Sabtu, 17 Agustus 2013

Subak Penyangga Ketahanan Pangan



Subak Penyangga Ketahanan Pangan
Guru besar Universitas Udayana I Wayan Windia menilai, subak memiliki peran yang sangat strategis sebagai penyangga ketahanan pangan, sekaligus mendukung pelestarian lingkungan di Bali.
“Subak juga berperan besar dalam mengentaskan kemiskinan dan pemberdayaan petani secara berkesinambungan,” kata Windia yang juga kepala badan penjamin mutu Universitas Udayana di Denpasar, akhir Pebruari 2011.
Ia mengatakan, pemerintah telah memanfaatkan organisasi pengairan tradisional sebagai wahana menyebarkan inovasi bidang pertanian.
Pada sisi lain, subak juga berperan aktif dalam menyaring inovasi yang sesuai dengan kondisi alam usaha tani di wilayah lingkungan subak masing-masing.
Windia menjelaskan, dengan demikian inovasi sektor pertanian yang diadopsi petani itu sesuai dengan kondisi alam dan cocok bagi petani bersangkutan untuk diterapkan dalam aktivitas keseharian.
Kondisi demikian akan mampu menyadarkan petani bahwa meningkatkan keterampilan untuk mengelola usaha tani harus dilakukan secara terus menurus dalam memproduksi komoditas pertanian sesuai dengan kebutuhan pasar.
“Jika produksi pertanian yang dihasilkan mampu diserap pasar, secara tidak langsung mampu meningkatkan kesejahteraan petani, yang pada gilirannya mengentaskan masalah kemiskinan,” tutur windia.
Subak sebagai lembaga yang berwatak sosio-kultural memiliki kekuatan dan kearifan, yakni fleksibel dan mampu menyerap teknologi pertanian maupun menyerap kebudayaan yang berkembang pada masyarakat sekitarnya.
Dengan demikian, setiap kegiatan dalam subak selalu mencerminkan keseimbangan hubungan yang harmonis dan serasi sesama manusia, manusia dengan lingkungan dan manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa (Tri Hita Karana).
Kondisi demikian sekaligus mampu menjadikan subak memiliki sifat sosio-agro-spiritual, yakni selain melakukan praktek bertani secara berkelanjutan dan juga menjadi salah satu bagian terpenting dari kebudayaan Bali, tutur Windia.
Sumber: Media Indonesia
Menurut William F.Ogburn berusaha memberikan sesuatu pengertian tertentu.walau tidak memberi definisi tentang perubahan-perubahan social. Dia mengemukakan ruang lingkup perubahan-perubahan social meliputi unsure-unsur kebudayaan baik yang materiil maupun immaterial yang ditekankan adalah pengaruh besar unsure-unsur kebudayan mateeriil terhadap unsure-unsur kebudayaan immaterial
Kingsley Davis mengartikan perubahan social sebagai perubahan-perubahan yang terjadi dalam struktur dan fungsi masyarakat.

Yang berpendapat lain bahwa perubahan social terjadi karena adanya perubahan dalam unsur-unsur yang mempertahankan keseimvangan masyarakat, seperti perubahan dalam unsure geografis, biologis, ekonomis, atau kebudayaan. Kemudian ada pula yangberpendapat bahwa perubahan-perubahan social bersifat periodic dan non periodic. Pokoknya pendapat tersebut menyatakan bahwa perubahan merupakan lingkaran kejadian-kejadian.
Berkaitan dengan obyek yang diamati pada masyarakat Subak yang terletak di daerak Tabanan kepulauan Bali, kita lebih mengkhususklan penelitian tentang perubahan social dan budaya yang terjadi disana, sehingga kita bisa mengetahui hubungan antara perubahan sosial dengan perubahan budaya.
Melalui proses wawancara secara mendalam peneliti dapat mengumpulkan data-data melalui pertanyaan-pertanyaan yang semakin terfokuskan dan mengarah pada kedalaman informasi itu sendiri. Dalam hal ini, peneliti dapat bertanya kepada beberapa nara sumber mengenai fakta dari suatu peristiwa yang ada. Dalam berbagai situasi, peneliti dapat meminta narasumber untuk mengetengahkan pendapatnya sendiri terhadap peristiwa tertentu dan dapat menggunakan posisi tersebut sebagai dasar penelitian selanjutnya (Yin, 1996: 109).
Kelebihan data yang diperoleh dengan cara wawancara yaitu, dapat diperoleh data yang tidak dapat diperoleh dengan metode yang tidak menggunakan hubungan yang bersifat personal. Semakin bagus pengertian pewawancara dan semakin halus perasaan dalam pengamatannya itu, semakin besar pulalah kemampuannya untuk memberi dorongan pada subyeknya. Lagi pula semaikn besar kemampuan orang yang diwawancarai untuk menyatakan responnya, semakin besar intersimulasi itu. Tiap-tiap respon atau tanggapan yang verbal dan reaksinya dinyatakan dengan kata-kata dapat memberikan banyak pikiran-pikiran baru. Suatu jawaban bukanlah jawaban atas suatu pernyataan saja., melainkan merupakan pendorong timbulnya keterangan lain yang penting mengenai peristiwa atau obyek penelitian. Semakin besar bantuan nara sumber dalam wawancara, maka semakin besar peranannya sebagai informan. Dalam hal ini, informan merupakan kunci yang sangat penting peranannya terhadap keberhasilan studi kasus.
Dengan demikian, wawancara mendalam harus memberikan keleluasaan informan dalam memberikan penjelasan secara aman, tidak merasa ditekan, maka perlu diciptakan suasana kekeluargaan. Kelonggaran ini akan mengorek kejujuran informasi. Terutama yang berupa sikap, pandanagan dan perasaan informan sehingga pencari data tidak merasa asing dan dicurigai. Oleh karena itu, maka pelaksanaan wawancara perlu dipilih waktu yang tepat, maksudnya para informan diwawancarai pada saat tidak sibuk dan dalam kondisi yang santai sehingga keterangan yang diberikan memang benar-benar adanya
3. Observasi langsung
Observasi langsung dapat dilakukan dalam bentuk observasi partisipasi pasif terhadap berbagai kegiatan dan proses yang terkait dengan studio (Sutopo, 1996: 137). Observasi ini akan dilakukan dengan cara formal dan informal, untuk mengamati berbagai kegiatan dan peristiwa subak di Bali.
Observasi tersebut dapat terbentang mulai dari kegiatan pengumpulan data yang formal hingga yang tidak formal. Bukti observasi sering bermanfaat untuk memberikan informasi tambahan tentang topik yang akan diteliti. Observasi dapat menambah dimensi-dimensi baru untuk pemahaman konteks maupun fenomena yang akan diteliti.
Teknik analisis data yang digunakan penelitian ini adalah analisis interaktif (Miles dan Huberman, 1984). Dalam model analisis ini, terdapat tiga komponen analisisnya yaitu, aktifitasnya dilakukan dalam bentuk interaktif dengan proses pengumpulan data sebagai suatu proses yang berlanjut, berulang, dan terus menerus hingga membentuk sebua siklus. Dalam proses ini aktifitas peneliti bergerak diantara komponen analisis dengan pengumpulan data selama proses ini masih berlangsung. Selanjutnya peneliti hanya bergerak diantara tiga komponen analisis tersebut.
1. Reduksi Data
Reduksi data dapat diuraikan sebagai proses pemelihan, pemusatan penelitian pada penyederhanaan, pengabstakan, dan transformasi data “kasar” yang muncul dari catatan tertulis di lapangan. Dengan demikian reduksi data merupakan suatu bentuk analisis yang menajamkan, menggolongkan mengarakan, membuang yang tidak perlu, mengorganisasi data dengan cara sedemikian rupasehingga kesimpulan finalnya dapat di tarik dan diverifikasi. Secara sederhana dapat dijelaskan dengan reduksi data” dan perlu mengartikanya sebagai kualifikasi. Data kualitatif dapat disederhanakan dan ditansformasikan dalam aneka macam cara, yaitu : melalui seleksi yang ketat, melalui seleksi yang ketat, melalui ringkasan yang digolongkan dalam suatu pola yang lebih luas dan sebagainya.
Penyajian data merupakan alur yang penting dari analisis interaktif. Suatu penyajian, merupakan kumpulan informasi tersusun yang memberikan kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan.
3. Penarikan Kesimpulan atau Verifikasi
Penelitian harus memberikan kesimpulan secara longgar, terbuka dan skeptis (Paton, 1983 20). Dengan demikian model analisis interaktif ini dapat dijelaskan sebagai berikut : dalam pengumpulan data ini , peneliti selalu membuat reduksi data dan sajian data sampai penyusunan kesimpulan. Artinya data yang didapat di lapangan kemudian disusun pemahaman arti disegala peristiwa disebut yang disebut reduksi data dan diikuti penyusunan data yang berupa cerita yang sistematis. Reduksi data sajian data ini di susun pada saan peneliti mulai melakukan usaha menarik kesimpulan dengan menarik verifikasi berdasarkan reduksi data dan sajian data. Jika permasalahan yang diteliti belum terjawab dan belum lengkap, maka peneliti harus melengkapi kekurangan tersebut di lapangan terlebih dahulu.
Seiring dengan berubahnya zaman,perubahan-perubahan juga terjadi di dalam masyarakat Subak. Perubahan social budaya masyarakat Subak berkembang ketika ilmu dan teknologi berkembang pesat. Peralatan akan cepat berganti dan semakin modern sehingga akan sulit dilacak dan dihimpun kembali peralatanyang trsdisional tetapimerekajuga masih tetap menggunakan alat-alat yang bersifat tradisional karena itu sudah menjadi tradisi turun-temurun. Semuayang telah ada di Subak disimpan ke dalam museum Subak dari zaman dahulu sampai saat ini.
Berdasarkan temuan dalam data prasasti, dapat disimpulkan bahwa pertanian dengan sistem perladangan dan sistem persawahan yang teratur telah ada di Bali pada tahun 882 M terdapat kata huma yang berarti sawah dalam kata perlak yang berarti tegalan.
Mengenai sistem pengaturan air persawahan yang teratur di Bali sudah ada pada tahun 896 M. keterangan ini diberikan kesaksian pada prasasti Bebetin Al tahun 896 M yang antara lain menyebutkan kata undagi lancang, undagi batu, dan undagi pengarung yang artinya (tukang membuat perahu, tukang mencari batu dan tukang membuat terowongan air atau aungan).
Dalam prasasti Raja Purana Klungkung yang berangka tahun saka 994 (1072 M), itu sebutkan kata kasuwakan yang kemudian menjadi suwak atau subak. Keaslian sistem ini juga diperkuat dengan adanya lontar Markandeya Purana sebagai dokumen historis yang menyebutkan : “…sang mikukuhin sawah kawastanin Subak, sang mikukuhin toya kawastanin Pekaseh, ika ne wenang ngepahan toya punika…” Artinya, yang mengurus permasalahan sawah seperti menggarap sawah dan sebagainya dinamakan subak, sedangkan yang diberi tugas untuk mengurus dan menyelenggarakan pembagian air di sawah dan di ladang disebut pekaseh.

Berdasarkan Peraturan Daerah Propinsi Daerah Tingkat I Bali, No. 02/PD/DPRD/1972 tentang irigasi (pasal 4) dinyatakan bahwa Subak adalah: masyarakat hukum adat di Bali yang bersifat sosio-agraris-religius yang secara historis didirikan sejak dahulu kala dan berkembang terus terus sebagai organisasi penguasa tanah dalam bidang pengaturan air dan lain-lain untuk persawahan dari sumber air di dalam suatu daerah.
Didalam Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 1982 tentang irigasi. Dalam pasal 1 (h) ditegaskan mengenai pengertian subak sebagai : “masyarakat hukum adat yang bersifat sosio agraris, religius yang secara historis tumbuh dan berkembang sebagai organisasi di bidang tata guna air ditingkat usaha tani”
berdasarkan atas filosofi Tri Hita Karana dapat dipandang sebagai suatu sistim, karena Subak mengandung tiga komponen pokok (Parhyangan, Pawongan dan Palemahan) yang terkait erat satu dengan yang lainnya. Tri Hita Karana yang terdiri dari komponen hubungan manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa. Hubungan manusia dengan lingkungan alamnya, dan hubungan manusia dengan manusia. Filsafat Tri Hita Karana ini pada dasarnya mendapat inspirasi dari pustaka suci Bhagawadgita, III, 13 yang berbunyi: Dahulukala Prajapati bersabda: “Dengan ini engkau akan membiak dan inilah Kamaduk bagimu” Sloka ini menunjukkan bahwa Tuhan (Prajapati), manusia dan Alam (Kamaduk) saling berhubungan untuk terciptanya harmoni.
Sistem Subak merupakan sistem irigasi pertanian yang telah lama dikenal dalam masyarakat Bali. Sistem ini melayani pemilik lahan pertanian padi dalam skala kecil. Jumlah Subak di Kabupaten Bali berjumlah 1143 buah dengan luas area 81.823 Hektar. Terkait sistem tradional subak yang sudah sangat melekat pada masyarakat Bali ini, Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto usai membuka Second Southeast Water Forum di Nusa Dua Bali Senin (29/8/2006) mengatakan, sistem subak ini sudah sangat bagus sehingga Pemerintah tidak akan terlalu mencampuri sistem irigasi itu. Menurut Djoko, Pemerintah hanya memfasilitasi saja.
Para delegasi Forum Air se-Asia Tenggara dalam kunjungannya di Bali 30 Augustus 2006 berkesempatan meninjau Museum Subak di daerah Tabanan Bali. Salah seorang petugas museum menjelaskan bahwa irigasi Subak saat ini mulai berkurang 35% terutama di daerah Selatan Bali dengan menjamurnya permukiman di daerah itu. pernyataan tersebut sangat memprihatinkan melihat fungsi dan peran Subak yang kini mulai dilupakan. Bagaimanapun Subak sebagai sistem irigasi tradisional merupakan salah satu warisan budaya yang telah turun temurun dalam masyarakat pertanian di Bali perlu untuk tetap dilestarikan. Para delegasi Forum Air se-Asia Tenggara dalam kunjungannya di Bali 30 Augustus 2006 berkesempatan meninjau Museum Subak di daerah Tabanan Bali. Salah seorang petugas museum menjelaskan bahwa irigasi Subak saat ini mulai berkurang 35% terutama di daerah Selatan Bali dengan menjamurnya permukiman di daerah itu. Pernyataan tersebut sangat memprihatinkan melihat fungsi dan peran Subak yang kini mulai memudar. Bagaimanapun Subak sebagai sistem irigasi tradisional merupakan salah satu warisan budaya perlu untuk tetap dilestarikan.
Subak sebagai lembaga tradisional yang bersifat sosio agraris, religius yang sudah membudaya, di kenal di seluruh pelosok dunia dan bahkan disebut sebagai salah satu organisasi petani pemakai air yang paling canggih diseluruh dunia dalam perjalanan waktunya, dari generasi satu ke generasi lain, melalui situasi dan kondisi yang berbeda-beda tentunya telah mengalami beberapa reformasi secara damai. Kontak Kebudayaan, adanya penemuan teknologi baru kebutuhan manusia yang tak terbatas dan alam dimana manusia hidup yang sebenarnya selalu berubah merupakan faktor-faktor yang dapat menentukan terjadinya reformasi. Namun demikian, itu bukan berarti mengabaikan pola-pola yang telah ada pada subak sejak zaman dahulu, tetapi yang ditonjolkan adalah variasi yang sangat tergantung pada konteksnya.
Masyarakat petani di Bali dengan lembaga tradisionalnya yaitu subak telah memiliki benih-benih modenisasi dalam diri mereka sendiri. Kenyataan bahwa sektor pertanian memegang peranan yang sangat penting dalam laju pertumbuhan ekonomi di Bali, dan disini kelihatan bahwa terjadi perpaduan yang harmonis antar unsur tradisional dengan unsur modern sehingga membawa dampak terhadap kemajuan serta memberikan kesejahteraan kepada masyarakat secara maksimal.
Sehingga dalam hal ini subak mempunyai fungsi ekstern ;
1.Vertikal : Hubungan subak dengan lembaga pemerintahan atasan (Sedahan, Sedahan Agung maupun Bupati / Walikotamadya, yang mempunyai hubungan struktural, khususnya di bidang penganaan PBB, namun diimbali dengan petunjuk-petunjuk dalam meningkatkan produksi pertanian di Subak.
2. Horizontal : Hubungan Subak dengan lembaga selevel seperti: Desa, Desa Adat dan Keluruhan, yang diwujudkan dalam bentuk koordinasi.
Fungsi subak dari segi jasa :
Fungsi Subak dilihat dari segi jasa adalah sebagai berikut :
a. Penataan gunaan air tradisional :
Dapat meringankan beban pemerintah, misalnya dalam pembuatan sarana saluran air, sarana persubakan (membeton empangan dan saluran air lainnya, semula dengan batu padas, pepohonan (turus hidup) pada pembukaan areal sawah baru dapat menekan biaya milyaran rupiah.
b. Pola tanam,
Adanya “Sistem Kerta Masa” : menekan / memutus siklus hidup hama dan penyakit tanaman, sekaligus menghindari bertanam padi secara “tulak sumur” (tidak serempaknya penanaman).
c.Usaha Tani Terpadu;
Seperti : kolam air deras, mina padi, peternakan itik dan sapi sangat baik dengan lahan pertanian (sistem tumpang sari : yakni padi di tengah dan mina di pinggir petakan sawah serta sayur mayur di pematang petakan sawah).
d.Otonomi :
Subak mengatur hak dan kewajiban warganya serta upaya pemulihan atas pelanggaran yang terjadi, yang dikenal dengan istilah awig-awig, sima pararem dan sebagainya.
e. Produksi
Padi dari tahun ke tahun dapat ditingkatkan, contoh : Subak Rijasa tahun 1979 berhasil keluar sebagai juara I Supra Insus Tingkat Nasional.
Gagasan mendirikan museum subak, bertujuan menghimpun berbagai benda dan data yang terkait dengan sejarah subak, serta menyuguhkan sebagai media studi dan penelitian. Selain itu juga untuk menyelamatkan, mengamankan dan memelihara berbagai benda budaya subak yang telah berjasa mengantarkan lembaga itu hidup lestari sejak zaman dulu hingga kini. Museum ini juga menyuguhkan bahan informasi, dokumentasi serta media pendidikan dari latihan tentang subak sebagai lembaga adat dan sistem irigasi. Tujuan lainnya sebagai tempat rekreasi objek pariwisata, sebagai pelengkap keanekaragaman objek wisata Pulau Bali belahan barat. Namun nasib Museum Subak amat menyedihkan. Banyaknya tim yang terlibat dalam museum ini bisa jadi sebagai hambatan untuk mengembangkan fungsinya. Sesama dinas dan instansi bisa saling dalih untuk melepas tanggung jawabnya, apabila muncul permasalahan. Waktu 14 tahun lebih perjalanan museum subak ini sejak diresmikan tahun 1988 lalu, merupakan waktu yang lebih dari cukup untuk mengevaluasi keberadaannya.

Kabupaten Tabanan tempat lokasi penyelidikan ini dilakukan merupakan JINENG (lumbung) berasnya Pulau Bali. Julukan yang diberikan bagi Kabupaten Tabanan ini bukan tanpa sebab, karena Tabanan merupakan salah satu pilar penyangga pangan sebagian besar penduduk Bali.
Setiap tahun,Kabupaten Tabanan menyumbangkan hampir sepertiga dari keseluruhan produksi padi di Pulau Bali.
Bagi kabupaten yang terletak di arah barat Kota Denpasar ini, sektor pertanian khususnya pertanian sawah dan ladang menjadi mata pencaharian hampir 90 persen penduduk. Statistik Tabanan tahun 2001 menunjukkan, sekitar 337.024 orang dari 386.850 penduduk Tabanan atau sekitar 87 persen terserap di sektor pertanian. Mereka terbagi dalam 281 subak (organisasi pengairan tradisional untuk pertanian) yang tersebar di 113 desa di kabupaten ini.
B. Pokok-pokok Penemuan Penyelidikan
Berdasarkan hasil observasi langsung terhadap objek maka dapat ditemui beberapa data mengenai upacara keagamaan, Pawongan, yaitu sebagai berikut :
Upacara keagamaan:
Upacara keagamaan yang dilakukan oleh anggotasubak pada garis besarnya dapat dibagi dua yaitu upacara yang dilakukan secara perorangan dan upacara yang dilakukan oleh kelompok (tempek atau subak).
Upacara keagamaan yang dilakukan oleh para petani adalah :
a. Ngawit yang dilaksanakan pada waktu petani menabur benih dan pembibitan
b. Mamula dilaksanakan pada saat menanam
c. Neduh dilakukan pada saat padi berumur satu bulan dengan harapan agar padi tidak diserang hama penyakit,
d. Biukukung dilakukan pada saat padi bunting
e. Nyangket dilakukan pada saat panen,
f. Mantenin dilakukan pada saat padi disimpan di lumbung atau tempat lainnya sebelum padi diolah menjadi beras untuk pertama kalinya.
Pada tingkat tempek upacara yang dilakukan antara lain :
(a) Upacara mapag toya dilakukan didekat bendungan menjelang pengelolahan tanah,
(b) Upacara Nyaeb dilakukan agar padi tidak diserang hama penyakit,
(c) Upacara ngusaba, dilakukan menjelang panen.
Nyepi di Sawah
Banyak sekali simbolis kearifan hidup yang diperlihatkan oleh Tuhan kepada umat manusia khususnya petani. Salah satu dari sekian simbolis tersebut adalah pelaksanaan nyepi di sawah yang perlu direnungkan, diinterprestasi dan selanjutnya diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Nyepi sebagai simbolis pembersihan buana agung dan buana alit dengan unsur-unsur pertiwi, apah, teja, bayu dan akasa, sekali dalam seminggu buana agung dan buana alit perlu dibersihkan dan disucikan yang nantinya akan menghasilkan untuk kehidupan. Secara sekala nyepi di sawah sangat bermanfaat bagi keseimbangan lingkungan hidup.
Mitologi
Cerita-cerita rakyat dengan tokoh dewa (mitologi) yang berhubungan dengan masalah pertanian termuat dalam kepustakaan lontar antara lain : Lontar Dharma Pemaculan, Kandaning Catur Bumi, Ciwagama, Tantupagelaran, Roga Sengara Bumi, Raja Purana, Usada Sawah dan lain-lain. Cerita-cerita yang sudah demikian akrab pada masyarakat petani seperti cerita Rare Angon, cerita terciptanya Pulau Bali (sungai, gunung, danau, bukit) dan stana atau linggih para dewa, cerita-cerita tentang berbagai keterampilan yang diajarkan oleh Bhatara Guru, dan lain-lain termuat dalam kepustakaan lontar tersebut.
Nangluk Merana
Dalam proses pertanian mulai dari mengolah tanah sampai padi itu di simpan di lumbung dijadikan beras dan siap untuk di masak para petani tentunya mengalami berbagai tantangan baik itu bersifat mitra (sahabat) maupun (musuh). Sebenarnya secara tradisi para petani telah dibekali oleh pengetahuan (indiginous knowledge) yang sangat kompleks untuk mengatasi tantangan-tantangan proses pertanian tersebut, salah satu sarana yang dipakai untuk menolak hama (Nangluk Merana) di sawah adalah melalui sarana kesenian.
Dalam Usada Sawah juga ada disebutkan cara penanggulangan hama tanaman padi dengan melaksanakan upacara / upacara yang dilakukan terhadap beberapa pura yang diyakini memiliki hubungan atau sebagai dewa penguasa terhadap hama tersebut seperti Pura yang diyakini memiliki hubungan atau seperti Pura Masceti sebagai penguasa tikus dan Pura Sakenan sebagai penguasa walang sangit. Selain dengan sarana upacara, untuk mengatasi padi yang terserang mereng dapat diatasi dengan menanam pohon kelapa yang disambar petir pada pengalapan sawah dan disertai dengan mantra.
Pura-Pura yang ada dilingkungan Subak antara lain :
a. Pura Bedugul (yang dibangun pada setiap tempat pembagian air dan bangunan bendungan),
b. Pura Ulun Suwi (yang dibangun pada setiap wilayah subak atau beberapa subak yang mempunyai sumber air yang sama),
c. Pura Ulun Danu yang terdapat pada keempat danau di Bali yaitu, danau Beratan, danau Buyan dan danau Tamblingan,
d. Pura Masceti yang dibangun dalam wilayah subak dimana subak itu berada.
Pawongan:
1. Awig-Awig
Awig-awig adalah suatu bentuk hukum tertulis yang memuat seperangkat kaedah-kaedah sebagai pedoman bertingkah laku dalam masyarakat petani dan disertai dengan sanksi-sanksi yang dilaksanakan secara tegas dan nyata. Selain mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan (tata kahyangan), awig-awig juga mengatur hubungan manusia dengan manusia (tata pawongan) dan hubungan manusia dengan lingkungan (tata palemahan).
2. Anggota
Secara umum anggota Subak (krama subak) dapat dibedakan atas tiga kelompok yaitu,
a. Krama pengayah / anggota aktif yaitu anggota subak yang secara aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan subak seperti gotong royong, aktif dalam kegiatan keagamaan, rapat-rapat dan lain-lain;
3. Pengurus.
Semua subak diharapakan mempunyai pengurus / prajuru yang terdiri dari : Pekaseh (ketua subak), Petajuh (wakil pekaseh), Penyarikan (sekretaris), Patengan atau Juru Raksa (bendahara), Juru arah atau kesinoman (penyalur informasi) dan saye (pembantu khusus).
b. Krama pengampel / anggota pasif yaitu anggota subak yang karena alasan-alasan tertentu tidak terlibat secara aktif dalam kegiatan-kegiatan (ayahan) subak;
c. Krama leluputan (anggota khusus), yaitu anggota subak yang dibebaskan dari berbagai kewajiban subak, karena yang bersangkutan memegang jabatan tertentu di dalam masyarakat seperti pemangku, bendesa adat, ataupun sulinggih (Satya Wacana, 1975; Pitana, 1989)
4. Paruman/sangkep
Sebagai suatu organisasi yang hidup dan kreatif subak diharapakan mengadakan paruman secara berkala, baik paruman pada tingkat pengurus maupun paruman pada tingkat seluruh krama subak. Secara umum dilakukan setiap bulan / 35 hari.
5. Tolong Menolong
Tolong menolong mengandung nilai yang sangat tinggi yang sangat erat kaitannya dengan kehidupan para petani di pedesaan. Dalam kehidupan masyarakat pedesaan gotong royong / tolong menolong merupakan suatu sistem pengerahan tenaga tambahan dari luar kalangan keluarga, untuk mengisi.
6. Sengketa / konflik.
Dalam proses pertanian tentunya akan dijumpai kasus bahwa ada petani yang melanggar aturan awig-awig atau pararem baik itu menyangkut pola tanam, mencuri air (paling empel), air yang disalurkan ke kolam atau kandang babi, mencuri kekalen, adanya pohon diperbatasan sawah, hewan peliharaan yang merusak tanaman, dan lain-lain.
System subak adalah system pengairan di Bali yang dilaksanakan dari zaman dahulu. Di dalam system Subak tedapat banyak macam-macam organisasi yang telah tersusun, sehingga dalam pelaksanaannya dapat berjalan dengan sebagaimana mestinya. Disini dijelaskan tentang irigasi (pasal 4) dinyatakan bahwa Subak adalah masyarakat hukum adat di Bali yang bersifat sosio-agraris-religius yang secara histories didirikan sejak dahulu kala dan berkembang terus sebagai organisasi penguasa tanah dalam bidang pengaturan air dan lain-lain untuk persawahan dari sumber air di dalam suatu daerah. Tri hita karana dipandang sebagai suatu system, karena dalam subak mengandung tiga komponen pokok yaitu parhyangan, pawongan dan palemahan yang saling berhubungan antara yang satu dengan yang lain. Disini menyangkut hubungan antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia dan manusia dengan lingkungna sekitar. System Subak ini melayani pemilik lahan pertanian dalam skala yang kecil. System ini merupakan system yang sangat tradisional yang masih sangat melekat di dalam masyarakat Bali. Bagaimanapun system Subak merupakan system tradisional yang salah satu warisan budaya yang perlu dilestarikan. Pada bulan Agustus 2006, system Subak mulai menurun dan hampir memudar. Hal ini sangatlah memprihatinkan dikalangan masyarakat. Disini juga dijelaskan bahwa system Subak adalah system irigasi yang tradisional yang membudaya yang dikenal diseluruh pelosok dunia. bahkan Subak disebut sebagai petani pemakai air tercanggih di seluruh pelosok dunia yang terjadi di dalam kurun waktunya. Jadi telah terbukti manfaat dari system Subak di Bali tersebut. Antara lain dapat membantu masyarakat khususnya di dalam bidang pertanian yaitu membantu pengairan di sawah mereka masing-masing, walaupun itu masih sisten yang tradisional. Bahkan Subak juga membantu perekonomian masyarakat di Tabanan, Bali. Sehingga sector pertanian menjadi pemegang peranan yang sangat penting bagi laju pertumbuhan ekonomi di dalam masyarakat Bali. Dijelaskan juga tentang macam-macam fungsi Subak di dalam masyarakat dalam beberapa versi dan ditinjau dari berbagai aspek. Tentang upacara-uoacara yang dilakkan masyarakat Subak baik perorangan maupun kelompok yang dipercaya mampu memperlancar system Subak. Para petani jga melakukan upacara nyepi di sawah masing-masing, dengan tujuan pembersihan buana agung dan buana alit dengan unsur-unsur pertiwi dan disucikan yang nantinya akan menghasilkan untuk kehidupan dan berfungsi untuk menjaga keseimbangan lingkuan hidup. Dilakukan seminggu sekali. Disini juga dijelaskan tentang mitos dewa-dewa pada jaman dulu, serta upacara-upacara lainnya serta pure-pure yang terdapat di daerah tersebut. Yang terakhir tentang macam-macam pawongan yang ada di dalam system Subak. Dan salah satu yang menarik adalah dalam suatu pertemuan warga tani, untuk batas waktu pertemua dianggap selesai atau orang itu dianggap terlambat dan harus mendapat denda, alat yang dunakan untuk itu adalah tempurung kelapa. Jika air yang ada di dalam tempurung kelapa tersebut habis maka orang yang datang pada waktu itu harus membayar denda sebesar seratus rupiah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar