Kenaikan Harga Bahan Pokok Saat
Puasa dan Lebaran Telah Direncanakan
Jakarta – Melonjaknya harga bahan pokok saat menyambut ramadhan dan
lebaran seolah telah direncanakan sejak awal, dalam hal ini seperti ada
permainan para kartel yang ikut membuat harga barang naik.
Wakil Ketua Umum Partai Gerindra
Edhy Prabowo mengatakan situasi ini seakan menjadi kebiasaan tahunan yang harus
dihadapi rakyat kurang mampu.
“Kenapa tidak ada antisipasi dari
awal. Saya melihat sengaja kita impor, kan kalau impor pengusaha yang
diuntungkan, masyarakat semakin menjerit,” ujar Edhy Prabowo saat dihubungi
Kamis (18/07/2013).
Kata dia, Partai Gerindra sangat
menentang habis-habisan impor produk hortikultura karena petani dan kekayaan
alam mampu memasok kebutuhan masyarakat. Namun manakala kebutuhan masyarakat
tidak terpenuhi, jalan satu-satunya dengan terpaksa adalah impor.
“Kan kalau sudah butuh ya gimana
lagi,” terang Anggota Komisi IV DPR RI ini.
Menurut dia, yang patut disalah saat
ini adalah Menteri Perdagangan Gita Wirjawan dan Menteri Pertanian Suswono, dua
menteri ini katanya salah menyusun sistem/perancanaan dan kurang koordinasi
dalam menjalankan dan melihat kebutuhan pasar.
“Bukan memuji SBY. SBY sudah benar mengkritik
menterinya, SBY tidak salah, terlalu jauh menyalahkan SBY. Ini kan tugas
Menteri Pertanian dan Menteri Perdagangan yang tidak jalan bersama,” tandas
Sekretaris Fraksi Gerindra DPR RI ini.
Bali Age, Bali Majapahit, Setelah kurang lebih tujuh abad, terjadi mengembang biakan (hibriditas)identitas
orang Bali. Dalam hibriditas identitas itu terjadi konflik dan
integrasi sosial. Konflik dan integrasi sosial bersifat elastis dan
fluktuatif, seperti "gelang karet". Dalam kurun waktu tertentu, rumusan
pembeda identitas menjadi sedemikian renggangnya hingga menimbulkan
konflik. Namun dalam konjungtur waktu yang berbeda, sebuah pembeda
identitas tidak relevan lagi dan merumuskan pembeda yang baru. Misalnya,
Kini orang Bali berbicara tentang "kehilangan Ke-Balian" untuk
menegaskan posisi mereka berhadapan dengan kepentingan ekonomi-politik
luar Bali. Akibatnya, pembeda identitas lain yang pernah ada seperti
Bali Age-Bali Majapahit dan identitas Kewangsaan menjadi pudar. Dan
rumusan menjadi orang Bali menjadi sumber integrasi sosial. Di sini kita
bisa melihat bahwa identitas di Bali memenuhi fungsinya yang
instrumentalis.
Identitas dalam Sejarah
Secara historis, identitas orang Bali berkembang menjadi beberapa kategori pembeda. Pertama,
identitas Bali Mula dan Bali Majapahit. Dimulai sekitar tahun 1350
Masehi ketika Sri Kresna Kepakisan, pemegang kuasa Majapahit atas Bali,
mengukuhkan identitas sosial baru. Wong Majapahit, yang membedakan
dengan identitas penduduk lokal Bali sebelumnya, yang disebut Wong Age
(Bali Age). Identitas itu memberi pembeda dalam lapangan kebudayaan,
agama dan politik sampai saat ini.
Secara
geokultural, orang-orang Bali keturunan Majapahit tinggal di daerah
Bali dataran yang berlimpah dengan air. Sehingga, mereka mengenal sistem
pengairan (subak) dan juga menganut sistem apanage.
Secara politis, orang Bali dataran lebih memilih sistem kepemimpinan
tunggal dan monolitik. Mereka mengenal Puri dan Grya sebagai pemegang
otoritas ekonomi-politik dan kultural. Sebaliknya, orang Bali Age
tinggal di wilayah pedalaman yang berbukit-bukit. Secara ekologis,
mereka sangat tergantung pada alam dan sumber daya hutan. Secara
politis, mempunyai sistem sosial yang komunal dan kepemimpinan kolektif.
Kedua, sejalan dengan tegaknya kekuasaan Majapahit di Bali maka lahir pembeda lain yang didasarkan atas identitas kewangsaan yaitu antara tri wangsa dan jaba wangsa. Pembeda
identitas kewangsaan ini asal usulnya bisa dilacak dari dua doktrin
keagamaan Hindu-Majapahit: doktrin dewa raja dan doktrin wangsa. Dalam
doktrin Dewa-raja, raja dan ksatrya wangsa (negara) merupakan
representasi daulat kekuasaan kedewaan. Sehingga, identitas kewangsaan
itu memikul tugas "suci" menegakan kekuasaan kedewaan dengan membangun
tertib sosial dan moral.
Dalam doktrin ini tatanan masyarakat dibayangkan seperti tubuh manusia (organic),
yang mempunyai kepala, badan, kaki dan tangan. Setiap elemen dalam
tubuh manusia mempunya fungsi dan tugas sendiri-sendiri. Walaupun
demikian, kepala dianggap sebagai organ yang utama. Paham tentang tubuh
manusia ini lalu diturunkan ke dalam tatanan sosial. Implikasinya, lahir
stratifikasi dan hieraki sosial. Konsekuensi pemahaman doktrinal
keagamaan seperti itu mengakibatkan tata sosial-politik di Bali di masa
lalu menempatkan "linggih" dan "sor-singgih" menjadi sangat sentral. "Linggih" dan "sor-singgih" lalu diterjemahkan ke dalam struktur kebahasaan yang hierarkis (sor-singgih base), perbedaan gaya hidup (nganutin antuk linggih) maupun sakralisasi status sosial.
Ketiga,
disintegrasi kekuasaan Gelgel pada tahun 1700 yang diikuti oleh
masuknya kolonial pada tahun 1908 memunculkan pembeda identitas yang
bersendi pada sikap orang Bali pada republik: golongan reaksioner dan
republiken. Identitas ini berkembang pada masa revolusi (1945-1950).
Saat itu, kekuasaan politik masih berada di tangan Dewan Raja-raja.
Kekuasaan mereka mendapatkan legitimasi dari NICA yang datang ke Bali
setelah kekalahan Jepang. Untuk mengukuhkan kekuasaannya, beberapa raja
kemudian membentuk gerakan yang disebut gerakan reaksioner. Mereka juga
membentuk milisi sipil yang direkrut dari kalangan pemuda. Milisi ini
dibentuk untuk menghadapi pejuang gerilya pro republik. Pejuang pro
republik ini kemudian disebut golongan republiken.
Kapitalisme Pariwisata dan Kebalian
Pembeda yang keempat adalah identitas Ke-Balian. Gejala menguatnya identitas Ke-Balian ini bisa dimaknai dalam tiga kategori. Pertama, ia muncul sebagai instrumen resistensi dari aktor-aktor (agency) lokal terhadap berbagai proses sosial-ekonomi-politik yang terjadi di Bali. Kedua, sebagai invensi dari modernitas dan Negara. Ketiga, antara resistensi dan invensi saling menguatkan identitas Ke-Balian.
Sebagai
invensi modernitas, Ke-Balian muncul sebagai kreativitas aktor-aktor
modern memanfaatkan tradisi untuk mengakumulasi kapital (modernitas).
Hal yang sama dilakukan oleh Negara yang memanfaatkan tradisi untuk
kepentingannya pembangunan, pertumbuhan ekonomi, stabilitas dan
sebagainya.
Sebagai
bentuk resistensi fenomena penguatan Ke-Balian merupakan reaksi
terhadap kehadiran dua kekuatan yaitu rezim modernitas dan proses
negaraisasi. Rezim modernitas mempunyai kekuatan mengontrol individu
dalam komunitas untuk memenuhi standar kehidupan modern melalui berbagai
proyek pendisiplinan. Modernitas kemudian membawa apa yang disebut
homogenisasi "taste of culture" yang meniadakan
keunikan dan keberbedaan. Dalam konteks inilah identitas digunakan untuk
melakukan penolakan "penyeragaman" oleh modernitas.
Selain itu, identitas Ke-Balian merupakan reaksi atas perubahan konfigurasi
ekonomi-politik akibat Kapitalisme Pariwisata. Intensifnya perkembangan
pariwisata di Bali sejalan dengan menurunnya kemampuan Negara sebagai
motor penggerak ekonomi pasca oil boom, mendorong munculnya gelombang migrasi dari daerah-daerah di luar Bali.
Berbeda
dengan pola migrasi pada masa Gelgel dan kolonial, kehadiran migran
dalam konteks pasca kolonial lebih didorong oleh rasionalitas ekonomi
yang bertemu dengan logika kapitalisme-pasar. Kalangan migran baru ini mempunyai sejumlah rasionalitas ekonomi sebagai alasan utama untuk berpindah ke Bali.
Dari Pertukaran menuju Kompetisi
Kehadiran pendatang dapat dipastikan menimbulkan perubahan konfigurasi
demografik di Bali. Bali yang dulu dikenal sebagai daerah homogen kini
menjadi heterogen, terutama di kawasan pariwisata. Kehadiran pendatang
juga menimbulkan pergeseran pola relasi pendatang-pribumi, dari hubungan
pertukaran menjadi relasi yang kompetitif. Pergeseran ini terjadi
ketika perkembangan pariwisata membawa ketimpangan antara lapangan kerja
yang tersedia dengan jumlah pencari kerja. Di beberapa sektor ekonomi,
kehadiran tenaga kerja pendatang memang menjadi komplementer (muncul exchange)
karena kelangkaan tenaga kerja lokal yang masuk ke sektor ekonomi itu.
Namun, sebagian besar sektor-sektor ekonomi menjadi arena kompetisi
antara penduduk lokal dan pendatang. Dalam ruang ini, orang Bali
bersaing dengan orang Jawa, Sumatera dan sebagainya untuk memperebutkan
lapangan kerja.
Kompetisi tidak hanya terjadi dalam perebutan lapangan pekerjaan,
melainkan juga dalam kompetisi antar pemodal dan kelas menengah
profesional. Kaum kapitalis lokal bersaing dengan pemodal dari luar
Bali. Sedangkan kaum profesional Bali juga harus menghadapi persaingan
dengan kaum profesional dari luar Bali.
Selain
membangun kompetisi ekonomi, perkembangan kapitalisme di Bali juga
mengukuhkan prasangka etnis di bidang ekonomi. Logika kapital yang lebih
memperhatikan keuntungan ekonomi mendorong kaum kapitalis, baik orang
Bali maupun orang non Bali, untuk mendapatkan tenaga kerja yang bisa
dibayar murah serta tidak merugikan akumulasi kapital. Pilihan mencari
tenaga kerja murah menyebabkan kaum pemodal kemudian lebih "melirik"
tenaga kerja pendatang, karena umumnya mereka mau dibayar lebih murah.
Selain
itu, pilihan terhadap tenaga kerja pendatang juga dilakukan atas
prasangka etnisitas: karena tenaga kerja Bali dianggap "banyak libur".
Streotipe ini muncul ketika orang Bali harus terlibat dalam kegiatan
adat (ayahan ke Banjar dan Desa Adat) dan keagamaan (hari raya
keagamaan). Konsekuensi logisnya, kapitalis lebih diuntungkan bila
merekrut tenaga kerja pendatang dibandingkan dengan tenaga kerja lokal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar