Penghargaan
tinggi patut diberikan kepada Anand Krishna dan tokoh lainnya yang
telah menggagas wacana Pergerakan Integrasi Nasional menuju hidup damai
dan ceria dalam kebhinekaan.
Lebih khusus lagi karena wacana itu
menuju “Indonesia Baru”, yang salah satu indikatornya adalah kecintaan
pada ibu pertiwi atau dengan kata yang lebih tegas, cinta pada nusa
bangsa.
Wacana ini patut diluaskan karena
setelah 68 tahun Indonesia merdeka, nampaknya keadaan kita sekarang
belum mencapai apa yang dicita-citakan oleh para pahlawan pejuang
kemerdekaan dan pendiri Republik Indonesia.
Kita sebagai generasi penerus dari para
pejuang mempunyai tanggung jawab untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan,
yakni Indonesia Jaya. Kecintaan pada Ibu Pertiwi perlu dikembangkan
sebagai suatu dorongan menuju nasionalisme, di mana idealnya adalah
setiap anak bangsa bangga pada Indonesia.
Upaya mulia itu sekarang tidaklah mudah,
karena banyak keadaan-keadaan negatif yang menurunkan harkat martabat
bangsa Indonesia, tidak hanya di dalam negeri, tetapi juga di luar
negeri, antara lain:
1. KORUPSI DI INDONESIA.
Indonesia menjadi Negara paling korup
ke-6 dari 133 negara korup di dunia, jauh tertinggal dari Negara-negara
ASEAN lainnya seperti Malaysia, Singapura, dan Thailand (sumber: BBC
Indonesia).
Menurut Tranparency International (TI)
yang mengeluarkan Corruption Perception Index (CPI) tingkat korupsi di
Indonesia sudah mencapai endemic, systemic, and widespread.
Mereka mengadakan survey di 21 kota,
serta mewawancarai 1305 pebisnis lokal dan multi nasional.
Jawaban-jawaban para pelaku bisnis mendua, ada yang mengatakan bahwa
korupsi adalah kultur sebagai cetusan terima kasih, dan ada yang menolak
karena tergolong crime.
Rendahnya gaji pegawai negeri ternyata
tidak dapat diterima sebagai satu alasan korupsi karena para pejabat
negara dengan kedudukan dan gaji tinggi juga banyak yang terlibat dalam
korupsi.
Di samping itu ada kecurigaan masyarakat pada Pemerintah yang tidak transparan dan akuntabel.
2. TINGKAT PENGANGGURAN YANG TINGGI.
Kekurangan lapangan kerja di Indonesia
merupakan akibat dari beberapa hal negatif, yakni: korupsi, keamanan
nasional, dan mutu pendidikan.
Korupsi sudah jelas menciutkan APBN
sehingga mengurangi kemampuan pemerintah melakukan investasi. Kebocoran
APBN karena korupsi diperkirakan oleh TI mencapai 30% setiap tahun.
Selain itu prosedur penanaman modal
asing di Indonesia dikenal sangat menjelimet dan memerlukan biaya besar
dalam mengurus perijinan dari meja ke meja.
Keadaan ini ditambah dengan isu keamanan nasional yang buruk, membuat penanam modal asing ragu-ragu berbisnis di Indonesia.
Mutu pendidikan juga sangat rendah sehingga tenaga kerja Indonesia selalu kalah bersaing di sektor menengah ke atas.
Mutu pendidikan juga sangat rendah sehingga tenaga kerja Indonesia selalu kalah bersaing di sektor menengah ke atas.
Tenaga kerja Indonesia yang ‘laku’ di luar negeri kebanyakan pekerja kasar dan pembantu rumah tangga.
3. INDONESIA SEBAGAI SARANG TERORIS.
Sejak lama Indonesia sudah diingatkan
oleh Negara-negara barat terutama Amerika, bahwa tanpa disadari
Indonesia sudah termasuk jaringan terorisme internasional.
Peringatan ini diabaikan oleh
Pemerintah, sampai meledaknya Bom Bali I, barulah Pemerintah ‘mencoba’
mengambil langkah-langkah penanggulangan, walaupun sudah terlambat.
Kemampuan intelijen untuk mendeteksi
secara dini kiprah teroris nampaknya tidak berhasil, karena Bom Bali I
kemudian disusul oleh Bom Bali II. Bom-Bom ini memporak porandakan
perekonomian Bali yang bersandar pada sektor pariwisata.
4. INDONESIA BERADA PADA “RED-ZONE”.
Indonesia saat ini berada dalam zona
bahaya atau zona merah dari sebuah Negara (nation state) lemah yang
bergerak menuju Negara bangsa yang gagal.
Ini diungkapkan oleh Robert I. Rotberg
(Kompas 28 Maret 2002) yang disebabkan karena krisis multi dimensi
berkepanjangan, disintegrasi bangsa, penegakan hukum yang ambivalen,
pemberantasan korupsi yang setengah hati, upaya perbaikan ekonomi yang
gagal, dan tekanan pihak asing terhadap kebijakan Indonesi di bidang
piolitik, ekonomi, perdagangan, dan militer.
5. DISINTEGRASI BANGSA.
Kasus-kasus “SARA” di era reformasi
nampaknya makin merebak, terlihat dari peristiwa Ambon, Poso, Palu,
Kaltim, Aceh, Papua, Timtim, Lampung, Sumbawa dan lain-lain.
Kasus-kasus itu kemudian muncul ke permukan dalam bentuk disintegrasi, seperti yang terjadi di Timor Timur (Timor Lorosae).
Kebijakan “otonomi khusus” dari
Pemerintah Pusat dianggap sebagai salah satu jalan keluar dari
ketidakmampuan memimpin dan mempertahankan kesatuan dan persatuan
bangsa.
6. POLA HIDUP KONSUMTIF VS PRODUKTIF.
Masyarakat Indonesia terkenal sebagai
masyarakat yang pola hidupnya konsumtif. Padahal sebagai suatu Negara
yang under-developed, mestinya rakyatnya berpacu dalam investasi dan
produksi.
Di negara-negara yang berhasil bangkit
dari keterpurukan Perang Dunia ke-II seperti Jepang, Korea, dan India,
dan juga Vietnam yang baru saja lepas dari kemelut perang saudara.
Pemerintah mereka berperan membangkitkan
semangat simple living high thinking, artinya memelihara hidup yang
sederhana tetapi selalu berpikiran maju. Sebaliknya di Indonesia,
masyarakat berpola terbalik: simple thinking high living.
Lihatlah contoh yang nyata: Indonesia telah menjadi daerah pemasaran berbagai hasil industri dari Negara-negara maju.
Barang-barang konsumtif seperti mobil,
sepeda motor, alat-alat elektronik, handphone, dll melimpah ruah di
pasaran Indonesia, serta mudah diperoleh dengan sistim kredit.
Pola konsumtif ini dipacu oleh semaraknya iklan-iklan di media cetak dan elektronik seperti TV, Radio.
Kebiasan berpikir konsumtif tidak
mendidik dan merupakan racun kehidupan bagi generasi penerus kita.
Pemerintah pun “terpaksa” harus terus-menerus menimbun hutang luar
negeri.
7. INDONESIA SEBAGAI KERANJANG SAMPAH.
Demikian rusaknya moral sebagian besar bangsa Indonesia sehingga dijuluki sebagai garbage basket atau keranjang sampah.
Reputasi orang Indonesia di Malaysia dan
Singapura, cenderung buruk karena sering kejahatan seperti pencurian
dan perampokan dilakukan oleh orang-orang Indonesia.
Indonesia juga menjadi jaringan
transportasi narkoba dunia, bahkan penduduknya sudah pula menikmati
narkoba yang tercecer luas sampai ke pelosok desa.
Pelacuran dan perzinahan meraja lela,
hukum yang mudah diperjual-belikan, sehingga di film-film Hollywood,
Indonesia sering digunakan sebagai ungkapan suatu negara yang amburadul,
bangsa yang kehilangan spirit, harga diri, dan kebanggaan.
Itulah selayang pandang kondisi
Indonesia saat ini. Jika kita ingin mencintai Ibu Pertiwi, kita harus
berbenah dahulu untuk mempercantiknya, untuk bangga menampilkannya di
jajaran bangsa-bangsa di dunia.
Wacana-wacana kebangkitan bangsa, tanpa
mengetahui akar permasalahannya adalah sia-sia. Masalah yang dihadapi
sangat kompleks dan rumit.
Perlu kerja keras puluhan tahun disertai
semangat yang tak kunjung padam, dedikasi, pengorbanan, dan kebersamaan
untuk membangun Indonesia baru.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar