Udara
panas di balai desa tidak menghambat semangat warga desa berkumpul hari
itu mendengarkan dharma wacana saya. Beberapa hari sebelumnya pengurus
desa sudah ke Geria merundingkan rencana ngaben massal yang sudah
tercetus pada paruman-paruman desa beberapa bulan lalu.
Mereka datang berlima, dipimpin Klian
Adat yang membuka pembicaraan pertama: “Maaf Ratu Bhagawan, kami
sebenarnya sangat malu menyampaikan keinginan warga kami untuk
melaksanakan ngaben massal, karena kemampuan kami sangat minim; tetapi
atas desakan warga, kami berani datang karena mereka mendengar di
beberapa desa lain, Ida Bhagawan sudah memimpin upacara Pitra Yadnya
massal dengan biaya sangat rendah.”
Saya memandang mereka sekejap, terlihat
wajah-wajah pemimpin desa yang bertanggung jawab pada tugasnya dan
sangat mengharapkan bantuan. Pertanyaan pertama saya: “Berapa jumlah
sawa (mayat) yang akan di upacarai”. Penyarikan desa menjawab: “Kalau
seluruh desa, jumlahnya 175 sawa, tetapi yang sudah mendaftar baru
berjumlah 80 sawa.”
Selanjutnya saya menjelaskan prosedur
upacara ngaben massal, terutama pembagian tugas panitia penyelenggara,
Geria, dan sang Yajamana (yang punya sawa).
Pembicaraan hari itu diakhiri dengan
rencana mengadakan dharma wacana dan dharma tula di Balai Desa, dihadiri
oleh semua kepala keluarga. “Nanti tidak perlu repot-repot menjemput
saya, karena letak/ tempatnya sudah jelas, dan juga tidak perlu
menyiapkan hidangan macam-macam. Cukup segelas aqua saja. Sound system
juga sudah saya bawa sendiri”
Pada hari yang dijanjikan dharma wacana
dimulai pukul 9 tepat. Kerama Desa sudah menanti sejam lalu. Sekitar dua
jam saya memberikan ringkasan tattwa Pitra Yadnya dan prosedur upacara
terkait. Selanjutnya dharma tula digelar dengan banyak pertanyaan.
Tak terasa waktu bergulir hingga jam 12
siang. Kami berhenti sejenak untuk melakukan Tri Sandya, kemudian
diteruskan dengan dharma tula sejam lagi. Ketika Kelian Adat menutup
acara hari itu, nampak wajah-wajah riang Kerama Desa mengiringi saya ke
mobil.
Esoknya perangkat Desa datang ke Geria.
Dengan bersemangat mereka menyampaikan bahwa seluruh warga Desa turut
serta, jadi jumlah sawa sekarang mencapai 175. “Sami sampun kerama desan
titiange ngemiletin ngaben massale puniki” (sudah semua warga desa kami
turut serta ngaben massal) kata Jero Bendesa.
“Nah jani de nganggon istilah ngaben
massal, gentosin istilahe ngaben gotong-royong, keto!” (nah sekarang
jangan menggunakan istilah ngaben massal, ganti istilah itu dengan
ngaben gotong-royong, begitu!) jawab saya.
“Karena istilah massal itu bahasa asing,
lebih baik digunakan istilah dalam bahasa Indonesia: gotong-royong,
karena kata gotong-royong mengandung makna para warga desa bersatu-padu
saling tolong menolong dalam melaksanakan upacara yang berat/ mahal.
Coba kalau berupacara pitra yadnya
sendirian, pasti berat karena selain biayanya tinggi, juga kesibukan
upacara memerlukan tenaga yang banyak. Kalau ngaben gotong-royong, biaya
yang ditanggung per keluarga sangat ringan dan kerja besar itu bisa
mudah diselesaikan karena tenaga warga desa banyak.”
“Ya benar Bhagawan, karena warga desa
yang tidak punya sawa juga antusias sekali membantu misalnya dengan
memberikan dana punia, baik berupa uang, maupun bahan-bahan upakara
seperti bambu, buah kelapa, babi, beras, dll. Warga desa kami yang
tinggal di luar Bali, juga sudah menyatakan siap membantu, ada yang akan
menyumbangkan suara gong, ada yang menyumbangkan sound system, selain
dalam bentuk uang tunai. Nanti Pak Bupati juga akan kami undang
menyaksikan upacara di desa kami.”
Pembicaraan lebih lanjut menyangkut
masalah teknis upacara, di mana Ida Bhagawan Istri yang mengambil
peranan memberikan petunjuk-petunjuk. Para pimpinan Desa mendengar
dengan seksama, dan juru tulisnya mencatat apa-apa yang perlu disiapkan
oleh Desa, dan oleh para peserta.
“Ne mare ngaben mautame pesan, sing
perlu ngadep tanah! Yen ngadep tanah boya sawa preteka adanne, kewala
sawah prateka!” (Ini baru ngaben yang benar, tidak perlu menjual tanah!
kalau menjual tanah, bukan mengupacarai “sawa” namanya, tetapi
menghabiskan “sawah”!) kelakar Ida Bhagawan Istri disambut gelak-tawa
para hadirin terkekeh-kekeh.
Saya menawarkan saran kepada para
prajuru Desa: “Nanti setelah ngaben, kuburan itu akan kosong, artinya
semua sawa/ jenasah sudah diaben; ini sangat bagus dan akan memberikan
kemakmuran, kesejahteraan, dan ketentraman bagi penduduk desa.
Di Lontar Yama Purana Tattwa, hal itu
dengan jelas sudah disebutkan demikian. Bagaimana kalau nanti bila ada
warga desa yang meninggal dunia, langsung di-aben, tidak dikuburkan lagi
sehingga kuburan tetap kosong.
Kalau semangat gotong-royong ini bisa
terus dipupuk, rencana itu pasti bisa tercapai. Contoh yang sudah saya
sarankan dan sudah dilaksanakan adalah di Desa Klampuak, di mana setiap
kepala keluarga (KK) diminta dana punia Rp15.000,– (lima belas ribu
rupiah) setiap kali ada warga desa yang meninggal dunia.
Jumlah KK di Desa Klampuak 415, sehingga
jumlah uang yang terkumpul Rp6.225.000,– Jumlah itu sudah cukup untuk
upacara ngaben. Untuk menjaga agar tradisi yang baik ini berkelanjutan,
maka ketentuan ini sudah ditulis dalam ‘Awig-awig’ (peraturan) Desa Adat
Klampuak.
Coba pikirkan, dengan uang Rp15.000,–
kita bisa ngaben gotong-royong. Kita bisa melaksanakan kewajiban dharma,
tanpa harus mengorbankan harta benda, terutama berupa tanah sawah,
tegalan, ataupun pekarangan”.
Para pemimpin desa tercenung
mendengarkan wacana saya. “Ya, benar sekali saran Ida Bhagawan itu;
nanti setelah selesai upacara ngaben, kami akan mengadakan paruman
khusus membahas masalah ini, mohon Bhagawan bersedia memberikan dharma
wacana lagi.”
Upacara “Pitra Yadnya Gotong-Royong”
berjalan mulus, gembira, dan peserta upacara merasa puas dan yakin bahwa
tujuan upacara, yaitu mensucikan roh leluhur mereka tercapai.
Ketika penutupan upacara dalam mesida
karya kerama desa yang datang ke Geria semua menyatakan bahwa upacara
itu telah berhasil baik, serta mengucapkan terima kasih kepada saya
karena kini roh leluhur atau saudara mereka yang diupacarai sudah
mendapat tempat yang layak di nirwana.
Salah seorang peserta tak segan berkata:
“Jika dari dahulu ada upacara ngaben gotong royong seperti ini,
tidaklah sampai tanah sawah leluhur saya habis terjual.”
“Sudahlah apa yang sudah terjadi di masa
lalu jangan diungkit-ungkit lagi”, kata saya. “Yang penting sekarang
rakyat sudah sadar, bahwa berupacara apa pun menurut tradisi beragama
Hindu di Bali, tidak perlu memakan biaya besar. Jika digali lebih dalam
lagi, penghormatan dan bhakti kepada leluhur hendaknya diartikan secara
lebih luas.
Pertama, yakinlah bahwa yang namanya
leluhur itu bukan hanya mereka yang sudah meninggal dunia saja, tetapi
orang tua yang masih hidup dan anak-cucu kita pun disebut leluhur.
Sesuai dengan Panca Srada, yaitu lima
keyakinan beragama Hindu, ada yang disebut sebagai Punarbhawa atau dalam
istilah sekarang: Reinkarnasi. Yang menjelma kembali menjadi anak-cucu
kita sekarang tiada lain roh leluhur yang belum memenuhi syarat Moksah
atau Amoring Acintya.
Dari sinilah timbul kesadaran, bahwa
jika kita berbakti kepada leluhur, jangan lupa pula melimpahkan kasih
sayang kepada anak-cucu kita.
Nah jika demi bhakti kepada leluhur lalu
menjual tanah untuk ngaben, maka setelah roh leluhur menjelma kembali
menjadi anak-cucu, maka kita tidak lagi mempunyai kemampuan yang cukup
untuk membesarkan mereka dengan layak, membiayai sekolahnya, atau dengan
kata lain tidak bisa menjadikan mereka sebagai manusia yang
berkualitas.
Jadi cara berbhakti kepada leluhur
dengan mengadakan upacara ngaben besar-besaran di luar kemampuan nyata,
sungguh bertentangan dengan ajaran agama.
Apalagi jika upacara ngaben itu
dibarengi dengan keinginan-keinginan untuk menunjukkan kekayaan,
kebangsawanan, kedudukan, dll. maka berupacara seperti itu dinamakan
Rajasika Yadnya.
Sifat-sifat Rajasik hanya pas buat para
asuri atau raksasa. Pengabenan atau pitra yadnya gotong royong ini
benar-benar suatu upacara yang utama, digolongkan sebagai Satvika
Yadnya.
Kerama Desa yang hadir di Geria
mengangguk-angguk mengerti dan saya yakin mereka sudah mempunyai
keyakinan yang kuat tentang apa yang sudah saya sampaikan baik di saat
itu maupun di kesempatan lain selama penyelenggaraan upacara ngaben
gotong royong.
Berita apapun di Bali, khususnya di Buleleng, cepat tersiar dari mulut ke mulut. Soal ngaben gotong-royong ini juga demikian.
Dari tahun ke tahun permintaan warga
desa untuk mengadakan upacara ngaben gotong royong terus meningkat.
Selama tahun 2005, sampai bulan September saya sudah melakukan upacara
ngaben gotong-royong di berbagai desa sebanyak 1.400 sawa!
Sisanya nanti pada bulan Oktober dan
Nopember yang akan datang sebelum tiba musim hujan, sedang menunggu
tidak kurang dari 300 sawa di tiga desa. Jika semua warga mempunyai
pendapat atau keyakinan yang sama, mudah-mudahan kuburan-kuburan di desa
adat “bersih” dari dedengkot (mayat yang belum di-aben).
Manyi
Kokok
ayam bersahut-sahutan menyongsong terbitnya sang surya di pagi yang
dingin membangunkan seisi rumah keluarga petani Pan Geredeg. Istrinya
yang dipanggil lebih akrab dengan nama Kelepon dari pada nama aslinya
Luh Sukaesih, sudah terbangun sejam lalu.
Ia sudah menyelesaikan tugasnya sebagai
istri, memasak nasi serta lauknya, serta menyediakan kopi buat suaminya.
Hari itu ia akan bekerja keras, manyi (panen padi) di sawahnya, Subak
Bedugul.
Tangannya cekatan membungkus nasi dan
lauk, menuang kopi ke termos, mengantongi godoh (pisang goreng), dan
mengisi air minum ke botol-botol kosong. Semua barang itu ditambah
banten pejati (sejenis sesajen) dimasukkannya ke dalam penarak (sejenis
keranjang dari bambu).
Kelepon berpamitan pada suaminya: “Beli
icang maluan kemo, nyanan de bes tengai teke, ne bekel beeline sube
genep!” (Kak, aku duluan ke sana, nanti datangnya jangan terlalu siang,
ini bekalmu sudah lengkap!).
Kelepon bergegas menelusuri jalan
kampung, kemudian di ujung jembatan berbelok ke kiri menuruti jalan
setapak, menyeberangi titi (jembatan kecil), terus melangkah di atas
pematang sawah, sampailah ia di pengalapan ume (tempat mengumpulkan
panen).
Tak terasa jarak sekitar dua kilometer
telah ditempuh. Hatinya berdebar gembira karena pertumbuhan padi di
musim ini sangat baik, subur, berbuah lebat dan tidak terkena hama
tanaman. Ini berkat kerja keras dia bersama suaminya, mulai dari memilih
bibit unggul, merabuk tepat waktu dan rajin memperhatikan serangan
hama.
Selain itu mereka selalu memohon
lindungan kepada Sanghyang Widhi, tak pernah lalai bersembahyang di Pura
Subak. Oleh karena itu di pagi buta, sebelum melakukan panen, Kelepon
terlebih dahulu menghaturkan sesajen di Pura Subak.
Setengah menangis karena gembira ia
bersimpuh di hadapan pelinggih Dewa Ayu Hulun Danu, berkali-kali
mengucapkan terima kasih atas limpahan wara-nugraha-Nya.
Bulan ini ia memang memerlukan uang yang
cukup untuk membiayai anaknya tertua, I Gde Geredeg yang sudah lulus
SLTA dan akan melanjutkan kuliah di Universitas Pendidikan Ganesha, nama
baru IKIP Negeri Singaraja. Kelepon bersyukur karena di kotanya sudah
ada universitas yang baik, sehingga ia tidak perlu mengirim anaknya
kuliah ke Denpasar atau kota lainnya di Jawa.
Selesai sembahyang Kelepon menuju ke
pengalapan. Di sana sudah berkumpul sekehe manyi (kelompok pekerja
panen) dua puluh orang. Luh Rasmi salah seorang sekehe manyi menyapa
Kelepon dengan ramah: “Ye, I mbok sube teke, mai ootine je” (Lho, kakak
sudah datang, sini kubantu menurunkan junjungannya).
Rasmi dan Kelepon sibuk menuangkan kopi
dan membagi-bagikan pisang goreng kepada sekehe manyi. Sekehe manyi,
lelaki dan perempuan segera melahap godoh dan menghirup kopi panas.
Klian manyi (ketua kelompok) membuka pembicaraan: “Luwung gati padinne
Pan Geredeg, bisa bakat ne satus kwintal” (bagus sekali panen padinya
Pan Geredeg, ini bisa menghasilkan 10 ton gabah).
“Yen icang naksir ulesne lebian beli,
meh bisa satus seket” (kalau aku menaksir, mungkin lebih kak, bisa 15
ton) sahut Ketut Purna, salah seorang tetangga Pan Geredeg. “Oo beline
masi ngoraang keto, sangkal icang ngabe kampil samas” (iya, kakakmu juga
mengatakan begitu, makanya aku membawa karung 400 lembar), sahut
Kelepon.
“Saja, ipidan masi uman icange amonto
maan, patuh linggahne teken uman mboke ne” (benar, dulu juga sawahku
panen segitu, sama luasnya dengan sawah kakak ini) kata klian manyi Putu
Bawa. “Kenken ne nyamane suba suud ngopi, lan megae, apang sing
enggalan tengai!” (bagaimana teman-teman, sudah selesai ngopi, ayo
kerja biar tidak kesiangan).
Sekehe manyi langsung turun ke sawah,
menyabit padi, sementara yang lainnya nigtigang (memukul-mukulkan)
batang padi ke sebuah papan agar rontok. “Padi ape ne mbok, adi
mentil-mentil gati?” (padi apa ini kak, kok besar-besar bulirnya), tanya
Nyoman Sayang kepada Kelepon.
“I beli ngoraang ne bibit cicih ireng
kone adanne, suba ping pindo mbok memula, luwung hasilne, buine nasinne
nyangluh gati, pulen, kadong sing me be, jaan daar” (suamiku mengatakan
ini bibit cicih ireng namanya, sudah dua kali aku menanamnya, bagus
panennya, dan nasinya gurih, pulen, andaikan tidak memakai lauk pauk,
enak dimakan), sahut Kelepon dengan gembira.
“I Gde, panake payu kar kuliah di IKIP?”
(anakmu I Gde, jadi kuliah di IKIP?). “Oo, jatinne mbok ajak beline
dong suba ngangsoang gati, awak tre ngelah ape, bantas memacul kene,
kuale gede kenehe, dot ngelah panak sarjana” (iya, sebenarnya aku dan
suami sangat memaksakan diri, karena tidak punya harta apa-apa, hanya
menjadi petani seperti ini, tetapi besar keinginanku agar anakku menjadi
sarjana).
“Melah nto mbok, icang bantas bareng
nunasang dogen ring Sanghyang Widhi dumadak preside I Gde mragatang
kuliahne” (bagus itu kak, aku hanya bisa turut mendoakan semoga I Gde
bisa menyelesaikan kuliahnya).
Percakapan dua sahabat itu berlanjut,
masing-masing saling mengemukakan kesulitan hidup mereka dan upaya-upaya
menanggulanginya. Nyoman Sayang yang bekerja sebagai buruh tani,
hidupnya sangat pas-pasan. Untuk makan besok saja ia harus bekerja keras
hari ini.
Suaminya buruh pembantu tukang batu.
Bila ada yang menyuruh kerja, barulah dia mendapat upah dua puluh lima
ribu rupiah sehari. Uang itu harus digunakan dengan hati-hati agar cukup
untuk makan berempat, dia, istri, dan dua anaknya yang masih
kecil-kecil.
Untunglah Nyoman Sayang bisa membantu
sedikit-sedikit. Bila di sawah tak ada pekerjaan, biasanya dia ke pasar
menjadi buruh tukang suun (menjunjung di atas kepala, belanjaan orang).
Pendapatan sehari tidak bisa diduga, kadang bisa mendapat dua puluh
ribu, kadang hanya lima ribu rupiah saja.
Keluarga miskin ini hanya kadang-kadang
bisa makan enak. Bila ada upacara di Pura atau diundang membantu
menyiapkan upacara agama di kampungnya, barulah mereka bisa makan dengan
lauk yang pantas. Di ‘pesta-pesta’ adat seperti itu biasanya makanan
berlimpah, dengan sayur dan daging yang dimasak sedap sesuai selera
orang Bali.
Lain lagi kisah hidup Luh Rasmi. Dia
juga sama melaratnya dengan Nyoman Sayang, tapi suaminya mempunyai
kepandaian megambel (menabuh gambelan). Setidaknya dua kali seminggu
suami Luh Rasmi diupah untuk turut megambel, dengan punia lima puluh
ribu rupiah sekali megambel.
Jadi rata-rata seminggu dia mengantongi
uang seratus ribu, selain itu soal makan ketika kupahan tak perlu
dipikirkan. Luh Rasmi juga rajin bekerja, selain membuat kue-kue, di
belakang rumah dia memelihara babi. Setiap enam bulan babi bisa dijual
seharga tujuh ratus lima puluh ribu rupiah seekor.
Biasanya dia memelihara dua ekor,
sehingga pendapatan setiap enam bulan satu setengah juta, dikurangi
modal untuk membeli bibit babi seratus ribu seekor, maka pendapatan
bersih satu juta tiga ratus ribu rupiah. Dari hasil inilah dia bisa
menyekolahkan anak-anaknya, yang tertua, I Putu Suwignya, kini sudah
duduk di semester 8 Universitas Pendidikan Ganesha.
“Bin akejep dogen ceningne Luh Rasmi
sube tamat kuliah” (sebentar lagi anaknya Luh Rasmi sudah selesai
kuliah), begitu celetuk Nyoman Sayang kepada teman-temannya. “Sing saja
keto Luh?” (bukankah begitu Luh?). “Saja mbok, panake dot gati dadi
guru” (betul kak, anakku ingin sekali jadi pengajar).
Luh Rasmi melanjutkan: “Kuala panake jog
nekat gati, dije je tugasange teken pemerintahe, lakar nyakange ibanne,
japin di Jawa, di Sumatra, ah dije dogen iye ngaat” (tetapi anakku kok
nekat sekali, di mana saja ditugaskan nati oleh pemerintah, akan mau
saja, meskipun di Jawa, Sumatra, ah di mana saja dia senang).
“Mimih, yen ngoyong joh, sing pedalem
Luh, yen icang sing ngidaang mepalasan ajak panak” (aduh, kalau tinggal
berjauhan tak kasihan kamu Luh, kalau aku tidak bisa tinggal berjauhan
dengan anak-anak).
“Men kenkenang, yen ngoyong jumah suba
sing ade gegaen ape, to tingalin panak-panakne Pak Mekel, suba je tamat
sarjana, masi ngoyong, sing maan gae” (habis mau bagaimana lagi, kalau
tinggal di kampung sudah nggak ada lowongan kerja, tuh lihat
anak-anaknya Kepala Desa, sudah dapat sarjana, masih juga menganggur,
tidak dapat kerjaan.
“Oo, icang ningeh orta, maan kone
ngelamar kapal pesiar, jog belog-beloge teken makelare, ilang pipisne
seket juta” (ia, aku dengar kabar, pernah katanya melamar kerja di kapal
pesiar, lalu ditipu makelar, hilang uangnya lima puluh juta rupiah)
sahut Kelepon, membuat mata Luh Rasmi dan Nyoman Sayang terbeliak.
“Seket juta?, mimih dewa ratu, yen icang
ngelah pipis amonto adenan suba nyakap uma, dong gede lengene memacul.
(lima puluh juta?, waduh Tuhan, kalau aku punya uang segitu lebih baik
untuk menyewa tanah, jadi petani yang baik).
Tak terasa hari semakin siang, klian
sekehe manyi meminta teman-temannya istirahat, menikmati nasi bungkus
yang dihidangkan Kelepon. Mereka makan dengan lahap, walaupun hanya
ditemani lauk sambel terong dan ikan teri.
Kehidupan rakyat kecil yang memelas,
berjuang mati-matian untuk hidup. Uang seribu rupiah saja bagi mereka
sudah sangat bernilai, padahal Bapak-Bapak Menteri kita ada yang korupsi
miliaran rupiah.
Hidup di dunia memang dipenuhi hukum
rta: suka, duka, lara, pati (kesenangan, kedukaan, sakit, dan kematian)
datang silih berganti. Tak ada manusia yang bisa terhindar dari hukum
alam itu. Ini kelompok orang-orang miskin, tapi hidupnya bahagia. Di
Jakarta banyak orang-orang kaya tapi hidupnya menderita.
Tingkatan ilmu Leak di Bali
Ilmu leak dalam hal kewisesan ilmu pengliakan
ini bisa dipelajari dari lontar-lontar yang memuat serangkaian ilmu
pengeleakan, antara lain; “Cabraberag, Sampian Emas, Tangting Mas, Jung Biru”.
Lontar - lontar tersebut ditulis pada zaman Erlangga, yaitu pada masa
Calonarang masih hidup.
Pada Jaman Raja Udayana yang
berkuasa di Bali pada abab ke 16, saat I Gede Basur masih hidup yaitu pernah
menulis buku lontar Pengeleakan dua buah yaitu “Lontar Durga Bhairawi”
dan “Lontar Ratuning Kawisesan”. Lontar ini memuat tentang
tehnik-tehnik Ngereh Leak Desti.
Selain itu lontar yang bisa dipakai
refrensi diantaranya; “Lontar Tantra Bhairawa, Lontar Kanda Pat
dan Lontar Siwa Tantra”.
Leak mempunyai keterbatasan
tergantung dari tingkatan rohani yang dipelajari. Ada tujuh tingkatan leak.
- Leak barak (brahma). Leak ini
baru bisa mengeluarkan cahaya merah api.
- Leak bulan,
- leak pemamoran,
- Leak bunga,
- leak sari,
- leak cemeng rangdu,
- leak siwa klakah.
Leak siwa klakah inilah yang
tertinggi. Sebab dari ketujuh cakranya mengeluarkan cahaya yang sesuai dengan
kehendak batinnya.
Di samping itu, ada tingkatan yang
mungkin digolongkan tingkat tinggi seperti :
- Calon Arang
- Pengiwa Mpu Beradah
- Surya Gading
- Brahma Kaya
- I Wangkas Candi api
- Garuda Mas
- Ratna Pajajaran
- I Sewer Mas
- Baligodawa
- Surya Mas
- Sanghyang Aji Rimrim.
dalam gegelaran Sanghyang Aji
Rimrim, memang dikatakan segala Leak kabeh anembah maring Sang Hyang
Aji Rimrim, Aji Rimrim juga berbentuk Rerajahan. Bila dirajah pada kayu Sentigi
dapat dipakai penjaga (pengijeng) pekarangan dan rumah, palanya sarwa
bhuta-bhuti muang sarwa Leak kabeh jerih.
dan berikut kutipan mantranya:
Ih ibe
bute leak, enyen ngadakang kite, sangiang mrucu kunda sangkan ibe ngendih,
sangiang brahma menugra sire, kai sangiang siwa menugra kai, angimpus leak,
angawe leak bali grubug, tutumpur punah, pengawe pande tikel, pengawen dewa
tulak, aku sarinning sangiang rimrim, asiyu bale agung wong ngleak, kurang
peteng 3x, jeng. Om ram rimrim durga dewi
dan seterusnya....
Disamping itu, ada sumber yang
mengatakan ilmu leak mempunyai tingkatan. Tingkatan leak paling tinggi menjadi
bade (menara pengusung jenasah), di bawahnya menjadi garuda, dan lebih bawah
lagi binatang-binatang lain, seperti monyet, anjing ayam putih, kambing, babi
betina dan lain-lain. selain itu juga dikenal nama I Pudak Setegal (yang
terkenal cantik dan bau harumnya), I Garuda Bulu Emas, I Jaka Punggul dan I
Pitik Bengil (anak ayam yang dalam keadaan basah kuyup).
Dari sekian macam ilmu Pengleakan,
ada beberapa yang sering disebut seperti
- Bajra Kalika yang mempunyai
sisya sebanyak seratus orang,
- Aras Ijomaya yang mempunyai
prasanak atau anak buah sebanyak seribu enam ratus orang. Di antaranya
adalah I Geruda Putih, I Geringsing, I Bintang Sumambang, I Suda Mala,
Pudak Setegal, Belegod Dawa, Jaka Tua, I Pering, Ratna Pajajaran, Sampaian
Emas, Kebo Komala, I Misawedana, Weksirsa, I Capur Tala, I Anggrek, I Kebo
Wangsul, dan I Cambra Berag. Disebutkan pula bahwa ada sekurang-kurangnya
empat ilmu bebai yakni I Jayasatru, I Ingo, Nyoman Numit, dan Ketut Belog.
Masing-masing bebai mempunyai teman sebanyak 27 orang. Jadi secara
keseluruhan apabila dihitung maka akan ada sebanyak 108 macam bebai.
Di lain pihak ada pula disebutkan
bermacam-macam ilmu pengLeakan seperti :
Aji Calon Arang, Ageni Worocana,
Brahma Maya Murti, Cambra Berag, Desti Angker, Kereb Akasa, Geni Sabuana,
Gringsing Wayang, I Tumpang Wredha, Maduri Geges, Pudak Setegal, Pengiwa
Swanda, Pangenduh, Pasinglar, Pengembak Jalan, Pemungkah Pertiwi, Penyusup
Bayu, Pasupati Rencanam, Rambut Sepetik, Rudra Murti , Ratna Geni Sudamala,
Ratu Sumedang, Siwa Wijaya, Surya Tiga Murti, Surya Sumedang, Weda Sulambang
Geni, keputusan Rejuna, Keputusan Ibangkung buang, Keputusan tungtung tangis,
keputusan Kreta Kunda wijaya, Keputusan Sanghyang Dharma, Sang Hyang Sumedang,
Sang Hyang Surya Siwa, Sang Hyang Geni Sara, Sang Hyang Aji Kretket, Sang Hyang
Siwer Mas, Sang Hyang Sara Sija Maya Hireng, dan lain-lain yang tidak diketahui
tingkatannya yang mana lebih tinggi dan yang mana lebih rendah.
Hanya mereka yang mempraktekkan
ilmu-ilmu tersebut yang mengetahuinya.
Tingkatan Leak pun sebenarnya sangat
banyak. Namun karena suatu kerahasiaan yang tinggi, jadinya tidak banyak orang
yang mengetahui. Mungkin hanya sebagian kecil saja dari nama-nama tingkatan
tersebut sering terdengar, karena semua ini adalah sangat rahasia. Dan
tingkatan-tingkatan yang disampaikan pun kadangkala antara satu perguruan
dengan perguruan yang lainnya berbeda. Demikian pula dengan penamaan dari
masing-masing tingkatan ada suatu perbedaan. Namun sekali lagi, semuanya tidak
jelas betul, karena sifatnya sangat rahasia, karena memang begitulah hukumnya.
Setiap tingkat mempunyai kekuatan
tertentu. Di sinilah penganut leak sering kecele, ketika emosinya labil. Ilmu
tersebut bisa membabi buta atau bumerang bagi dirinya sendiri. Hal inilah
membuat rusaknya nama perguruan. Sama halnya seperti pistol, salah pakai
berbahaya. Makanya, kestabilan emosi sangat penting, dan disini sang guru
sangat ketat sekali dalam memberikan pelajaran.
Selama ini leak dijadikan kambing
hitam sebagai biang ketakutan serta sumber penyakit, atau aji ugig bagi
sebagian orang. Padahal ada aliran yang memang spesial mempelajari ilmu hitam
disebut penestian. Ilmu ini memang dirancang bagaimana membikin celaka, sakit,
dengan kekuatan batin hitam. Ada pun caranya adalah dengan memancing kesalahan
orang lain sehingga emosi. Setelah emosi barulah dia bereaksi.
Emosi itu dijadikan pukulan balik
bagi penestian. Ajaran penestian menggunakan ajian-ajian tertentu, seperti aji
gni salembang, aji dungkul, aji sirep, aji penangkeb, aji pengenduh, aji teluh
teranjana. Ini disebut pengiwa (tangan kiri). Kenapa tangan kiri, sebab setiap
menarik kekuatan selalu memasukan energi dari belahan badan kiri.
Pengwia banyak menggunakan
rajah-rajah ( tulisan mistik) juga dia pintar membuat sakit dari jarak jauh,
dan “dijamin tidak bisa dirontgen dan di lab” dan yang paling canggih adalah
cetik ( racun mistik). Dan aliran ini bertentangan dengan pengeleakan, apabila
perang beginilah bunyi mantranya, "ong siwa gandu angimpus leak, siwa
sumedang anundung leak, mapan aku mapawakan ……….."
Yang paling canggih adalah cetik
(racun mistik). Aliran ini bertentangan dengan pengeleakan. Apabila perang,
beginilah bunyi mantranya; ong siwa gandu angimpus leak, siwa sumedang anundung
leak, mapan aku mapawakan segara gni………..…
Ilmu Leak ini sampai saat ini masih
berkembang karena pewarisnya masih ada, sebagai pelestarian budaya Hindu di
Bali dan apabila ingin menyaksikan leak ngendih datanglah pada hari Kajeng
Kliwon Enjitan di Kuburan pada saat tengah malam.
dan berikut kutipan mantranya:
Mpu Kuturan dan Menjangan
Dalam
Lontar Tutur Kuturan, disebutkan bahwa ketika Ida Mpu Kuturan datang ke
Bali, ada seekor manjangan (rusa) yang menghampiri beliau dan
menawarkan diri untuk ditunggangi menuju Bali. Beliau ‘mendarat’ di
Cekik.
Tempat itu bernama cekik karena Ida Mpu
Kuturan agak keras memegang leher Manjangan itu, berdasar firasat bahwa
beliau sudah sampai di Bali. Si Manjangan lalu turun ke bumi. Tempat itu
sampai sekarang bernama hutan Cekik (pertigaan Negara – Singaraja).
Manjangan itu dipercaya mengembangkan
keturunan di sana, yang hingga kini masih tercatat sebagai hewan yang
dilindungi UU. Namun sayang banyak pemburu gelap yang main tembak di
sana.
Dari Cekik beliau berjalan kaki menuju istana Raja Udayana Warmadewa yang ketika itu berada di Serai (dekat Kintamani).
Kejadian itu pada abad ke-11, tepatnya tahun 1011 M.
Ida Mpu Kuturan, lama menetap di Serai
kemudian pindah ke Bedahulu (Bedulu) mengiringi Raja Udayana Warmadewa
bersama permaisurinya Gunapria Dharmapatni. Ida Mpu Kuturan, selain
sebagai purohita (pendeta kerajaan, penasihat Raja), juga sebagai
Senapati dengan gelar: ‘Pakiran-kiran I Jero Makabehan’
Beliau berhasil menyatukan 9 sekte yang
ada di Bali: Pasupata, Linggayat Bhagawata, Waisnawa, Indra, Saura,
Brahma, Saiwa, Bhairawa. Persatuan itu diikrarkan di Pura Samuan Tiga,
dan konsep beliau dikenal sebagai konsep Trimurti.
Pura Silayukti (Karangasem) adalah
tempat di mana beliau ‘Moksah’ seperti halnya jejak beliau diikuti oleh
Danghyang Nirartha setelah 3 abad berikutnya, namun Danghyang Nirartha
memilih tempat moksahnya di Puru Uluwatu (Badung), sedangkan Bhatara Ida
Ayu Swabhawa, memilih moksah di Pulaki (Buleleng). Kalau Ida Maha Rsi
Markandeya, moksah di Bukit Bujangga terletak di Desa Sepang (Buleleng).

ye vidyãm upãsate
tato bhüya iva te tamo
ya u vidyãyãm ratãh. (Sloka 9. Isa Upanisad)
artinya: Ia yang memujanya karena avidya masuk ke dalam kegelapan dan kebodohan,
demikian pula selanjutnya yang karena
vidyanya akan lebih masuk ke dalam kegelapan.
Mengenai konsep pemujaan bagi umat Hindu menjadi sangat penting untuk dipahami dan diketahui agar nantinya tidak ada kesalahan dalam hal melakukan pemujaan. Dalam pemahaman Hindu yang layak mendapat pemujaan adalah para leluhur, Bhatara, Dewa, Dewata, dan Brahman (Ida Sang Hyang Widhi,). Ini bukan berarti umat Hindu tidak memuja para bhuta kala, melainkan cara yang disampaikan bukanlah dengan memuja, melainkan dengan cara menghormati para bhuta kala sebagai cetusan rasa kasih sayang. Karena Hindu dalam konsep panca yadnya harus menghormati kelima aspek dalam kehidupan, yakni memuja dan menghormati para Dewa, (Dewa yadnya). Memuja Roh suci leluhur (Pitra yadnya) menghormati guru-guru suci (Rsi yadnya) menghormati antarsesama manusia (manusia yadnya) dan menghormati para bhuta kala (Bhuta yadnya). Kelima aspek kehidupan ini telah ada dan dijalankan sejak masa silam hingga kini oleh masyarakat Bali.
Keberadaan yadnya di Bali menjadi semakin eksis dengan adanya pemahaman dengan konsep-konsep tattwa dan filsafat yang terkandung di dalamnya. Dengan melaksanakan panca yadnya sebagai pemujaan, ini berarti umat Hindu di Bali telah melakukan penghormatan kepada “sarva bhuta” atau “sarva prani” yang sebagai mana Vedanta mengatakan “Sarva Bhuta Namaskaram Kesavam Pratigarjathi” yakni menghormati semua makhluk ciptaan sama dengan menghormati Tuhan dan para dewa itu sendiri. Sehingga konsep yadnya yang ada dan dilaksanakan oleh masyarakat di Bali sudah sangat tepat. Para tetua dan Leluhur kita di Bali seperti halnya Mpu Kuturan, Dang Hyang Nirarta, dan yang lainnya telah methikirkan dengan matang mengenai apa yang seharusnya dan dapat dilakukan oleh masyarakat Bali dengan rentang waktu yang cukup lama, temyata konsep yadnya sebagai suatu pemujaan merupakan jawabannya. Ecan konsep ini pun menjadi pesan-pesan utama dan abadi oleh setiap guru-guru suci masa kini.
Bhagawan Satya Narayana juga menekankan pada pelaksanaan yadnya dan menjadikan yadnya sebagai suatu pemujaan dan meditasi. Karena pada yadnya terdapat keempat jalan dalam pencapaian dan penyatuan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi (Brahman). Apakah itu bhakti, karma, jnana, dan juga yoga merupakan yadnya yang menjadi persembahan. Kata yadnya berarti rela berkorban atas dasar pertimbangan yang suci. Ini berarti di dalamnya ada lingkaran karma, karma menjadi persembahan jika hanya unsur bhakti yang terkandung di dalamnya. Bhakti akan menjadi pencerahan jika adanya pemahaman dan pengetahuan tentang yadnya itu (jnana) dan dengan pengetahuan akan mampu menyadari keberadaan yang abadi untuk mampu mencapai tataran raja yoga, yakni penyatuan kehathpan yang Tunggal atau kembali kepada konsep Vedanta yakin “aham Brahman Asmi” (Aku adalah Brahman) dan “Brahman atman aikyam” (Brahman dan atman adalah satu kesatuan). Pemahaman ini hanya mampu dan dapat dicapai oleh orang yang telah menguasai Yoga dalam kehidupannya.
Keberagamaan bagi masyarakat Bali sebagian besar menampakkan konsep bhakti dan karma ini berarti melaui duajalan utama ini, nantinya akan mampu menembus ranah pemahaman dan konsep atau jnana dan juga nantinya mencapai yoga atau penyatuan atman dan paramatman. Sehingga konsep pemujaan yang terjadi pada masyarakat Bali kebanyakan dimulai dengan pemujaan kepada roh suci leluhur karena pemahaman yang ada adalah bahwa leluhurlah yang akan mengantarkan pemujaan kita kehadapan Ida Sang Hyang Widhi. Jika orang Bali memuja dengan benar dan penuh keyakinan para leluhurnya, maka pemujaan dan persembahan suci yang dihaturkannya pun akan diantarkan menuju pemujaan kehadapan Sang Hyang Widhi.
Namun dalam peradaban Veda sebagaimana yang terjadi di negeri Bhrata warsa (India) yang dipuja terlebih dahulu adalah Dewa Agni sebagai pemimpin segala yadnya (Yadnya Purohito), dipercaya dewa Agni-lah yang akan mengantarkan segalapemujaan dan persembahan kehadapan para Dewa dan Tuhan itu sendiri. Bahkan dalam Vedaveda sekalipun diawali dengan pemujaan kehadapan Dewa Agni. Ini bukan berarti umat Hindu di Bali tidak memuja Dewa Agni, melainkan tetap melakukan pemujaan kehadapan Dewa Agni bahkan ke dalam tataran yang lebih tinggi dan sattwika. Hal ini terjadi sebagaimana para leluhur kita mewariskan adanya homa yadnya dengan pelaksanaan Agni hotra. Di sinilah segala puja dan puji masyarakat Bali dipersembahkan kehadapan Dewa Agni.
Pemujaan kehadapan leluhur merupakan yadnya yang utama dikarenakan leluhur di Bali oleh masyarakat Bali kebanyakan menyamakan persepsi tentang leluhur sebagai dewa, Bhetara lingsir, kawitan (asal muasal) dan lain sebagainya ini tidak salah karena semuanya dilandaskan pada kesucian pikiran yakni adanya yadnya dan bhakti kehadapan-Nya.
(Penulis: I Wayan Dateng, Indra Udayana Institute of Vedanta). RADITYA 143 • Juni 2009
UPACARA
Agni hotram bina vedaa
na ca daanam bina kriyaah
na bhaavena siddhis
tasmaad bhaavo hi kaaranam
(Canakya Nitisastra VIII.10)
Artinya: Belajar Veda tanpa melakukan Agni Hotra adalah sia-sia belaka. Upacara yadnya tanpa disertai dana punya tidaklah sempurna. Tanpa disertai dengan bhakti semuanya itu tidak akan berhasil. Oleh karena itu hal yang paling utama adalah bhakti yaitu penyebab dari segala keberhasilan.
MEMPELAJARI Veda (Wedadyayana) dan menjaga Weda (Weda aksanam) ada dua hal yang seyogianya senantiasa dilakukan oleh umat Hindu dalam mengamalkan ajaran agamanya. Belajar Weda tanpa pemujaan Homa Yadnya akan menjadi sia-sia. Maksudnya, belajar Weda tidak dapat hanya mengandalkan kecerdasan rasio semata.
Homa Yadnya merupakan pemujaan pada Tuhan melalui Sang Hyang Agni. Karena itu memuja Tuhan dalam tradisi Hindu selalu diawali dengan dupa dan dipa. Dupa lambang bhakti manusia pada Tuhan sedangkan dipa lambang sinar suci Tuhan menerangi jiwa manusia. Dengan jiwa terang itulah Weda akan lebih mudah dapat dicapai untuk mengendalikan seluruh sistem pada diri manusia.
Demikian pula suatu upacara agama akan menjadi sia-sia tanpa dana punia. Dalam zaman Kali ini justru dana punia inilah yang makin dibutuhkan oleh umat manusia untuk mendekatkan dirinya satu sama lainnya. Dana adalah pemberian harta benda kepada umat yang kurang mampu. Sedangkan punia artinya berbuat kebajikan. Berbuat kebajikan itu tidak semata-mata wujudnya harta benda. Harta benda hanya sarana untuk mendorong orang agar menjadi manusia mandiri.
Sekarang ini tampaknya perlu pemilihan upacara dengan tanpa menggunakan banten yang banyak dan rumit, namun dipilih yang simple saja. Namun saat ada piodalan dapat dikumpulkan dana untuk membantu generasi muda yang cerdas namun orang tuanya kurang mampu dari segi keuangan. Atau umat diajak mengumpulkan dana untuk menambah modal koperasi desa atau banjar. Dana dari umat itu dapat juga dipakai mengadakan buku-buku untuk mengisi perpustakaan Pura. Perpustakaan Pura diharapkan dapat mendorong minat baca, yang akan meningkatkan kecerdasan umat. Umat yang makin meningkat kecerdasannya akan lebih mudah diajak membangun kehidupan yang makin sejahtera lahir batin.
Pemilihan wujud banten yang lebih simple juga disebabkan faktor lingkungan dan banyak waktu dihabiskan dalam membuatnya. Apalagi bahan-bahan banten mulai menjadi masalah di Bali dan harus mendatangkan dari luar Bali. Di samping itu banten yang besar setelah menjadi surudan atau lungsuran sering tersisa tidak habis dimakan, sehingga busuk menjadi sampah. Di lain pihak umat membutuhkan banyak dana untuk mengembangkan pembinaan SDM umat agar menjadi makin mampu menghadapi trend globalisasi. Maka tidak ada cara lain kecuali meningkatkan kualitas SDM umat agar mampu bersaing di tingkat lokal maupun global. Namun semuanya itu tidak akan berhasil apabila tidak disertai dengan bakti. Dengan bakti umat akan semakin meningkat keyakinannya pada Tuhan, juga akan meningkatkan ketulus-ikhlasan mengabdi pada sesama. Bakti akan dapat membuat orang puas dalam melakukan kerja karena akan meredam sikap pamrih dan rakus.
Kerja dalam hidup ini untuk dipersembahkan pada Tuhan. Bakti akan mendorong orang bekerja lebih berkonsentrasi, dan konsentrasi yang baik akan lebih bermutu. Kerja yang baik juga akan memberikan hasil yang lebih baik. Kerja dengan hasil yang baik akan memberi kepuasan secara lahir dan batin.
Matrasparsas tu kaunteya, sitosnasukhadukhadah, Agamapayino'nityas, tams titiksaswa bhatara. (Bhgawadgita, II. 15 ). Artinya: Sesungguhnya hubungan dengan benda jasmaniah, oh Arjuna, menimbulkan panas dan dingin, senang dan duka datang dan pergi, tidak kekal, terimalah, hai Arjuna.
Masyarakat dan kebudayaan manusia baik yang primitif maupun modern di manapun selalu berada dalam keadaan berubah. Dinamika kehidupan masyarakat dan kebudayaan ini membawa konsekwensi suka dan duka pada kehidupan manusia, lebih-lebih kehidupan sekarang berada pada fase transisi sosial. Menurut I Wayan Geria, (1989 : 20 - 22) Transisi Sosial, maksudnya perubahan dari kondisi struktur dan kultur agraris menuju struktur dan kultur industri dengan ciri-ciri antara lain: (1) kehidupan dinamika dan sedang berubah, (2) adanya unsur-unsur lama yang hilang atau ditinggalkan, unsur-unsur yang baru diadopsi, (3) kehidupan manusia, masyarakat dan kebudayaan relatif labil, (4) berkembangnya persepsi, sikap dan interpretasi baru terhadap berbagai unsur, (5) berkembangnya berbagai variasi integrasi dan konflik dalam masyarakat, (6) adanya berbagai pergeseran norma dan nilai dalam masyarakat, khususnya berkaitan dengan perkembangan iptek ekonomi, rasionalisme dan kebebasan, dan (7) Identitas berkembang secara mikro dan makro.
Dalam upaya antisipati terhadap berbagai masalah tersebut bagi manusia dan masyarakat Hindu khususnya perlu adanya pegangan, potensi dan kemampuan sumber daya manusia internal dan eksternal untuk senantiasa dapat tumbuh dan berkembang selaras, seimbang dengan perkembangan lingkungan. Potensi dasar sebagai pegangan hidup bagi masyarakat Hindu dalam membina ketahanan budaya maupun sebagai landasan membina kemampuan untuk berkembang, ada beberapa konsep sebagai berikut
1. Konsep Rwa Bhineda, adalah ajaran dualisme yang merefleksikan bahwa dalam hidup ini selalu ada dua katagori yang berlawanan yaitu, baik dan buruk, sakral dan profan, suka dan duka, hulu dan hilir dan seterusnya.
2. Desa Kala Patra, adalah konsep ruang, waktu dan keadaan yang berintikan penyesuaian atau keselarasan serta dapat menerima keragaman dalam keseragaman atau perbedaan dalam kesatuan. Sehingga dengan demikian memberikan landasan yang luwes dalam komunikasinya ke dalam maupun keluar dan menerima perbedaan dan variasi menurut faktor tempat, waktu dan keadaan.
3. Tri Hita Karana, adalah tiga penyebab kesejahteraan dalam kehidupan, yaitu keharmonisan hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan sesama dan manusia dengan lingkungannya.
4. Catur Purusa Artha, adalah empat tujuan hidup manusia yang mencakup mencari harta (artha), dan kesenangan (kama). Mencari harta dan kesenangan harus dilandasi oleh kebenaran ajaran agama (dharma) dan akhirnya tercapailah kebahagiaan yang hakiki (moksa). Ajaran ini intinya membina kehidupan yang seimbang materiil dan spiritual di dunia ini dan di dunia akhirat, juga mengandung makna pengendalian diri.
4. Taksu dan Jengah, merupakan dua paradigma dalam kebudayaan Bali yang perlu dihayati dan dikembangkan. Taksu adalah kekuatan dalam yang memberi kecerdasan dan keindahan. Taksu merupakan hasil dari kerja keras, dedikasi, penyerahan diri pada bidang tertentu secara murni dan disiplin. Taksu, sebagai pangkal aktivitas dan landasan kemampuan dalam menghasilkan karya-karya besar. Jengah merupakan dasar sifat-sifat dinamik yang menjadi pangkal segala perubahan dalam kehidupan masyarakat. Taksu dan Jengah, dua kekuatan dalam yang saling mengisi secara terus-menerus dalam rangka meningkatkan potensi diri menghadapi perubahan lingkungan.
Demikianlah beberapa potensi dan pegangan hidup yang dijadikan landasan berpikir berkata dan berbuat bagi masyarakat Hindu dalam upaya antisipasi perubahan lingkungan sosial budaya dimanapun mereka berada. Potensi dan pegangan hidup tersebut mengacu pada konsep-konsep tradisional yang bersumber pada Agama dan kebudayaan. Dalam kaitan ini peranan pendidikan dalam arti luas dan penguasaan iptek sangat penting.**
Tidak ada komentar:
Posting Komentar