Rabu, 28 Agustus 2013

Kebenaran



Kebenaran
Kebenaran, adalah suatu pandangan dan nilai yang mula-mula bersifat subjektif karena bersumber dari diri masing-masing pribadi. Kualitasnya tergantung dari tingkat kemampuan dan kecerahan olah pikir yang didasari kecerdasan, kesehatan spiritual, dan nalar seseorang.
Dalam perjalanan hidup, manusia sejak kecil terobsesi persaingan untuk mendapat keunggulan tertentu yang memunculkan eksistensi jati diri.
Pertumbuhan kecerdasan, kesehatan spiritual, dan nalar berjalan serentak melalui pendidikan formal, pendidikan informal, pendidikan non-formal, pengajaran, kerajinan mendalami ajaran agama, dan kemampuan menghimpun pengalaman-pengalaman positif diri sendiri maupun orang lain melalui komunikasi langsung atau tidak langsung, misalnya dengan membaca buku-buku hasil karya orang-orang terkemuka.
Selain itu kecerdasan, kesehatan spiritual dan nalar akan tumbuh dengan subur bila disertai disiplin tertentu dalam jalan kehidupan spiritual. Diri manusia adalah ibarat suatu laboratorium raksasa yang selalu mengkaji segala aspek, baik yang tumbuh dari dalam maupun yang datang dari luar dirinya.
Disiplin menempuh kehidupan spiritual merupakan pangkal utama keberhasilan seseorang mencapai keunggulan jati diri, karena dengan spiritual yang sehat akan terbentuk emosi, fisik, dan inteligensi yang sehat pula.
Theori “the living healthy” dari ilmu psikologi abad ke-19 seperti yang diungkapkan di atas, ternyata beribu tahun lampau sudah diulas secara rinci dalam Brhadaranyaka Upanisad di mana ditegaskan bahwa nilai-nilai kebenaran subjektif hanya akan diperoleh bila aspek spiritual diunggulkan dalam kehidupan manusia.
Penegasan ini dikuatkan oleh filsuf Hindu terkenal Adi Sankaracarya, yang menyatakan bahwa aspek spiritual sangat besar pengaruhnya pada nalar manusia.
Oleh karena nilai-nilai kebenaran didasari oleh aspek spiritual yang bersifat universal, maka pandangan yang pada mulanya subjektif kemudian menjadi dualis, yaitu subjektif dan objektif. Artinya nilai-nilai kebenaran yang diyakini seseorang haruslah mendapat pengakuan publik. Bila demikian ia akan berguna bagi kesejahteraan bersama dalam kehidupan manusia yang harmonis dengan Hyang Widhi, dengan sesama umat manusia dan dengan alam semesta.
Nilai-nilai kebenaran objektif seperti ini kemudian berkembang menjadi darsana, yaitu sebuah pandangan realistas logis yang berlandaskan observasi konseptual setelah melalui tes dalam kehidupan manusia. Bagi mereka yang merasa masih belum mendapatkan atau masih ragu pada nilai-nilai kebenaran, dapat meminta guru spiritual yang dipercaya memberikan pencerahan yang bersumber dari Veda.
Di samping itu para pencari kebenaran hendaknya “memelihara” roh atau atman yang ada didirinya dengan baik, dalam pengertian memberikan kesempatan yang luas kepada atman untuk menguasai pikiran. Dalam filsafat Hinduisme “Advaita”, atman adalah Brahman/ Hyang Widhi.
Jadi bila manusia berhasil menguatkan kedudukan atman pada dirinya, berarti menguatkan pula stana Hyang Widhi dalam dirinya. Ia dengan segera akan mendapat pencerahan, sehingga segala kayika (perbuatan) dan wacika (perkataan) terkendali dengan baik dari manacika (pikiran) yang dirasuki Brahman.
Kitab suci Veda mempunyai otoritas tertinggi dalam menentukan kebenaran, sedangkan nalar atau pikiran yang disebut tarka menegaskan nilai-nilai itu untuk mencapai intuisi humanitas. Upanisad menyatakan bahwa dengan mendengarkan (sravana), refleksi (nidhiyasana), dan meditasi (upasana) seseorang dapat mencapai pengetahuan intuitif Brahman.
Dengan demikian maka unsur-unsur kebenaran meliputi tiga hal pokok:
  1. nilai hakiki, yaitu Veda
  2. sarana, yaitu tarka
  3. tes kebenaran, yaitu pengakuan publik
Mengenai nilai hakiki dan sarana, telah dijelaskan di atas. Kini dilanjutkan dengan masalah tes kebenaran.
Kebenaran dalam ilmu pengetahuan atau sains mempunyai keterbatasan karena hanya mengetahui fakta-fakta di dalam hubungannya dengan fakta yang lebih besar. Di sisi lain fakta-fakta yang baru dapat menggantikan fakta-fakta yang lama yang sudah dianggap usang dan tidak digunakan lagi.
Kebenaran dalam aspek spiritual yang abadi tidak hanya mencakup hal-hal material tetapi juga mencakup aspek-aspek halus yang tidak berwujud misalnya: tanmatra, yaitu pengaruh panca indra pada atman melalui pikiran yang membentuk trikaya (perbuatan, perkataan, dan pikiran) seseorang: rajas, tamas, dan sattwam, kemudian pada gilirannya menentukan karmawasana-nya. Tes kebenaran spiritual tidak dapat dilakukan secara nyata dan segera, karena memerlukan pembuktian melalui analisis objektif publik.
Bagi masyarakat yang keyakinan Hinduisme-nya kuat, salah satu sarana tes kebenaran misalnya dapat diambil dari bagian pancasrada, yaitu karmaphala. Bahwa perbuatan yang baik dan benar akan mendapat pahala yang baik, sedangkan perbuatan yang jelek dan salah akan mendapat pahala yang buruk.
Demikianlah misalnya seorang pemimpin yang semasa aktif diragukan kebenaran dalam kebijaksanaannya, kemudian pada suatu saat ia jatuh dari kedudukan lalu menjadi sengsara dan dihina, maka tes kebenaran objektif publik menyimpulkan bahwa apa yang dilakukan di masa lalu adalah buruk dan salah.
Sebaliknya tokoh-tokoh spiritual yang pada mulanya menerima tentangan atau perlawanan, tetapi kemudian nilai-nilai kebenaran yang dipaparkannya menjadi kajian dan diterima sebagai pedoman kehidupan publik, lalu mendapat penghargaan serta pengikut yang luas.
Jalan yang dianjurkan untuk mendapat realisasi kebenaran ada bermacam-macam. Masing-masing darsana dari Sarva Darsana Samgraha menyampaikan cara tersendiri, ada yang melalui karma marga, melalui bhakti marga, dan melalui jnyana marga, atau kombinasi dari ketiganya.
Keberhasilannya tergantung pada disiplin pribadi dan konsistensi pelaksanaan dalam bentuk mengikuti jalan kesucian, meluaskan pengetahuan, dan menebarkan cinta kasih. Ini tidaklah mudah, karena seorang pencari kebenaran akan selalu mendapat godaan, cobaan, dan tantangan. Hakekat kehidupan manusia pada dasarnya selalu berjuang menegakkan kebenaran dan melawan atau menolak kesalahan.
Dari segi kepemimpinan, pandangan bahwa kebenaran tertinggi adalah kebenaran spiritual mestinya selalu dipertahankan, sehingga dengan sinar spirit inilah para pemimpin menggerakkan masyarakat agar dapat mewujudkan kehidupan satyam, siwam, sundaram.
Pemimpin yang bijaksana seharusnya dapat menciptakan masyarakat yang hidup dengan semboyan: “Simple living and high thinking”. Artinya hidup sederhana, tetapi berpikiran maju. Kemegahan yang dicita-citakan bukanlah kegemerlapan fisik material dalam pola kehidupan konsumtif, tetapi kemegahan jiwa mulia yang produktif mengunggulkan kualitas manusia untuk mencapai mokshartam jagaditaya ca iti dharmah.
Proses pencarian kebenaran tidak dapat dibebankan pada pundak pemimpin saja, tetapi hendaknya dilakukan secara aktif oleh seluruh masyarakat suatu bangsa. Dari individu yang paling unggul dalam mencari nilai-nilai kebenaranlah kandidat pemimpin dapat dipilih.
Bila tidak demikian, maka masyarakat akan selalu terjebak pada dilema pemimpin dan kepemimpinan yang berkualitas rendah di satu sisi, serta aspirasi dan harapan-harapan masyarakat yang tidak pernah tercapai di sisi yang lain. Keadaan ini merugikan kesehatan spiritual, bahkan menjauhkan masyarakat dari tujuan beragama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar