Mengenal Budaya Bali Lebih Dekat
1.
Pendahuluan
Dari
banyaknya pulau-pulau yang tersebar di kepulauan Indonesia, Bali merupakan
pulau yang paling terkenal di dunia internasional. Pulau yang terletak di
sebelah Selatan garis khatulistiwa ini memiliki luas wilayah sekitar: panjang
80 km dan lebar 150 km yang menyerupai bentuk ikan. Peradaban mencatat bahwa
Bali memiliki mikrokosmos yang luar biasa tentang sejarah, legenda,
kesusasteraan, seni, alam, dan manusianya itu sendiri.
Bali
merupakan rantai terakhir dari jajaran pulau-pulau tropis yang subur di
Indonesia. Di sebelah Timur pulau Bali, sepanjang selat Lombok yang memisahkan
Bali dengan pulau Lombok, terlihat garis perbedaan dimana flora dan fauna dari
ras sub-tropis berganti menjadi beragam flora dan fauna dari ras
Australasia.Dari sisi ekologi, “Australasia” adalah sebuah kawasan yang
mempunyai sejarah evolusi yang seragam dan sejumlah flora dan fauna yang hanya
dapat ditemukan di kawasan Australia, Pulau Irian dan pulau-pulau di
sekitarnya, termasuk Pulau Lombok dan Sulawesi serta pulau-pulau di Indonesia
yang berada di sebelah timur kedua pulau tersebut.. Garis bayangan pemisah
Australasia dengan Asia adalah Garis Wallace – Kalimantan dan Bali berada di
sebelah barat, yaitu di Asia.
Di
satu sisi tanah hijau yang subur, di sisi lain tanah coklat; di satu sisi
terdapat kera, tupai, berbagai macam burung, di sisi lain terdapat reptil besar
dan kakatua. Pulau yang menawan hati ini dibelah oleh sungai, kanal, dan lembah
yang dibungkus oleh hutan dan hamparan sawah dengan ujung pantai-pantai yang
indah; dihiasi oleh danau yang mengisi sisa kawah gunung berapi,
keindahan-keindahan tersebut memperlihatkan sebuah dataran dimana khayalan
berpadu dengan kenyataan.
Pada
abad ke-15 M, ketika kerajaan Majapahit dikalahkan oleh kerajaan Mataram yang
bercorak Islam, ratusan orang Jawa-Hindu dari berbagai kelompok; bangsawan,
rohaniawan, seniman, cendekiawan dan rakyat biasa yang notabene orang-orang
setia Majapahit mengungsi ke pulau tetangga yaitu Bali.
Hal
yang menonjol di Bali adalah visi keyakinan yang menginspirasi setiap jiwa yang
hidup di Bali untuk memanfaatkan alam dengan bijak; kreatifitas manusianya
dalam berbagai bidang seperti: teknik mematung, tarian, arsitektur, musik dan
berbagai ekspresi kesenian lainnya.
2.
Kehidupan Sosial dan Budaya
Pandita
sebagai strata tertinggi
Tatanan
sosial di Bali dibangun atas pembagian strata sosial yang dibagi ke dalam:
1. Brahmana, merupakan strata tertinggi yang
diisi oleh para rohaniawan.
2. Ksatria, merupakan strata yang diisi oleh para
bangsawan dan pejabat kerajaan
3. Waisya, merupakan strata yang diisi oleh para
prajurit dan pedagang
4. Sudra, strata untuk masyarakat biasa.
Meski
bergelut dengan hantaman arus globalisasi yang dibawa bersamaan dengan para
turis dan pedagang asing, serta derasnya informasi dan teknologi yang masuk,
kebudayaan khas yang telah lama mengakar tetap kokoh sebagai ciri khas mereka.
Nama masing-masing individu dapat dilihat sebagai penunjuk strata sosial
sekaligus eksistensi budaya yang ada di Bali, misal: Ida Bagus atau Ida Ayu
merupakan nama yang dipakai oleh para Brahmana, Anak Agung Cokorda atau Dewa
merupakan nama yang digunakan oleh para Ksatria, I Gusti merupakan nama yang
digunakan bagi para Waisya, dan Wayan, Made, Nyoman, Ketut digunakan oleh para
Sudra.
2.1.Upacara
Kelahiran (Jatakarma Samskara)
Berbagai
upacara dimulai sejak hari sebelum kelahiran, serangkaian larangan bagi ibu
yang sedang hamil semisal: tidak boleh makan makanan yang berdarah segar,
hukumnya tidak boleh seperti ketika seorang wanita yang sedang menstruasi
memasuki kuil; ibu yang sedang hamil tidak diperbolehkan untuk memakan daging
kerbau atau babi; ibu yang sedang hamil tidak boleh melihat orang yang terluka
atau darah apalagi melihat orang yang meninggal; tapi ibu yang sedang hamil
harus diam di rumah dengan upacara penyucian yang memungkinkan kelahirannya
berjalan normal. Bapak dari sang bayi diharapkan untuk hadir pada saat hari
kelahiran sang bayi untuk menemani sang istri. Ketika sang bayi lahir, sang
bapak harus memotong ari-ari dengan menggunakan pisau bambu dan dimasukkan ke
dalam kantung yang kemudian dilingkarkan di leher sang bayi di kemudian hari.
Pada
hari ke 21 setelah kelahiran sang bayi, menurut kalender Bali, sang bayi akan
dipakaikan pakaian, gelang dari emas atau perak sesuai dengan sistem sosial
yang ada. Ukuran kedewasaan bagi wanita ditentukan dari waktu pertama kali
mengalami menstruasi dan kesiapan untuk menikah.
Upacara
kelahiran dan pubertas hanya merupakan pembuka dari serangkaian upacara dan
perayaan yang menemani perjalanan setiap kegiatan keseharian masyarakat Bali
dari makan sampai menjelang tidur, dari berjalan sampai dengan bertutur kata.
2.2. Upacara
Potong Gigi (Mepandes)
Diantara
upacara transisi yang dijalankan oleh masyarakat Bali yaitu upacara potong gigi
atau disebut juga mepandes, yaitu mengikis gigi bagian atas yang
berbentuk taring. Tujuan upacara ini adalah untuk mengurangi sifat buruk (sad
ripu). Upacara potong gigi dilaksanakan oleh Pandita/Pinandita dan dibantu
oleh seorang sangging (sebagai pelaksana langsung).
2.3. Upacara Perkawinan (Pawiwahan)
Upacara
transisi penting lainnya adalah pernikahan yang dalam bahasa Bali disebut Pawiwahan.
Pawiwahan merupakan upacara persaksian ke hadapan Sang Hyang Widi dan
kepada masyarakat bahwa kedua orang yang bersangkutan telah mengikatkan diri
sebagai suami-istri.
Adapun
persiapan-persiapan yang perlu dipersiapkan untuk upacara adalah sebagai
berikut:
Sarana
· Segehan
cacahan warna lima.
· Api
takep (api yang dibuat dari serabut kelapa).
· Tetabuhan
(air tawar, tuak, arak).
· Padengan-dengan/
pekala-kalaan.
· Pejati.
· Tikar
dadakan (tikar kecil yang dibuat dari pandan).
· Pikulan
(terdiri dari cangkul, tebu, cabang kayu dadap yang ujungnya diberi periuk,
bakul yang berisi uang).
· Bakul.
· Pepegatan
terdiri dari dua buah cabang dadap yang dihubungkan dengan benang putih
Waktu: Biasanya dipilih hari yang baik, sesuai dengan
persyaratannya (ala-ayuning dewasa).
Tempat: Dapat dilakukan di rumah mempelai Iaki-laki atau wanita
sesuai dengan hukum adat setempat (desa, kala, patra).
Pelaksana: Dipimpin oleh seorang Pendeta / Pinandita / Wasi /
Pemangku.
Tata
cara:
· Sebelum
upacara natab banten pedengan-dengan, terlebih dahulu mempelai mabhyakala
dan maprayascita.
· Kemudian
mempelai mengelilingi sanggah Kamulan dan sanggah Pesaksi sebanyak tiga kali
serta dilanjutkan dengan jual beli antara mempelai Iaki-laki dengan mempelai
wanita disertai pula dengan perobekan tikar dadakan oleh mempelai Iaki-laki.
· Sebagai
acara terakhir dilakukan mejaya-jaya dan diakhiri dengan natab banten
dapetan.
2.4. Upacara
Kematian (Ngaben)
Upacara
kematian yang dilakukan dengan cara kremasi merupakan upacara yang spektakuler
dan dramatis karena merupakan rangkaian akhir dari roda kehidupan di bumi.
Menurut ajaran Hindu, roh bersifat immortal (abadi) dan setelah
bersemayam dalam jasad manusia, akan bereinkarnasi, tapi sebelum bereinkarnasi,
roh akan melewati sebuah fase di nirwana dan akan disucikan; dan sesuai dengan
catatan kehidupan seseorang di bumi (karma) maka roh akan dikirim ke
kasta rendah atau tinggi, dan kremasi merupakan proses penyucian roh dari
dosa-dosa yang telah lalu.
Secara
filosofis, di Bali ada beberapa sarana utama yang dipakai dalam upacara
kematian (ngaben) sesuai naskah Yama Purwwa Tattwa, di. antaranya :
pisang jati sebagai warna, asep sebagai mata, nasi angkeb sebagai
mulut, bubur pirata sebagai suara, dukut lepas sebagai dubur, cawan
sebagai dahi, daun kayu sugih sebagai hidung, kusa sebagai bulu mata, jawa
sebagai alis, pili-pili sebagai ulu hati, panjang ilang sebagai
lidah, ending sebagai bibir, don rotan sebagai punggung, asep
sebagai gusi, pengawak sebagai tulang belakang, tebu sebagai lengan,
cendana sebagai tulang kelingking, rempah-rempah sebagai inti atau sebagai
atma. Panyugjug sebagai jalan, panyugjug mameri sebagai penuntun
yang paling depan, baju (wastra) sebagai kulit, kain wangsul sebagai
telapak kaki, topi sebagai lutut, ganjang/ganjaran berisi uang sebagai
tulang lutut, sangku sebagai kantung kemih, kipas sebagai nafas, kotak
sebagal daging, tiga sampir sebagai urat, dan gagadhing, emba-embanan
sebagai kepala.
Oleh
karena itu, masyarakat Bali tidak menganggap kematian sebagai akhir dari
segala-galanya namun merupakan sebuah fase kehidupan baru, dan mereka oleh
karenanya sering mengucapkan pesan seperti yang tercantum dalam Bhagavadgita
yaitu, “the end of birth is death, the end of death is birth” yang
berarti akhir dari keidupan adalah kematian dan awal dari kematian adalah
kehidupan.
3. Kesenian
Musik,
Tarian, dan Patung merupakan tiga bidang kesenian yang menjadi pusat
konsentrasi eksplorasi kreatifitas seni masyarakat di Bali.
3.1. Musik
Dalam
hal seni musik, suara gamelan hampir berdengung di seantero tanah Bali; di
pura, alun-alun, istana, dsb. Alat musik tersebut ditemani oleh kelengkapan
instrumen musik lainnya seperti: gong, ceng-ceng, saron, gambang, dll.
Komposisi instrumen tersebut dapat berubah sesuai dengan wilayah dan peruntukan
pertunjukkan yang digelar.
3.2. Tarian
Selain
seni musik, tarian-tarian khas Bali merupakan pertunjukkan seni yang menarik
perhatian. Terdapat berbagai jenis tarian dengan fungsi yang berbeda-beda
sesuai dengan peruntukannya semisal: untuk upacara keagamaan, pertunjukkan
drama atau musikal, upacara peperangan, dan masih banyak lagi.
Diantara
tarian tersebut yang paling terkenal adalah tari Legong Keraton. Kata Legong
berasal dari kata “leg” yang artinya luwes atau elastis dan kemudian
diartikan sebagai gerakan lemah gemulai (tari). Selanjutnya kata tersebut
dikombinasikan dengan kata “gong” yang artinya gamelan, sehingga menjadi
“Legong” yang mengandung arti gerakan yang sangat terikat (terutama
aksentuasinya) oleh gamelan yang mengiringinya. Adakalanya tarian ini dibawakan
oleh dua orang gadis atau lebih dengan menampilkan tokoh Condong sebagai
pembukaan dimulainya tari Legong ini, tetapi ada kalanya pula tari Legong ini
dibawakan satu atau dua pasang penari tanpa menampilkan tokoh Condong lebih
dahulu. Ciri khas tari Legong ini adalah pemakaian kipas para penarinya kecuali
Condong.
Gamelan
yang dipakai mengiringi tari Legong dinamakan Gamelan Semar Pagulingan. Lakon
yang biasa dipakai dalam Legong ini kebanyakan bersumber pada:
· cerita Malat khususnya kisah Prabu
Lasem,
· cerita Kuntir dan Jobog (kisah Subali
Sugriwa),
· Legod Bawa (kisah Brahma Wisnu
tatkala mencari ujung dan pangkal Lingganya Siwa),
· Kuntul (kisah burung),
· Sudarsana (semacam Calonarang),
· Palayon,
· Chandrakanta dan lain sebagainya.
Beberapa
daerah mempunyai Legong yang khas, misalnya:
· Didesa
Tista (Tabanan) terdapat jenis Legong yang lain, dinamakan Andir (Nandir).
· Di pura Pajegan Agung (Ketewel) terdapat
juga tari Legong yang memakai topeng dinamakan Sanghyang Legong atau Topeng
Legong.
Selain
tari Legong Keraton, tarian lainnya yang tak kalah terkenal adalah tari Kecak,
juga tari Pendet yang pada tahun 2009 ini menjadi sorotan media dalam dan luar
negeri terkait dengan pengklaiman tari Pendet sebagai warisan budaya negeri
Jiran, negeri tetangga Indonesia yang sedang memulai pembangunan jati diri
bangsanya.
4. Keyakinan
Keyakinan
masyarakat Bali atau Hindu Bali merupakan fenomena kompleks yang dibangun dari
berbagai aspek; Hindu Siwa dan Budha serta berpadu dengan tradisi leluhur dan
alam. Dalam beberapa upacara adat dan ritual keagamaan terdapat perbedaan dari
satu wilayah dengan wilayah lain.
Dalam
keyakinan masyarakat Bali, gunung Mahameru/ Meru mempunyai kedudukan yang
istimewa di hati mereka. Mahameru menggambarkan titik penting atau sebagai Rama
(Bapak) dari kehidupan; darisanalah para Dewa mengatur kehidupan. Di pulau
Bali, gunung sebagai kosmos merupakan sesuatu yang dominan dalam keyakinan dan arsitektur.
Bagian penting dari ritual keagamaan dalam masyarakat Bali adalah upacara yang
dilakukan di gunung tertinggi di Bali yaitu gunung Agung yang dianggap sebagai
‘puser bumi’, dimana di kaki gunung Agung tersebut terdapat Pura Besakih.
Di
Pura Besakih, selain perayaan dan upacara tahunan yang diatur oleh kalender
keagamaan, ada juga upacara besar untuk penyucian alam semesta yang disebut Eka
Dasa Rudra, yang digelar setiap 100 tahun sekali.
Di
abad 20 yang lalu tepatnya di tahun 1963, gunung Agung meletus setelah bangun
dari tidur selama beberaba abad dan merenggut kurang lebih 1200 orang serta
menghancurkan banyak desa. Masyarakat Bali melihat tragedi tersebut sebagai
sebuah simbol kemarahan dari para Dewa dan oleh karenanya upacara tersebut
kembali digelar pada tahun 1979 atau 1900 berdasarkan perhitungan Saka.
Simbolisasi
dari kosmologi gunungan dapat dilihat pada struktur arsitektur Candi Bentar
atau karakteristik gerbang yang membentuk sebuah menara yang berlekuk
menyerupai dua bagian piramida yang terpisah menjadi dua, yang menggambarkan
dua bagian gunung keramat, satu bagian gunung Agung dan satu bagian gunung
Batur. Simbol umum lainnya adalah meru; ratusan pagoda yang berdiri di
tempat-tempat suci, dan di pelataran candi dibangun pada lapisan batu yang
memiliki serangkaian bentuk atap yang menyerupai piramida yang ditutup oleh
daun palem hitam dengan jumlah sebelas (jumlah yang ditetapkan berdasarkan
keyakinan Hindu terkait dengan tatanan alam semesta).
Keyakinan,
upacara, dan perayaan keagamaan membimbing kehidupan masyarakat Bali sejak
dilahirkan dan membentuk paduan dalam kehidupan berkeluarga dan sosial.
Peraturan agama menentukan tata ruang desa, bentuk candi, struktur rumah, dan
sederet hak dan tanggung jawab di desa. Dalam pandangan kalender keagamaan,
hari libur, perayaan dan sistem ditetapkan.
5.
Penutup
Seluruh
kekayaan dan keindahan budaya Bali yang telah diwariskan para leluhurnya sejak
zaman dulu masih terjaga dan dilestarikan hingga hari ini oleh para generasi
penerusnya. Hal ini tentu saja menjadi contoh yang luar biasa bagi daerah
lainnya di Indonesia untuk mengambil sebuah pelajaran yang bermakna dalam
mensinergikan kehidupan modern dengan tanpa menyisihkan kearifan lokal yang ada
di setiap daerah.
Bila
pelestarian nilai-nilai budaya lokal/ kearifan lokal di setiap daerah dapat
dijaga dan dilestarikan, maka hal ini tentu saja dapat menjadi benteng
kokoh persatuan dan kesatuan bangsa dalam mengurangi efek budaya negatif dari
luar yang bersifat destruktif terhadap kelangsungan Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Sumber
Bacaan:
Morabito,
Antonio.1994. Indonesia Archipelago of Wonders. Jakarta: PT. Prajnawati.
Soebadyo,
Haryati, dkk. 2002. Indonesian Heritage: Seni Pertunjukan. Jakarta: Buku
Antar Bangsa.
Soebadyo,
Haryati, dkk. 2002. Indonesian Heritage: Agama dan Upacara. Jakarta:
Buku Antar Bangsa.
Soebadyo,
Haryati, dkk. 2002. Indonesian Heritage: Seni Rupa. Jakarta: Buku Antar
Bangsa.
http://www.balipost.co.id/BaliPostcetak/2003/3/9/ap6.html
20-11-2009
http://majalah.tempointeraktif.com/id/cetak/1979/03/17/DH/mbm.19790317.DH55988.id.html
20-11-2009
http://www.babadbali.com/canangsari/banten/mepandes.htm
21-11-2009
http://www.parisada.org/index.php?option=com_content&task=view&id=996&Itemid=29
21-11-2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar