Peranan Wariga Bali Pada Tanaman Untuk Upacara Adat dan Agama
Pengetahuan Wariga adalah pengetahuan tentang Dewasa (Dewa = Jiwa = Cahaya = Sinar =
Teja), yaitu pengaruh cahaya benda-benda angkasa terutama bintang.
Surya Koti berarti ratusan ribu bintang,
matahari, melalui sinar yang dipancarkannya dari angkasa raya, dapat
mempengaruhi kehidupan mahluk dunia, terutama kehidupan manusia.
Pengetahuan tentang bintang, yaitu Ilmu
Falak atau Astronomi bersumber dari India, diajarkan oleh para yogi yang
sudah memiliki pandangan tajam, pandangan suci.
Kitab-kitab yang bersumber dari pustaka
suci Weda, antara lain: Adi Parwa, Bhawana Mabah, Sundari Bungkah,
menerangkan bahwa sebelum ada matahari, bulan, dan bintang serta
benda-benda langit lainnya semuanya hanya berwujud kabut, dan pada zaman
itu kehancuranlah yang menguasai semuanya, dan zaman itu disebut zaman
pralaya.
Unsur-unsur atau elemen-elemen yang
disebut Panca Mahabutha, yaitu pertiwi, apah, bayu, teja, dan akasa,
semuanya hancur dan mengabut (menjadi kabut serta manunggal dan
bersenyawa) sehingga terjadilah letusan-letusan yang dahsyat tak
berkeputusan, karena unsur teja memiliki kekuatan panas bersuhu +/- 6000
derajat Celsius, menghancurkan serta menghanguskan keempat zat-zat
lainnya.
Dapat dibayangkan seberapa deras aliran kabut yang dalam keadaan bergolak pada zaman mahapralaya itu.
Para ahli berpendapat bahwa sebelum terjadi mahapralaya sudah pernah ada dunia, bintang-bintang, dan benda-benda langit lainnya.
Setelah sekian lama terjadi masa
pralaya, kemudian masing-masing elemen mengadakan hubungan sejenis,
sehingga terjadilah lima kelompok teja yang menciptakan surya (yang
dalam ajaran Hindu dipakai sampai sekarang sebagai saptawara).
Dalam pada itu keempat unsur-unsur zat
lainnya dan sedikit campuran unsur teja memisahkan diri. Panasnya makin
lama makin berkurang, dari kabut yang panas akhirnya menjadi kabut yang
dingin kemudian mencair, memadat, dan akhirnya terciptalah misalnya
bumi, planet-planet, dan satelit-satelit lainnya.
Karena unsur teja selalu ingin menuju
surya, yaitu kumpulan teja, sedangkan keempat unsur lainnya selalu
menjauhkan diri dari teja maka terjadilah gerakan tarik menarik yang
mengakibatkan putaran kadang-kadang letusan sampai sekarang (terjadinya
meteor).
Di lain pihak, karena planet bumi
beredar terjadilah perubahan iklim, perubahan musim. Iklim dan musim
berbeda-beda di tiap bagian dunia dan tempat menurut letak atau jarak
antara bumi dengan matahari.
Pada waktu setelah dunia (bumi) ada
isinya terutama mahluk hidup yang paling utama adalah manusia, menurut
ajaran Hindu pada pustaka suci menyebutkan terjadinya dua zaman, yaitu
zaman Ketu dan zaman Rau, yang kisahnya sebagai berikut:
Tersebutlah Sanghyang Sandhi Reka
beryoga, maka terciptalah Sanghyang Ekajalarsi. Kemudian Sanghyang
Ekajalarsi beryoga maka terciptalah Dwi Sanghyang, yaitu Sanghyang Ketu
dan Sanghyang Rau.
Sanghyang Ketu beryoga maka terciptalah
yang serba terang segala yang bersifat Dewa, segala yang baik, utama,
dan mulia. Dharmatattwa dan aksara suci juga segala tattwa wariga.
Berbeda dengan yoganya Sanghyang Rau,
yang diciptakannya adalah segala yang gelap, semua yang bersifat bhuta,
bhuti yaksa, yaksi, sarwa dengen, dan adharmatattwa.
Ternyata ciptaan Sanghyang Ketu dan
Sanghyang Rau tentang sifat-sifat ciptaannya itu sangat berbeda dan
berlawanan, maka alam semesta inipun dipenuhi oleh sifat-sifat yang baik
dan buruk, benar dan salah, terang dan gelap.
Hal ini berjalan terus silih berganti
dengan tak berkeputusan sepanjang zaman dan sangat mempengaruhi
kehidupan manusia misalnya pengaruh waktu siang dan malam. Ternyata
bahwa Sanghyang Ketu dan Sanghyang Rau memegang peranan sangat penting
selama peredaran waktu dan zaman.
Tiap-tiap zaman lama waktunya
berbeda-beda, zaman besar waktunya lama sekali, zaman kecil waktunya
sangat singkat sedangkan zaman madya lama waktunya berada diantara zaman
besar dan zaman kecil, misalnya lingkaran siang dan malam lamanya 24
jam, triwara lama waktunya tiga hari dan lima malam, dan demikian
seterusnya.
Penting untuk dimaklumi bahwa sifat atau
watak dari berbagai zaman (zaman besar atau zaman kecil) adalah sama
saja, sama-sama mengandung unsur-unsur baik dan buruk.
Menurut astronomi India, beberapa planet dijadikan nama-nama hari:
Nama-nama sasih juga mengambil pedoman dari nama-nama kelompok
bintang yang disebut Naksatra. Dari 27 kelompok, 12 diantaranya
dijadikan nama sasih (bulan): 1. Sravana, 2. Bhadrapada, 3. Asvina, 4.
Kartika, 5. Margasira, 6. Pausha, 7. Magha, 8. Phalguna, 9. Chaitra, 10.
Vaisakha, 11. Jyestaha, 12. Asadha.
Diperkirakan pada abad IV atau V Masehi di India telah tersusun buku-buku mengenai astronomi/ astrologi yang disebut Panca Siddhanta:
Bhagawan Gargalah pada mulanya sebagai pengemban dan penyebar ilmu ini. Konon beliau pernah memberikan pelajaran kepada orang-orang Yunani tentang astronomi/ astrologi pada abad I sebelum Masehi.
Oleh karena Jyotisa Wedangga itu merupakan pelengkap Weda yang berarti tak dapat dipisahkan dari agama, maka dalam penyebarannya selalu bersama-sama dengan penyebaran agama Hindu. Pengaruh Hindu datang ke Indonesia diperkirakan pada permulaan tarih Masehi.
Maka terjadilah perpaduan kebudayaan Hindu dengan Indonesia termasuk astronomi/ astrologinya yang ada di Bali dikenal dengan sebutan Wariga. Mungkin nama lengkapnya adalah Wariga Dewasa, lalu disingkat dengan sebutan Wariga saja.
Di Bali ada juga lontar Wariga yang bernama Bhagawan Garga. Di samping itu banyak lontar-lontar Wariga di Bali yang isinya sesuai dengan astronomi/ astrologi Hindu. Suatu bukti bahwa Wariga di Bali pada umumnya banyak mendapat pengaruh Hindu.
Maka dalam pendidikan Agama Hindu mengajarkan tiga kerangka dalam agama Hindu, yaitu Tattwa, Susila, Upacara. Upacara Agama Hindu meliputi pengetahuan tentang yadnya, hari-hari suci atau pedewasan, orang-orang suci, bangunan-bangunan suci dan sebagainya. Pengetahuan tentang hari-hari suci atau pedewasan, hal ini dapat dipelajari melalui pengetahuan Wariga.
Pada hakekatnya pengetahuan Wariga itu, bukan saja mempelajari tentang hari-hari suci (baik) untuk kepentingan upacara, tetapi juga mempelajari tentang pesasihan, pawukon, wawaran, dadawuhan, tanggal dan panglong, pakarman dan segala sesuatu yang diakibatkan oleh sifat atau pengaruhnya bintang-bintang.
Wariga, menurut arti kata bahasa ialah: Wari = wara = uttama, wari = wara = warah = petunjuk = penuntun. Ga = gerak = jalan = perbuatan.
Menurut kamus Bali, wariga adalah tentang perhitungan baik buruknya hari, sedangkan menurut kamus Jawa Kuna – Indonesia karya L. Mardiwarsito, wariga adalah juru nujum, bertugas mencari hari/ saat yang baik untuk berbagai keperluan di desa.
Ada pula berpendapat lain, bahwa wariga adalah suatu ilmu tentang baik buruknya bagi suatu pekerjaan kegiatan atau yadnya, agar memperoleh keselamatan segala upacara yang kita lakukan.
Misalnya saat menanam sesuatu yang berhubungan dengan upacara, mereka menanamnya pada hari baik, dawuh (waktu), karena tanaman yang ditanam itu mengandung tanaman sakral (bertuah) untuk upacara.
Di Bali untuk penanaman tumbuhan tradisional banyak sekali dilakukan oleh masyarakat Bali, terutama tanaman yang digunakan untuk upacara adat.
Kita banyak memiliki naskah atau lontar yang berisi berbagai ilmu pengetahuan termasuk ilmu pengetahuan penanaman tumbuhan sakral dengan menanamnya memakai dewasa yang tepat dan aturan-aturan jarak penanamannya memakai hitungan.
Sebenarnya sudah dari zaman dulu dilaksanakan oleh leluhur kita bila akan menanam suatu tumbuhan misalnya: penanaman padi di hari Senin wage diikuti dengan mantramnya:
Kalau kita menanam pohon kelapa ada hitungannya: nyuh, tubuh, sander kilap, nyuh. Tanam kelapa 1 buah atau empat buah sekali tanam kena hitungan nyuh, kalau 2 buah kena hitungan tubuh, ini berarti pohon kelapa itu tidak akan berbuah, begitu pula menanam 3 buah, pohon kelapa itu akan kena (disambar) petir.
Contoh yang lain menanam bagian: akah, punya, don, dan buah ini memakai urip sapta wara + Panca Wara.
Urip Sapta Wara + Urip Panca Wara
7,11,15 = Don (daun) contoh: sirih, tembakau, dll.
8, 12,16 = buah contoh: kelapa, mangga, padi, dll.
9,13,17 = Akah (akar) contoh: kencur, lengkuas, kunir, dll.
10,14,18 = punya (batang) contoh: ketela pohon, ketela rambat, dll.
Beginilah kesakralan tanaman yang ditanam oleh umat Hindu di Bali, dan apapun yang ditanam harus melalui wariga yang ada kaitannya untuk upacara adat.
Tetapi di abad sekarang ini (dalam globalisasi) banyak umat Hindu di Bali khususnya, dan Hindu di Indonesia umumnya sedikit/ tidak memakai/ memahami Pedewasan Wariga. Kadang-kadang yang melaksanakan suatu upacara menurut kondisi dan situasi setempat (desa, kala, patra).
Di sini perlu kiranya saya menghimbau pada umat/ generasi muda Hindu yang ada di Bali, marilah kita kembali belajar dan melaksanakan sesuatu upacara dengan Padewasan Wariga. Karena sejarah wariga sudah berabad-abad berkembang sampai sekarang ini, yang masih kita warisi serta lestarikan terutama di Bali.
Planet | di India | di Bali | di Indonesia |
Matahari | Ravi | Redite/ Raditya | Minggu |
Bulan | Candra | Coma/ Soma | Senen |
Mars | Kuja/ Manggala | Anggara | Selasa |
Mercurius | Bhuda | Buda | Rabu |
Jupiter | Guru/ Brahaspati | Wraspati | Kamis |
Venus | Bhrigu/ Sukra | Sukra | Jumat |
Saturnus | Sani | Saniscara | Sabtu |
Diperkirakan pada abad IV atau V Masehi di India telah tersusun buku-buku mengenai astronomi/ astrologi yang disebut Panca Siddhanta:
- Surya Siddhanta
- Pitamaha Siddhanta
- Wasistha Siddhanta
- Pauli Siddhanta
- Romaka Siddhanta
Bhagawan Gargalah pada mulanya sebagai pengemban dan penyebar ilmu ini. Konon beliau pernah memberikan pelajaran kepada orang-orang Yunani tentang astronomi/ astrologi pada abad I sebelum Masehi.
Oleh karena Jyotisa Wedangga itu merupakan pelengkap Weda yang berarti tak dapat dipisahkan dari agama, maka dalam penyebarannya selalu bersama-sama dengan penyebaran agama Hindu. Pengaruh Hindu datang ke Indonesia diperkirakan pada permulaan tarih Masehi.
Maka terjadilah perpaduan kebudayaan Hindu dengan Indonesia termasuk astronomi/ astrologinya yang ada di Bali dikenal dengan sebutan Wariga. Mungkin nama lengkapnya adalah Wariga Dewasa, lalu disingkat dengan sebutan Wariga saja.
Di Bali ada juga lontar Wariga yang bernama Bhagawan Garga. Di samping itu banyak lontar-lontar Wariga di Bali yang isinya sesuai dengan astronomi/ astrologi Hindu. Suatu bukti bahwa Wariga di Bali pada umumnya banyak mendapat pengaruh Hindu.
Maka dalam pendidikan Agama Hindu mengajarkan tiga kerangka dalam agama Hindu, yaitu Tattwa, Susila, Upacara. Upacara Agama Hindu meliputi pengetahuan tentang yadnya, hari-hari suci atau pedewasan, orang-orang suci, bangunan-bangunan suci dan sebagainya. Pengetahuan tentang hari-hari suci atau pedewasan, hal ini dapat dipelajari melalui pengetahuan Wariga.
Pada hakekatnya pengetahuan Wariga itu, bukan saja mempelajari tentang hari-hari suci (baik) untuk kepentingan upacara, tetapi juga mempelajari tentang pesasihan, pawukon, wawaran, dadawuhan, tanggal dan panglong, pakarman dan segala sesuatu yang diakibatkan oleh sifat atau pengaruhnya bintang-bintang.
Wariga, menurut arti kata bahasa ialah: Wari = wara = uttama, wari = wara = warah = petunjuk = penuntun. Ga = gerak = jalan = perbuatan.
Menurut kamus Bali, wariga adalah tentang perhitungan baik buruknya hari, sedangkan menurut kamus Jawa Kuna – Indonesia karya L. Mardiwarsito, wariga adalah juru nujum, bertugas mencari hari/ saat yang baik untuk berbagai keperluan di desa.
Ada pula berpendapat lain, bahwa wariga adalah suatu ilmu tentang baik buruknya bagi suatu pekerjaan kegiatan atau yadnya, agar memperoleh keselamatan segala upacara yang kita lakukan.
PERANAN WARIGA BALI TERHADAP PENGGUNAAN TANAMAN UNTUK UPACARA ADAT
Di lingkungan masyarakat Hindu yang ada di Bali segala yang diperbuat/ dikerjakan selalu memakai hari yang baik.Misalnya saat menanam sesuatu yang berhubungan dengan upacara, mereka menanamnya pada hari baik, dawuh (waktu), karena tanaman yang ditanam itu mengandung tanaman sakral (bertuah) untuk upacara.
Di Bali untuk penanaman tumbuhan tradisional banyak sekali dilakukan oleh masyarakat Bali, terutama tanaman yang digunakan untuk upacara adat.
Kita banyak memiliki naskah atau lontar yang berisi berbagai ilmu pengetahuan termasuk ilmu pengetahuan penanaman tumbuhan sakral dengan menanamnya memakai dewasa yang tepat dan aturan-aturan jarak penanamannya memakai hitungan.
Sebenarnya sudah dari zaman dulu dilaksanakan oleh leluhur kita bila akan menanam suatu tumbuhan misalnya: penanaman padi di hari Senin wage diikuti dengan mantramnya:
OM ANA RSI GANA MATANYA BANG DUMILAH I LANG AKENA WIGHNANING PARI OMArtinya: Hyang Widhi yang menjadi Rsi Gana (Putra Hyang Siwa) mempunyai mata merah yang bersinar cemerlang, basmi (hilangkan) segala hama yang merusak padi kami, Oh Hyang Widhi.
Kalau kita menanam pohon kelapa ada hitungannya: nyuh, tubuh, sander kilap, nyuh. Tanam kelapa 1 buah atau empat buah sekali tanam kena hitungan nyuh, kalau 2 buah kena hitungan tubuh, ini berarti pohon kelapa itu tidak akan berbuah, begitu pula menanam 3 buah, pohon kelapa itu akan kena (disambar) petir.
Contoh yang lain menanam bagian: akah, punya, don, dan buah ini memakai urip sapta wara + Panca Wara.
Urip Sapta Wara | Urip Panca Wara |
Redite (Minggu) = 2 Coma (Senin) = 4 Anggara (Selasa) = 3 Buda (Rabu) = 7 Wrespati (Kamis) = 8 Sukra (Jumat) = 6 Saniscara (Sabtu) = 9 |
Umanis = 5 Paing = 9 Pon = 7 Wage = 4 Kliwon = 8 |
7,11,15 = Don (daun) contoh: sirih, tembakau, dll.
8, 12,16 = buah contoh: kelapa, mangga, padi, dll.
9,13,17 = Akah (akar) contoh: kencur, lengkuas, kunir, dll.
10,14,18 = punya (batang) contoh: ketela pohon, ketela rambat, dll.
Beginilah kesakralan tanaman yang ditanam oleh umat Hindu di Bali, dan apapun yang ditanam harus melalui wariga yang ada kaitannya untuk upacara adat.
Tetapi di abad sekarang ini (dalam globalisasi) banyak umat Hindu di Bali khususnya, dan Hindu di Indonesia umumnya sedikit/ tidak memakai/ memahami Pedewasan Wariga. Kadang-kadang yang melaksanakan suatu upacara menurut kondisi dan situasi setempat (desa, kala, patra).
Di sini perlu kiranya saya menghimbau pada umat/ generasi muda Hindu yang ada di Bali, marilah kita kembali belajar dan melaksanakan sesuatu upacara dengan Padewasan Wariga. Karena sejarah wariga sudah berabad-abad berkembang sampai sekarang ini, yang masih kita warisi serta lestarikan terutama di Bali.
KESIMPULAN:
1. Dari pengetahuan Wariga kita mengenal
tentang pengaruh benda-benda langit pada dunia, begitu pula tentang
sejarah lahirnya Wariga. Dalam Reg Weda dan Yayur Weda terdapat uraian
yang menyangkut astronomi/ astrologi (ilmu Perbintangan).
2. Dalam buku-buku yang disalin dari
lontar banyak ragamnya menyebutkan hari-hari baik untuk melaksanakan
upacara Yadnya; kawin, pembersihan diri, Dewa Yadnya, Pitra Yadnya dan
lain-lainnya.
3. Banyak wariga yang menyebutkan bahwa
untuk menanam tumbuhan yang tradisional atau sakral agar memakai hari
baik, dawuh (waktu) yang tepat untuk menanamnya.
Tetapi banyak dari kita tidak peduli
mengenai hal itu, mari kita sadari itu, mulai sekarang apa yang kita
tanam adalah tanaman yang berguna untuk upacara adat.
Demikianlah penyajian ini, melalui
beberapa kutipan dari pakar-pakar yang banyak mempelajari tentang wariga
dan dari beberapa wariga kepustakaan.
KEPUSTAKAAN:
- Reg Weda Mandala I, IX, X
- Wariga Bhagawan Gargha
- Wariga Palalubangan
- Wariga Pamujan Uku
- Wariga Palalitangan (khusus untuk kelahiran/ pewatakan) yang disusun oleh W.B. Wisna.
- Wariga Dewasa oleh Sri Rshi Anandakusuma
- Wariga Candragni
- Wariga Panca Kanda I
- Wariga Panca Kanda II
- Wariga Parembon
- Wariga
- Wariga Parasesyan
- Wariga Bhasa Eka Laswya
- Wariga Candra Praleka (Khusus ilmu perbintangan)
- Wariga Rsi Garga
- Wariga Sundari Gading
- Wariga Dewasa disusun oleh I Wayan Gina
- Kalender 301 Tahun disusun oleh Tjokorda Rai Sudharta, M.A.
- Pedewasan Wariga disusun oleh Ida Bagus Pidada Adnyana
- Diklat Wariga disusun oleh I Made Negara
- Buku-buku yang lain yang ada kaitannya dengan astronomi/ astrologi.
- Wariga Gemet
- Manawa Dharma Sastra.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar