungguhnya dapat diterapkan dimana dan kapan saja dan idealnya dalam setiap aspek kehidupan manusia dapat menerapkan dan mempraktekan tri hita karana ini yang sangat sarat dengan ajaran etika yakni tidak saja bagaimana kita diajarkan bertuhan dan mengagungkan tuhan namun bagaimana srada dan bhakti kita kepada tuhan melalaui praktik kita dalam kehidupan sehari-hari seperti mengahargai antara manusia dan alam semesta ini yang telah memberikan kehidupan bagi kita.

Dalam kehidupan sehari-hari setiap manusia selalu mencari kebahagiaan dan selalu mengharapkan agar dapat hidup secara damai dan tentram baik antara manusia dalam hal ini tetangga yang ada dilingkungan tersebut maupun dengan alam sekitarya. Hubungan tersebut biasanya terjalin dengan tidak sengaja atau secara mengalir saja terutama dengan manusia namun ada juga yang tidak memperdulikan hal tersebut dan cenderung melupakan hakekatnya sebagai manusia sosial yang tak dapat hidup sendiri. Dalam kehidupan manusia, segala sesuatu berawal dari diri sendiri dan kemudian berlanjut pada keluarganya. Dalam keluarga, manusia akan diberikan pengetahuan dan pelajaran tentang hidup baik tentang ketuhanan ataupun etika oleh orang tua atau pengasuh kita (wali), dan beranjak dari hal tersebut pula orang tua secara perlahan menanamkan nilai-nilai keagamaan dalam tubuh dan pikiran setiap anak-anaknya melalui praktik maupun teori. Begitu pula halnya dengan pendidikan atau pemahaman tentang tri hita karana itu sendiri, secara sadar maupun tidak sadar hal tersebut atau nilai-nilai ajaran tersebut sudah ditanamkan oleh orang tua melalui praktik kepada anak-anaknya seperti mengajarkan anaknya untuk mebanten saiban. Memang hal ini manpak sepele namun jika kita mampu mengkaji lebih dalam sesungguhnya hal ini mengandung nilai pendidikan yang sangat tinggi meskipun orang tua kebanyakan tidak mampu menjelaskan secara logika dan benar makna dari tindakan tersebut.

Selain hal tersebut diatas masih banyak hal terkait implementasi tri hita karana yang dapat dilakukan dalam kehidupak keluarga, seperti mebanten ketika hendak melakukan suatu kegiatan seperi membuka lahan perkebunan yang baru. Hal ini jika dikaji tidak hanya penghormatan kepada alam namun penghormatan kepada tuhan melalui tindakan yang secara kasat mata meminta ijin beliau untuk memakai alam tersebut untuk kebutuhan manusia. Interaksi manusia dengan alam dan Tuhan yang nampak pada kegiatan tersebut hampir tidak pernah diperbincangkan oleh manusia dan menganggap hal tersebut sebagi hal yang biasa, namun demikianlah umat hindu mengimani ajaran Tri Hita Karana yang mana implementasinya sendiri terkadang dilakukan secara tidak sengaja namun mengena pada sasaran.

Mengenai hubungan manusia dengan sesam (pawongan), ajaran tri hita karana nampak pada upacara manusia yadnya misalnya upacara otonan yang mana yang dilakukan untuk memperingati hari kelahiran kita dan bersyukur kepada tuhan karena telah dilahirkan. Ajaran Tri Hita Karana tidak bisa diterapkan dalam satu bidang saja namun ada keterkaitannya dengan yang lain seperti contoh diatas, tidak saja untuk manusia dilakukan upacara tersebut namun ditujukan pula kepda tuhan. Demikian mulianya huhungan yang diajarkan tri hita karana pada manusia yang selalu menekankan kepada manusia agar selalu ingat bahwa kita didunia ini tidaklah hidup sendirian, ada tentangga dalam hal ini manusia lain yang kita butuhkan sebagai mahluk sosial, ada alam yang memberi kita berkah agar bisa meneruskan hidup dan ada tuhan sebagai pencipta kita. Sehingga kita senantiasa harus menjaga hubungan tersebut agar terjadi keseimbangan dalam hidup ini. Demikianlah contoh secara gamlang yang dapat diuraikan selain masih banyak lagi contoh lain yang terkait mengenai hal tersebut yang mana bisa dimulai dari lingkungan rumah tangga atau lingkungan keluarga, sebab dalam keluarga banyak memberikan edukasi yang tinggi tentang nilai-nilai serta konsep ketuhanan, sehingga dari padanya hendaknya kepada anak diberikan hal itu sedini mungkin.

Implementasi Tri Hita Karana dalam Upakara

Tujuan dari Tri Hita Karana adalah Palemahan, melestarikan ekosistem dari Tri Hita Karana. Karena sesungguhkan Tri Hita Karana merupakan suatu ekosistem, apabila hubungan manusia dengan manusia berjalan baik, secara otomatis hubungannya dengan Tuhan juga akan baik, begitu juga sebaliknya. Begitupun hubungan manusia dengan alam, harus tetap berjalan baik. Sebagai contoh, apabila manusia melakukan suatu hal dengan lingkungan yaitu dengan menebang hutan sembarangan yang mengakibatkan hutan rusak dan gundul secara otomatis hubungan manusia dengan Tuhan tidak baik, dan alam tidak menerima sehingga terjadi bencana. Maka dengan adanya ekosistem tersebut wajib kita pertahankan melalui suatu perwujudan menurut keyakinan hindu melalui suatu upacara. Sehingga dalam kepercayaan Hindu muncul upacara pelestarian hutan yaitu "wana kerti".

Selain itu ada upacara dengan tingkatan yang lebih kecil diantaranya:

  • untuk tumbuh-tumbuhan yang bertujuan untuk menyucikan tumbuh-tumbuhan yaitu upacara tupek wariga, yang dilakukan tiap 6 bulan sekali. 
  • Sementara perwujudan Tri Hita Karana antara manusia dengan Tuhan yaitu adanya upacara Dewa Yadnya, seperti odalan dengan melaksanakan upacara purnama dan tilem
  • Sementara jika dilihat dari perwujudan antara manusia dengan sesamanya, upacara dipandang untuk melestarikan hubungan social, sehingga muncul istilah ulang tahun atau dalam istilah hindhu disebut oton. Otonan yang bertujuan untuk memperingati hari lahir atau memperingati roh yang bereinkarnasi atau lahir kembali dalam suatu upakara. 
Dari ketiga upakara tersebut sesuai dengan tujuan Tri Hita Karana yakni untuk melestarikan ekosistemnya, melestarikan alam semesta beserta isinya, melestarikan keyakinan terhadap Tuhan serta sebagai sarana, dasar dan wujud nyata dari pelaksanaan agama.

Jika ditinjau dari upakara yang terkecil tetapi upakara tersebut bermakna untuk melestarikan Tri Hita Karana yaitu
"upakara yadnya sesa"
Perwujudannya yaitu melakukan “persembahan” kepada Hyang Widi dengan istilah saiban yang dilakukan setelah selesai memasak. Yajna Sesa yaitu persembahan berupa makanan yang berupa sejumput nasi beserta lauk dan sayurnya, intinya apa yang kita makan itulah yang kita persembahkan terlebih dahulu. Yadnya ini dilakukan sebagai simbol dari Tri Hita Karana, yadnya tersebut yang isinya nasi, garam, sayur dan ikan.

  • Garam memiliki symbol sebagai pelestari dan penetralisir . 
  • Nasi memiliki symbol sebagai kekuatan dharma, dan
  • Sayur memiliki symbol dari tumbuh-tumbuhan. 
  • Ikan atau daging merupakan symbol dari sarwa prani. 

Oleh sebab itu kita disarankan untuk melaksankan yadnya sesa dan mengaturkan kepada Hyang Widi, karena semua symbol pada saiban tersebut adalah ciptaan-Nya.
Jika kita tidak suguhkan kepada Hyang Pencipta, sama saja kita sebagai pencuri, maka dosalah kita. 
Manusia disini berkewajiban untuk nyumpat (menetralisir) dengan tujuan agar dikehidupan yang akan datang, binatang tersebut akan meningkat kedudukannya menjadi manusia, begitupun dengan tumbuh-tumbuhan.
Dalam melaksanakan yadnya sesa, sebenarnya terdapat 5 “tempat pembunuhan” yang wajib dilakukan saat melakukan yadnya sesa tersebut, yaitu:

  • di talenan, 
  • di pisau, 
  • di batu asah, 
  • di batu ulekan, dan 
  • di sapu.

Dikelima tempat tersebut dalam weda, diwajibkan untuk melakukan saiban. Saiban merupakan simbol kita untuk melebur akan dosa-dosa yang telah kita lakukan, selain itu sebagai wujud terimakasih kita kehadapan sang pencipta akan apa yang kita makan.

disamping 5 tempat diatas, yadnya sesa atau saiban biasanya dipersembahkan seperti:

  • ditempat beras, 
  • ditempat menumbuk beras, 
  • di tungku dapur, 
  • di pintu keluar pekarangan (lebuh), dan 
  • ditempat lainnya yang dianggap penting untuk persembahan tersebut.

Persembahan makanan sering dianggap keliru dan dianggap sebagai pemborosan oleh beberapa orang yang bukan penganut Veda bahkan oleh orang Hindu sendiri. Sering dianggap bahwa persembahan tersebut hanya memberi makan untuk semut dan binatang lain pemakan nasi.

Persembahan nasi yang kemudian sisa-sisanya dimakan semut, ini sebenarnya tindakan yang sangat mulia, meski tampak keliru. Didalam kitab Sarasamuscayadisebutkan
"apabila seseorang ingin bahagia maka bahagiakanlah makluk lain." 
Membahagiakan mahkluk bumi lainnya disebut Bhuta Hita. Dengan memberi makan semut berarti kita telah membahagiakan mereka (semut) selain kita mempersembahkannya kepada mahkluk penjaga Bhumi dan juga Jiwa-jiwa agung lainnya serta para Dewa dan Tuhan. 

Apabila pemberian makan untuk semut dikaitkan dengan kelangsungan mahkluk hidup, hal ini merupakan suatu hal yang ilmiah. Menurut penelitian, bahwa dengan memberi semut makan di sekitar sawah maka beberapa hama padi tidak dapat berkembang. Karena beberapa hama takut dengan semut dan hama itu adakalanya dimakan semut. Disinilah perlunya menjaga ekosistem agar tercipta keharmonisan. Saling menjaga antara mahkluk hidup yang satu dengan mahkluk hidup lainnya.

Dalam melaksanakan kegiatan upakara hendaknya kita mengerti akan makna dari pelaksanaan upakara tersebut, agar tidak terjadi kesalah pengertian. Apabila pemahaman akan makna dari upakara itu sendiri telah kita ketahui, bahwa kita melakukan kewajiban sebagai umat beragama, dengan menumbuhkan kesadaran bahwa apa yang ada di dunia ini adalah ciptaan Tuhan.

Kita harus bisa membedakan akan mana Paham Hindu dan mana Agama Hindu, yang mana 2 hal tersebut masih kabur dalam pemikiran kita. Kini banyak anak muda yang terpancing akan paham hindu, yang menyangka bahwa paham tersebut sama dengan agama Hindu. Seperti pelaksanaan yadnya sesa diganti dengan penyebutan mantram saja, sebenarnya hal tersebut sah saja jika dilakukan, tapi itu merupakan suatu paham Hindu. Begitu pula dengan adanya korban suci dalam Reg Weda, Yajur Weda, Atharwa Weda, mengandung esensi 3 ajaran. Yaitu ajaran Upanisad, ajaran Naranyaka dan ajaran Brahmana. Ajaran tersebut lahir menjadi upakara dan upacara. Sementara ajaran Naranyaka lahir menjadi etika, serta ajaran Upanisad menjadi tattwa. Semua ajaran tersebut terdapat dalam weda. 

Dalam agama Hindu terdapat 3 kerangka, yaitu tattwa, etika dan sarana.
Tuhan tidak hanya menciptakan roh saja dalam alam semesta ini, tapi juga menciptakan material (tubuh manusia, tubuh binatang, tumbuh-tumbuhan) semua itu diciptakan oleh Tuhan agar ada kehidupan di dunia ini. Jadi dalam melakukan persembahan dalam upakara harus juga diimbangi antara penggunaan material dengan mantra. Jika hanya menggunakan mantram saja tanpa menggunakan material dalam memuja Tuhan, maka alam ini tidak akan ada. Dalam upakara diperlukan suatu sarana persembahan seperti canang atau banten.
Canang merupakan “ bahasa weda ”, hal tersebut lahir dari ajaran Brahmana.
Ada anggapan bahwa memuja Tuhan dengan menggunakan sarana canang, disebut hindu Bali, jika tanpa sarana canang atau banten, bukan dinamakan hindhu Bali. Karena Hindhu Bali memiliki kriteria diantaranya:

  1. mempunyai pemerajan, 
  2. menjalankan panca yadnya,
  3. dipuput oleh para wiku atau pemangku, 
  4. ada ajaran panca sradha, 
  5. adanya dasar kepercayaan monoisme (percaya akan satu tuhan, dan yakin dengan manifestasinya para bethara atau dewa-dewa serta menyembah leluhur), dan 
  6. hindu bali berasal dari ajaran Weda. 
Keenam hal tersebut merupakan kriteria dari Hindhu Bali yang mencirikan ajaran yang tepat.
disarankan, agar kita sebagai umat hindu bali, setidaknya memahami makna sesungguhnya dalam setiap ajaran, belajar agama dengan sungguh-sungguh dan pelajari segala tentang Bali.

Jumat, 02 Maret 2018

HUKUM ADAT BALI

HUKUM ADAT BALI

BAB I PENDAHULUAN 
A. Latar Belakang Masyarakat Bali, khususnya etnis Bali yang beragama Hindu, terkenal dengan kehidupan adat dan budayanya. Nilai adat dan budaya ini merupakan suatu ketentuan yang harus di ikuti bagi masyarakat bali. Sebagai warganegara Indonesia, orang-orang Bali tentu saja juga tunduk kepada hukum negara, yaitu peraturan perundang-undangan Republik Indonesia. Disamping tunduk kepada hukum negara, bagi orang Bali juga berlaku hukum adat, bahkan pada bidangbidang kehidupan tertentu, hukum adat Bali justru berlaku dengan sangat kuat terutama akibat belum adanya hokum nasional yang mengatur bidang kehidupan tersebut. Kehidupan hukum adat bali ini merupakan suatu warisan dari leluhur terdahulu yang sampai sekarang terjaga dan dilakukan, walaupun memang ada beberapa bagaian dalam hukum adat bali mengalami suatu proses penyesuaian hukum sesuai perkembanghan jaman. Hukum adat bali bagi masyarakat bali merupakan suatu petunjuk ,jalan, dan batasan dalam melakukan suatu perbuatan dalam ranah hukum adat. Hingga begitu kentalnya hukum adat bali ini tidak dapat dipisahkan dari ajaran agama, sehingga sulit bagi kita untuk membedakan antara hukum adat , dan mana agama, karena dalam hukum adat bali antara adat dan agama ini seolah menyatu, saling keterkaitan. Selain agama hukum adat bali ini juga sering dihubungkan dengan sejarah kehidupan masyarakat adat di bali, terutama kisah-kisah kerajaaan yang ada di bali yang memuat bagaimana system social masyarakat adat di Bali. Masyarakat Bali sejak zaman Mpu Kuturan mengenal sistem Kahyangan Tiga yang dalam kehidupan sosial masyarakatnya diimplementasikan dalam wadah desa pakraman yang terbagi lagi dalam konsep banjar-banjar. Konsep yang adiluhung ini sekaligus menjadi pilar utama kehidupan masyarakat Bali dalam menopang adat dan budayanya yang diwarisi sampai sekarang. Hukum adat bali tidak hanya mengatur mengenai masyarakat adat tetapi juga pribadi/perorangan terhadap, hak dan kewajibannya yang didasarkan atas kedudukannya(status social dan keturunan) serta mengenai sanksi atas pelanggaran hukum adat tersebut. 

B. Rumusan Masalah 
1. Bagaimanakah hukum perorangan didalam hukum adat bali ? 
2. Bagaimanakah hukum kekeluargaan didalam hukum adat bali ? 
3. Bagaimanakah hukum perkawinan didalam hukum adat bali ? 
4. Bagaimanakah hukum waris didalam hukum adat bali ? 
5. Bagaimanakah keberadaan hukum delik adat yang ada dalam hukum adat bali ? 

C. Tujuan Berdasarkan rumusan masalah diatas dapat dilihat bahwa tujuan pembuatan makalah ini adalah agar kita dapat mengetahui hukum adat bali baik hukum perorangan, hukum kekeluargaan, hukum perkawinan, hukum waris, dan hukum delik adat. 

D. Manfaat Dapat menambah wawasan kita terhadap Hukum Adat Bali juga sebagai sebuah kewajiban bagi kita terutama mahasiswa asal bali untuk mengetahui adat bali, sehingga kita secara tidak langsung sudah ikut berkontribusi dalam menjaga hukum adat bali.. 

BAB II PEMBAHASAN 
A. Hukum Perorangan Hukum Perorangan, adalah keseluruhan kaedah hukum yang mengatur kedudukan manusia sebagai subjek hukum dan wewenang untuk memperoleh, memiliki, dan mempergunakan hak – hak dan kewajiban ke dalam lalu lintas hukum serta kecakapan untuk bertindak sendiri melaksanakan hak – haknya, juga hal – hal yang mempengaruhi kedudukan subjek hukum. Dalam artian sempit hokum perorangan dapat diartikan sebagai hukum orang yang hanya ketentuan orang sebagai subjek hokum. Dan dalam artian yang luas Hukum orang tidak hanya ketentuan orang sebagai subjek hukum tetapi juga termasuk aturan hukum keluarga. Pengertian hukum perorangan menurut subekti adalah peraturan-peraturan perihal kecakapan untuk memiliki hak dan kewajiban untuk bertindak sendiri, melaksanakan hakhaknya itu serta hal-hal yang mempengaruhi kecakapan itu. Definisi ini terlalu sempit karena hukum perorangan tidak hanya mengkaji ketiga hal tersebut, namun juga mengkaji tentang domisili dan catatan sipil. Jadi, hukum perorangan adalah keselurah kaidah-kaidah hukum yang mengatur tentang subyek hukum dan kewenangan, kecakapan, domisili, dan catatan sipil. Definisi ini dititikberatkan pada wewenang subyek hukum dan ruang lingkup peraturan hukum perorangan. 
1.Subjek Hukum Perorangan Subjek hukum adalah setiap pendukung hak dan kewajiban yaitu : manusia (Natuurlijk persoon) dan badan huum(rechts persoon). 
a)Manusia (Natuurlijk Persoon). Manusia menurut pengertian hukum terdiri dari tiga pengertian :
 1) Mens, yaitu manusia dalam pengertian biologis yang mempunyai anggota tubuh,kepala, tangan, kaki dan sebagainya.
 2) Persoon, yaitu manusia dalam pengertian yuridis,baik sebagi individu/pribadi maupun sebagai makhluk yang melakukan hubungan Hukum dalam masyarakat.
 3) Rehts Subject (Subjek Hukum).yaitu manusia dalam hubungan dengan hubungan hukum (rechts relatie), maka manusia sebagai pendukung hak dan kewajiban. 
Pada azasnya manusia (naturlijk persoon) merupakan subjek hukum (pendukung hak dan kewajiban ) sejak lahirnya sampai meninggal. Dapat dihitung surut, apabila memang untuk kepentingannya, dimulai ketika orang tersebut masih berada di dalam kandungan ibunya. (Teori Fiksi Hukum). Bahkan pasal 2 KUH.Perdata mengatakan : “ Anak ada dalam kandungan seorang perempuan dianggap telah dilahirkan (menjadi subjek hukum) bila mana kepentingan sianak menghendakinya misal mengenai pewarisan dan jika sianak mati sewaktu dilahirkan dianggap sebagai tidak pernah ada. 
b) Badan Hukum (Recht Person). Badan Hukum adalah subjek hukum yang bukan manuia yang mempunyai wewenang dan cakap bertindak dalam hukum melalui wakil-wakil atau pengurusnya. Sebagai subjek hukum yang bukan manusia tentu Badan Hukum mempunyai perbedaaan dengan Subjek hukum manusia terutama dalam lapangan Hukum Kekeluargaan seperti kawin,beranak,mempunyai kekuasaan sebagai suami atau orangtua dan sebagainya. 2. Cakap Hukum Menurt hukum adat cakap melakukan perbuatan hukum adalah orang-orang yang sudah dewasa. Ukuran dewasa dalam hukum adat bukanlah umur tetapi kenyataan-kenyataan tertentu. ‘Soepomo’ memberikan cirri-ciri seseorang dianggap dewasa yaitu : 
1) mampu bekerja (dapat mampu bekerja sendiri), cakap untuk melakukan segala pergaulan dalam kehidupan kemasyarakatan serta dapat mempertanggungjawabkan sendiri segala perbuatannya.
 2) Cakap mengurus harta bendanya dan keperluannya sendiri.
 3) Tidak menjadi tanggungan orang tua dan tidak serumah lagi dengan orang tuanya. 
Dibali sendiri hukum perorangan ini di identikkan dengan tanggungjawab seseorang berdasarkan atas kasta. Kasta ini merupakan sistem pelapisan sosial yang bersifat turun temurun. Dimana antara kasta yang satu dengan yang lainnya memiliki tugas dan wewenang serta hak kewajiban yang berbeda-beda. Adapun kasta tersebut seperti : Brahmana. Ksatria, waisya, dan sudra. Namun seiring perkembangan jaman sistem kasta ini mulai tidak menjadi pembatas antara kaum yang satu dengan lainnya. 

B. Hukum Kekeluargaan 
1. Pengertian Hukum Kekeluargaan Hukum keluarga diartikan sebagai keseluruhan ketentuan yang mengenai hubungan hukum yang bersangkutan dengan kekeluargaan sedarah dan kekeluargaan karena perkawinan (perkawinan, kekuasaan orang tua, perwalian, pengampunan, keadaan tak hadir). Kekeluargaan sedarah adalah pertalian keluarga yang terdapat antara beberapa orang yang mempunyai keluhuran yang sama. Hukum keluarga adalah keseluruhan norma-norma hukum, tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur hubungan-hubungan hukum yang bersangkutan dengan hubungan kekeluargaan, baik yang diakibatkan oleh hubungan darah maupun yang diakibatkan oleh suatu perbuatan tertentu. Hukum adat yang mengatur tentang bagaimana kedudukan pribadi seseorang sebagai anggota kerabat (keluarga), kedudukan anak terhadapa orang tua dan sebaliknya, kedudukan anak terhadap kerabat dan sebaliknya, dan masalah perwalian anak. Perbuatan-perbuatan hukum yang dapat menimbulkan hubungan kekeluargaan antara lain adalah pengangkatan anak dan perkawinan. Hubungan-hubungan kekaluargaan itu berisi hak-hak dan kewajiban-kewajiban dalam kehidupan keluarga, seperti hak dan kewajiban anak terhadap orang tua atau sebaliknya hak dan kewajiban suami istri, dan seterusnya. Norma-norma hukum yang tidak tertulis dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur hubungan-hubungan tersebut di sebut hukum adat kekeluargaan. Hubungan hukum kekeluargaan yang diatur oleh hukum keluarga ini umumnya disebabkan oleh adanya hubungan se-darah, tetapi ternyata tidak semua hubungan sedarah menimbulkan hubungan hukum kekeluargaan seperti misalnya kasus anakluar kawin yang tidak memiliki hubungan hukum dengan bapak biologisnya. Sebaliknya tidak semua hubungan kekeluargaan disebabkan oleh adanya hubungan darah, seperti terjadi dalam kasus anak angkat (sentana peperasan) • Di Bali Sentana Peperasan tidak semuanya memiliki hubungan darah dengan orang tuaangkat, tetapi karena sesuatu perbuatan hukum tertentu (pengangkatan anak) kemudian mereka mempunyai hubungan hukum kekeluargaan sama seperti hubungan anak kandung dengan orang tuanya. • Jadi Ruang hukum adat Keluarga di Bali meliputi : hubungan hukum antara anak dengan sanak saudara (kerabat) baik dari pihak Bapak maupun ibu, mengenai pemeliharaan anak dibawah umur terutama anak-anak yang ditinggal mati oleh orang tuanya. Kekeluargaan karena perkawinan adalah pertalian keluarga yang terdapat karena perkawinan antara seorang dengan keluarga sedarah dari istri (suaminya). 
2. Sistem Kekeluargaan 
• Sistem kekeluargaan diartikan sebagai cara menarik garis keturunan, sehingga dapat diketahui dengan siapa seseorang mempunyai garis keturunan
 • Secara umum sistem kekeluargaan di Indonesia dapat digolongkan atas tiga yaitu : - Sistem kekeluargaan patrilinial - Sistem kekeluargaan matrilinial - Sistem kekeluargaan parental 
• Masyarakat adat Bali menganut sistem kekeluargaan patrilinial atau kebapaan yang dikenal luas dengan istilah kepurusa atau purusa. 
Prinsip ini sesuai dengan sistem kekeluargaan yaang dianut dalam kitab Manawa Dharmasastra, yang dikenal sebagai kitab hukum Hindu. Hukum keluarga yang berlaku dalam suatu masyarakat sangat dipengaruhi oleh sistem kekeluargaan. Sistem kekeluargaan pada prinsipnya adalah suatu cara untuk menarik garis keturunan. Sistem kekeluargaan ini pula yang menjadi inti yang mempengaruhi bidang bidang hukum perkawinan dan waris, menentukan bagaimana bentukbentuk perkawinan serta siapa yang berstatus sebagai pelanjut keturunan dan menjadi ahli waris dalam keluarga. Sistem kekeluargaan yang berlaku di Indonesia sangat beragam, dan untuk Bali berlaku sistem kekeluargaan yang lebih dikenal dengan sistem kekeluargaan purusa. Menurut Prof. Dr. Mr. Barend Ter Haar, BZn disebut sebagai Hukum Kesanak Saudaraan ( Verwantschaps Recht ) dan Djaren Saragih, S.H. ( 1984 : 113 ) menamakannya sebagai Huum Keluarga ( Hukum Kesanak Saudaraan ), sedangkan Prof. H. Hilman Hadikusuma, S.H. ( 1992 : 201 ) menyebutkan sebagai Hukum Adat Kekerabtan. 
Pada dasarnya Hukum Adat Kekeluargaan atau Hukum Adat Kekerabatan, adalah :“ Hukum Adat yang mengatur tentang bagaimana kedudukan pribadi seseorang sebagai anggota kerabat ( keluarga ), kedudukan anak terhadap orang tua dan sebaliknya, kedudukan anak terhadap kerabat dan sebaliknya dan masalah perwakilan anak ” Dalam suasana Hukum Adat Indonesia, perbedaan dalam hubungan – hubungan yang ditimbulkan adalah merupakan akibat dari hubungan hukum yang disebut dengan Perkawinan dan hubungan – hubungan hukum Kesanak Saudaraan, selanjutnya itupun ditentukan oleh bentuk perkawinan yang dilakukan antara kedua belah pihak mempelai. Demikian pula kedudukan hukum dan keanggotaan dalam keluarga, seorang anak ditentukan oleh bentuk perkawinan orang tua. 3. Hubungan anak dengan keluarganya Pada umumnya hubungan anak dengan keluarganya ini sangat tergantung dari ke adaan sosial dalam masyarakat yang bersangkutan. Seperti yang kita ketahui di indonesia terdapat persekutuan-persekutuan yang susunan masyarakatnya berdasarkan 3 (tiga) macam garis keturunan, yaitu :
 a. Garis keturunan bapak (PATILINEAL)
 b. Garis ketrunan ibu ( matrilinel )
 c. Garis keturunan ibu –bapak ( parental ) 
Dalam persetuan hukum yang masyarakatnya menganut garis keturunan ibu bapak (Parental) atau disebut juga masyarakat Bilateral hubungan anak dengan pihak bapak maupun ibunya adalah sama eratnya ataupun sama derajatnya, sehingga dengan susunan bilateral ini maka mengenai larangan perkawinan, warisan, kewajiban memelihara dan lain – lain hukum terhadap kedua belah pihak keluarga adalah sama. Lain halnya dalam persekutuan hukum yang sifatnya uni lateral ( baik patrilinear maupun matriinear ) hubungan hukum dari pihak ibu maupun dari bapak lebih penting atau lebih tinggi derajatnya. Akan tetapi dalam hal ini bukan berarti bahwa hubungan kekeluargaan dari salah atu pihak tidak di akui, masalahnya hanya berhubungan dengan derajat saja yang berada secara graduasi. 
4. Memelihara anak piatu Apabila dalam suatu keluarga, salah satu dari orang tuanya, bapak atau ibunya, tidak ada lagi, maka kalau masih ada anak-anak yang belum dewasa, dalam susunan keturunan pihak bapak-ibu orang tua yang masih hidup yang memelihara anak-anak tersebut lebih lanjut. Jika kedua-dua orang tua sudah tidak ada lagi, maka yang memelihara anak-anak yang ditinggalkan adalah salah satu dari keluarga pihak bapak atau pihak ibu yang terdekat serta biasanya juga yang keadaannya yang paling memungkinkan untuk keperluan itu. 
5. Mengangkat anak (Adopsi) Mengangkat anak (adopsi) adalah suatu perbuatan pengambilan anak orang lain ke dalam keluarga sendiri demikian rupa, sehingga antara orang yang memungut anak dan anak yang dipungut itu timbul suatu hubungan kekeluargaan yang sama seperti yang ada antara orang tua dengan anak kandung sendiri. Perbuatan mengangkat anak demikian ini adalah merupakan gejala yang umum dalam negara Indonesia. Dilihat dari sudut anak yang dipungut, maka dapat dicatat adanya pengangkatanpengangkatan anak yang berikut: 
a. Mengangkat anak bukan warga keluarga Anak itu diambil dari lingkungan asalnya dan dimasukkan dalam keluarga orang yang mengangkat ia menjadi anak angkat. Lazimnya tindakan ini disertai dengan penyerahan baringbarang magis atau sejumlah uang kepada keluarga anak semula. Alasan adopsi adalah pada umumnya "takut tidak ada keturunan”. Adopsi harus terang, artinya wajib dilakukan dengan upacara adat serta dengan bantuan kepada adat. Adopsi demikian ini terdapat di daerah-daerah Gayo, Lampung, Pulau Nias dan Kalimantan 
b. Mengangkat anak dari kalangan keluarga Di Bali perbuatan ini disebut "nyentanayung". Anak lazimnya diambil dari salah suatu dan yang ada hubungan tradisionalnya, yaitu yang disebut purusa, tetapi akhir-akhir ini dapat pula anak diambil dari luar dan itu. Bahkan di beberapa desa dapat pula diambil anak dari lingkungan keluarga isteri (pradana). Prosedur pengambilan anak di Bali ini adalah seperti berikut:
 • Orang (laki-laki) yang ingin mengangkat anak itu lebih dahulu wajib mernbicarakan kehendaknya dengan keluarganya secara matang.
 • Anak yang akan diangkat hubungan kekeluargaan dengan ibunya dan dengan keluarganya secara adat harus diputuskan, yaitu dengan jalan membakar benang (hubungan anak dengan keluarganya putus) dan membayar menurut adat seribu kepeng disertai pakaian wanita lengkap (hubungan anak dengan ibu menjadi putus).
 • Anak kemudian dimasukkan dalam hubungan kekeluargaan dari keluarga yang memungutnya; istilahnya diperas.
 • Pengumuman kepada warga desa (siar); untuk siar ini pada jaman kerajaan dahulu dibutuhkan izin raja, sebab pegawai kerajaan untuk keperluan adopsi ini membuat "surat peras" (akta). 
c. Mengangkat anak dari kalangan keponakan-keponakan Perbuatan ini banyak terdapat di Jawa, Sulawesi dan beberapa daerah lainnya. Sebab-sebab untuk mengangkat keponakan sebagai anak angkat ini adalah: 
Pertama : Karena tidak mempunyai anak sendiri, sehingga memungut keponakan tersebut, merupakan jalan untuk mendapat keturunan.
 Kedua : Karena belum dikurnia anak, sehingga dengan memungut keponakan ini diharapkan akan mempercepat kemungkinan mendapat anak.
 Ketiga : Terdorong oleh rasa kasihan terhadap keponakan yang bersangkutan, misalnya karena hidupnya kurang terurus dan lain sebagainya. 
Dari pembahasan diatas saya dapat menyimpulkan bahwa hukum keluarga itu tidak lepas dari yang namanya perkawinan, karena keluarga ada dikarenakan adanya perkawinan. Kalau berbicara masalah keluarga kita juga harus tahu apa itu perkawinan, karena perkawinan ada hubungan yang sangat erat dengan keluarga. Selain itu kita juga bisa mengetahui sumber hukum keluarga diantaranya sumber hukum keluarga tertulis dan sumber hukum keluarga yang tidak tertulis serta kita dapat mengetahui ruang lingkup hukum keluarga yakni perkawinan, putusnya perkawinan, dan harta benda dalam perkawinan. 
C. Hukum Perkawinan Undang-Undang R.I. No. 1/1974 pasal 1 menyebutkan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang berbahagia dan kekal berdasarkan ke-Tuhan-an Yang Maha Esa. Akta Perkawinan, Sesuai dengan Undang-Undang No. 1/1974 pasal 2, Akta Perkawinan itu dicatatkan pada Kantor Catatan Sipil. Di Daerah Kabupaten yang kecil, pejabat catatan sipil kadang-kadang dirangkap oleh Bupati atau didelegasikan kepada Kepala Kecamatan. Jadi tugas catatan sipil disini bukanlah “mengawinkan” tetapi mencatatkan perkawinan itu agar mempunyai kekuatan hukum. UU Perkawinan no 1 th 1974, sahnya suatu perkawinan adalah sesuai hukum agama masing-masing. Jadi bagi umat Hindu, melalui proses upacara agama yang disebut “Mekalakalaan” (natab banten), biasanya dipuput oleh seorang pinandita. Didalam Hukum Adat Bali ada 4 sistem perkawinan :
 a. Sistim Mapadik/Meminang/Meminta Pihak calon suami meminta datang kerumah calon istri untuk mengadakan perkawinan; 
b. Sistim Ngerorod/Rangkat (kawin lari): Bentuk perkawinan cinta sama cinta berjalan berdua/beserta keluarga laki secara resmi tak diketahui keluarga perempuan.
 c. Sistim Nyentana/Nyeburin (selarian): Bentuk perkawinan berdasarkan perubahan status sebagai purusa dari pihak wanita dan sebagai pradana dari pihak laki. Perkawinan Pada Gelahang adalah “perkawinan yang dilangsungkan sesuai ajran agama Hindu dan hukum adat Bali yang tidak termasuk perkawinan biasa (‘kawin ke luar’) dan juga tidak termasuk perkawinan nyentana (‘kawin ke dalam’), melainkan suami dan istri tetap berstatus ke purusa dirumahnya masing-masing, sehingga harus mengemban dua tanggung jawab (swadharma). Tujuan Perkawinan / Wiwaha 
1. Tujuan pokok perkawinan adalah terwujudnya keluarga yang berbahagia lahir bathin. Kebahagiaan ini ditunjang oleh unsur-unsur material dan non material. 
2. Unsur material adalah tercukupinya kebutuhan sandang, pangan, dan papan/ perumahan (yang semuanya disebut Artha). 
3. Unsur non material adalah rasa kedekatan dengan Hyang Widhi (yang disebut Dharma), kepuasan sex, kasih sayang antara suami-istri-anak, adanya keturunan, keamanan rumah tangga, harga diri keluarga, dan eksistensi sosial di masyarakat (yang semuanya disebut Kama).
 D. Hukum Waris 
1. Pengertian Hukum Waris menurut ahli : 
a. Prof. Soepomo, merumuskan hukum waris adalah : Hukum waris memuat peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan serta mengoperkan barang-barang harta benda dan barangbarang tidak berwujud dari angkatan manusia kepada turunannya.
 b. Ter Haar, merumuskan hukum waris adalah Hukum waris meliputi peraturan-peraturan hukum yang bersangkutan dengan proses yang sangat mengesankan serta yang akan selalu berjalan tentang penerusan dan pengoperan kekayaan materiil dan immaterial dari suatu generasi kepada generasi berikutnya. 
c.Wirjono Prodjodikoro, S.H., menyatakan : Warisan itu adalah soal apakah dan bagaimanakah pelbagai hak-hak dan kewajiban-kewajiban tentang kekayaan sesorang pada waktu meninggal dunia akan beralih kepada orang lain yang masih hidup. 
2. Beberapa hal penting dalam Hukum Adat Waris : - Hukum adat waris erat hubungannya dengan sifat-sifat kekeluargaan dalam masyarakat hukum yang bersangkutan, misalnya Patrilineal, Matrilineal, dan Parental. - Pengoperan warisan dapat terjadi pada masa pemiliknya masih hidup yang disebut “penghibahan” atau hibah wasiat, dan dapat terjadi setelah pemiliknya meninggal dunia yang disebut warisan. - Dasar pembagian warisan adalah kerukunan dan kebersamaan serta memperhatikan keadaan istimewa dari tiap ahli waris - Adanya persamaan hak para ahli waris - Harta warisan tidak dapat dipaksakan untuk dibagi para ahli waris. - Pembagian warisan dapat ditunda ataupun yang dibagikan hanya sebagian saja. - Harta warisan tidak merupakan satu kestuan, tetapi harus dilihat dari sifat, macam asal dan kedudukan hukum dari barang-barang warisan tersebut. 
3. Hukum Waris di dalam Adat Bali Berbicara kehidupan bermasyarakat seringkali kita berhadapan dengan kesenjangan sosial. Di Bali sebagian besar beraggapan bahwa kaum perempuan sering ditindas dan tidak dihargai terutama persoalan pembagian waris. Hal ini disebabkan sistem kekeluargaan yang dianut di Bali. Suatu sistem apabila tidak dipahami secara benar maka akan melahirkan anggapan yang keliru bahkan menyesatkan. Waris memiliki peranan yang sangat penting dalam kehidupan umat manusia.Hukum waris adalah bagian dari hukum kekayaan, akan tetapi erat sekali kaitannya dengan hukum keluarga, karena seluruh pewarisan menurut undang-undang berdasarkan atas hubungan keluarga sedarah dan hubungan perkawinan. Dengan demikian, hukum waris termasuk bentuk campuran antara bidang yang dinamakan hukum kekayaan dan hukum keluarga. Masyarakat adat Bali menganut sistem kekeluargaan patrilineal atau kebapaan yang lebih dikenal luas dalam masyarakat Bali dengan istilah kepurusaan atau purusa. Kepurusaan tidak selalu keturunan berdasarkan garis laki-laki, adakalanya berdasarkan garis perempuan, terutama dalam perkawinan nyentana, ini terjadi bilamana sebuah keluarga tidak memiliki keturunan lakilaki. Sistim kewarisan menurut garis purusa yang sepenuhnya tidak identik dengan garis lurus laki-laki, karena perempuanpun bisa menjadi “Sentana Rajeg” sebagai penerus kedudukan sebagai kepala keluarga dan penerus keturunan keluarga. Prinsip-prinsip dalam kekeluargaan kepurusa sama dengan sistem kekeluargaan yang dianut dalam kitab Manawa Dharmasastra, yang dikenal sebagai salah satu kitab Hukum Hindu. hal ini tidak terlepas dari agama yang dianut mayoritas penduduk masyarakat Bali. 
Sistem kekeluargaan ini dalam ilmu hukum disebut sistem kekeluargaan patrilineal, sistem kekeluargaan ini dianut dalam masyarakat Batak, Nias, Sumba dan beberapa daerah lainnya. demikian juga halnya dalam pewarisan ternyata prinsip-prinsip pewarisan hampir serupa dengan ketentuan kitab Manawa Dharmasastra, hanya saja sedikit terjadi penyimpangan, dimana dalam Hukum Hindu perempuan mendapat seperempat, sedangkan di Bali perempuan tidak mendapat warisan. Seiring dengan kemajuan teknologi dan informasi, kaum perempuan mulai menuntut kesetaraan khususnya dalam hal pewarisan. Sebagian perempuan Hindu Bali menghendaki adanya pembagian warisan yang sama antara laki-laki dan perempuan, hal ini dianggap sebagai sebuah keadilan.
 Di Indonesia, sistem pewarisan menggunakan tiga sistem yaitu
 (1) sistem hukum waris Islam,
 (2) sistem hukum kewarisan perdata barat dari Burgerlijk Wetboek (BW) atau umum dikenal Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan
 (3) sistem hukum adat. 
Tampaknya tuntutan pembagian warisan yang sama antara laki-laki dan perempuan dipengaruhi sistem kewarisan dalam hukum kewarisan perdata barat (BW), dimana keturunan laki-laki dan perempuan mendapat warisan yang sama. Sedangkan di Bali sistem kewarisan menggunakan sistem kewarisan adat yang dijiwai Hukum Agama Hindu. Berbicara warisan memang seolah-olah ada kesenjangan didalam hukum adat Bali, tetapi sebenarnya tidak demikian. Berbicara warisan adalah berbicara hak dan kewajiban. 
Perempuan Bali pada umumnya hanya sedikit mendapatkan warisan bahkan hampir tidak mendapat warisan sedangkan lelaki mendapat warisan lebih besar. Perempuan yang kawin adalah wajar mendapat sedikit warisan dari orang tua kandungnya karena ia akan melakukan kewajiban di rumah suaminya dan mendapat warisan bersama sang suami. sedangkan seorang laki-laki akan melaksanakan kewajiban yang besar terhadap leluhurnya misalnya upacara “ngaben”, sehingga wajar ia mendapatkan warisan lebih besar pula. Menurut Ketut Sri Utari (2006), Konsep warisan dalam hukum adat bali memiliki beda makna dengan warisan dalam pengertian hukum barat, yang selalu merupakan hak dan bersifat materiil atau memiliki nilai uang. 
Di Bali warisan mengandung hak dan kewajiban yang tidak bisa ditolak bersifat materiil maupun inmaterial. Laki-laki menerima warisan biasanya berupa: 
1) Kewajiban terhadap Desa Adat 
2) Kewajiban menjaga kelangsungan ibadah pura, pemerajan yang bersifat dewa yadnya 
3) Kewajiban melakukan manusia yadnya dan pitra yadnya terhadap anggota keluarga, orang tua maupun saudari perempuannya yang janda atau gadis. 
4) Kewajiban melanjutkan keturunan dengan memiliki anak kandung atau anak angkat 
5) Mewarisi harta kekayaan keluarga sebaliknya juga semua hutang piutang. 
6) Memelihara hidup anggota keluarga termasuk saudari-saudari yang menjadi tanggungjawabnya. 
Dari 6 angka di atas ternyata 5 merupakan kewajiban dan hanya satu hak mewaris harta kekayaan. Akan sangat beruntung anak laki-laki bila orang tua kaya, tetapi lebih banyak yang apes/tidak beruntung bila hidup mereka pas-pasan dan bahkan bila sangat miskin seperti itu, tanggungjawab tetap harus dipikulnya. Apabila berbicara warisan tidak berpedoman pada hak dan kewajiban maka akan terjadi kesesatan dalam berpikir. Seperti beberapa daftar kewajiban utama keturunan laki-laki maka dapat disimpulkan kewajiban dan tanggung jawab keturunan laki-laki begitu berat. Sehingga wajar mendapat warisan lebih besar. Selain itu sebenarnya hukum Hindu (adat) juga tidak melarang orang tua memberi hibah berupa tanah untuk anak perempuannya yang kawin, inilah yang disebut dengan harta tatadan, tentu wewenang sepenuhnya ada pada orang tua. Seorang perempuan Hindu yang kawin juga mendapat “bekel” atau harta bawaan dan apabila ditinjau dari sudut pandang hukum Hindu perempuan mendapat bagian warisan seperempat dari keturunan laki-laki. Sebagai akibat hukum yang timbul atas pemberian harta tatadan, harus merawat orang tua nantinya kalau ia sudah sakit-sakitan sebagai wujud bhakti anak terhadap orang tua dan juga harus memelihara harta tatadan yang diberikan oleh orang tuanya. Dikemudian hari, bilamana diperlukan oleh orang tuannya, niscaya dapat dimanfaatkan. Hal ini wajar sebab sudah merupakan hukum siapa yang menerima hak maka akan melakukan kewajiban. Apabila kita bandingkan dengan sistem kewarisan perdata barat (BW) yang hanya berorientasi pada pembagian harta benda saja memang tampak pembagian warisan hukum Hindu maupun hukum adat Bali seolah-olah tidak adil. Tetapi apabila dilihat dari hak dan kewajiban justru pembagian warisan yang sama bukanlah sebuah keadilan melainkan ketidak adilan. Bagimanapun juga adat ketimuran selalu mengedapankan kewajiban kemudian hak mengikuti. Demikian pula halnya dalam hukum waris, siapa yang menanggung kewajiban maka ia pula yang mendapatkan hak, dalam hal ini hak berupa warisan. Seharusnya perempuan merasa beruntung menjadi individu yang bebas mengekspresikan dirinya, tak terikat kewajiban keluarga akibat hukum tidak menerima hak berupa warisan. Perlu ditekankan kembali bahwa pada dasarnya warisan bukan uttuk dibagi-bagi melainkan untuk dipelihara dan dijaga bersama, terutama warisan yang berupa tanah dan pura keluarga. Selain itu pula berdasarkan “Peraturan (Peswara) tanggal, 13 Oktober 1900 tentang hukum waris berlaku bagi penduduk Hindu Bali dari Kabupaten Buleleng” dikeluarkan oleh Residen Bali dan Lombok dengan permusyawarahan bersama-sama Pedanda-pedanda dan punggawa-punggawa[6], pasal 1 ayat 2 dnyatakan “Sebelum pengabenan diselenggarakan, dilarang melakukan pembagian atas harta peninggalan itu atau melepaskan (mendjual, menggadaikan, dsb), ketjuali untuk keperluan tersebut’. Selanjutnya pasal 2 ayat 1 dinyatakan pula bahwa sisa dari pembiayaan tersebut digunakan untuk keperluan-keperluan keluarga yang ditinggalkan (mungkin maksudnya istri sang pewaris, anak angkat, dsb). 
Dalam hukum adat Bali, dalam pewarisan pada prinsipnya berlaku asas keseimbangan antara hak dan kewajiban, baik kewajiban material maupun immateriil. Kewajibankewajiban yang bersifat materril antara lain meliputi kewajiban pemeliharaan timbal balik antara anak dengan orang tua, baik ketika orang tua masih hidup ataupun setelah meninggal. Kewajiban yang bersifat immateriil, antara lain meliputi tanggung jawab terhadap kelangsungan tempat suci (sanggah,merajan) dimana para roh leluhur disemayamkan. Pengabaian terhadap kewajibankewajiban tersebut dapat menyebabkan gugurnya hak seseorang sebagai ahli waris. 
E. Hukum Delik Adat 
1. Hukum Delik Adat Ruang lingkup Delik Adat meliputi lingkup dari hukum perdata adat, yaitu hukum pribadi, hukum harta kekayaan, hukum keluarga dan hukum waris. Didalam setiap masyarakat pasti akan terdapat ukuran mengenai hal apa yang baik dan apa yang buruk. Perihal apa yang buruk atau sikap tindak yang dipandang sangat tercela itu akan mendapatkan imbalan yang negative/sanksi. Soepomo menyatakan bahwa Delik Adat : “ Segala perbuatan atau kejadian yang sangat menggangu kekuatan batin masyarakat, segala perbuatan atau kejadian yang mencemarkan suasana batin, yang menentang kesucian masyarakat, merupakan delik terhadap masyarakat seluruhnya” Selanjutnya dinyatakan pula : “Delik yang paling berat ialah segala pelanggaran yang memperkosa perimbangan antara dunia lahir dan dunia gaib, serta pelanggaran yang memperkosa dasar susunan masyarakat”. Walaupun agak abstrak, tetapi dapat diperoleh suatu pedoman sebagai ukuran dalam menentukan sikap-tindak yang merupakan kejahatan, yaitu sikap tindak yang mencerminkan ketertiban batin masyarakat dengan ketertiban dunia gaib. Dengan demikian (Purnadi Purbacaraka, Soerjono Soekanto mengatakan : “... menurut pandangan adat, ketertiban ada dalam alam semesta atau osmos. Kegiatan-kegiatan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat serta warga –warganya ditempatkan didalam garis ketertiban kosmis tersebut. Bagi setiap orang garis ketertiban kosmis tersebut harus dijalnkan dengan spontan atau serta merta........ .Penyelewengan atau sikap-tindak (perikelakuan) yang menggangu keseimbangan kosmis, maka para pelakunya harus mengembalikan keslarasan yang semula” Menurut Teer Haar, suatu delik itu sebagai tiap-tiap gangguan dari keseimbangan, tiap-tiap gangguan pada barang-barang materiil dan immaterial milik hidup seorang atau kesatuan orang-orang yang menyebabkan timbulnya suatu reaksi adat, yang dengan reaksi ini keseimbangan akan dan harus dapat dipulihkan kembali. Pada dasarnya suatu adat delik itu merupakan suatu tindakan yang melanggar perasaan keadilan dan kepatuhannya yang hidup dalam masyarakat, sehingga menyebabkan terganggunya ketentraman serta keseimbangan masyarakat yang bersangkutan, guna memulihkan keadaan ini maka terjadilah reaksi-reaksi adat. Dari pernyataan-pernyataan di atas, dapat diambil suatu landasan untuk dapat menentukan sikap-tindak yang dipandang sebagai suatu kejahatan, dan merupakan petunjuk mengenai reaksi adat yang akan diberikan. Dengan memperhatikan pandangan di atas, maka dapat diadakan klasifikasi beberapa sikaptindak yang merupakan kejahatan, yaitu : 
A. Kejahatan karena merusak dasar susunan masyarakat. 
1) kejahatan yang merupakan perkara sumbang, yaitu mereka yang melakukan perkawinan, padahal diantara mereka itu berlaku larangan perkawinan. Larangan perkawinan itu dapat berdasarkan atas : 
a. eratnya ikatan hubungan darah 
b. struktur social (stratifikasi social), misalnya antara mereka yang tidak sederajat 
2) kejahatan melarikan gadis (“schaking”), walaupun untuk dikawini 
B. Kejahatan terhadap jiwa, harta, dan masyarakat pada umumnya 
1. Kejahatan terhadap kepala adat 
2. Pembakaran
 3. Penghianatan 
2. Beberapa jenis delik dalam lapangan hukum adat 
a. Delik yang paling berat adalah segala pelanggaran yang memperkosa perimbangan antara dunia lahirdan dunia gaib serta segala pelanggaran yang memperkosa susunan masyarakat 
b. Delik terhadap diri sendiri, kepala adat juga masyarakat seluruhnya, karena kepala adat merupakan penjelmaan masyarakat.
 c. Delik yang menyangkut perbuatan sihir atau tenung
 d. Segala perbutan dan kekuatan yang menggangu batin masyarakat, dan mencemarkan suasana batin masyarakat 
e. Delik yang merusak dasar susunan masyarkat, misalnya incest 
f. Delik yang menentang kepentingan umum masyarakat dan menentang kepentingan hukum suatu golongan famili 
g. Delik yang melanggar kehormatan famili serta melanggar kepentingan hukum seorang sebagai suami. 
h. Delik mengeani badan seseorang misalnya malukai
 3. Obyek delik adat Didalam bagian ini akan dijelaskan perihal reaksi masyarakat terhadap perilaku yang dianggap menyeleweng. Untuk hal ini, masyarakat yang diwakili oleh pemimpinpemimpinnya, telah menggariskan ketentuan-ketentuan tertentu didalam hukum adat, yang fungsi utamanya, adalah sebagai berikut : 
a. Merumuskan pedoman bagaiman warga masyarakat seharusnya berperilaku , sehingga terjadi integrasi dalam masyarakat 
b. Menetralisasikan kekuatan-kekuatan dalam masyarakat sehingga dapat dimanfaatkan untuk mengadakan ketertiban.
 c. Mengatasi persengketaan, agar keadaan semula pulih kembali d. Merumuskan kembali pedoman-pedoman yang mengatur hubungan antara warga-warga masyarakat dan kelompok-kelompok apabila terjadi perubahan-perubahan.
 Dengan demikian maka perilaku tertentu akan mendapatkan reaksi tertentu pula. Apabila reaksi tersebut bersifat negative, maka masyarakat menghendaki adanya pemulihan keadaan yang dianggap telah rusak oleh sebab perilakuperilaku tertentu (yang dianggap sebagai penyelewengan) Didalam praktek kehidupan sehari-hari, memang sulit untuk memisahkan reaksi adat dengan koreksi, yang seringkali dianggap sebagai tahap-tahap yang saling mengikuti. Secara teoritis, maka reaksi merupakan suatu perilaku serta merta terhadap perilaku tertentu, yang kemudian diikuti dengan usaha untuk memperbaiki keadaan, yaitu koreksi yang mungkin berwujud sanksi negatif . Rekasi adat merupakan suatu perilaku untuk memberikan, klasifikasi tertentu pada perilaku tertentu, sedangkan koreksi merupakan usaha untuk memulihkan perimbangan antara dunia lahir dengan gaib. 
Betapa sulitnya untuk memisahkan kedua tahap tersebut, tampak, antara lain dari pernyataan Soepomo yang mencakup : 
a. pengganti kerugian “imateriel” dalam pelbagai rupa seperti paksaan menikah gadis yang telah dicemarkan 
b. bayaran “uang adat” kepada orang yang terkena, yang berupa benda yang sakti sebagai pengganti kerugian rohani. 
c. Selamatan (korban) untuk membersihkan masyarakat dari segala kotoran gaib
 d. Penutup malu, permintaan maaf
 e. Pelbagai rupa hukuman badan, hingga hukuman mati 
f. Pengasingan dari masyarakat serta meletakkan orang di lua tata hukum Dengan demikian, maka baik reaksi adat maupunkoreksi, terutama bertujuan untuk emmulihkan keseimbangan kosmis, yang mungkin sekali mempunyai akibat pada warga masyarakat yang melakukan penyelewengan.
 4. Petugas hukum untuk perkara adat Menurut Undang-Undang Darurat No. 1/1951 yang mempertahankan ketentuanketentuan dalam Ordonansi tanggal 9 Maret 1935 Ataatblad No. 102 tahun 1955, Statblad No. 102/1945 maka hakim perdamaian desa diakui berwenang memeriksa segala perkara adat, termasuk juga perkara delik adat. Didalam kenyataan sekarang ini, hakim perdamaian desa biasanya memeriksa delik adat yang tidak juga sekaligus delik menurut KUH Pidana. Delik-delik adat yang juga merupakan delik menurut KUH Pidana, rakyat desa lambat laun telah menerima dan menganmgap sebagai sutu yang wajar bila yang bersalah itu diadili serta dijatuhi hukuman oleh hakim pengadilan Negeri dengan pidana yang ditentukan oleh KUH Pidana. Untuk meningkatkan pemaman kita terkait hokum delik adat ini, berikut kami akan memberikan contoh terkait berlakunya hokum delik adat di bali : Seorang lakilaki bernama Nyoman T warga Banjar bekerja sebagai pegawai negeri sipil dengan karir yang bagus karena dengan cepat ia dapat meraih posisi sebagai pejabat eselon III, disuatu isntansi pemerintah. Karena pekerjaannya itu ia kemudian tinggal di kota Denpasar. Karena kesibukannya sebagai PNS dan tinggal jauh dari desa kelahirannya maka ia tidak dapat bergaul seharihari dengan tetangga- tetangganya sesama warga Banjar C. Ia juga jarang sekali mendapat informasi mengenai kegiatankegiatan adat dan agama yang berlangsung di banjarnya sehingga ia tidak dapat mengikuti kegiatankegiatan tersebut. Dalam suatu sangkepan banjar, Nyoman T dan keluarganya dijatuhi sanksi adat kasepekang atas dasar telah melakukan pelanggaran adat, yaitu tidak membayar urunan ke banjar selama 3 tahun berturutturut. Suatu ketika istri Nyoman T meninggal, Kelian Banjar C atas nama kerama banjar C melarang. Nyoman T menguburkan jenasah istrinya di setra milik Banjar 

C. BAB III PENUTUP 
A. Kesimpulan Dari uraian makalah kami ini dapat kami simpulkan bahwa hukum adat bali merupakan sekumpulan peraturan baik tertulis/awig-awig maupun tidak tertulis berdasarkan atas kebiasaan yang menjadi arah dan petunjuk dan batasan terhadap aktivitas agama ataupun perbuatan anggota masyarakat adat. Adapun beberapa contoh hokum adat bali itu mengatur baik hokum perorangan, hokum kekeluargaan, hokum waris, hokum perkawinan dan hokum delik adat. Selain itu hokum adat bali juga sangat erat kaitannya bahkan tidak terpisahkan dengan agama hindu, karena beberapa dari 20 hukum adat yang ada bersumber dari ajaran agama. Sehingga kadang sulit dibedakan antara hukum adat dengan agama. Sehingga hokum adat bali ini pada akhirnya akan menunjukkan jiwa/roh masyarakat bali yang kental dengan budaya, dan tradisinya. Dari hokum adat bali itu merupakan perwujudan dari konsep Tri Hita Karane , Bagaimana menjalin hubungan yang harmonis antara manusia dengan tuhan, manusia dengan sesamanya, dan hubungan manusia dengan alam. 
B. Saran Melihat perkembangan jaman tentu membawa perubahan, karena sifat hokum yang mengikuti pekembangan manusia , begitu juga hokum adat bali sehingga untuk dapat memahami secara uuh hokum adat bali perlu pengkajian mengenai bagaimana perkembangan hokum adat di bal DAFTAR PUSTAKA Soepomo, Bab–Bab tentang Hukum Adat, Jakarta: Pradnya Paramita, 1996. Ter Haar, B, Asas–asas dan Susunan Hukum Adat, Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 2001. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.