Kebenaran
Kebenaran, adalah suatu pandangan dan nilai yang mula-mula
bersifat subjektif karena bersumber dari diri masing-masing pribadi.
Kualitasnya tergantung dari tingkat kemampuan dan kecerahan olah pikir yang
didasari kecerdasan, kesehatan spiritual, dan nalar seseorang.
Dalam perjalanan hidup, manusia sejak kecil terobsesi
persaingan untuk mendapat keunggulan tertentu yang memunculkan eksistensi jati
diri.
Pertumbuhan kecerdasan, kesehatan spiritual, dan nalar
berjalan serentak melalui pendidikan formal, pendidikan informal, pendidikan
non-formal, pengajaran, kerajinan mendalami ajaran agama, dan kemampuan
menghimpun pengalaman-pengalaman positif diri sendiri maupun orang lain melalui
komunikasi langsung atau tidak langsung, misalnya dengan membaca buku-buku
hasil karya orang-orang terkemuka.
Selain itu kecerdasan, kesehatan spiritual dan nalar akan
tumbuh dengan subur bila disertai disiplin tertentu dalam jalan kehidupan
spiritual. Diri manusia adalah ibarat suatu laboratorium raksasa yang selalu
mengkaji segala aspek, baik yang tumbuh dari dalam maupun yang datang dari luar
dirinya.
Disiplin menempuh kehidupan spiritual merupakan pangkal
utama keberhasilan seseorang mencapai keunggulan jati diri, karena dengan
spiritual yang sehat akan terbentuk emosi, fisik, dan inteligensi yang sehat
pula.
Theori “the living healthy” dari ilmu psikologi abad ke-19
seperti yang diungkapkan di atas, ternyata beribu tahun lampau sudah diulas
secara rinci dalam Brhadaranyaka Upanisad di mana ditegaskan bahwa nilai-nilai
kebenaran subjektif hanya akan diperoleh bila aspek spiritual diunggulkan dalam
kehidupan manusia.
Penegasan ini dikuatkan oleh filsuf Hindu terkenal Adi
Sankaracarya, yang menyatakan bahwa aspek spiritual sangat besar pengaruhnya
pada nalar manusia.
Oleh karena nilai-nilai kebenaran didasari oleh aspek
spiritual yang bersifat universal, maka pandangan yang pada mulanya subjektif
kemudian menjadi dualis, yaitu subjektif dan objektif. Artinya nilai-nilai
kebenaran yang diyakini seseorang haruslah mendapat pengakuan publik. Bila
demikian ia akan berguna bagi kesejahteraan bersama dalam kehidupan manusia
yang harmonis dengan Hyang Widhi, dengan sesama umat manusia dan dengan alam
semesta.
Nilai-nilai kebenaran objektif seperti ini kemudian
berkembang menjadi darsana, yaitu sebuah pandangan realistas logis yang
berlandaskan observasi konseptual setelah melalui tes dalam kehidupan manusia.
Bagi mereka yang merasa masih belum mendapatkan atau masih ragu pada
nilai-nilai kebenaran, dapat meminta guru spiritual yang dipercaya memberikan
pencerahan yang bersumber dari Veda.
Di samping itu para pencari kebenaran hendaknya “memelihara”
roh atau atman yang ada didirinya dengan baik, dalam pengertian memberikan
kesempatan yang luas kepada atman untuk menguasai pikiran. Dalam filsafat
Hinduisme “Advaita”, atman adalah Brahman/ Hyang Widhi.
Jadi bila manusia berhasil menguatkan kedudukan atman pada
dirinya, berarti menguatkan pula stana Hyang Widhi dalam dirinya. Ia dengan
segera akan mendapat pencerahan, sehingga segala kayika (perbuatan) dan wacika
(perkataan) terkendali dengan baik dari manacika (pikiran) yang dirasuki
Brahman.
Kitab suci Veda mempunyai otoritas tertinggi dalam
menentukan kebenaran, sedangkan nalar atau pikiran yang disebut tarka
menegaskan nilai-nilai itu untuk mencapai intuisi humanitas. Upanisad
menyatakan bahwa dengan mendengarkan (sravana), refleksi (nidhiyasana), dan
meditasi (upasana) seseorang dapat mencapai pengetahuan intuitif Brahman.
Dengan demikian maka unsur-unsur kebenaran meliputi tiga hal
pokok:
- nilai hakiki, yaitu Veda
- sarana, yaitu tarka
- tes kebenaran, yaitu pengakuan publik
Mengenai nilai hakiki dan sarana, telah dijelaskan di atas.
Kini dilanjutkan dengan masalah tes kebenaran.
Kebenaran dalam ilmu pengetahuan atau sains mempunyai
keterbatasan karena hanya mengetahui fakta-fakta di dalam hubungannya dengan
fakta yang lebih besar. Di sisi lain fakta-fakta yang baru dapat menggantikan
fakta-fakta yang lama yang sudah dianggap usang dan tidak digunakan lagi.
Kebenaran dalam aspek spiritual yang abadi tidak hanya
mencakup hal-hal material tetapi juga mencakup aspek-aspek halus yang tidak
berwujud misalnya: tanmatra, yaitu pengaruh panca indra pada atman melalui
pikiran yang membentuk trikaya (perbuatan, perkataan, dan pikiran) seseorang:
rajas, tamas, dan sattwam, kemudian pada gilirannya menentukan karmawasana-nya.
Tes kebenaran spiritual tidak dapat dilakukan secara nyata dan segera, karena
memerlukan pembuktian melalui analisis objektif publik.
Bagi masyarakat yang keyakinan Hinduisme-nya kuat, salah
satu sarana tes kebenaran misalnya dapat diambil dari bagian pancasrada, yaitu karmaphala.
Bahwa perbuatan yang baik dan benar akan mendapat pahala yang baik, sedangkan
perbuatan yang jelek dan salah akan mendapat pahala yang buruk.
Demikianlah misalnya seorang pemimpin yang semasa aktif
diragukan kebenaran dalam kebijaksanaannya, kemudian pada suatu saat ia jatuh
dari kedudukan lalu menjadi sengsara dan dihina, maka tes kebenaran objektif
publik menyimpulkan bahwa apa yang dilakukan di masa lalu adalah buruk dan
salah.
Sebaliknya tokoh-tokoh spiritual yang pada mulanya menerima
tentangan atau perlawanan, tetapi kemudian nilai-nilai kebenaran yang
dipaparkannya menjadi kajian dan diterima sebagai pedoman kehidupan publik,
lalu mendapat penghargaan serta pengikut yang luas.
Jalan yang dianjurkan untuk mendapat realisasi kebenaran ada
bermacam-macam. Masing-masing darsana dari Sarva Darsana Samgraha menyampaikan
cara tersendiri, ada yang melalui karma marga, melalui bhakti marga, dan
melalui jnyana marga, atau kombinasi dari ketiganya.
Keberhasilannya tergantung pada disiplin pribadi dan konsistensi
pelaksanaan dalam bentuk mengikuti jalan kesucian, meluaskan pengetahuan, dan
menebarkan cinta kasih. Ini tidaklah mudah, karena seorang pencari kebenaran
akan selalu mendapat godaan, cobaan, dan tantangan. Hakekat kehidupan manusia
pada dasarnya selalu berjuang menegakkan kebenaran dan melawan atau menolak
kesalahan.
Dari segi kepemimpinan, pandangan bahwa kebenaran tertinggi
adalah kebenaran spiritual mestinya selalu dipertahankan, sehingga dengan sinar
spirit inilah para pemimpin menggerakkan masyarakat agar dapat mewujudkan
kehidupan satyam, siwam, sundaram.
Pemimpin yang bijaksana seharusnya dapat menciptakan
masyarakat yang hidup dengan semboyan: “Simple living and high thinking”.
Artinya hidup sederhana, tetapi berpikiran maju. Kemegahan yang dicita-citakan
bukanlah kegemerlapan fisik material dalam pola kehidupan konsumtif, tetapi
kemegahan jiwa mulia yang produktif mengunggulkan kualitas manusia untuk
mencapai mokshartam jagaditaya ca iti dharmah.
Proses pencarian kebenaran tidak dapat dibebankan pada
pundak pemimpin saja, tetapi hendaknya dilakukan secara aktif oleh seluruh
masyarakat suatu bangsa. Dari individu yang paling unggul dalam mencari
nilai-nilai kebenaranlah kandidat pemimpin dapat dipilih.
Bila tidak demikian, maka masyarakat akan selalu terjebak
pada dilema pemimpin dan kepemimpinan yang berkualitas rendah di satu sisi,
serta aspirasi dan harapan-harapan masyarakat yang tidak pernah tercapai di
sisi yang lain. Keadaan ini merugikan kesehatan spiritual, bahkan menjauhkan
masyarakat dari tujuan beragama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar