Jati Diri Umat Hindu dan Ajeg-Bali Dalam Era
Globalisasi
Agama
Hindu bukanlah agama dogmatik, bukan agama yang berdasarkan atas dogma. Hindu
adalah agama yang berdasarkan dharma. Hindu juga disebut sanatana dharma, atau
kebenaran yang abadi.
Apakah
dogma? Dogma adalah kepercayaan yang tidak boleh dipertanyakan dan yang selalu
harus diyakini sebagai kebenaran, bahkan jika itu tidak masuk akal atau
irasional.
Misalnya:
- kepercayaan bahwa semua manusia telah berdosa sejak lahir
- kepercayaan tentang kebangkitan tubuh setelah mati
- kepercayaan bahwa suatu agama telah memonopoli kebenaran
- bahwa hanya pemeluk agama tersebut yang bisa masuk sorga
- kepercayaan bahwa setiap manusia telah ditentukan nasibnya oleh Tuhan secara sepihak
- kepercayaan boleh membunuh manusia lain yang tidak seagama demi untuk membela serta mengunggulkan agama yang dianutnya
Itulah
contoh-contoh dogma yang irasional dari suatu agama tertentu namun harus
diyakini oleh pemeluknya sebagai suatu kebenaran.
Dharma
adalah prinsip kebenaran universal dan kebenaran hukum alam abadi. Dharma
adalah hukum universal yang dapat ditemukan melalui penyelidikan objektif.
Sebagai
contoh, dharma sebagai sifat api suci; seseorang tidak dapat membayangkan api
yang tidak membakar; dalam kaitan ini dharma akan selalu membakar atau
memusnahkan adharma.
Dharma
mempunyai prinsip-prinsip etika dan spiritual antara lain: dasar-dasar Yoga
seperti: tidak menyakiti (ahimsa), kebenaran (satya) pengendalian diri (tapa),
serta etika dan kewajiban manusia yang diulas dalam Yama dan Niyama-brata.
Prinsip
dharma yang lain adalah hukum karma-phala, yakni buah dari segala perbuatan
yang pasti akan diterima kembali oleh manusia baik di masa kini, di kehidupan
kemudian, dan di dunia niskala.
Dengan
berpegang pada hukum karma-phala manusia dibimbing untuk berbuat (kayika),
berbicara (wacika), dan berpikir (manacika) yang baik.
Agama-agama
dogmatik sangat menekankan pada iman yang harus diyakini secara bulat. Pemeluk
agama jenis ini bisa mengatakan: “Percayalah, atau masuklah agama kami, maka
kalian akan selamat dan masuk sorga”.
Tetapi
Hindu sebagai agama yang berdasarkan dharma, akan selalu menekankan pada
perilaku yang baik dalam berbuat, berkata, maupun berpikir. Seorang Hindu akan
senantiasa menganjurkan: “Lakukanlah perbuatan, perkataan, dan pemikiran yang
baik, maka kalian akan selamat.”
Akibat
kaidah yang demikian pada kehidupan manusia adalah: Pemeluk agama-agama
dogmatik memisahkan antara ibadah dengan perilaku, karena cukup dengan percaya
saja dan taat melakukan ibadah sesuai kitab sucinya, sudah menjadi “jaminan”
akan masuk sorga, atau dapat saja ibadah dianggap sebagai penghilang dosa.
Mereka
bersifat sangat eksklusif, merasa memonopoli kebenaran, mempunyai kecenderungan
untuk menaklukkan, menguasai, dan mengendalikan. Sebagai konsekuensinya,
disadari atau tidak, sering menganjurkan kebencian. Dari kebencian lahir
kekerasan terhadap orang-orang beragama lain.
Sebaliknya
pemeluk sanatana dharma menyatukan keyakinan, ibadah, dan perilaku yang
tercermin dalam kehidupan sehari-hari. Prinsip yang jelas, Hindu mengajarkan
bahwa dosa-dosa dalam kehidupan tidak dapat dihapuskan hanya dengan kepercayaan
dan ibadah saja, namun harus pula diimbangi dengan perilaku dharma.
Bagaikan
sinar matahari yang terik, maka bila ada hembusan angin dan awan, teriknya tak
terasa, demikianlah dosa yang telah tertutup oleh dharma.
Agama
yang berdasarkan dharma tidak memiliki ambisi untuk menaklukkan dan menguasai
karena tujuan agama bukan untuk menjadi imperialisme politik dan budaya, tetapi
untuk mencapai kesadaran diri atau pencerahan spiritual. Itulah agama universal
yang sesungguhnya.
Ajaran
Veda dalam Hinduism yang demikian humanis membuat Hindu menjadi agama terbesar
di dunia, karena ia melayani keperluan setiap manusia, apapun suku, bangsa, dan
agamanya. Ia tidak hanya sekedar suatu agama, tetapi ia adalah jalan spiritual
dan cara hidup.
Veda
adalah wahyu Tuhan kepada umat manusia karena itu ajaran-ajarannya akan hidup
sepanjang masa.
Veda
memberikan jalan yang terbuka bagi umat manusia yang ingin mencapai kebahagiaan
lahir bathin dalam pola hidup sederhana namun berpikiran tinggi dan mulia, atau
populer dengan istilah: “simple living high thinking”.
Veda
tidak menginginkan umat manusia bertindak hanya di atas landasan keberadaan
tubuh (just on the bodily platform of existence), tetapi Veda lebih menekankan
pada tendensi kesehatan spiritual.
Dari
aspek spiritual yang sehat akan terwujudlah emosional yang sehat, serta
intelegensial dan physical yang sehat pula. Ajaran Veda yang mulia ini banyak
dikutip oleh psikolog terkemuka dengan istilah: “living healthy” sebagai
kondisi mutlak bagi kesehatan yang menyeluruh bagi umat manusia.
Tanpa
disadari, umat Hindu telah memiliki sesuatu yang sangat bernilai, sangat mulia,
dan kekal-abadi.
Kita
telah mempunyai prinsip-prinsip jati diri yang tiada taranya. Sejarah Indonesia
telah membuktikan bahwa dengan berpedoman pada prinsip-prinsip ajaran Veda,
masyarakat Hindu dapat mencapai mokshartam jagaditaya ca iti dharmah.
Lihatlah
Nusantara di zaman keemasan Majapahit dengan rajanya Tribuwana Tunggadewi
sampai Hayam Wuruk; Bali di zaman keemasan Kerajaan Gelgel dengan rajanya yang
terkenal Dalem Waturenggong sampai Dalem Seganing.
Sejarah
pula membuktikan bahwa kerajaan-kerajaan yang pernah berjaya itu memudar dan
akhirnya runtuh, karena rakyat dan para pemimpinnya kehilangan jati diri
ke-Hindu-an.
Ajaran-ajaran
Veda banyak ditinggalkan atau dimanipulasi untuk kepentingan sesaat; para
Pendeta dan kelompok rohaniawan tidak mendapat kedudukan yang wajar serta petuah-petuahnya
tak dihiraukan.
Penyimpangan-penyimpangan
perilaku masyarakat makin lama makin meluas seiring dengan kemajuan iptek dan
informasi.
Jaman
bergulir menuju kaliyuga, di mana masyarakat mengalami kemajuan yang pesat
dalam aspek-aspek material namun semakin miskin dalam aspek spiritual.
Masyarakat yang dinamis ini terperangkap pada masalah-masalah keduniawian.
Era
globalisasi mempersempit dunia dan menjadikannya tanpa batas, dalam artian
informasi apapun yang ada, baik di bidang sosial, politik, ekonomi, dan budaya,
segera berpengaruh ke seluruh dunia.
Ciri
utama globalisasi adalah perubahan yang sangat cepat dalam segala bentuk
tatanan dan nilai-nilai kehidupan, sehingga disimpulkan bahwa barang siapa yang
tidak mengikuti perubahan akan tertinggal, bahkan tergilas oleh zaman.
Masyarakat
yang hidup dalam dunia global harus memiliki kekuatan untuk melanjutkan
kehidupan dan kekuatan untuk berubah.
Ke
manakah arah perubahan itu, dan sudahkah diutarakan dalam kitab suci Hindu?
Pandangan
Hindu memberikan ruang bagi perubahan-perubahan yang esensial. Kitab Parasara
Dharmasastra 1.33 menyebutkan:
YUGE YUGE CA YE DHARMAS TATRA TATRA
CA YE DVIJAH, TESAM NINDA NA KARTTAVYA YUGA RUPA HI TE DVIJAH
Aturan
dan etika yang berlaku pada setiap zaman selalu berbeda; kaum cendekiawan yang
memimpin perubahan masyarakat di suatu zaman tertentu tidak bisa disalahkan
karena sesungguhnya dari perubahan itulah suatu zaman terwujud.
Walaupun
demikian, perubahan yang dimaksud dalam kitab-kitab suci Hindu, tetap
mengingatkan bahwa ajaran Veda tidak membolehkan pelanggaran dharma, dan
senantiasa menganjurkan kedamaian, kerukunan hidup bermasyarakat, menghindari
ketegangan, dan mencegah konflik.
Meski
prinsip-prinsip dharma mengandung kebenaran hakiki sehingga ia dinamakan
sanatana dharma, tetapi peraturan-peraturan mengalami perubahan dari masa ke
masa karena merupakan produk waktu dan juga akan selalu digantikan oleh waktu.
Oleh
karena itu dharma tidak dapat diidentikkan dengan institusi-institusi tertentu.
Dharma tetap bertahan karena berakar pada kealamiahan manusia dan akan tetap
hidup abadi.
Metoda
dharma adalah metoda perubahan eksperimental. Semua institusi adalah
eksperimen, bahkan kehidupan ini adalah eksperimen.
Manusia
sebagai agent of development tidak dapat mentransfer kebiasaan-kebiasaan dari
suatu masa ke masa yang lainnya begitu saja, tanpa mengadakan perubahan dan
penyesuaian.
Gagasan-gagasan
moral mengenai hubungan-hubungan sosial tidak bersifat absolut, tetapi bersifat
relatif terhadap kebutuhan dan kondisi dari jenis masyarakat yang berbeda.
Walaupun dharma bersifat kekal, tetapi ia tidak mempunyai isi yang absolut
sehingga mampu menembus batas waktu.
Satu-satunya
yang kekal dengan moralitas manusia adalah hasrat manusia untuk menjadi lebih
baik. Akan tetapi waktu dan kondisi yang menentukan ‘apa yang lebih baik’ dalam
setiap situasi.
Bentuk-bentuk
tindakan dianggap baik atau buruk pada tahapan peradaban manusia berbeda,
bergantung apakah itu meningkatkan atau menghambat kebahagiaan manusia.
Fleksibilitas
sosial telah menjadi karakter utama Hindu-Dharma. Maka oleh karena itu
mempertahankan sanatana dharma tidaklah dilakukan dengan berdiam diri saja,
tetapi dengan menguasai prinsip-prinsip vital dan menerapkannya dalam kehidupan
modern.
Suatu
bangsa yang maju akan senantiasa mampu memberikan makna bagi
pegalaman-pengalamannya di masa lalu. Prinsip-prinsip dharma dalam skala nilai
harus dipertahankan di dalam dan melalui tekanan-tekanan pengalaman baru.
Hanya
dengan jalan itu akan terbuka kemungkinan untuk mencapai kemajuan sosial yang
integral dan seimbang.
Kaum
intelektual Hindu harus mampu memperkenalkan perubahan-perubahan, mengelola
sedemikian rupa sehingga membuat Hindu-Dharma relevan pada situasi-situasi
modern.
Perubahan-perubahan
itu adalah dampak masuknya kekuatan-kekuatan baru ke dalam masyarakat antara
lain: industrialisasi ke dalam sektor agraris, penghapusan hak istimewa dengan
pola kemanfaatan bersama, masuknya orang-orang non Hindu ke dalam masyarakat
Hindu, emansipasi wanita versus otoritas lelaki, dan percampuran ras/ suku/
agama melalui perkawinan.
Masyarakat
yang maju dalam iklim perubahan akan tercapai bila kondisi ideal yang ingin
dicapai lebih baik dari kondisi aktual. Artinya pemikiran-pemikiran cemerlang
dari kaum intelektual mampu membuahkan gagasan baru, inovasi dan kreasi, baik
dalam iptek maupun dalam tatanan sosial.
Mereka
hendaknya selalu berorientasi pada pelayanan masyarakat dengan integritas
intelektual.
Berbekal
pada pemahaman uraian di atas, jika melihat situasi dan kondisi umat Hindu di
Bali dewasa ini, maka wacana “Ajeg-Bali” sangat patut dilontarkan ke
tengah-tengah masyarakat yang tak luput dari pengaruh-pengaruh globalisasi baik
yang sifatnya positif, maupun yang negatif.
Pada
tataran individu, Ajeg-Bali dimaknai sebagai kemampuan manusia Bali untuk
memiliki cultural confidence, yaitu keyakinan untuk memegang keteguhan jati
diri yang bersifat kreatif meliputi segala aspek, dan tidak hanya terpaku pada
hal-hal fisikal semata.
Pada
tataran lingkungan budaya, Ajeg-Bali dimaknai sebagai terciptanya ruang hidup
budaya Bali yang bersifat inklusif, multi kultur dan selektif terhadap
pengaruh-pengaruh luar.
Pada
tataran proses kultural, Ajeg-Bali adalah interaksi manusia Bali dengan ruang
hidup budaya Bali untuk melahirkan produk-produk atau penanda-penanda budaya
baru melalui sebuah proses berdasarkan nilai-nilai moderat, non dikotomis,
berbasis pada kearifan lokal serta memiliki kesadaran lingkungan di saat yang
tepat.
Dari
ketiga tataran di atas, disepakati bahwa Ajeg-Bali bukanlah suatu konsep yang
stagnan, melainkan sebuah upaya pembaharuan terus menerus yang dilakukan secara
sadar oleh manusia Bali.
Tujuannya
jelas untuk menjaga identitas, jati diri, ruang, serta proses budaya Bali.
Upaya ini akan bermuara pada peningkatan kekuatan manusia-manusia Bali agar
tidak jatuh di bawah penaklukan hegemoni budaya global.
Ajeg-Bali
bukanlah sebuah proses involusi, tetapi sebuah proses evolusi yakni
pengembangan dan kreasi dari keunggulan-keunggulan local-genius, kearifan,
pengetahuan tradisionil yang dilandasi oleh sanatana dharma sehingga terjadi
pelestarian yang dinamis.
Dengan
demikian Bali yang ajeg akan muncul sebagai sebuah keunggulan budaya yang
sanggup bertahan dan bersaing dalam dunia global.
Daftar
Pustaka:
- Apakah saya orang Hindu? (Am I a Hindu?) Ed.Visvanathan, Penerjemah N.P.Putera dan Sang Ayu Putu Renny, PT Pustaka Manik Geni, Denpasar, 2000
- Religion and Society, S. Radhakrishnan, Penerjemah Ida Bagus Gde Yudha Triguna, PT Mahabhakti, Denpasar, 2003
- “Ajeg-Bali” Sebuah Cita-Cita, ABG Satria Narada, Penerbit Bali Post, Denpasar, 2004
- Parasara Dharmasastra (Weda Smerti untuk Kaliyuga), I Wayan Maswinara, Penerbit Paramita, Surabaya, 1999
- Bagaimana Menjadi Hindu (How to Become Hindu), Satguru Sivaya Subramuniyaswami, Penerjemah Ngakan Made Madrasuta, PT Percetakan Penebar Swadaya, 2005
- Fruit of Karma, Prof. Dr. Suchitra Onkom, Asia Books Co., Ltd, Bangkok, Thailand, 1999
- Hinduism, the Greatest Religion in the World (Hindu Agama Terbesar di Dunia), Stephen Knapp,Yadnavalkya Dasa, David Frawley, Satguru Sivaya Subramuniyaswami, Klaus K. Klostermaier. Editor Ngakan Made Madrasuta, PT Percetakan Penebar Swadaya, 2004
Tidak ada komentar:
Posting Komentar