Politik & Ekonomi

*** Catatan: Enam Langkah untuk Sahabat Pejuang ***

Adalah sebuah kehormatan besar bagi saya sahabat sudah berkenan bergabung dengan halaman FB saya ini.

Saya membaca sebagian dari sahabat bergabung dengan halaman saya karena rasa penasaran. Sebagian dari sahabat bergabung karena sudah tidak bisa tinggal diam melihat keadaan yang ada, dan ingin turut berjuang bersama saya.

Sahabat, sudah lebih dari 10 tahun saya mengatakan: Sistim neoliberalisme atau pasar bebas yang kebablasan yang dijalankan oleh bangsa kita saat ini hanya dapat memberikan kesejahteraan bagi segelintir keluarga saja.

Beberapa waktu lalu, terbukti apa yang saya katakan dibenarkan oleh sejarah. Sistim ekonomi neoliberal, sistim ekonomi yang terlampau bebas, bahkan gagal membawa kesejahteraan dan keadilan sosial – di negara asalnya, dan bagi rakyatnya sendiri.

Sistim neoliberalisme menjadikan impor sebagai jalan keluar permanen bagi ketidakmampuan Pemerintah untuk swasembada beras, cabai, bawang, ikan, daging, kedelai, bahan bakar dan berbagai kebutuhan pokok lainnya.

Bayangkan, negara dengan salah satu curah hujan dan intensitas matahari terbaik di dunia harus impor cabai.

Kita juga dapat membaca, bagaimana sistim neoliberalisme membiarkan kekayaan bangsa kita terus mengalir ke luar negeri. Sebagian besar kekayaan bumi kita sudah dikuasai oleh perusahaan asing, dan terus diambil dan dikirimkan ke luar negeri. Putera dan puteri bangsa Indonesia dibiarkan hanya menjadi kacung di negeri sendiri.

Lantas, apa yang dapat kita perbuat? Sahabat perbuat?

Sahabat, yang kita hadapi saat ini adalah sebuah peperangan yang disebut "perception warfare". Peperangan persepsi.

Kita tidak punya radio, koran dan televisi. Oleh karena itu, kita harus manfaatkan dengan benar media internet dan door-to-door untuk memenangkan peperangan persepsi ini.

Berikut saya sampaikan, enam langkah yang sahabat dapat lakukan hari ini menggunakan komputer sahabat:

1) Luangkan waktu untuk mempelajari pokok-pokok perjuangan saya dan Gerindra. Misalkan, melalui YouTube presentasi saya mengenai tantangan bangsa berikut: http://youtu.be/Mm3WGWgxDX8, dan YouTube presentasi saya mengenai pembiayaan strategi pembangunan kedepan berikut: http://youtu.be/kdFKFWfkjbw.

Selain melalui YouTube, sahabat juga dapat membaca pokok-pokok pemikiran saya di surat-surat terbuka saya yang telah dikumpulkan di alamat blog: http://www.kompasiana.com/partaigerindra.

2) Buka halaman FB saya ini, dan FB Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra). Gunakan tombol "invite" atau "ajak" untuk mengajak semua kerabat untuk bergabung.

3) Catat siapa saja kerabat yang sudah bergabung, dan ajak mereka untuk ikut bergerak melakukan 6 langkah ini.

4) Rumuskan, tuliskan dan publikasikan alasan mengapa sahabat berkenan bergabung untuk berjuang di Facebook, Twitter, serta blog yang sahabat miliki.

Jika berkenan, sahabat juga dapat meneruskan YouTube dan tulisan-tulisan yang telah saya produksi. Semua video saya, dapat sahabat temukan di www.Gerindra.TV

5) Saya tidak bisa berada di semua tempat untuk menjaga agar Gerindra tetap bersih dan terhormat. Kebersihan dan kehormatan Gerindra adalah syarat mutlak agar kita bisa meraih kepercayaan di Pemilu 2014.

Oleh karena itu, saya titip mata dan telinga - jika sahabat melihat atau mendengar ada tingkah laku kader Gerindra yang tidak baik, gunakan: www.LaporPrabowo.com.

6) Jika sahabat memiliki kemampuan lebih, silahkan buka www.TokoGerindra.com. Seluruh dana yang terkumpul dari penjualan kaos, adalah untuk membiayai perjuangan kita.

Terima kasih. Berbagai kekuatan gelap, para koruptor dan komprador dan Korawa akan terus bersatu untuk melawan niat tulus kita. Oleh karena itu, kita harus memilih untuk berjuang, berjuang dan terus berjuang sampai dengan hembusan nafas kita terakhir. Inilah ajaran nenek moyang kita. Jangan pernah menyerah, jangan pernah menyerah, jangan pernah menyerah.

Jangan kita berdiam diri, negara kita dibilang negara paling korup di dunia. Jangan kita berdiam diri, nasib bangsa kita ditentukan oleh para koruptor. Jangan kita berdiam diri, nasib bangsa kita ditentukan oleh segelintir elit.

Jangan kita berdiam diri, saat rakyat takut pemerintah tidak dapat hadir untuk melindungi keselamatannya. Jangan kita berdiam diri, saat kita diadu domba karena perbedaan suku, agama, dan ras.

Selalu saya katakan: Kalau orang baik diam, yang menang dan berkuasa adalah orang orang jahat dan tidak baik.

Karena itu, saya mengajak sahabat, putera puteri bangsa yang cinta tanah air, putera puteri bangsa yang ingin Indonesia dikenal sebagai bangsa yang terhormat, untuk bergerak melakukan perubahan. Saya percaya, bersama-sama kita bisa berbuat yang baik, berbuat yang benar. Kita bisa menyelamatkan masa depan anak-anak dan cucu-cucu kita. Saya percaya kita masih bisa mencapai cita-cita perjuangan 17 Agustus 1945, yakni negara Indonesia yang merdeka dan berdaulat, yang rakyatnya hidup dalam keadilan dan kesejahteraan. Banyak suku, banyak ras, banyak daerah, tetapi satu nusa, satu bangsa, satu cita-cita: Indonesia Raya yang gemah ripah loh jinawi, toto tentrem kerto rahardjo. Aman, tenteram, makmur dan sejahtera.

Mari kita lakukan perubahan. Mari kita selamatkan masa depan anak dan cucu kita. Mari kita wujudkan cita-cita bung Karno, bung Sjahrir, Jendral Sudirman. Jangan kita kecewakan mereka yang sudah gugur.

Kalau dulu mereka berani mengatakan, merdeka atau mati, sekarang kita harus katakan, sudah saatnya Indonesia berdiri tegak, teguh, berani, gembira, dan optimis!

Salam Indonesia Raya,
Kenaikan Harga Bahan Pokok Saat Puasa dan Lebaran Telah Direncanakan
Jakarta – Melonjaknya harga bahan pokok saat menyambut ramadhan dan lebaran seolah telah direncanakan sejak awal, dalam hal ini seperti ada permainan para kartel yang ikut membuat harga barang naik.
Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Edhy Prabowo mengatakan situasi ini seakan menjadi kebiasaan tahunan yang harus dihadapi rakyat kurang mampu.
“Kenapa tidak ada antisipasi dari awal. Saya melihat sengaja kita impor, kan kalau impor pengusaha yang diuntungkan, masyarakat semakin menjerit,” ujar Edhy Prabowo saat dihubungi Kamis (18/07/2013).
Kata dia, Partai Gerindra sangat menentang habis-habisan impor produk hortikultura karena petani dan kekayaan alam mampu memasok kebutuhan masyarakat. Namun manakala kebutuhan masyarakat tidak terpenuhi, jalan satu-satunya dengan terpaksa adalah impor.
“Kan kalau sudah butuh ya gimana lagi,” terang Anggota Komisi IV DPR RI ini.
Menurut dia, yang patut disalah saat ini adalah Menteri Perdagangan Gita Wirjawan dan Menteri Pertanian Suswono, dua menteri ini katanya salah menyusun sistem/perancanaan dan kurang koordinasi dalam menjalankan dan melihat kebutuhan pasar.
“Bukan memuji SBY. SBY sudah benar mengkritik menterinya, SBY tidak salah, terlalu jauh menyalahkan SBY. Ini kan tugas Menteri Pertanian dan Menteri Perdagangan yang tidak jalan bersama,” tandas Sekretaris Fraksi Gerindra DPR RI ini.
Bali Age, Bali Majapahit, Setelah kurang lebih tujuh abad, terjadi mengembang biakan (hibriditas)identitas orang Bali. Dalam hibriditas identitas itu terjadi konflik dan integrasi sosial. Konflik dan integrasi sosial bersifat elastis dan fluktuatif, seperti "gelang karet". Dalam kurun waktu tertentu, rumusan pembeda identitas menjadi sedemikian renggangnya hingga menimbulkan konflik. Namun dalam konjungtur waktu yang berbeda, sebuah pembeda identitas tidak relevan lagi dan merumuskan pembeda yang baru. Misalnya, Kini orang Bali berbicara tentang "kehilangan Ke-Balian" untuk menegaskan posisi mereka berhadapan dengan kepentingan ekonomi-politik luar Bali. Akibatnya, pembeda identitas lain yang pernah ada seperti Bali Age-Bali Majapahit dan identitas Kewangsaan menjadi pudar. Dan rumusan menjadi orang Bali menjadi sumber integrasi sosial. Di sini kita bisa melihat bahwa identitas di Bali memenuhi fungsinya yang instrumentalis.
Identitas dalam Sejarah
Secara historis, identitas orang Bali berkembang menjadi beberapa kategori pembeda. Pertama, identitas Bali Mula dan Bali Majapahit. Dimulai sekitar tahun 1350 Masehi ketika Sri Kresna Kepakisan, pemegang kuasa Majapahit atas Bali, mengukuhkan identitas sosial baru. Wong Majapahit, yang membedakan dengan identitas penduduk lokal Bali sebelumnya, yang disebut Wong Age (Bali Age). Identitas itu memberi pembeda dalam lapangan kebudayaan, agama dan politik sampai saat ini.
Secara geokultural, orang-orang Bali keturunan Majapahit tinggal di daerah Bali dataran yang berlimpah dengan air. Sehingga, mereka mengenal sistem pengairan (subak) dan juga menganut sistem apanage. Secara politis, orang Bali dataran lebih memilih sistem kepemimpinan tunggal dan monolitik. Mereka mengenal Puri dan Grya sebagai pemegang otoritas ekonomi-politik dan kultural. Sebaliknya, orang Bali Age tinggal di wilayah pedalaman yang berbukit-bukit. Secara ekologis, mereka sangat tergantung pada alam dan sumber daya hutan. Secara politis, mempunyai sistem sosial yang komunal dan kepemimpinan kolektif.
Kedua, sejalan dengan tegaknya kekuasaan Majapahit di Bali maka lahir pembeda lain yang didasarkan atas identitas kewangsaan yaitu antara tri wangsa dan jaba wangsa. Pembeda identitas kewangsaan ini asal usulnya bisa dilacak dari dua doktrin keagamaan Hindu-Majapahit: doktrin dewa raja dan doktrin wangsa. Dalam doktrin Dewa-raja, raja dan ksatrya wangsa (negara) merupakan representasi daulat kekuasaan kedewaan. Sehingga, identitas kewangsaan itu memikul tugas "suci" menegakan kekuasaan kedewaan dengan membangun tertib sosial dan moral.
Dalam doktrin ini tatanan masyarakat dibayangkan seperti tubuh manusia (organic), yang mempunyai kepala, badan, kaki dan tangan. Setiap elemen dalam tubuh manusia mempunya fungsi dan tugas sendiri-sendiri. Walaupun demikian, kepala dianggap sebagai organ yang utama. Paham tentang tubuh manusia ini lalu diturunkan ke dalam tatanan sosial. Implikasinya, lahir stratifikasi dan hieraki sosial. Konsekuensi pemahaman doktrinal keagamaan seperti itu mengakibatkan tata sosial-politik di Bali di masa lalu menempatkan "linggih" dan "sor-singgih" menjadi sangat sentral. "Linggih" dan "sor-singgih" lalu diterjemahkan ke dalam struktur kebahasaan yang hierarkis (sor-singgih base), perbedaan gaya hidup (nganutin antuk linggih) maupun sakralisasi status sosial.
Ketiga, disintegrasi kekuasaan Gelgel pada tahun 1700 yang diikuti oleh masuknya kolonial pada tahun 1908 memunculkan pembeda identitas yang bersendi pada sikap orang Bali pada republik: golongan reaksioner dan republiken. Identitas ini berkembang pada masa revolusi (1945-1950). Saat itu, kekuasaan politik masih berada di tangan Dewan Raja-raja. Kekuasaan mereka mendapatkan legitimasi dari NICA yang datang ke Bali setelah kekalahan Jepang. Untuk mengukuhkan kekuasaannya, beberapa raja kemudian membentuk gerakan yang disebut gerakan reaksioner. Mereka juga membentuk milisi sipil yang direkrut dari kalangan pemuda. Milisi ini dibentuk untuk menghadapi pejuang gerilya pro republik. Pejuang pro republik ini kemudian disebut golongan republiken.
Kapitalisme Pariwisata dan Kebalian
Pembeda yang keempat adalah identitas Ke-Balian. Gejala menguatnya identitas Ke-Balian ini bisa dimaknai dalam tiga kategori. Pertama, ia muncul sebagai instrumen resistensi dari aktor-aktor (agency) lokal terhadap berbagai proses sosial-ekonomi-politik yang terjadi di Bali. Kedua, sebagai invensi dari modernitas dan Negara. Ketiga, antara resistensi dan invensi saling menguatkan identitas Ke-Balian.
Sebagai invensi modernitas, Ke-Balian muncul sebagai kreativitas aktor-aktor modern memanfaatkan tradisi untuk mengakumulasi kapital (modernitas). Hal yang sama dilakukan oleh Negara yang memanfaatkan tradisi untuk kepentingannya pembangunan, pertumbuhan ekonomi, stabilitas dan sebagainya.
Sebagai bentuk resistensi fenomena penguatan Ke-Balian merupakan reaksi terhadap kehadiran dua kekuatan yaitu rezim modernitas dan proses negaraisasi. Rezim modernitas mempunyai kekuatan mengontrol individu dalam komunitas untuk memenuhi standar kehidupan modern melalui berbagai proyek pendisiplinan. Modernitas kemudian membawa apa yang disebut homogenisasi "taste of culture" yang meniadakan keunikan dan keberbedaan. Dalam konteks inilah identitas digunakan untuk melakukan penolakan "penyeragaman" oleh modernitas.
Selain itu, identitas Ke-Balian merupakan reaksi atas perubahan konfigurasi ekonomi-politik akibat Kapitalisme Pariwisata. Intensifnya perkembangan pariwisata di Bali sejalan dengan menurunnya kemampuan Negara sebagai motor penggerak ekonomi pasca oil boom, mendorong munculnya gelombang migrasi dari daerah-daerah di luar Bali.
Berbeda dengan pola migrasi pada masa Gelgel dan kolonial, kehadiran migran dalam konteks pasca kolonial lebih didorong oleh rasionalitas ekonomi yang bertemu dengan logika kapitalisme-pasar. Kalangan migran baru ini mempunyai sejumlah rasionalitas ekonomi sebagai alasan utama untuk berpindah ke Bali.
Dari Pertukaran menuju Kompetisi
Kehadiran pendatang dapat dipastikan menimbulkan perubahan konfigurasi demografik di Bali. Bali yang dulu dikenal sebagai daerah homogen kini menjadi heterogen, terutama di kawasan pariwisata. Kehadiran pendatang juga menimbulkan pergeseran pola relasi pendatang-pribumi, dari hubungan pertukaran menjadi relasi yang kompetitif. Pergeseran ini terjadi ketika perkembangan pariwisata membawa ketimpangan antara lapangan kerja yang tersedia dengan jumlah pencari kerja. Di beberapa sektor ekonomi, kehadiran tenaga kerja pendatang memang menjadi komplementer (muncul exchange) karena kelangkaan tenaga kerja lokal yang masuk ke sektor ekonomi itu. Namun, sebagian besar sektor-sektor ekonomi menjadi arena kompetisi antara penduduk lokal dan pendatang. Dalam ruang ini, orang Bali bersaing dengan orang Jawa, Sumatera dan sebagainya untuk memperebutkan lapangan kerja.
Kompetisi tidak hanya terjadi dalam perebutan lapangan pekerjaan, melainkan juga dalam kompetisi antar pemodal dan kelas menengah profesional. Kaum kapitalis lokal bersaing dengan pemodal dari luar Bali. Sedangkan kaum profesional Bali juga harus menghadapi persaingan dengan kaum profesional dari luar Bali.
Selain membangun kompetisi ekonomi, perkembangan kapitalisme di Bali juga mengukuhkan prasangka etnis di bidang ekonomi. Logika kapital yang lebih memperhatikan keuntungan ekonomi mendorong kaum kapitalis, baik orang Bali maupun orang non Bali, untuk mendapatkan tenaga kerja yang bisa dibayar murah serta tidak merugikan akumulasi kapital. Pilihan mencari tenaga kerja murah menyebabkan kaum pemodal kemudian lebih "melirik" tenaga kerja pendatang, karena umumnya mereka mau dibayar lebih murah.
Selain itu, pilihan terhadap tenaga kerja pendatang juga dilakukan atas prasangka etnisitas: karena tenaga kerja Bali dianggap "banyak libur". Streotipe ini muncul ketika orang Bali harus terlibat dalam kegiatan adat (ayahan ke Banjar dan Desa Adat) dan keagamaan (hari raya keagamaan). Konsekuensi logisnya, kapitalis lebih diuntungkan bila merekrut tenaga kerja pendatang dibandingkan dengan tenaga kerja lokal.
Kompetisi ekonomi, baik di level pemilik modal maupun tenaga kerja, menimbulkan fenomena menguatnya ethnosentrisme orang Bali yang nampak dari persepsi tentang ancaman terhadap identitas Ke-Balian dari kalangan pendatang. Keterancaman ini tidak saja dalam hal perebutan sumber-sumber ekonomi melainkan juga masuk ke domain kultural-spritual. Kehadiran pendatang dianggap "melunturkan atau bahkan menghancurkan" sendi-sendi budaya, adat dan agama orang Bali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar