Senin, 19 Agustus 2013

Peranan Wariga Bali Pada Tanaman

Peranan Wariga Bali Pada Tanaman Untuk Upacara Adat dan Agama

Pengetahuan Wariga adalah pengetahuan tentang Dewasa (Dewa = Jiwa = Cahaya = Sinar = Teja), yaitu pengaruh cahaya benda-benda angkasa terutama bintang.
Surya Koti berarti ratusan ribu bintang, matahari, melalui sinar yang dipancarkannya dari angkasa raya, dapat mempengaruhi kehidupan mahluk dunia, terutama kehidupan manusia.
Pengetahuan tentang bintang, yaitu Ilmu Falak atau Astronomi bersumber dari India, diajarkan oleh para yogi yang sudah memiliki pandangan tajam, pandangan suci.
Kitab-kitab yang bersumber dari pustaka suci Weda, antara lain: Adi Parwa, Bhawana Mabah, Sundari Bungkah, menerangkan bahwa sebelum ada matahari, bulan, dan bintang serta benda-benda langit lainnya semuanya hanya berwujud kabut, dan pada zaman itu kehancuranlah yang menguasai semuanya, dan zaman itu disebut zaman pralaya.
Unsur-unsur atau elemen-elemen yang disebut Panca Mahabutha, yaitu pertiwi, apah, bayu, teja, dan akasa, semuanya hancur dan mengabut (menjadi kabut serta manunggal dan bersenyawa) sehingga terjadilah letusan-letusan yang dahsyat tak berkeputusan, karena unsur teja memiliki kekuatan panas bersuhu +/- 6000 derajat Celsius, menghancurkan serta menghanguskan keempat zat-zat lainnya.
Dapat dibayangkan seberapa deras aliran kabut yang dalam keadaan bergolak pada zaman mahapralaya itu.
Para ahli berpendapat bahwa sebelum terjadi mahapralaya sudah pernah ada dunia, bintang-bintang, dan benda-benda langit lainnya.
Setelah sekian lama terjadi masa pralaya, kemudian masing-masing elemen mengadakan hubungan sejenis, sehingga terjadilah lima kelompok teja yang menciptakan surya (yang dalam ajaran Hindu dipakai sampai sekarang sebagai saptawara).
Dalam pada itu keempat unsur-unsur zat lainnya dan sedikit campuran unsur teja memisahkan diri. Panasnya makin lama makin berkurang, dari kabut yang panas akhirnya menjadi kabut yang dingin kemudian mencair, memadat, dan akhirnya terciptalah misalnya bumi, planet-planet, dan satelit-satelit lainnya.
Karena unsur teja selalu ingin menuju surya, yaitu kumpulan teja, sedangkan keempat unsur lainnya selalu menjauhkan diri dari teja maka terjadilah gerakan tarik menarik yang mengakibatkan putaran kadang-kadang letusan sampai sekarang (terjadinya meteor).
Di lain pihak, karena planet bumi beredar terjadilah perubahan iklim, perubahan musim. Iklim dan musim berbeda-beda di tiap bagian dunia dan tempat menurut letak atau jarak antara bumi dengan matahari.
Pada waktu setelah dunia (bumi) ada isinya terutama mahluk hidup yang paling utama adalah manusia, menurut ajaran Hindu pada pustaka suci menyebutkan terjadinya dua zaman, yaitu zaman Ketu dan zaman Rau, yang kisahnya sebagai berikut:
Tersebutlah Sanghyang Sandhi Reka beryoga, maka terciptalah Sanghyang Ekajalarsi. Kemudian Sanghyang Ekajalarsi beryoga maka terciptalah Dwi Sanghyang, yaitu Sanghyang Ketu dan Sanghyang Rau.
Sanghyang Ketu beryoga maka terciptalah yang serba terang segala yang bersifat Dewa, segala yang baik, utama, dan mulia. Dharmatattwa dan aksara suci juga segala tattwa wariga.
Berbeda dengan yoganya Sanghyang Rau, yang diciptakannya adalah segala yang gelap, semua yang bersifat bhuta, bhuti yaksa, yaksi, sarwa dengen, dan adharmatattwa.
Ternyata ciptaan Sanghyang Ketu dan Sanghyang Rau tentang sifat-sifat ciptaannya itu sangat berbeda dan berlawanan, maka alam semesta inipun dipenuhi oleh sifat-sifat yang baik dan buruk, benar dan salah, terang dan gelap.
Hal ini berjalan terus silih berganti dengan tak berkeputusan sepanjang zaman dan sangat mempengaruhi kehidupan manusia misalnya pengaruh waktu siang dan malam. Ternyata bahwa Sanghyang Ketu dan Sanghyang Rau memegang peranan sangat penting selama peredaran waktu dan zaman.
Tiap-tiap zaman lama waktunya berbeda-beda, zaman besar waktunya lama sekali, zaman kecil waktunya sangat singkat sedangkan zaman madya lama waktunya berada diantara zaman besar dan zaman kecil, misalnya lingkaran siang dan malam lamanya 24 jam, triwara lama waktunya tiga hari dan lima malam, dan demikian seterusnya.
Penting untuk dimaklumi bahwa sifat atau watak dari berbagai zaman (zaman besar atau zaman kecil) adalah sama saja, sama-sama mengandung unsur-unsur baik dan buruk.
Menurut astronomi India, beberapa planet dijadikan nama-nama hari:
Planet di India di Bali di Indonesia
Matahari Ravi Redite/ Raditya Minggu
Bulan Candra Coma/ Soma Senen
Mars Kuja/ Manggala Anggara Selasa
Mercurius Bhuda Buda Rabu
Jupiter Guru/ Brahaspati Wraspati Kamis
Venus Bhrigu/ Sukra Sukra Jumat
Saturnus Sani Saniscara Sabtu
Nama-nama sasih juga mengambil pedoman dari nama-nama kelompok bintang yang disebut Naksatra. Dari 27 kelompok, 12 diantaranya dijadikan nama sasih (bulan): 1. Sravana, 2. Bhadrapada, 3. Asvina, 4. Kartika, 5. Margasira, 6. Pausha, 7. Magha, 8. Phalguna, 9. Chaitra, 10. Vaisakha, 11. Jyestaha, 12. Asadha.
Diperkirakan pada abad IV atau V Masehi di India telah tersusun buku-buku mengenai astronomi/ astrologi yang disebut Panca Siddhanta:
  1. Surya Siddhanta
  2. Pitamaha Siddhanta
  3. Wasistha Siddhanta
  4. Pauli Siddhanta
  5. Romaka Siddhanta
Di samping Panca Siddhanta, ada lagi Arya Siddhanta, Wyasa Siddhanta, Atri Siddhanta, Parasara Siddhanta.Demikianlah perkembangan dan kemajuan astronomi/ astrologi (Jyotisa Wedangga) yang sejak ribuan tahun sebelum Masehi menyebar ke seluruh pelosok dunia (banyak sekali orang-orang manca negara yang mempelajari masalah Wariga di Bali).
Bhagawan Gargalah pada mulanya sebagai pengemban dan penyebar ilmu ini. Konon beliau pernah memberikan pelajaran kepada orang-orang Yunani tentang astronomi/ astrologi pada abad I sebelum Masehi.
Oleh karena Jyotisa Wedangga itu merupakan pelengkap Weda yang berarti tak dapat dipisahkan dari agama, maka dalam penyebarannya selalu bersama-sama dengan penyebaran agama Hindu. Pengaruh Hindu datang ke Indonesia diperkirakan pada permulaan tarih Masehi.
Maka terjadilah perpaduan kebudayaan Hindu dengan Indonesia termasuk astronomi/ astrologinya yang ada di Bali dikenal dengan sebutan Wariga. Mungkin nama lengkapnya adalah Wariga Dewasa, lalu disingkat dengan sebutan Wariga saja.
Di Bali ada juga lontar Wariga yang bernama Bhagawan Garga. Di samping itu banyak lontar-lontar Wariga di Bali yang isinya sesuai dengan astronomi/ astrologi Hindu. Suatu bukti bahwa Wariga di Bali pada umumnya banyak mendapat pengaruh Hindu.
Maka dalam pendidikan Agama Hindu mengajarkan tiga kerangka dalam agama Hindu, yaitu Tattwa, Susila, Upacara. Upacara Agama Hindu meliputi pengetahuan tentang yadnya, hari-hari suci atau pedewasan, orang-orang suci, bangunan-bangunan suci dan sebagainya. Pengetahuan tentang hari-hari suci atau pedewasan, hal ini dapat dipelajari melalui pengetahuan Wariga.
Pada hakekatnya pengetahuan Wariga itu, bukan saja mempelajari tentang hari-hari suci (baik) untuk kepentingan upacara, tetapi juga mempelajari tentang pesasihan, pawukon, wawaran, dadawuhan, tanggal dan panglong, pakarman dan segala sesuatu yang diakibatkan oleh sifat atau pengaruhnya bintang-bintang.
Wariga, menurut arti kata bahasa ialah: Wari = wara = uttama, wari = wara = warah = petunjuk = penuntun. Ga = gerak = jalan = perbuatan.
Menurut kamus Bali, wariga adalah tentang perhitungan baik buruknya hari, sedangkan menurut kamus Jawa Kuna – Indonesia karya L. Mardiwarsito, wariga adalah juru nujum, bertugas mencari hari/ saat yang baik untuk berbagai keperluan di desa.
Ada pula berpendapat lain, bahwa wariga adalah suatu ilmu tentang baik buruknya bagi suatu pekerjaan kegiatan atau yadnya, agar memperoleh keselamatan segala upacara yang kita lakukan.

PERANAN WARIGA BALI TERHADAP PENGGUNAAN TANAMAN UNTUK UPACARA ADAT
Di lingkungan masyarakat Hindu yang ada di Bali segala yang diperbuat/ dikerjakan selalu memakai hari yang baik.
Misalnya saat menanam sesuatu yang berhubungan dengan upacara, mereka menanamnya pada hari baik, dawuh (waktu), karena tanaman yang ditanam itu mengandung tanaman sakral (bertuah) untuk upacara.
Di Bali untuk penanaman tumbuhan tradisional banyak sekali dilakukan oleh masyarakat Bali, terutama tanaman yang digunakan untuk upacara adat.
Kita banyak memiliki naskah atau lontar yang berisi berbagai ilmu pengetahuan termasuk ilmu pengetahuan penanaman tumbuhan sakral dengan menanamnya memakai dewasa yang tepat dan aturan-aturan jarak penanamannya memakai hitungan.
Sebenarnya sudah dari zaman dulu dilaksanakan oleh leluhur kita bila akan menanam suatu tumbuhan misalnya: penanaman padi di hari Senin wage diikuti dengan mantramnya:
OM ANA RSI GANA MATANYA BANG DUMILAH I LANG AKENA WIGHNANING PARI OM
Artinya: Hyang Widhi yang menjadi Rsi Gana (Putra Hyang Siwa) mempunyai mata merah yang bersinar cemerlang, basmi (hilangkan) segala hama yang merusak padi kami, Oh Hyang Widhi.
Kalau kita menanam pohon kelapa ada hitungannya: nyuh, tubuh, sander kilap, nyuh. Tanam kelapa 1 buah atau empat buah sekali tanam kena hitungan nyuh, kalau 2 buah kena hitungan tubuh, ini berarti pohon kelapa itu tidak akan berbuah, begitu pula menanam 3 buah, pohon kelapa itu akan kena (disambar) petir.
Contoh yang lain menanam bagian: akah, punya, don, dan buah ini memakai urip sapta wara + Panca Wara.
Urip Sapta Wara Urip Panca Wara
Redite (Minggu) = 2
Coma (Senin) = 4
Anggara (Selasa) = 3
Buda (Rabu) = 7
Wrespati (Kamis) = 8
Sukra (Jumat) = 6
Saniscara (Sabtu) = 9
Umanis = 5
Paing = 9
Pon = 7
Wage = 4
Kliwon = 8
Urip Sapta Wara + Urip Panca Wara
7,11,15 = Don (daun) contoh: sirih, tembakau, dll.
8, 12,16 = buah contoh: kelapa, mangga, padi, dll.
9,13,17 = Akah (akar) contoh: kencur, lengkuas, kunir, dll.
10,14,18 = punya (batang) contoh: ketela pohon, ketela rambat, dll.
Beginilah kesakralan tanaman yang ditanam oleh umat Hindu di Bali, dan apapun yang ditanam harus melalui wariga yang ada kaitannya untuk upacara adat.
Tetapi di abad sekarang ini (dalam globalisasi) banyak umat Hindu di Bali khususnya, dan Hindu di Indonesia umumnya sedikit/ tidak memakai/ memahami Pedewasan Wariga. Kadang-kadang yang melaksanakan suatu upacara menurut kondisi dan situasi setempat (desa, kala, patra).
Di sini perlu kiranya saya menghimbau pada umat/ generasi muda Hindu yang ada di Bali, marilah kita kembali belajar dan melaksanakan sesuatu upacara dengan Padewasan Wariga. Karena sejarah wariga sudah berabad-abad berkembang sampai sekarang ini, yang masih kita warisi serta lestarikan terutama di Bali.
KESIMPULAN:
1. Dari pengetahuan Wariga kita mengenal tentang pengaruh benda-benda langit pada dunia, begitu pula tentang sejarah lahirnya Wariga. Dalam Reg Weda dan Yayur Weda terdapat uraian yang menyangkut astronomi/ astrologi (ilmu Perbintangan).
2. Dalam buku-buku yang disalin dari lontar banyak ragamnya menyebutkan hari-hari baik untuk melaksanakan upacara Yadnya; kawin, pembersihan diri, Dewa Yadnya, Pitra Yadnya dan lain-lainnya.
3. Banyak wariga yang menyebutkan bahwa untuk menanam tumbuhan yang tradisional atau sakral agar memakai hari baik, dawuh (waktu) yang tepat untuk menanamnya.
Tetapi banyak dari kita tidak peduli mengenai hal itu, mari kita sadari itu, mulai sekarang apa yang kita tanam adalah tanaman yang berguna untuk upacara adat.
Demikianlah penyajian ini, melalui beberapa kutipan dari pakar-pakar yang banyak mempelajari tentang wariga dan dari beberapa wariga kepustakaan.
KEPUSTAKAAN:
  1. Reg Weda Mandala I, IX, X
  2. Wariga Bhagawan Gargha
  3. Wariga Palalubangan
  4. Wariga Pamujan Uku
  5. Wariga Palalitangan (khusus untuk kelahiran/ pewatakan) yang disusun oleh W.B. Wisna.
  6. Wariga Dewasa oleh Sri Rshi Anandakusuma
  7. Wariga Candragni
  8. Wariga Panca Kanda I
  9. Wariga Panca Kanda II
  10. Wariga Parembon
  11. Wariga
  12. Wariga Parasesyan
  13. Wariga Bhasa Eka Laswya
  14. Wariga Candra Praleka (Khusus ilmu perbintangan)
  15. Wariga Rsi Garga
  16. Wariga Sundari Gading
  17. Wariga Dewasa disusun oleh I Wayan Gina
  18. Kalender 301 Tahun disusun oleh Tjokorda Rai Sudharta, M.A.
  19. Pedewasan Wariga disusun oleh Ida Bagus Pidada Adnyana
  20. Diklat Wariga disusun oleh I Made Negara
  21. Buku-buku yang lain yang ada kaitannya dengan astronomi/ astrologi.
  22. Wariga Gemet
  23. Manawa Dharma Sastra.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar