Dana Punia
Saya
 ingin menjelaskan tentang Dana Punia, namun jika ada yang sudah 
memahami tentang hal ini saya minta maaf, ibarat “nasikin segarane” 
(memberi garam ke laut).
1. Bhakti Marga, adalah salah satu jalan
 menuju Hyang Widhi dengan memuja-Nya secara tulus ikhlas. Mereka yang 
melakukan dengan baik disebut Bhakta.
Bhakti ada dua kelompok besar yaitu: 
Para Bhakti dan Apara Bhakti. Para artinya utama, sehingga Para Bhakti 
disebut sebagai cara memuja Hyang Widhi yang utama (nomor satu), 
sedangkan Apara Bhakti adalah cara memuja Hyang Widhi yang tidak utama 
(nomor dua). Para Bhakti sulit dilaksanakan tanpa Apara Bhakti, demikian
 sebaliknya.
2. Yadnya adalah pengorbanan suci yang tulus ikhlas. Yadnya dibagi dalam empat kelompok besar, yaitu:
| 1 | Widhi Yadnya | Widhi Yadnya adalah yadnya yang dilaksanakan karena adanya Tri Rnam (tiga jenis hutang manusia atas kehidupannya), yaitu: 
 | Apara Bhakti | 
| 2 | Drwya Yadnya | Drwya yadnya adalah ber-dana punia | Para Bhakti | 
| 3 | Jnana Yadnya | Jnana Yadnya adalah belajar-mengajar (misalnya ber- dharmawacana dan dharmatula) | |
| 4 | Tapa Yadnya | Tapa yadnya adalah pengendalian diri agar senantiasa hidup di jalur dharma | 
3. Widhi Yadnya atau Panca Yadnya 
tergolong APARA BHAKTI, sedangkan Drwya Yadnya, Janana Yadnya dan Tapa 
Yadnya termasuk kriteria PARA BHAKTI.
Drwya Yadnya adalah ber-dana punia, 
Jnana Yadnya adalah belajar-mengajar (misalnya ber-dharmacacana dan 
dharmatula), Tapa Yadnya adalah pengendalian diri agar senantiasa hidup 
di jalur dharma.
4. Khusus tentang Drwya Yadnya (berdana 
punia) disebut sebagai ajaran Dana Paramita yaitu ajaran yang membimbing
 manusia menuju kesempurnaan lahir-bathin yang mengantarkannya ke 
gerbang Sorga tanpa penderitaan. Sumber sastra mengenai Dana Paramita 
adalah:
- Manawa Dharmasastra IV.32,226-235, VII 84-85
- Sarasamuscaya 169-172, 174-175
- Sanghyang Kamahayanikan 56-58Dalam filsafat Wairagya dikatakan bahwa Drwya Yadnya merupakan salah satu cara untuk melepaskan keterikatan manusia pada benda-benda keduniawian yaitu benda-benda/ materi yang hanya memuaskan nafsu indria.
Begitulah sering ditemukan orang yang rajin berupacara Yadnya, tetapi kayika (perbuatannya), wacika (perkataannya) dan manacika (pikirannya) menyimpang dari inti ajaran Agama Hindu. Mereka mengira bahwa jika sudah berupacara Yadnya mereka sudah melaksanakan ajaran Agama, padahal belum sempurna.
Tidak sedikit Pandita (Sulinggih) di Bali memposisikan dirinya hanya sebagai “Pemuput Upacara” Ini tentu merugikan eksistensi Hindu di Bali.
Kenapa para Sulinggih tidak meniru apa yang dilakukan oleh Para Pendeta di zaman dahulu, misalnya Mpu Kuturan, yang berhasil menyatukan berbagai sekte Hindu dalam konsep Trimurti, serta mengembangkannya ke pelosok-pelosok pedesaan sehingga sekarang kita mengenal adanya Tri Kahyangan.
Sekian dahulu uraian singkat saya, kurang lebihnya mohon dimaafkan.
 

 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar