Sekilas Reinkarnasi
Ketika Atman ber-reinkarnasi dapat mengambil wujud sebagai
manusia, binatang dan tumbuh-tumbuhan sesuai dengan karmapala/ karmawasana
Atman dalam kehidupan sebelumnya.
Jika karmawasananya baik akan menjelma sebagai manusia
suputra, demikian selanjutnya menurut jenjang subha-asubha karma yang
membungkus Atman.
Penjelmaan menjadi manusia adalah yang utama karena
mempunyai triguna, yaitu: sabda (bisa berbicara), bayu (bisa bergerak), dan
idep (bisa berpikir).
Penjelmaan menjadi binatang kurang baik karena hanya
mempunyai dwiguna, yaitu: sabda (bisa menggonggong/ melenguh) dan bayu (bisa
bergerak), dan tidak mempunyai idep (tidak bisa berpikir).
Penjelmaan menjadi tumbuh-tumbuhan paling buruk karena hanya
mempunyai ekaguna, yaitu bayu (bisa bergerak terbatas/ tumbuh), tidak mempunyai
sabda dan idep.
Baik dan buruk itu ditinjau dari kesempatan Atman untuk
kembali bersatu pada Brahman sebagaimana keinginan hakiki. Ini diibaratkan
sebagai udara yang berada dalam sebuah kembungan karet, dan udara yang bebas di
luar.
Udara dalam kembungan karet pengandaian Atman, sedangkan
udara bebas pengandaian Brahman. Keinginan udara dalam kembungan adalah bersatu
dengan udara bebas. Bilamana kembungan karet itu tipis maka akan meledak dan
terjadilah percampuran itu.
Pancamahabutha (tubuh manusia), Pancatanmatra (pengaruh
indria pada Atman), dan Karmawasana, ibarat kembungan karet yang menghalangi
persatuan Atman dengan Brahman.
Dalam kehidupannya manusia bertujuan sedikit demi sedikit
menipiskan lapisan Karmawasana dengan cara berbuat subha karma
sebanyak-banyaknya agar bila di kemudian hari setelah meninggal di-aben
(mengembalikan Pancamahabutha), dan setelah upacara nyekah (menghilangkan
Pancatanmatra), maka Atman dapat segera bersatu dengan Brahman (Hyang Widhi).
Manusia yang mempunyai daya berpikir dapat mengupayakan
dirinya menuju kesatuan dengan Hyang Widhi. Binatang dan tumbuh-tumbuhan tidak
dapat melakukan hal yang sama seperti manusia. Cara yang terbuka bagi mereka
bilamana digunakan sebagai korban persembahan oleh manusia.
Prosesnya melalui doa-doa yang disebut sebagai “Puja Pati
Wenang” dan pemuspaan ketika ada pecaruan. Hal-hal ini ada dalam lontar-lontar:
Wrhaspati tattwa, Yama Purana tattwa, dan Taru pramana. Lontar-lontar itu
adalah acuan bagi penganut Hindu sekte Siwa Sidanta.
Manusia diberikan wewenang untuk “nyupat” binatang dan
tumbuh-tumbuhan karena Hyang Widhi-pun menciptakan Kamadhuk (alam, hewan, dan
binatang) untuk kehidupan manusia.
Tata cara nyupat sudah diuraikan di atas, namun walaupun
demikian tidaklah berarti manusia boleh semau-maunya melakukan pembunuhan
binatang dan pembabatan tetumbuhan. Ada batasnya yang diatur dalam filosofi
Ahimsa.
Manusia yang dibunuh untuk kurban persembahan tidak terdapat
dalam Agama Hindu sekte Siwa Sidanta seperti yang kini dianut di Bali.
Sekali lagi Pandita ingin mengingatkan bahwa Agama Hindu di
Bali adalah dari sekte Siwa Sidanta. Di India masih ada sekte-sekte lainnya
yang berbeda dengan tata cara (ritual) di Bali.
Renungan
1. Kita wajib bersyukur ke hadapan Ida Sanghyang Widhi Wasa
karena atas karunia-Nya Atman telah ber-reinkarnasi ke dalam tubuh manusia,
yang mempunyai: sabda, bayu, idep.
Dibandingkan binatang yang mempunyai sabda dan bayu, apalagi
tetumbuhan yang hanya mempunyai bayu saja.
2. Pemangku wajib bersyukur karena telah ditakdirkan menjadi
manusia suci. Seorang Pemangku tidak begitu saja bisa menjadi Pemangku.
Menurut Lontar Yama Purana Tattwa, hidup dan kehidupan
manusia sudah direncanakan jauh sebelum ber-reinkarnasi. Oleh karena itu
janganlah menganggap bahwa menjadi Pemangku itu suatu “kebetulan”
3. Menjadi Pemangku adalah suatu kebanggaan, karena:
- Menjadi tapakan Widhi, disayang oleh Ida Sanghyang Widhi/ Dewata/ Bethara.
- Mempunyai kesempatan yang luas untuk mensucikan diri di jalan Dharma agar mencapai “moksartam jagathita”
- Mempunyai tugas suci mengabdi kepada masyarakat, sebagai tabungan membentuk karma wasana yang baik.
4. Oleh karena menjadi kesayangan Ida Sanghyang Widhi/
Dewata/ Bethara, pertahankanlah agar tugas suci ini dapat terlaksana dengan
baik, menjadi Pemangku yang profesional, sehingga mengharumkan linggih Ida
Bethara sesuwunan.
Kehidupan Pemangku adalah hidup suci dan berdisiplin.
5. Pemangku yang melaksanakan tugasnya dan kehidupannya
dengan baik akan mendapat karma yang baik tidak hanya bagi dirinya, tetapi juga
bagi arwah leluhurnya, sampai tujuh tingkat ke atas (Lontar Yama Purana Tattwa)
6. Pemangku adalah pengabdi: pengabdi Ida Sanghyang Widhi
Wasa dan pengabdi umat manusia. Oleh karena itu dahulukan tugas/ kewajiban,
daripada hak.
7. Untuk dapat menjadi pengabdi yang baik, pengetahuan
mengenai: Tattwa, Susila, dan Upacara harus dikuasai dengan cara belajar.
Belajarlah dari guru yang baik, buku, lontar, Dharma wacana,
kursus/ pelatihan, apa saja yang dapat menambah pengetahuan, karena menurut
Lontar Dharma Kauripan, Sulinggih yang baik adalah Sulinggih yang “ber-Ilmu”.
8. Pelajar akan cepat mencapai kemajuan bila mempunyai
sifat-sifat dan pemikiran sbb.:
- Tidak merasa diri pintar.
- Rendah hati.
- Tidak fanatik.
- Tidak sombong.
- Mau mendengarkan pendapat orang lain.
- Rajin dan berdisiplin.
- Menghargai orang lain.
- Berpikir kreatif dan berinisiatif.
- Objektif dan jujur.
- Pandai mengambil keputusan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar