Selasa, 11 April 2017

DHARMA KAPATUTAN

Siapakah Sang Dharma
Jogor Manik kah ??
Sang dharma Yudistira  ???
Apa Asune ???
Plajari dulu dengan baik sejarahnya, Agama tidak mengajarkan umatnya berdebat ada kalah dan menang, duduk dengan tenang tujuan agama adalah angawe sukaning wong len, menyenangkan semua pihak tanpa ada merasa dilecehkan ataupun melecehkan umatnya, semua pasti ada hikmahnya.

Dharma adalah aturan, hukum, dan kewajiban yang hendaknya dijalankan secara baik dan bertangggung jawab untuk dapat mencapai kebahagiaan dan kebenaran sejati.

Terkadang sebuah dharma kebaikan dalam hidup ini dijalankan; "Ibaratnya seperti kita menanam padi, kadang rumput pun ikut tumbuh, tapi saat kita menanam rumput tidak akan pernah tumbuh padi". Begitupun dalam melakukan kebaikan, kadang² hal yg buruk pun turut menyertai. Tapi saat melakukan keburukan, tidak akan ada kebaikan bersamanya. Seperti halnya dalam Hindu Dharma, disebutkan Dharma ini tidak pernah diciptakan karena Tuhan Yang Maha Esa sudah hadir sebelum yang lain-lainnya hadir.

Dharma sebagai salah satu bagian dari Catur Purusa Artha sebagai tujuan hidup disebutkan agar kita selalu dapat mentaati segala aturan, hukum, dan kewajiban agar mencapai kebenaran sejati dengan menjalankan catur dharma sebagai dharma bakti untuk kepentingan pribadi maupun untuk umum, bernegara dan alam semesta ini.

Dharma, sebagaimana yang dikutip dalam penjelasan Babad Bali, CATUR PURUSA ARTHA merupakan, kebenaran absolut yang mengarahkan manusia untuk dapat memiliki, budi pekerti yang luhur sesuai dengan ajaran agama yang menjadi dasar hidup.
Dharma itulah yang mengatur dan menjamin kebenaran hidup manusia. Keutamaan dharma sesungguhnya merupakan sumber datangnya kebahagiaan, memberikan keteguhan budi, dan menjadi dasar dan jiwa dari segala usaha tingkah laku manusia.

Juga disebutkan dalam Lalita Hita Karana bahwa, kebenaran sejati yang terkandung dalam weda tidak akan bermanfaat bagi kehidupan sehari-hari kalau kebenaran sejati itu tidak diterapkan menjadi, acara dharma, atau penerapan kebenaran agama dalam tradisi kehidupan sehari-hari, sehingga merupakan bagian yang integral dalam diri manusia dan masyarakat. Tanpa acara Dharma kebenaran sejati yang disebut Sanatana Dharma atau Satya Dharma tidak akan memberikan arah yang jelas pada kehidupan manusia dan masyarakat.
Satya Dharma merupakan, api spiritual agama, sedangkan acara dharma sebagai asap dan abunya. Kalau abu dan asap ini tidak dikontrol dengan baik, maka dapat menutup api spiritual itu sendiri.
Sebaliknya acara dharma atau tradisi keagamaan tanpa dikontrol oleh Satya Dharma tidak mustahil acara Dharma bisa menyimpang jauh dari inti kebenaran itu sendiri.

Satya Dharma merupakan kebenaran mutlak yang dijadikan dasar hidup dan pola pikir orang Hindu. Pola pikir dan landasan hidup tersebut adalah penyerahan diri secara total terhadap Tuhan Yang Maha Kuasa. Penyerahan diri kepada Tuhan Yang Maha Kuasa merupakan yadnya tertinggi.

Menurut filsafat Hindu Tuhan dalam menciptakan alam semesta ini melalui yadnya atau pengorbanan. Yadnya tersebut dilaksanakan oleh Beliau, untuk Beliau dengan diri Beliau, sebagai Sarana Yadnya.
Dengan demikian yadnya yang tertinggi nilainya yaitu persembahan terhadap Tuhan Yang Maha Kuasa melalui penyerahan diri secara total yang disebut Bhakti. Bhakti atau penyerahan diri merupakan inti dari acara Dharma yang dalam kehidupan sehari-hari kita kenal dengan Upacara dan Upakara.
Upacara menerangkan bagaimana tatanan pelaksanaan agama.  Sedangkan Upakara merupakan sarana yang dipergunakan untuk menghubungkan diri dengan Tuhan. Seperti disebutkan, acara Dharma dapat menghasilkan abu dan asap yang bisa menutup api spiritual, hendaknya selalu dikontrol agar tidak terlalu jauh menyimpang dari tujuan hidup mencapai moksa.

Moksa bagi masyarakat awam kadang-kadang sangat dibesar-besarkan sehingga barang siapa yang mendengar kata moksa sudah terlintas dalam pikirannya suatu usaha yang tidak mungkin dicapai dewasa ini. Benarkah pandangan itu?.

Kalau hal itu dianggap benar, jadilah kita benda mati yang tak pernah ada kegiatan. Karena kita sudah menyerah sebelum berbuat.
Apa gunanya kita hidup sebagai manusia yang dilahirkan semata-mata untuk memperbaiki diri untuk mencapai kesempurnaan.
Dalam kenyataan sekarang ini pendapat serupa menghantui pikiran umat, mengapa hal ini bisa terjadi?. Ini yang perlu kita cari pemecahannya.

Perjalanan Hinduisme dari negeri asalnya sampai ketempat-tempat tertentu diseantero dunia ini diumpamakan sebuah bola salju yang menggelinding mengikuti alur lintasannya.
Dalam perjalanannya bersentuhan dengan tradisi-tradisi setempat. Disamping tempat (desa) dalam perjalannya melintasi waktu (kala) yang juga memberikan pengaruh. Kalau dalam perjalanannya pada ruang dan waktu tadi Hinduisme tidak dikontrol dengan cermat oleh Satya Dharma tidak mustahil pengaruh ruang dan waktu dapat bersifat sebagai abu dan asap yang bisa memudarkan api spiritual Hinduisme itu sendiri.

Abu dan asap yang menutup api spiritual bisa berupa kepentingan ego pada setiap orang yang berkuasa pada saat itu, karena mereka sendiri sudah diperbudak oleh ego, sehingga mereka diliputi kegelapan, tidak dapat melihat lagi kebenaran abadi. Mereka terbelenggu oleh, nafsu, dan ego yang sesungguhnya semua objek dari nafsu dan ego itu adalah maya.  Kama, dan ahamkara yang sudah begitu lekat menutupi diri sejati setiap orang sehingga api spiritualnya tidak terlihat sinar terangnya.
Mereka yang digelapkan oleh kekuatan maya tidak mustahil menggunakan acara Dharma sebagai wahana untuk kepentingan individu maupun kelompoknya.

Akibat dari kenyataan ini maka sistem warna tidak berfungsi lagi. Seseorang menyebut diri seorang Brahmana namun tingkah polahnya, seperti seorang Wesya, Kesatrya, atau Sudra, seorang yang menyebut diri seorang Kesatrya, tingkah polahnya sebagai Wesya atau Sudra, demikian sebaliknya. Seseorang menyebut dirinya Brahmana dan berpredikat pendeta atau sulinggih yang pada hakekatnya, harus disibukkan membimbing umat ke jalan dharma memberikan pelayanan terhadap Yang Maha Kuasa, tekun melaksanakan sadhana agar bisa manunggal dengan Tuhan Sang Pencipta, disibukkan dengan kegiatan menjual sarana upacara yadnya, dengan dalih meringankan umat, nenerapkan upacara secara kaku bahkan cenderung berlebihan dengan harapan mendapatkan kewibawaan lahiriah.
Demikian juga sebaliknya untuk mendapatkan status sosial yang lebih tinggi di masyarakat dan tergiur dengan perolehan materi, hal tersebut disebabkan oleh karena kebodohan umat seorang yang belum mumpuni sebagai pendeta menyatakan dirinya sebagai pendeta dengan hanya bermodalkan upacara ritual yang pada hakekatnya hanya bersifat formalitas.
Siapakah disini yang dibohongi?.
Tidakkah mereka ini membohongi dirinya?.
Karena mereka tahu, Tuhan maha tahu, dan ada pada setiap orang.
Apa yang dikhawatirkan oleh pendahulu kita melalui cerita, Ni Diah Tantri, Sang Cangak menjadi pendeta hanya sekedar mencari isi perut, Begawan Darma Swami, seorang Begawan sibuk menjual kayu bakar, sehingga mereka celaka oleh dirinya sendiri.
Sangat disayangkan, apabila seseorang berbuat diluar Satya Dharma hanya sekedar memenuhi panggilan nafsu dan egonya. apabila mereka yang dijadikan panutan dalam penerapan Satya Dharma tegelincir dari Satya Dharma, yang pada gilirannya berapa banyak umat ikut tergelicir dari Satya Dharma dan terbelenggu oleh pengaruh maya.
Mengapa dosa yang harus diperbuat dalam kehidupan ini? Mengapa kita sia-siakan berkah Tuhan, kita dilahirkan sebagai manusia yang satu-satunya ciptaan-Nya dapat menolong dirinya sendiri melalui Sadhana.

Di lain pihak adanya pandangan keliru tentang bakti. Bakti yang terbesar dan mulia adalah bakti atas diri sendiri. Namun masih banyak yang belum tahu hal ini. Mereka memandang pengorbanan material wujud bakti yang tertinggi, bahkan timbul kebanggaan pada dirinya, merasakan dirinya lebih dari yang lain. Lebih disesalkan lagi mereka melaksanakan yadnya dengan harapan apa yang diinginkan agar dikabulkan oleh Tuhan. Dia berkaul (mesaudan), agar apa yang diharapkan tercapai. “Mesaudan” bahasa Bali berasal dari kata me-saud-an.
Saud artinya salah langkah. Kalau seseorang menganyam sesuatu, apabila salah satu anyamannya keliru langkahnya disebut saud dalam arti salah. Setiap orang tahu bahwa saud artinya salah namun, mengapa banyak orang melakukan?. Bukankah berarti kita sengaja berbuat salah. Tidakkah ini merupakan kebodohan yang tidak perlu terjadi?. Setiap orang tahu keberhasilan tak kunjung tiba tanpa didasari usaha yang keras.

Dalam Bhagawad Gita berulang-ulang dinyatakan bekerjalah tanpa harapan. Sepintas kelihatannya sangat tidak masuk akal, karena dalam kehidupan sehari-hari setiap usaha selalu dilandasi tujuan dan harapan. Tanpa harapan disini dimaksudkan hendaklah setiap usaha yang kita lakukan tidak dibelenggu oleh harapan dan keinginan. Tujuan, dan harapan sebagai suatu strategi dalam disiplin melaksanakan kegiatan. Kalau usaha atau kegiatan dibelenggu oleh harapan, apabila ternyata tidak sesuai harapannya dengan hasil yang diperoleh akan menimbulkan kekecewaan. Dari kecewa, timbul frustasi, dan akhirnya depresi.
Bukankah ini berarti menyiksa diri? Dalam kelahiran ini kita berkewajiban memperbaiki diri dari hidup sebelumnya. Menebus dosa-dosa yang pernah kita perbuat, melalui pelayanan terhadap Tuhan dan berbuat baik dengan sesama yang berarti juga pelayanan terhadap Tuhan.
Masalah hasil, baik, atau buruk hanya Tuhan yang tahu. Acara Dharma merupakan alat dalam penerapan Satya Dharma untuk mencapai tujuan agama sekaligus tujuan hidup yaitu moksa. Moksa merupakan tujuan hidup setiap orang pemeluk agama Hindu.

Menjalankan Dharma, seperti yang dikutip dari Catur Sadhana : Sesarining Dharma (Intisari Dharma),  Tidak hanya ngayah dan sembahyang ke pura sebagai jalan dharma, tidak hanya meditasi adalah jalan dharma, Dan melaksanakan kerja-pun juga adalah jalan dharma. Burung-burung bekerja giat mencari makan untuk anak-anaknya, monyet-monyet bekerja giat mencari kutu dan membersihkan bulu anak-anaknya.

Semua dilakukan, tanpa keluhan, tanpa protes. Dan laksanakan swadharma atau tugas-tugas kehidupan kita, menjadi guru, pegawai, orang tua, gubernur, Pejabat Pemerintah (Guru Wisesa) dll dengan sebaik-baiknya, tapi apapun hasilnya terima dengan bathin damai. Disana kerja bukan saja wujud nyata, welas asih, dan kebaikan, tapi sekaligus jalan menuju manah shanti.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar