Agama Hindu (Bahasa Sanskerta: Sanātana
Dharma सनातन
धर्म "Kebenaran Abadi"), dan
Vaidika-Dharma ("Pengetahuan Kebenaran"). kata Hindu berakar dari
kata Sindhu. Dalam Reg Weda, bangsa Arya menyebut wilayah mereka sebagai Sapta
Sindhu (wilayah dengan tujuh sungai di barat daya anak benua India, yang salah satu
sungai tersebut bernama sungai Indus). Hal ini mendekati dengan kata
Hapta-Hendu yang termuat dalam Zend Avesta (Vendidad: Fargard 1.18) — sastra
suci dari kaum Zoroaster di Iran. Pada awalnya kata Hindu merujuk pada
masyarakat yang hidup di wilayah sungai Sindhu.
Kata "agama" yang
dipergunakan oleh umat Hindu dalam hidup berketuhanan Yang Maha Esa berasal
dari bahasa Sanskerta dari akar kata "gam" yang artinya
"pergi" atau "perjalanan". Urat kata "gam" ini
mendapat prefix "a" yang berarti "tidak" dan tambahan
"a" di belakang yang berarti "sesuatu" atau dapat berfungsi
sebagai suffix dalam bahasa Sanskerta guna mengubah kata kerja menjadi kata
sifat. Dengan demikian kata agama diartikan "sesuatu yang tidak
pergi", tidak berubah atau tetap, langgeng (abadi). Yang tidak pernah
berubah- ubah atau kekal abadi itu hanyalah Tuhan beserta ajarannya. Sebagai
suatu istilah kemudian kata agama mengandung suatu pengertian aturan- aturan
atau ajaran- ajaran yang bersumber dari Tuhan Yang Maha Esa (Sang Hyang Widhi
Wasa) diturunkan berupa wahyu (Sruti) melalui para Nabi (Maha Resi) untuk
mengatur alam semesta beserta isinya baik dalam kehidupan rohaniah maupun dalam
kehidupan jasmaniah.
Kata "Dharma" berasal dari
bahasa Sanskerta dari akar kata "dhr" (baca: dri) yang artinya
menjinjing, memangku, memelihara, mengatur, atau menuntun. Akar kata
"dhr" ini kemudian berkembang menjadi kata dharma yang mengandung
arti hukum yang mengatur dan memelihara alam semesta beserta segala isinya.
Dalam hubungan dengan peredaran alam semesta, kata dharma dapat pula berarti
kodrat. Sedangkan dalam kehidupan manusia, dharma dapat berarti ajaran,
kewajiban atau peraturan- peraturan suci yang memelihara dan menuntun manusia
untuk mencapai kesempurnaan hidup yaitu tingkah laku dan budi pekerti yang
luhur.
Pustaka Smrti Santi Parwa 109.11:
Dharanad
dharma ityahur
Dharmena
widrtah prajah
Artinya:
Kata dharma dikatakan datang dari
kata Dharana (yang berarti memangku, menjunjung, atau mengatur).
Dengan dharma semua makhluk diatur
Istilah Hindu yang dipergunakan
sekarang sebagai nama agama pada umumnya tidak dikenal pada jaman klasik.
Beratus- ratus tahun sebelum tahun masehi, penganut ajaran kitab suci Weda
tumbuh subur dan berkembang pesat dalam masyarakat, sehingga para ahli menyebutkannya
dengan nama agama Weda atau Jaman Weda.
Kemudian Hindu dipakai nama dengan
mengambil nama tempat di mana agama itu mulai berkembang, yakni di sekitar
sungai Sindu atau Indus. Kata Sindu inilah yang kemudian berubah menjadi kata
Hindu karena terkena pengaruh hukum metathesis dalam bahasa Sanskerta di mana
penggunaan huruf "s" dan "h" dapat ditukar- tukar, misalnya
kata "Soma" dapat menjadi kata Homa, kata "Satima" dapat
menjadi Hatima, dan sebagainya.
Kata Hindu atau Sindu dalam bahasa Sanskerta adalah tergolong kata benda masculine, yang berarti titik- titik air, sungai, laut, atau samudra. Air melambangkan Amrita yang diartikan air kehidupan yang kekal abadi, dipergunakan dalam upacara- upacara agama Hindu dalam bentuk tirtha (air suci).
Istilah agama dengan istilah dharma mempunyai pengertian yang sulit dibedakan, maka dalam kaitannya dengan nama agama Hindu biasa juga disebut Hindu Dharma, bahkan di India lebih umum nama ini dipakai.
Kata Hindu atau Sindu dalam bahasa Sanskerta adalah tergolong kata benda masculine, yang berarti titik- titik air, sungai, laut, atau samudra. Air melambangkan Amrita yang diartikan air kehidupan yang kekal abadi, dipergunakan dalam upacara- upacara agama Hindu dalam bentuk tirtha (air suci).
Istilah agama dengan istilah dharma mempunyai pengertian yang sulit dibedakan, maka dalam kaitannya dengan nama agama Hindu biasa juga disebut Hindu Dharma, bahkan di India lebih umum nama ini dipakai.
Tujuan Agama Hindu
MOKSARTHAM JAGADHITA YA CA ITI DHARMAH
Jadi secara garis besar tujuan agama
Hindu adalah untuk mengantarkan umatnya dalam mencapai kesejahteraan hidup di
dunia ini maupun mencapai moksa yaitu kebahagiaan di akhirat kelak. Di dalam
kitab suci Weda dijelaskan tujuan agama sebagai tercantum dalam sloka "Moksartham Jagadhita
Ya Ca Iti Dharmah" yang artinya bahwa tujuan
agama atau dharma adalah untuk mencapai jagadhita dan moksa, dengan kata lain
bahwa agama (dharma) bertujuan untuk mencapai kebahagiaan rohani dan
kesejahteraan hidup jasmani atau kebahagiaan secara lahir dan bathin.
Moksa juga disebut Mukti artinya
mencapai kebebasan jiwatman atau juga disebut mencapai kebahagiaan rohani yang
langgeng di akhirat. Jagadhita juga disebut bhukti yaitu kemakmuran dan
kebahagiaan setiap orang, masyarakat, maupun negara.
Salam Agama Hindu
Untuk membina hubungan yang harmonis
dan mempererat rasa persaudaraan dalam pergaulan di masyarakat, agama Hindu
mengajarkan salam persaudaraan (panganjali) dengan ucapan "Om
Swastiastu". Salam ini dapat juga dipergunakan dalam memulai dan
mengakhiri suatu kegiatan. Khusus dalam mengakhiri sesuatu kegiatan dapat juga
memakai "OM SANTI, SANTI, SANTI, OM" yang artinya semoga
damai.
Pada waktu mengucapkan salam, kedua tangan dicakupkan di depan dada dengan ujung jari mengarah ke atas, tetapi kalau keadaan tidak memungkinkan, sikap ini boleh tidak dilakukan. Yang menerima salam seyogyanya memberikan jawaban dengan ucapan "Om Swastiastu" dengan sikap yang sama pula.
"Om" artinya Tuhan, "Su" artinya baik, "Asti" artinya ada dan "Astu" artinya semoga, jadi keseluruhannya berarti SEMOGA SELAMAT ATAS RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Dengan demikian maka pada setiap kegiatan telah dilaksanakan saling doa mendoakan satu sama lain.
Pada waktu mengucapkan salam, kedua tangan dicakupkan di depan dada dengan ujung jari mengarah ke atas, tetapi kalau keadaan tidak memungkinkan, sikap ini boleh tidak dilakukan. Yang menerima salam seyogyanya memberikan jawaban dengan ucapan "Om Swastiastu" dengan sikap yang sama pula.
"Om" artinya Tuhan, "Su" artinya baik, "Asti" artinya ada dan "Astu" artinya semoga, jadi keseluruhannya berarti SEMOGA SELAMAT ATAS RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Dengan demikian maka pada setiap kegiatan telah dilaksanakan saling doa mendoakan satu sama lain.
Namaste berasal dari 2 kata
"Namah" yang artinya menunduk, hormat; dan "Te" yang
artinya padamu, merupakan cara yang lazim digunakan untuk menyapa atau memberi
salam di Asia Selatan. Namaste digunakan oleh multi-agama dan lebih ditekankan
pada representasi arti dari "Saya Menghormati Anda". Ketika berbicara
dengan orang lain, biasanya diikuti oleh gerakan mencakupkan kedua tangan di
depan dada.
Filosofi Namaste bagi saya pribadi lebih ke arah sifat diri yang rendah hati. Sebuah ungkapan yang dengan sangat elegan memberi penghormatan kepada siapa saja tanpa memandang atribut orang tersebut, apakah dia kaya, miskin, rupawan, buruk, terhormat, hina, sehat, sakit, dsb. Mendalami filosofi Namaste, mengajarkan saya untuk lebih mencintai semua ciptaan Tuhan. Tak akan ada niat untuk menindas, membunuh, menfitnah, mencaci-maki, ataupun sekedar menggosipkan orang lain di belakang. Tindakan-tindakan tersebut sangat melukai rasa penghormatan saya kepada sesama. Dan otomatis mencederai rasa bakti kepada Tuhan yang saya sembah.
Menghormati orang lain sama dengan menghormati diri sendiri. Karena sejatinya, di dalam diri saya dan orang lain memiliki satu kesamaan yang agung. Yang Agung inilah yang disebut dengan "Jiwa". Dan Jiwa inilah "cahaya" Tuhan yang paling kecil yang berada di dalam diri kita yang harus kita berikan penghormatan tertinggi. Namaste…!
Filosofi Namaste bagi saya pribadi lebih ke arah sifat diri yang rendah hati. Sebuah ungkapan yang dengan sangat elegan memberi penghormatan kepada siapa saja tanpa memandang atribut orang tersebut, apakah dia kaya, miskin, rupawan, buruk, terhormat, hina, sehat, sakit, dsb. Mendalami filosofi Namaste, mengajarkan saya untuk lebih mencintai semua ciptaan Tuhan. Tak akan ada niat untuk menindas, membunuh, menfitnah, mencaci-maki, ataupun sekedar menggosipkan orang lain di belakang. Tindakan-tindakan tersebut sangat melukai rasa penghormatan saya kepada sesama. Dan otomatis mencederai rasa bakti kepada Tuhan yang saya sembah.
Menghormati orang lain sama dengan menghormati diri sendiri. Karena sejatinya, di dalam diri saya dan orang lain memiliki satu kesamaan yang agung. Yang Agung inilah yang disebut dengan "Jiwa". Dan Jiwa inilah "cahaya" Tuhan yang paling kecil yang berada di dalam diri kita yang harus kita berikan penghormatan tertinggi. Namaste…!
Lambang Agama Hindu
Lambang atau simbul dalam keagamaan
merupakan sarana pengikat keyakinan umatnya untuk lebih mendekatkan hati dan
perasaannya kepada cita- cita hidup keagamaan, disebut juga Niyasa atau Murti
Puja. Agama Hindu mempergunakan Swastika sebagai lambang.
Adapun bentuk asli dari lambang SWASTIKA ialah dua
garis vertikal dan horisontal bersilang sama sisi, tegak lurus di tengah-
tengah (+).Sebagai kreasi seni budaya yang selalu berkembang, Swastika juga
mengalami perkembangan sehingga kemudian menjadi berbentuk :
Swastika menggambarkan keharmonisan
perputaran alam semesta dengan segala romantika, dinamika dan dialektikanya.
Hal mana pada hakekatnya menunjukkan kemahabesaran Sang Hyang Widhi Wasa selaku
Maha Pencipta. Kata Swastika berarti keselamatan atau kesejahteraan. Garis
vertikal menunjukkan keharmonisan hubungan manusia dengan pencipta- Nya yaitu
Sang Hyang Widhi Wasa, sedangkan garis horisontal menunjukkan keharmonisan
hubungan manusia dengan sesamanya, termasuk hubungan manusia dengan alam.
Apabila hubungan manusia dengan penciptanya dan hubungan manusia dengan lingkungannya terjalin dengan harmonis, maka manusia akan mendapatkan keselamatan dan kesejahteraan. Keselamatan dan kesejahteraan adalah hakekat tujuan agama. Keempat garis di ujung- ujung garis vertikal dan garis horisontal menunjukkan arah perputaran Swastika, yaitu berputar ke arah kanan. Jadi Swastika juga melukiskan gerak, yaitu gerak alam semesta yang berputar ke arah kanan. Pada hakekatnya semua isi alam juga mengalami perputaran seperti angin, air, dan sebagainya, untuk menimbulkan keharmonisan di alam ini.
Apabila hubungan manusia dengan penciptanya dan hubungan manusia dengan lingkungannya terjalin dengan harmonis, maka manusia akan mendapatkan keselamatan dan kesejahteraan. Keselamatan dan kesejahteraan adalah hakekat tujuan agama. Keempat garis di ujung- ujung garis vertikal dan garis horisontal menunjukkan arah perputaran Swastika, yaitu berputar ke arah kanan. Jadi Swastika juga melukiskan gerak, yaitu gerak alam semesta yang berputar ke arah kanan. Pada hakekatnya semua isi alam juga mengalami perputaran seperti angin, air, dan sebagainya, untuk menimbulkan keharmonisan di alam ini.
Kitab Suci
Kitab suci agama Hindu disebut Weda.
Adapun kata Weda ini berasal dari bahasa Sanskerta dari akar kata
"Wid" berkembang menjadi kata WEDA atau WIDYA yang berarti
pengetahuan. Sebagai kitab suci kata Weda mengandung pengertian himpunan ilmu
pengetahuan suci yang bersumber dari Sang Hyang Widhi Wasa diterima atau
didengar oleh para Maha Resi dalam keadaan samadhi. Oleh karena itu disebut
juga Sruti yang berarti Sabda suci yang didengar (wahyu). Jadi Weda merupakan
himpunan wahyu- wahyu Tuhan.
Weda Sruti yaitu Weda dalam bentuk
himpunan wahyu (Sruti), disebut juga Weda Samhita terdiri dari:
Kelompok Catur Weda:
- Rig Weda, Dihimpun oleh Maha Resi Pulaha
- Yajur Weda, Dihimpun oleh Maha Resi Waisampayana
- Sama Weda, Dihimpun oleh Maha Resi Jaimini
- Atharwa Weda, Dihimpun oleh Maha Resi Sumantu
Pancamo Weda:
Bhagavad-Gita,
Dihimpun oleh Maha Resi Byasa.
Weda Smrti yaitu tafsir dari Weda
Sruti, disusun dengan maksud mempermudah mempelajarinya, terdiri dari dua
kelompok yaitu:
Kelompok Wedangga
- Siksa, Isinya tentang ilmu tentang phonetics
- Wyakarana, Isinya tentang ilmu tata bahasa
- Chanda, Isinya tentang pengetahuan tentang lagu
- Nirukta, Isinya tentang pengetahuan tentang sinonim dan akronim
- Jyotisa, Isinya tentang ilmu astronomi
- Kalpa, Isinya tentang tentang ritual
Kelompok Upaweda
- Itihasa, Isinya tentang ceritera- ceritera kepahlawanan (epos) terdiri dari Mahabarata dan Ramayana
- Purana, Isinya tentang himpunan ceritera- ceritera (mirip sejarah) tentang peristiwa- peristiwa tertentu dan tentang tradisi.
- Arthasastra, Isinya tentang pengetahuan tentang pemerintahan.
- Ayurweda, Isinya tentang ilmu obat- obatan.
- Gandarwa Weda, Isinya tentang ilmu tentang seni
- Sarasamuçcaya dan Slokantara , Isinya tentang etika dan tata susila.
Resi / Maha Resi
Resi adalah orang yang atas usahanya
melakukan tapa brata yoga samadhi, memiliki kesucian, terpilih oleh Tuhan,
dapat menghubungkan diri dengan Tuhan, sehingga dengan kuasa- Nya dapat melihat
hal yang sudah lampau, sekarang, dan yang akan datang, serta dapat menerima
wahyu (Sruti). Istilah Resi sebenarnya tidak sama artinya dengan Pendeta, namun
kadang- kadang diartikan sama, seperti terdapat di beberapa daerah. Untuk
membedakan pengertian Resi sebagai Pendeta dan Resi sebagai Nabi, maka
dipakailah istilah Maha Resi untuk menyatakan Resi sebagai Nabi. Diantaranya:
Swayambhu, Bharadwaja, Wrhaspati,
Krtyaya, Sandhyaya, Agastya, Wasistha, Tridhatu, Gotama, Wajrasrawa, Grtsamada,
Kanwa, Trinawindhu, Aryadatta, Dharma, Wiswamitra, Narayana, Usana, Somayan,
Parasara, Warmadewa, Prajapati, Tryaguna, Rutsa, Byasa, Atri, Hiranyagarbha,
Dhananjaya dan Sakri
Maha Resi Byasa beserta murid-
muridnya terkenal karena karyanya membukukan (kodifikasi) kitab- kitab Weda,
sehingga terhimpunlah kitab Catur Weda.
Avatara
Awatara adalah perwujudan Sang Hyang
Widhi turun ke dunia untuk karya penyelamatan terutama pada saat dharma
mengalami tantangan dan saat- saat adharma mulai merajalela. Bedanya dengan
Maha Resi ialah bahwa Awatara itu adalah perwujudan Hyang Widhi yang turun ke
dunia, sedangkan Maha Resi adalah manusia terpilih karena dapat meningkatkan
jiwanya ke kesempurnaan sehingga dapat menerima wahyu. Dalam Wisnu Purana
dikenal sepuluh perwujudan Sang Hyang Widhi Wasa dalam penyelamatan dunia
ialah:
- Matsya Awatara, Ikan yang maha besar
- Kurma Awatara, Kura-kura (penyu) raksasa yang diceritakan menopang semesta
- Waraha Awatara, Badak Agung
- Narasingha Awatara, manusia berkepala Singa, membunuh Raja Hirania Kasipu sebagai tokoh Adharma saat itu.
- Wamana Awatara, Orang Kerdil yang membunuh Raja Bali sebagai tokoh Adharma.
- Rama Parasu Awatara, Pandita yang selalu membawa kampak, memberi kesadaran kepada para kesatria untuk mengendalikan Dharma atau kepemimpinan dengan sebaik- baiknya.
- Rama Awatara, putra Prabu Dasarata guna membela dharma melawan adharma yang dipimpin oleh Rawana yang pasukannya terbasmi.
- Krisna Awatara, sebagai putra Prabu Wasudewa dengan Dewi Dewaki menghancurkan Raja Kangsa dan Jarasanda golongan adharma pada saat itu.
- Budha Awatara, sebagai putra Prabu Sudodana dengan Dewi Maya bertugas menyadarkan umat manusia, agar bebas dari penderitaan melalui jalan tengah di antara delapan cakram (putaran hidup).
- Kalki Awatara, penunggang kuda putih dengan membawa pedang terhunus dan akan membasmi makhluk yang adharma. Awatara ini adalah yang ke-10, Menurut keyakinan kita beliau akan datang nanti bila adharma sudah betul- betul merajalela (pralaya - kiamat).
TIGA KERANGKA DASAR AGAMA HINDU
Ajaran Agama Hindu dapat dibagi
menjadi tiga bagian yang dikenal dengan "Tiga Kerangka Dasar", di
mana bagian yang satu dengan lainnya saling isi mengisi dan merupakan satu
kesatuan yang bulat untuk dihayati dan diamalkan guna mencapai tujuan agama
yang disebut Jagadhita dan Moksa.
Tiga Kerangka Dasar tersebut adalah:
- Tatwa
- Susila
- Upakara
TATWA
Sebenarnya agama Hindu mempunyai
kerangka dasar kebenaran yang sangat kokoh karena masuk akal dan konseptual.
Konsep pencarian kebenaran yang hakiki di dalam Hindu diuraikan dalam ajaran
filsafat yang disebut Tattwa. Tattwa dalam agama Hindu dapat diserap sepenuhnya
oleh pikiran manusia melalui beberapa cara dan pendekatan yang disebut Pramana.
TRI PRAMANA
Ada 3 (tiga) cara penyerapan pokok
yang disebut Tri Pramana.
Tri Pramana, "Tri" artinya
tiga, "Pramana" artinya jalan, cara, atau ukuran. Jadi Tri Pramana
adalah tiga jalan/ cara untuk mengetahui hakekat kebenaran sesuatu, baik nyata
maupun abstrak. Dalam Wrhaspati Tattwa sloka 26 disebutkan:
Pratyaksanumanasca
krtan tad wacanagamah pramananitriwidamproktam tat samyajnanam uttamam. Ikang
sang kahanan dening pramana telu, ngaranya, pratyaksanumanagama.
Pratyaksa
ngaranya katon kagamel. Anumana ngaranya kadyangganing anon kukus ring kadohan,
yata manganuhingganing apuy, yeka Anumana ngaranya.
Agama
ngaranya ikang aji inupapattyan desang guru, yeka Agama ngaranya. Sang
kinahanan dening pramana telu Pratyaksanumanagama, yata sinagguh Samyajnana
ngaranya.
Artinya:
Adapun orang yang dikatakan memiliki
tiga cara untuk mendapat pengetahuan yang disebut Pratyaksa, Anumana, dan
Agama.
Pratyaksa namanya (karena) terlihat
(dan) terpegang. Anumana sebutannya sebagai melihat asap di tempat jauh, untuk
membuktikan kepastian (adanya) api, itulah disebut Anumana.
Agama disebut pengetahuan yang
diberikan oleh para guru (sarjana), itulah dikatakan Agama. Orang yang memiliki
tiga cara untuk mendapat pengetahuan Pratyaksa, Anumana, dan Agama, dinamakan
Samyajnana (serba tahu).
Tri Premana meliputi:
- Agama Pramana adalah suatu ukuran atau cara yang dipakai untuk mengetahui dan meyakini sesuatu dengan mempercayai ucapan- ucapan kitab suci, karena sering mendengar petuah- petuah dan ceritera para guru, Resi atau orang- orang suci lainnya. Ceritera- ceritera itu dipercayai dan diyakini karena kesucian batin dan keluhuran budi dari para Maha Resi itu. Apa yang diucapkan atau diceriterakannya menjadi pengetahuan bagi pendengarnya. Misalnya: Guru ilmu pengetahuan alam berceritera bahwa di angkasa luar banyak planet- planet, sebagaimana juga bumi berbentuk bulat dan berputar. Setiap murid percaya kepada apa yang diceriterakan gurunya, oleh karena itu tentang planet dan bumi bulat serta berputar menjadi pengetahuan yang diyakini kebenarannya, walaupun murid- murid tidak pernah membuktikannya. Demikianlah umat Hindu meyakini Sang Hyang Widhi Wasa berdasarkan kepercayaan kepada ajaran Weda, melalui penjelasan- penjelasan dari para Maha Resi atau guru- guru agama, karena sebagai kitab suci agama Hindu memang mengajarkan tentang Tuhan itu demikian.
- Anumana Pramana adalah cara atau ukuran untuk mengetahui dan meyakini sesuatu dengan menggunakan perhitungan logis berdasarkan tanda- tanda atau gejala- gejala yang dapat diamati. Dari tanda- tanda atau gejala- gejala itu ditarik suatu kesimpulan tentang obyek yang diamati tadi. Cara menarik kesimpulan adalah dengan dalil sebagai berikut: YATRA YATRA DHUMAH, TATRA TATRA WAHNIH artinya Di mana ada asap di sana pasti ada api. Contoh: Seorang dokter dalam merawat pasiennya selalu mulai dengan menanyakan keluhan- keluhan yang dirasakan si pasien sebagai gejala- gejala dari penyakit yang diidapnya. Dengan menganalisa keluhan- keluhan tadi dokter dapat menyimpulkan penyakit pasiennya, sehingga mudah melakukan pengobatan. Demikian pula jika memperhatikan keadaan dunia ini, maka banyak sekali ada gejala- gejala alam yang teratur. Hal itu menurut logika kita hanya mungkin dapat terjadi apabila ada yang mengaturnya.
- Pratyaksa Pramana adalah cara untuk mengetahui dan meyakini sesuatu dengan cara mengamati langsung terhadap sesuatu obyek, sehingga tidak ada yang perlu diragukan tentang sesuatu itu selain hanya harus meyakini. Misalnya menyaksikan atau melihat dengan mata kepala sendiri, kita jadi tahu dan yakin terhadap suatu benda atau kejadian yang kita amati. Untuk dapat mengetahui serta merasakan adanya Sang Hyang Widhi Wasa dengan pengamatan langsung haruslah didasarkan atas kesucian batin yang tinggi dan kepekaan intuisi yang mekar dengan pelaksanaan yoga samadhi yang sempurna.
Tri Pramana ini, menyebabkan akal
budi dan pengertian manusia dapat menerima kebenaran hakiki dalam tattwa,
sehingga berkembang menjadi keyakinan dan kepercayaan. Kepercayaan dan
keyakinan dalam Hindu disebut dengan sradha. Dalam Hindu, sradha disarikan
menjadi 5 (lima) esensi, disebut Panca Sradha.
PANCA SRADHA
Dalam Agama Hindu ada lima keyakinan
dan kepercayaan yang disebut dengan Panca sradha. Pancasradha merupakan
keyakinan dasar umat Hindu. Kelima keyakinan tersebut, yakni:
- Widhi Tattwa - percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa dan segala aspeknya
- Atma Tattwa - percaya dengan adanya jiwa dalam setiap makhluk
- Karmaphala Tattwa - percaya dengan adanya hukum sebab-akibat dalam setiap perbuatan
- Punarbhava Tattwa - percaya dengan adanya proses kelahiran kembali (reinkarnasi)
- Moksa Tattwa - percaya bahwa kebahagiaan tertinggi merupakan tujuan akhir manusia
Berbekal Panca Sradha yang diserap
menggunakan Tri Pramana ini, perjalanan hidup seorang Hindu menuju ke satu
tujuan yang pasti. Ke arah kesempurnaan lahir dan batin yaitu Jagadhita dan
Moksa. Ada 4 (empat) jalan yang bisa ditempuh, jalan itu disebut Catur Marga.
CATUR MARGA YOGA
Dalam usaha perjalanan manusia
menuju kepada Tuhan, ada empat jalan yang harus ditempuh yaitu Catur Marga.
Catur artinya empat dan Marga artinya jalan. Jadi Catur Marga artinya: empat
jalan yang harus ditempuh dalam usaha manusia menuju kepada Tuhan Sang Maha
Pencipta. Empat jalan itu disebut Catur Marga, yaitu:
- Yoga Marga / Raja Yoga : menuju pada kebenaran dengan jalan disiplin tertentu dengan metode-metode Yoga. Raja Yoga Marga ialah suatu jalan dan usaha untuk mencapai Jagadhita dan Moksa melalui pengabdian diri kepada Sang Hyang Widhi Wasa yaitu mulai berlangsung dan berakhir pada konsentrasi. Dalam arti yang lebih luas yoga ini mengandung pengertian tentang pengekangan diri. Dengan pengendalian diri yang ketat, tekun dalam yoga, maka persatuan Atman dengan Brahman akan tercapai.
- Jnana Marga / Jnana Yoga : menuju persatuan dengan Tuhan dengan cara terus menerus mempelajarinya. Jnana Marga ialah suatu jalan dan usaha untuk mencapai jagadhita dan Moksa dengan mempergunakan kebijaksanaan filsafat (Jnana). Di dalam usaha untuk mencapai kesempurnaan dengan kebijaksanaan itu, para arif bijaksana (Jnanin) melaksanakan dengan keinsyafan bahwa manusia adalah bagian dari alam semesta yang bersumber pada suatu sumber alam, yang di dalam kitab suci Weda disebut Brahman atau Purusa. Di dalam Upanishad dijelaskan bahwa Brahman atau Purusa adalah sebagai sumber unsur- unsur rohani maupun jasmani semua makhluk dan sumber segala benda yang terdapat di alam ini. Brahman sebagai sumber segala- galanya mempunyai kekuatan yang dapat dikatakan hukum kodrat, atau sifatnya yang menyebabkan Brahman berubah menjadi serba segala, rohaniah maupun jasmaniah (sekala- niskala). Menginsyafi bahwa segala yang ada, rohani maupun jasmani, benda yang berwujud (Sthula) maupun abstrak (suksma) bersumber pada Brahman, maka para bijaksana (Jnanin) memandang bahwa semua benda jasmaniah (jasad) dan wujud rohani (alam pikiran dan sebagainya) yang timbul dari Brahman adalah benda dan wujud yang bersifat sementara (relatif). Hanya sumbernya yaitu Brahman (Siwa) Yang Maha Agung yang sungguh- sungguh ada dan mutlak (absolut). Dengan kebijaksanaan (Jnana) mereka dapat mencapai dharma yang memberikan kebahagiaan lahir batin dalam hidupnya sekarang, di akhirat (Swarga) dan dalam penjelmaan yang akan datang (Swarga Cyuta). Andaikata rahmat melimpah akhirnya mereka dapat menginjak alam Moksa yaitu kebahagiaan yang kekal, yang menyebabkan roh (Atma) bebas dari penjelmaan.
- Bhakti Marga / Bhakti Yoga : menyerahkan diri dengan tulus kepada Tuhan sebagai seorang poenyembah yang penuh kecintaan. Bhakti Marga adalah usaha untuk mencapai Jagadhita dan Moksa dengan jalan sujud bakti kepada Tuhan. Dengan sujud dan cinta kepada Tuhan Pelindung dan Pemelihara semua makhluk, maka Tuhan akan menuntun seorang Bhakta, yakni orang yang cinta, bakti dan sujud kepada- Nya untuk mencapai kesempurnaan. Dengan menambah dan berdoa mohon perlindungan dan ampun atas dosa- dosanya yang pernah dilaksanakan serta mengucap syukur atas perlindungannya, kian hari cinta baktinya kepada Tuhan makin mendalam hingga Tuhan menampakkan diri (manifest) di hadapan Bhakta itu. Tuhan memelihara dan melindungi orang yang beriman itu, supaya hidupnya tetap tenang dan tenteram. Jalan yang utama untuk memupuk perasaan bakti ialah rajin menyembah Tuhan dengan hati yang tulus ikhlas, seperti melaksanakan Tri Sandhya yaitu sembahyang tiga kali dalam sehari, pagi, siang, dan sore hari dan bersembahyang hari suci lainnya.
- Karma Marga / Karma Yoga : menuju pembebasan dengan jalan bekerja tanpa mengharapkan hasil. Karma Marga berarti jalan atau usaha untuk mencapai Jagadhita dan Moksa dengan melakukan kebajikan, tiada terikat oleh nafsu hendak mendapat hasilnya berupa kemasyhuran, kewibawaan, keuntungan, dan sebagainya, melainkan melakukan kewajiban demi untuk mengabdi, berbuat amal kebajikan untuk kesejahteraan umat manusia dan sesama makhluk. Selain itu Karma Marga berhampiran inti ajarannya dengan Bhakti Marga, yaitu mengarahkan segala usaha, pengabdian kebijaksanaan, amal dan pengorbanan itu bukan dari dirinya sendiri melainkan dari Tuhan.
Demikianlah tattwa Hindu Dharma.
Tidak terlalu rumit, namun penuh kepastian. Istilah- istilah yang disebutkan di
atas janganlah dianggap sebagai dogma, karena dalam Hindu tidak ada dogma. Yang
ada adalah kata- bantu yang telah disarikan dari sastra dan veda, oleh para
pendahulu kita, agar lebih banyak lagi umat yang mendapatkan pencerahan, dalam
pencarian kebenaran yang hakiki.
SUSILA
Susila merupakan kerangka dasar
Agama Hindu yang kedua setelah filsafat (Tattwa). Susila memegang peranan
penting bagi tata kehidupan manusia sehari- hari. Realitas hidup bagi seseorang
dalam berkomunikasi dengan lingkungannya akan menentukan sampai di mana kadar
budi pekerti yang bersangkutan. la akan memperoleh simpati dari orang lain
manakala dalam pola hidupnya selalu mencerminkan ketegasan sikap yang diwarnai
oleh ulah sikap simpatik yang memegang teguh sendi- sendi kesusilaan.
Di dalam filsafat (Tattwa) diuraikan bahwa agama Hindu membimbing manusia untuk mencapai kesempurnaan hidup seutuhnya, oleh sebab itu ajaran sucinya cenderung kepada pendidikan sila dan budi pekerti yang luhur, membina umatnya menjadi manusia susila demi tercapainya kebahagiaan lahir dan batin.
Kata Susila terdiri dari dua suku kata: "Su" dan "Sila". "Su" berarti baik, indah, harmonis. "Sila" berarti perilaku, tata laku. Jadi Susila adalah tingkah laku manusia yang baik terpancar sebagai cermin obyektif kalbunya dalam mengadakan hubungan dengan lingkungannya.
Pengertian Susila menurut pandangan Agama Hindu adalah tingkah laku hubungan timbal balik yang selaras dan harmonis antara sesama manusia dengan alam semesta (lingkungan) yang berlandaskan atas korban suci (Yadnya), keikhlasan dan kasih sayang.
Pola hubungan tersebut adalah berprinsip pada ajaran Tat Twam Asi (Ia adalah engkau) mengandung makna bahwa hidup segala makhluk sama, menolong orang lain berarti menolong diri sendiri, dan sebaliknya menyakiti orang lain berarti pula menyakiti diri sendiri. Jiwa sosial demikian diresapi oleh sinar tuntunan kesucian Tuhan dan sama sekali bukan atas dasar pamrih kebendaan. Dalam hubungan ajaran susila beberapa aspek ajaran sebagai upaya penerapannya sehari- hari diuraikan lagi secara lebih terperinci.
Di dalam filsafat (Tattwa) diuraikan bahwa agama Hindu membimbing manusia untuk mencapai kesempurnaan hidup seutuhnya, oleh sebab itu ajaran sucinya cenderung kepada pendidikan sila dan budi pekerti yang luhur, membina umatnya menjadi manusia susila demi tercapainya kebahagiaan lahir dan batin.
Kata Susila terdiri dari dua suku kata: "Su" dan "Sila". "Su" berarti baik, indah, harmonis. "Sila" berarti perilaku, tata laku. Jadi Susila adalah tingkah laku manusia yang baik terpancar sebagai cermin obyektif kalbunya dalam mengadakan hubungan dengan lingkungannya.
Pengertian Susila menurut pandangan Agama Hindu adalah tingkah laku hubungan timbal balik yang selaras dan harmonis antara sesama manusia dengan alam semesta (lingkungan) yang berlandaskan atas korban suci (Yadnya), keikhlasan dan kasih sayang.
Pola hubungan tersebut adalah berprinsip pada ajaran Tat Twam Asi (Ia adalah engkau) mengandung makna bahwa hidup segala makhluk sama, menolong orang lain berarti menolong diri sendiri, dan sebaliknya menyakiti orang lain berarti pula menyakiti diri sendiri. Jiwa sosial demikian diresapi oleh sinar tuntunan kesucian Tuhan dan sama sekali bukan atas dasar pamrih kebendaan. Dalam hubungan ajaran susila beberapa aspek ajaran sebagai upaya penerapannya sehari- hari diuraikan lagi secara lebih terperinci.
TRI KAYA PARISUDHA
Untuk bisa menjalankan dharma
diperlukan prilaku dasar yang disebut: Tri Kaya Parisuda artinya tiga
gerak perilaku manusia yang harus disucikan. Tri Kaya Parisudha adalah tiga
jenis perbuatan yang merupakan landasan ajaran Etika Agama Hindu yang
dipedomani oleh setiap individu guna mencapai kesempurnaan dan kesucian
hidupnya, meliputi:
- Berpikir yang benar (Manacika) - Satya Hrdaya - satunya pikiran
- Berkata yang benar (Wacika) - Satya Wacana - satunya tutur
- Berbuat yang benar (Kayika) - Satya Laksana - satunya laku
Dari tiap arti kata di dalamnya, Tri
berarti tiga; Kaya bararti Karya atau perbuatan atau kerja atau prilaku;
sedangkan Parisudha berarti "upaya penyucian".Jadi
"Trikaya-Parisudha berarti "upaya pembersihan/penyucian atas tiga
perbuatan atau prilaku kita".
Tri Kaya Parisudha yang menjadi
konsentrasi pembahasan kali ini adalah merupakan salah satu aplikasi dan
perbuatan baik (subha karma). Secara hirarki bermula dan pikiran yang baik dan
benarlah akan mengalir ucapan dan perbuatan yang baik dan benar pula. Jadi
kuncinya adalah pada pikiran, yang dalam pepatah sama dengan “dan telaga yang
jernihlah mengalir air yang jernih pula”. Kalau pikirannya kacau, apalagi
memikirkan yang macam-macam dan bukan-bukan niscaya perkataan dan
perbuatannyapun akan amburadul yang bermuara pada kehancuran dan penderitaan.
CATUR PARAMITA
Pada hakekatnya hanya dari adanya
pikiran yang benar akan menimbulkan perkataan yang benar sehingga mewujudkan
perbuatan yang benar pula. Dengan ungkapan lain adalah satunya pikiran,
perkataan, dan perbuatan dalam Catur Paramita, diantaranya:
- Maitri yaitu sifat suka menolong orang lain yang dalam kesusahan dengan ikhlas
- Karuna yaitu sifat kasih sayang dan cinta kepada sesama tanpa meminta balasan
- Mudita yaitu sifat simpatik dan ramah tamah menghormati oang lain dengan tulus
- Upeksa yaitu sifat mawas diri, tepa sarira, bisa menempatkan diri, rendah hati
PANCA YAMA BRATA
adalah lima jenis pengekangan diri
berdasarkan atas upaya menjauhi larangan agama sebagai norma kehidupan sebagai
berikut:
- Ahimsa yaitu Kasih kepada makhluk lain, tidak membunuh atau menganiaya
- Brahmacari yaitu Berguru dengan sungguh- sungguh, tidak melakukan hubungan kelamin (sanggama) selama menuntut ilmu.
- Satya yaitu Setia, pantang ingkar kepada janji
- Awyawaharika yaitu Cinta kedamaian, tidak suka bertengkar dan mengumbar bicara yang tidak bermanfaat
- Astenya yaitu Jujur, pantang melakukan pencurian
PANCA NIYAMA BRATA
adalah lima jenis pengekangan diri
berdasarkan atau tunduk (mengikuti) peraturan Dharma yang telah ditentukan,
sebagai berikut:
- Akrodha yaitu Tidak dikuasai oleh nafsu kemarahan.
- Guru Susrusa yaitu Hormat dan taat kepada guru serta patuh pada ajaran- ajarannya.
- Sauca yaitu Senantiasa menyucikan diri lahir batin.
- Aharalagawa yaitu Pengaturan makan (makanan bergizi) dan tidak hidup berfoya- foya/ boros.
- Apramada yaitu Tidak menyombongkan diri dan takabur.
TRI MALA
merupakan tiga jenis kekotoran dan
kebatilan jiwa manusia akibat pengaruh negatif dan nafsu yang sering tidak
dapat terkendalikan dan sangat bertentangan dengan etika kesusilaan. Trimala
patut diwaspadai dan diredam, karena ia akan menghancurkan hidup, meliputi:
- Mithya hrdya yaitu berperasaan dan berpikiran buruk
- Mithya wacana yaitu berkata sombong, angkuh, tidak menepati janji
- Mithya laksana yaitu berbuat yang curang / culas / licik (merugikan orang lain)
Apabila Trimala telah menguasai
seluruh hidup manusia timbullah kegelapan (Awidya) mengakibatkan ia tidak mampu
lagi melakukan pertimbangan budi, kegelapan yang mempengaruhi pandangan
hidupnya.
SAD RIPU
adalah enam musuh di dalam diri
manusia yang selalu menggoda, yang mengakibatkan ketidakstabilan emosi. Apabila
tidak mampu menguasainya akan membawa bencana dan kehancuran total kehidupan
manusia. Karena itu Sad Ripu patut dikendalikan dengan budi susila. Sad Ripu
terdiri dari:
- Kama yaitu hawa nafsu yang tidak terkendalikan
- Lobha yaitu kelobaan (ketamakan), ingin selalu mendapatkan yang lebih.
- Krodha yaitu kemarahan yang melampaui batas (tidak terkendalikan).
- Mada yaitu kemabukan yang membawa kegelapan pikiran.
- Moha yaitu kebingungan/ kurang mampu berkonsentrasi sehingga akibatnya individu tidak dapat menyelesaikan tugas dengan sempurna.
- Matsarya yaitu iri hati/ dengki yang menyebabkan permusuhan.
CATUR ASRAMA
Hubungan tata kemasyarakatan Hindu
dibagi menjadi empat tingkat kehidupan yang dikenal dengan Catur Asrama.
Catur Asrama adalah empat lapangan atau tingkatan hidup manusia atas dasar
keharmonisan hidup. Tiap- tiap tingkat kehidupan manusia diwarnai oleh adanya
ciri- ciri tugas kewajiban yang berbeda antara satu masa (asrama) dengan masa
lainnya, tetapi merupakan kesatuan yang tak dapat dipisahkan. Sebagai contoh
adanya perbedaan sifat tugas dan kewajiban seorang bapak dengan ibu dengan
anak- anaknya.
Menurut agama Hindu pembagian
tingkat kehidupan manusia sesuai dengan sistem Catur Asrama, ialah sebagai
berikut:
- Brahmacari Asrama Adalah tingkat masa menuntut ilmu/masa mencari ilmu. Masa Brahmacari diawali dengan upacara Upanayana dan diakhiri dengan pengakuan dan pemberian Samawartana (Ijazah).
- Grhasta Asrama Adalah tingkat kehidupan berumahtangga. Masa Grehasta Asrama ini adalah merupakan tingkatan kedua setelah Brahmacari Asrama. Dalam memasuki masa Grehasta diawali dengan suatu upacara yang disebut Wiwaha Samskara (Perkawinan) yang bermakna sebagai pengesahan secara agama dalam rangka kehidupan berumahtangga (melanjutkan keturunan, melaksanakan yadnya dan kehidupan sosial lainnya).
- Wanaprastha Asrama Merupakan tingkat kehidupan ketiga. Dimana berkewajiban untuk menjauhkan diri dari nafsu keduniawian. Pada masa ini hidupnya diabdikan kepada pengamalan ajaran Dharma. Dalam masa ini kewajiban kepada keluarga sudah berkurang, melainkan ia mencari dan mendalami arti hidup yang sebenarnya, aspirasi untuk memperoleh kelepasan/moksa dipraktekkannya dalam kehidupan sehari- hari.
- Sanyasin Asrama (bhiksuka) Merupakan tingkat terakhir dari catur asrama, di mana pengaruh dunia sama sekali lepas. Mengabdikan diri pada nilai-nilai dari keutamaan Dharma dan hakekat hidup yang benar. Pada tingkatan ini, ini banyak dilakukan kunjungan (Dharma yatra, Tirtha yatra) ke tempat suci, di mana seluruh sisa hidupnya hanya diserahkan kepada Sang Pencipta untuk mencapai Moksa
CATUR PURUSA ARTHA
Agama Hindu memberikan tempat yang
utama terhadap ajaran tentang dasar dan tujuan hidup manusia. Dalam ajaran
Agama Hindu ada suatu sloka yang berbunyi: "Moksartham Jagadhita ya
ca iti dharmah", yang berarti bahwa tujuan beragama adalah untuk
mencapai kesejahteraan jasmani dan ketentraman batin (kedamaian abadi). Ajaran
tersebut selanjutnya dijabarkan dalam konsepsi Catur Purusa Artha atau
Catur Warga yang berarti empat dasar dan tujuan hidup manusia, yang terdiri
dari:
- Dharma Merupakan kebenaran absolut yang mengarahkan manusia untuk berbudi pekerti luhur sesuai dengan ajaran agama yang menjadi dasar hidup. Dharma itulah yang mengatur dan menjamin kebenaran hidup manusia. Keutamaan dharma sesungguhnya merupakan sumber datangnya kebahagiaan, memberikan keteguhan budi, dan menjadi dasar dan jiwa dari segala usaha tingkah laku manusia. kebenaran dan kebajikan, yang menuntun umat manusia untuk mencapai kebahagiaan dan keselamatan.
- Artha adalah benda-benda atau materi yang dapat memenuhi atau memuaskan kebutuhan hidup manusia. Adalah kekayaan dalam bentuk materi/ benda- benda duniawi yang merupakan penunjang hidup manusia. Pengadaan dan pemilikan harta benda sangat mutlak adanya, tetapi yang perlu diingat agar kita jangan sampai diperbudak oleh nafsu keserakahan yang berakibat mengaburkan wiweka (pertimbangan rasional) tidak mampu membedakan salah ataupun benar. Nafsu keserakahan materi melumpuhkan sendi- sendi kehidupan beragama, menghilangkan kewibawaan. Bahwa artha merupakan unsur sosial ekonomi bersifat tidak kekal berfungsi selaku penunjang hidup dan bukan tujuan hidup. Artha perlu diamalkan (dana punia) bagi kepentingan kemanusiaan (fakir miskin, cacat, yatim piatu, dan lain- lain)
- Kama artinya hawa nafsu, keinginan, juga berarti kesenangan. merupakan keinginan untuk memperoleh kenikmatan (wisaya). Kama berfungsi sebagai penunjang hidup yang bersifat tidak kekal. Manusia dalam hidup memiliki kecenderungan untuk memuaskan nafsu, tetapi sebagai makhluk berbudi ia mampu menilai perilaku mana yang baik dan benar untuk diterapkan. Dengan ungkapan lain bahwa perilaku yang baik dimaksudkan adalah selarasnya kebutuhan manusia dengan norma kebenaran yang berlaku.
- Moksa berarti kebahagiaan yang tertinggi, pelepasan kebebasan atau kemerdekaan (kadyatmikan atau Nirwana) manunggalnya hidup dengan Pencipta (Sang Hyang Widhi Wasa) sebagai tujuan utama, tertinggi, dan terakhir, bebasnya Atman dan pengaruh maya serta ikatan subha asubha karma (suka tan pawali duka).
CATUR WARNA
Kata Catur Warna berasal dari
bahasa Sanskerta yang terdiri dari kata ''Catur" berarti empat dan kata
"warna" yang berasal dari urat kata Wr (baca: wri) artinya memilih.
Catur Warna berarti empat pilihan hidup atau empat pembagian dalam kehidupan
berdasarkan atas bakat (guna) dan ketrampilan (karma) seseorang, serta kwalitas
kerja yang dimiliki sebagai akibat pendidikan, pengembangan bakat yang tumbuh
dari dalam dirinya dan ditopang oleh ketangguhan mentalnya dalam menghadapi
suatu pekerjaan. Empat golongan yang kemudian terkenal dengan istilah Catur
Warna itu ialah:
- Warna Brahmana adalah golongan fungsional di dalam masyarakat yang setiap orangnya menitikberatkan pengabdian dalam swadharmanya di bidang kerohanian keagamaan.
- Warna Ksatrya adalah golongan fungsional di dalam masyarakat yang setiap orangnya menitikberatkan pengabdian dalam swadharmanya di bidang kepemimpinan, keperwiraan dan pertahanan keamanan negara.
- Warna Wesya adalah golongan fungsional di dalam masyarakat yang setiap orangnya menitikberatkan pengabdiannya di bidang kesejahteraan masyarakat (perekonomian, perindustrian, dan lain- lain).
- Warna Sudra adalah golongan fungsional di dalam masyarakat yang setiap orangnya menitikberatkan pengabdiannya di bidang ketenagakerjaan
Dalam perjalanan kehidupan di
masyarakat dari masa ke masa pelaksanaan sistem Catur Warna cenderung membaur
mengarah kepada sistem yang tertutup yang disebut Catur Wangsa atau Turunan
darah (Wangsa di Bali). Pada hal Catur Warna menunjukkan pengertian golongan
fungsional, sedangkan Catur Wangsa menunjukkan Turunan darah.
CATUR GURU
Untuk mewujudkan keserasian,
keselarasan dan keseimbangan dalam masyarakat Hindu tidak terlepas dari
disiplin dalam setiap tingkah laku kita sehari- hari lebih- lebih terhadap
catur kang Sinangguh Guru. Kata Guru dalam bahasa Sanskerta berarti berat.
Dalam Agama Hindu ada 4 yang dianggap guru adalah:
- Guru Swadyaya. Tuhan yang Maha Esa dalam fungsinya sebagai guru sejati maha guru alam semesta atau Sang Hyang Paramesti guru. Agama dan ilmu pengetahuan dengan segala bentuknya adalah bersumber dari beliau. SARWAM IDAM KHALUBRAHMAN (segala yang ada tidak lain dari Brahman). Demikian disebutkan dalam kitab Upanishad
- Guru Wisesa. Wisesa dalam bahasa Sanskerta berarti purusa/ Sangkapurusan yaitu pihak penguasa yang dimaksud adalah Pemerintah. Pemerintah adalah guru dan masyarakat umum yang berkewajiban untuk mencerdaskan kehidupan Bangsa dan memberikan kesejahteraan material dan spiritual.
- Guru Pengajian / Guru Parampara. Guru di sekolah yang telah benar- benar sepenuh hati dan ikhlas mengabdikan diri untuk mendidik serta mencerdaskan kehidupan Bangsa.
- Guru Rupaka Orang yang melahirkan (orang tua), tanpa orang tua kita tak akan ada oleh karena itu betapa besarnya jasa- jasa orang tua dalam membimbing putra- putranya untuk melahirkan putra yang baik (suputra).
Yadnya adalah suatu karya suci yang
dilaksanakan dengan ikhlas karena getaran jiwa/ rohani dalam kehidupan ini
berdasarkan dharma, sesuai ajaran sastra suci Hindu yang ada (Weda). Yadnya
dapat pula diartikan memuja, menghormati, berkorban, mengabdi, berbuat baik
(kebajikan), pemberian, dan penyerahan dengan penuh kerelaan (tulus ikhlas)
berupa apa yang dimiliki demi kesejahteraan serta kesempurnaan hidup bersama
dan kemahamuliaan Sang Hyang Widhi Wasa.
Di dalamnya terkandung nilai- nilai:
Di dalamnya terkandung nilai- nilai:
- Rasa tulus ikhlas dan kesucian.
- Rasa bakti dan memuja (menghormati) Sang Hyang Widhi Wasa, Dewa, Bhatara, Leluhur, Negara dan Bangsa, dan kemanusiaan.
- Di dalam pelaksanaannya disesuaikan dengan kemampuan masing- masing menurut tempat (desa), waktu (kala), dan keadaan (patra).
- Suatu ajaran dan Catur Weda yang merupakan sumber ilmu pengetahuan suci dan kebenaran yang abadi.
Konsep keseimbangan
TRI HITA KARANA
Istilah Tri Hita Karana pertama kali
muncul pada tanggal 11 Nopember 1966, pada waktu diselenggarakan Konferensi
Daerah l Badan Perjuangan Umat Hindu Bali bertempat di Perguruan Dwijendra
Denpasar. Konferensi tersebut diadakan berlandaskan kesadaran umat Hindu akan
dharmanya untuk berperan serta dalam pembangunan bangsa menuju masyarakat
sejahtera, adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Kemudian istilah Tri Hita
Karana ini berkembang, meluas, dan memasyarakat.
Secara leksikal Tri Hita Karana
berarti tiga penyebab kesejahteraan. (Tri = tiga, Hita = sejahtera, Karana =
penyebab). Pada hakikatnya Tri Hita Karana mengandung pengertian tiga penyebab
kesejahteraan itu bersumber pada keharmonisan hubungan antara:
- Manusia dengan Tuhannya (Parhyangan)
- Manusia dengan alam lingkungannya (Palemahan)
- Manusia dengan sesamanya (Pawongan)
Unsur- unsur Tri Hita Karana ini
meliputi:
- Sanghyang Jagatkarana. (tuhan)
- Bhuana (alam dan lingkungan)
- Manusia
Unsur- unsur Tri Hita Karana itu
terdapat dalam kitab suci Bagawad Gita (III.10), berbunyi sebagai berikut:
Sahayajnah
prajah sristwa pura waca prajapatih anena prasawisya dhiwan esa wo'stiwistah
kamadhuk
Artinya :
Pada jaman dahulu Prajapati
menciptakan manusia dengan yadnya dan bersabda: dengan ini engkau akan
berkembang dan akan menjadi kamadhuk dari keinginanmu.
Dalam sloka Bhagavad-Gita tersebut
ada nampak tiga unsur yang saling beryadnya untuk mendapatkan yaitu terdiri
dari:
- Prajapati = Tuhan Yang Maha Esa
- Praja = Manusia
Penerapan Tri Hita Karana.
Penerapan Tri Hita Karana dalam
kehidupan umat Hindu sebagai berikut
- Hubungan antara manusia dengan Tuhannya yang diwujudkan dengan Dewa yadnya.
- Hubungan manusia dengan alam lingkungannya yang diwujudkan dengan Bhuta yadnya.
- Hubungan antara manusia dengan sesamanya diwujudkan dengan Pitra, Resi, Manusia Yadnya.
Penerapan Tri Hita Karana dalam
kehidupan umat Hindu di Bali dapat dijumpai dalam perwujudan:
- Parhyangan. yaitu: Parahyangan untuk di tingkat daerah berupa Kahyangan Jagat,Di tingkat desa adat berupa Kahyangan desa atau Kahyangan Tiga,Di tingkat keluarga berupa pemerajan atau sanggah.
- Pelemahan yaitu Pelemahan di tingkat daerah meliputi wilayah Propinsi Bali, Di tingkat desa adat meliputi "asengken" bale agung, Di tingkat keluarga meliputi pekarangan perumahan.
- Pawongan yaitu Pawongan untuk di tingkat daerah meliputi umat Hindu di Bali, Untuk di desa adat meliputi krama desa adat, Tingkat keluarga meliputi seluruh anggota keluarga
Dengan menerapkan Tri Hita Karana
secara mantap, kreatif dan dinamis akan terwujudlah kehidupan harmonis yang
meliputi pembangunan manusia seutuhnya yang astiti bakti terhadap Sanghyang
Widhi Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa, cinta kepada kelestarian lingkungan serta
rukun dan damai dengan sesamanya
Konsep toleransi dan ketuhanan
Agama Hindu memiliki ciri khas
sebagai salah satu agama yang paling toleran, yang mana di dalam kitabWeda
dalam salah satu baitnya memuat kalimat berikut:
Tat Twam Asi – (Candayoga Upanisad)
ia adalah kamu, saya adalah kamu,
dan semua makhluk adalah sama
Ekam eva advityam Brahma - (Ch.U.IV.2.1)
Tuhan hanya satu tidak ada yang
kedua.
Eko Narayanad na dvityo Sti kaccit - (Weda Sanggraha)
Hanya satu Tuhan sama sekali tidak
ada duanya.
Bhineka Tungal Ika, tan hana Darma
mangrwa - (Lontar Sutasoma)
Berbeda-beda tetapi satu tidak ada
Dharma yang dua.
Ekam Sat Vipraaha Bahudhaa Vadanti —Rg Weda (Buku I, Gita CLXIV, Bait 46)
Hanya ada satu kebenaran tetapi para
orang pandai menyebut-Nya dengan banyak nama.
Ye yathā mām prapadyante tāms
tathaiva bhajāmy aham, mama vartmānuvartante manusyāh pārtha sarvaśah - (Bhagavad Gītā, 4.11)
Jalan mana pun yang ditempuh
seseorang kepada-Ku, Aku memberinya anugerah setimpal. Semua orang mencari-Ku,
dengan berbagai jalan, wahai putera Partha (Arjuna)
Yo yo yām yām tanum bhaktah
śraddhayārcitum icchati, tasya tasyācalām śraddhām tām eva vidadhāmy aham - (Bhagavad Gītā, 7.21)
Kepercayaan apapun yang ingin
dipeluk seseorang, Aku perlakukan mereka sama dan Ku-berikan berkah yang
setimpal supaya ia lebih mantap
ye ‘py anya-devatā-bhaktā yajante
śraddhayānvitāḥ, te ‘pi mām eva kaunteya yajanty avidhi-pūrvakam - (Bhagavad Gītā, IX.23)
Orang-orang yang menyembah Dewa-Dewa
dengan penuh keyakinannya, sesungguhnya hanya menyembah-Ku, tetapi mereka
melakukannya, dengan cara yang keliru, wahai putera Kunti (Arjuna)
Karena Tuhan tidak terjangkau oleh
pikiran, maka orang membayangkan bermacam-macam sesuai dengan kemampuannya.
Tuhan yang tunggal (Esa) itu dipanggilnya dengan banyak nama sesuai dengan
fungsinya. Ia dipanggil Brahma sebagai pencipta, Wisnu sebagai pemelihara dan
Shiwa sebagai pemralina. Banyak lagi panggilannya yang lain. Ia Maha Tahu, berada
di mana-mana. Karena itu tak ada apapun yang dapat kita sembunyikan
dihadapan-Nya. Orang-orang menyembah-Nya dengan bermacam-macam cara pada tempat
yang berbeda-beda. Kepada-Nyalah orang menyerahkan diri, mohon perlindungan dan
petunjuk-Nya agar dia menemukan jalan terang dalam mengarungi hidup ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar