Selasa, 27 Agustus 2013

Sekilas Reinkarnasi



Sekilas Reinkarnasi
Ketika Atman ber-reinkarnasi dapat mengambil wujud sebagai manusia, binatang dan tumbuh-tumbuhan sesuai dengan karmapala/ karmawasana Atman dalam kehidupan sebelumnya.
Jika karmawasananya baik akan menjelma sebagai manusia suputra, demikian selanjutnya menurut jenjang subha-asubha karma yang membungkus Atman.
Penjelmaan menjadi manusia adalah yang utama karena mempunyai triguna, yaitu: sabda (bisa berbicara), bayu (bisa bergerak), dan idep (bisa berpikir).
Penjelmaan menjadi binatang kurang baik karena hanya mempunyai dwiguna, yaitu: sabda (bisa menggonggong/ melenguh) dan bayu (bisa bergerak), dan tidak mempunyai idep (tidak bisa berpikir).
Penjelmaan menjadi tumbuh-tumbuhan paling buruk karena hanya mempunyai ekaguna, yaitu bayu (bisa bergerak terbatas/ tumbuh), tidak mempunyai sabda dan idep.
Baik dan buruk itu ditinjau dari kesempatan Atman untuk kembali bersatu pada Brahman sebagaimana keinginan hakiki. Ini diibaratkan sebagai udara yang berada dalam sebuah kembungan karet, dan udara yang bebas di luar.
Udara dalam kembungan karet pengandaian Atman, sedangkan udara bebas pengandaian Brahman. Keinginan udara dalam kembungan adalah bersatu dengan udara bebas. Bilamana kembungan karet itu tipis maka akan meledak dan terjadilah percampuran itu.
Pancamahabutha (tubuh manusia), Pancatanmatra (pengaruh indria pada Atman), dan Karmawasana, ibarat kembungan karet yang menghalangi persatuan Atman dengan Brahman.
Dalam kehidupannya manusia bertujuan sedikit demi sedikit menipiskan lapisan Karmawasana dengan cara berbuat subha karma sebanyak-banyaknya agar bila di kemudian hari setelah meninggal di-aben (mengembalikan Pancamahabutha), dan setelah upacara nyekah (menghilangkan Pancatanmatra), maka Atman dapat segera bersatu dengan Brahman (Hyang Widhi).
Manusia yang mempunyai daya berpikir dapat mengupayakan dirinya menuju kesatuan dengan Hyang Widhi. Binatang dan tumbuh-tumbuhan tidak dapat melakukan hal yang sama seperti manusia. Cara yang terbuka bagi mereka bilamana digunakan sebagai korban persembahan oleh manusia.
Prosesnya melalui doa-doa yang disebut sebagai “Puja Pati Wenang” dan pemuspaan ketika ada pecaruan. Hal-hal ini ada dalam lontar-lontar: Wrhaspati tattwa, Yama Purana tattwa, dan Taru pramana. Lontar-lontar itu adalah acuan bagi penganut Hindu sekte Siwa Sidanta.
Manusia diberikan wewenang untuk “nyupat” binatang dan tumbuh-tumbuhan karena Hyang Widhi-pun menciptakan Kamadhuk (alam, hewan, dan binatang) untuk kehidupan manusia.
Tata cara nyupat sudah diuraikan di atas, namun walaupun demikian tidaklah berarti manusia boleh semau-maunya melakukan pembunuhan binatang dan pembabatan tetumbuhan. Ada batasnya yang diatur dalam filosofi Ahimsa.
Manusia yang dibunuh untuk kurban persembahan tidak terdapat dalam Agama Hindu sekte Siwa Sidanta seperti yang kini dianut di Bali.
Sekali lagi Pandita ingin mengingatkan bahwa Agama Hindu di Bali adalah dari sekte Siwa Sidanta. Di India masih ada sekte-sekte lainnya yang berbeda dengan tata cara (ritual) di Bali.

Renungan
1. Kita wajib bersyukur ke hadapan Ida Sanghyang Widhi Wasa karena atas karunia-Nya Atman telah ber-reinkarnasi ke dalam tubuh manusia, yang mempunyai: sabda, bayu, idep.
Dibandingkan binatang yang mempunyai sabda dan bayu, apalagi tetumbuhan yang hanya mempunyai bayu saja.
2. Pemangku wajib bersyukur karena telah ditakdirkan menjadi manusia suci. Seorang Pemangku tidak begitu saja bisa menjadi Pemangku.
Menurut Lontar Yama Purana Tattwa, hidup dan kehidupan manusia sudah direncanakan jauh sebelum ber-reinkarnasi. Oleh karena itu janganlah menganggap bahwa menjadi Pemangku itu suatu “kebetulan”
3. Menjadi Pemangku adalah suatu kebanggaan, karena:
  1. Menjadi tapakan Widhi, disayang oleh Ida Sanghyang Widhi/ Dewata/ Bethara.
  2. Mempunyai kesempatan yang luas untuk mensucikan diri di jalan Dharma agar mencapai “moksartam jagathita”
  3. Mempunyai tugas suci mengabdi kepada masyarakat, sebagai tabungan membentuk karma wasana yang baik.
4. Oleh karena menjadi kesayangan Ida Sanghyang Widhi/ Dewata/ Bethara, pertahankanlah agar tugas suci ini dapat terlaksana dengan baik, menjadi Pemangku yang profesional, sehingga mengharumkan linggih Ida Bethara sesuwunan.
Kehidupan Pemangku adalah hidup suci dan berdisiplin.
5. Pemangku yang melaksanakan tugasnya dan kehidupannya dengan baik akan mendapat karma yang baik tidak hanya bagi dirinya, tetapi juga bagi arwah leluhurnya, sampai tujuh tingkat ke atas (Lontar Yama Purana Tattwa)
6. Pemangku adalah pengabdi: pengabdi Ida Sanghyang Widhi Wasa dan pengabdi umat manusia. Oleh karena itu dahulukan tugas/ kewajiban, daripada hak.
7. Untuk dapat menjadi pengabdi yang baik, pengetahuan mengenai: Tattwa, Susila, dan Upacara harus dikuasai dengan cara belajar.
Belajarlah dari guru yang baik, buku, lontar, Dharma wacana, kursus/ pelatihan, apa saja yang dapat menambah pengetahuan, karena menurut Lontar Dharma Kauripan, Sulinggih yang baik adalah Sulinggih yang “ber-Ilmu”.
8. Pelajar akan cepat mencapai kemajuan bila mempunyai sifat-sifat dan pemikiran sbb.:
  1. Tidak merasa diri pintar.
  2. Rendah hati.
  3. Tidak fanatik.
  4. Tidak sombong.
  5. Mau mendengarkan pendapat orang lain.
  6. Rajin dan berdisiplin.
  7. Menghargai orang lain.
  8. Berpikir kreatif dan berinisiatif.
  9. Objektif dan jujur.
  10. Pandai mengambil keputusan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar