Jumat, 02 Agustus 2013

Kecintaan Pada Ibu Pertiwi

Membangkitkan Kembali Kecintaan Pada Ibu Pertiwi

Penghargaan tinggi patut diberikan kepada Anand Krishna dan tokoh lainnya yang telah menggagas wacana Pergerakan Integrasi Nasional menuju hidup damai dan ceria dalam kebhinekaan.
Lebih khusus lagi karena wacana itu menuju “Indonesia Baru”, yang salah satu indikatornya adalah kecintaan pada ibu pertiwi atau dengan kata yang lebih tegas, cinta pada nusa bangsa.
Wacana ini patut diluaskan karena setelah 68 tahun Indonesia merdeka, nampaknya keadaan kita sekarang belum mencapai apa yang dicita-citakan oleh para pahlawan pejuang kemerdekaan dan pendiri Republik Indonesia.
Kita sebagai generasi penerus dari para pejuang mempunyai tanggung jawab untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan, yakni Indonesia Jaya. Kecintaan pada Ibu Pertiwi perlu dikembangkan sebagai suatu dorongan menuju nasionalisme, di mana idealnya adalah setiap anak bangsa bangga pada Indonesia.
Upaya mulia itu sekarang tidaklah mudah, karena banyak keadaan-keadaan negatif yang menurunkan harkat martabat bangsa Indonesia, tidak hanya di dalam negeri, tetapi juga di luar negeri, antara lain:
1. KORUPSI DI INDONESIA.
Indonesia menjadi Negara paling korup ke-6 dari 133 negara korup di dunia, jauh tertinggal dari Negara-negara ASEAN lainnya seperti Malaysia, Singapura, dan Thailand (sumber: BBC Indonesia).
Menurut Tranparency International (TI) yang mengeluarkan Corruption Perception Index (CPI) tingkat korupsi di Indonesia sudah mencapai endemic, systemic, and widespread.
Mereka mengadakan survey di 21 kota, serta mewawancarai 1305 pebisnis lokal dan multi nasional. Jawaban-jawaban para pelaku bisnis mendua, ada yang mengatakan bahwa korupsi adalah kultur sebagai cetusan terima kasih, dan ada yang menolak karena tergolong crime.
Rendahnya gaji pegawai negeri ternyata tidak dapat diterima sebagai satu alasan korupsi karena para pejabat negara dengan kedudukan dan gaji tinggi juga banyak yang terlibat dalam korupsi.
Di samping itu ada kecurigaan masyarakat pada Pemerintah yang tidak transparan dan akuntabel.
2. TINGKAT PENGANGGURAN YANG TINGGI.
Kekurangan lapangan kerja di Indonesia merupakan akibat dari beberapa hal negatif, yakni: korupsi, keamanan nasional, dan mutu pendidikan.
Korupsi sudah jelas menciutkan APBN sehingga mengurangi kemampuan pemerintah melakukan investasi. Kebocoran APBN karena korupsi diperkirakan oleh TI mencapai 30% setiap tahun.
Selain itu prosedur penanaman modal asing di Indonesia dikenal sangat menjelimet dan memerlukan biaya besar dalam mengurus perijinan dari meja ke meja.
Keadaan ini ditambah dengan isu keamanan nasional yang buruk, membuat penanam modal asing ragu-ragu berbisnis di Indonesia.
Mutu pendidikan juga sangat rendah sehingga tenaga kerja Indonesia selalu kalah bersaing di sektor menengah ke atas.
Tenaga kerja Indonesia yang ‘laku’ di luar negeri kebanyakan pekerja kasar dan pembantu rumah tangga.
3. INDONESIA SEBAGAI SARANG TERORIS.
Sejak lama Indonesia sudah diingatkan oleh Negara-negara barat terutama Amerika, bahwa tanpa disadari Indonesia sudah termasuk jaringan terorisme internasional.
Peringatan ini diabaikan oleh Pemerintah, sampai meledaknya Bom Bali I, barulah Pemerintah ‘mencoba’ mengambil langkah-langkah penanggulangan, walaupun sudah terlambat.
Kemampuan intelijen untuk mendeteksi secara dini kiprah teroris nampaknya tidak berhasil, karena Bom Bali I kemudian disusul oleh Bom Bali II. Bom-Bom ini memporak porandakan perekonomian Bali yang bersandar pada sektor pariwisata.
4. INDONESIA BERADA PADA “RED-ZONE”.
Indonesia saat ini berada dalam zona bahaya atau zona merah dari sebuah Negara (nation state) lemah yang bergerak menuju Negara bangsa yang gagal.
Ini diungkapkan oleh Robert I. Rotberg (Kompas 28 Maret 2002) yang disebabkan karena krisis multi dimensi berkepanjangan, disintegrasi bangsa, penegakan hukum yang ambivalen, pemberantasan korupsi yang setengah hati, upaya perbaikan ekonomi yang gagal, dan tekanan pihak asing terhadap kebijakan Indonesi di bidang piolitik, ekonomi, perdagangan, dan militer.
5. DISINTEGRASI BANGSA.
Kasus-kasus “SARA” di era reformasi nampaknya makin merebak, terlihat dari peristiwa Ambon, Poso, Palu, Kaltim, Aceh, Papua, Timtim, Lampung, Sumbawa dan lain-lain.
Kasus-kasus itu kemudian muncul ke permukan dalam bentuk disintegrasi, seperti yang terjadi di Timor Timur (Timor Lorosae).
Kebijakan “otonomi khusus” dari Pemerintah Pusat dianggap sebagai salah satu jalan keluar dari ketidakmampuan memimpin dan mempertahankan kesatuan dan persatuan bangsa.
6. POLA HIDUP KONSUMTIF VS PRODUKTIF.
Masyarakat Indonesia terkenal sebagai masyarakat yang pola hidupnya konsumtif. Padahal sebagai suatu Negara yang under-developed, mestinya rakyatnya berpacu dalam investasi dan produksi.
Di negara-negara yang berhasil bangkit dari keterpurukan Perang Dunia ke-II seperti Jepang, Korea, dan India, dan juga Vietnam yang baru saja lepas dari kemelut perang saudara.
Pemerintah mereka berperan membangkitkan semangat simple living high thinking, artinya memelihara hidup yang sederhana tetapi selalu berpikiran maju. Sebaliknya di Indonesia, masyarakat berpola terbalik: simple thinking high living.
Lihatlah contoh yang nyata: Indonesia telah menjadi daerah pemasaran berbagai hasil industri dari Negara-negara maju.
Barang-barang konsumtif seperti mobil, sepeda motor, alat-alat elektronik, handphone, dll melimpah ruah di pasaran Indonesia, serta mudah diperoleh dengan sistim kredit.
Pola konsumtif ini dipacu oleh semaraknya iklan-iklan di media cetak dan elektronik seperti TV, Radio.
Kebiasan berpikir konsumtif tidak mendidik dan merupakan racun kehidupan bagi generasi penerus kita. Pemerintah pun “terpaksa” harus terus-menerus menimbun hutang luar negeri.
7. INDONESIA SEBAGAI KERANJANG SAMPAH.
Demikian rusaknya moral sebagian besar bangsa Indonesia sehingga dijuluki sebagai garbage basket atau keranjang sampah.
Reputasi orang Indonesia di Malaysia dan Singapura, cenderung buruk karena sering kejahatan seperti pencurian dan perampokan dilakukan oleh orang-orang Indonesia.
Indonesia juga menjadi jaringan transportasi narkoba dunia, bahkan penduduknya sudah pula menikmati narkoba yang tercecer luas sampai ke pelosok desa.
Pelacuran dan perzinahan meraja lela, hukum yang mudah diperjual-belikan, sehingga di film-film Hollywood, Indonesia sering digunakan sebagai ungkapan suatu negara yang amburadul, bangsa yang kehilangan spirit, harga diri, dan kebanggaan.
Itulah selayang pandang kondisi Indonesia saat ini. Jika kita ingin mencintai Ibu Pertiwi, kita harus berbenah dahulu untuk mempercantiknya, untuk bangga menampilkannya di jajaran bangsa-bangsa di dunia.
Wacana-wacana kebangkitan bangsa, tanpa mengetahui akar permasalahannya adalah sia-sia. Masalah yang dihadapi sangat kompleks dan rumit.
Perlu kerja keras puluhan tahun disertai semangat yang tak kunjung padam, dedikasi, pengorbanan, dan kebersamaan untuk membangun Indonesia baru.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar