Sifat
perilaku kebanyakan orang Bali yang tidak suka menonjolkan diri,
menunjukkan kelebihan, apalagi bertingkah sombong, mungkin didasari
kesadaran penuh pada hakekat ke-Tuhan-an yang maha kuasa di mana ada
unsur keyakinan bahwa apapun yang dimiliki dan diketahui umat manusia
sangat tidak berarti jika dibandingkan dengan-Nya.
Tetua di jaman lampau suka menasihati
anak-anak agar selalu bersikap, berkata dan berpikir sederhana, tidak
mengada-ada, tersirat dari lagu anak-anak:
“de ngaden awak bisa, ndepang anake ngadanin, gaginane bukah nyampat, anak sai tumbuh luhu, ilang luhu ebuk katah, wiadin ririh liu enu pelajahin”
Artinya: … “jangan mengira dirimu serba
bisa, biarkan orang lain yang menilai, kerja bagaikan menyapu, karena
selalu ada sampah, hilang sampah masih ada debu yang banyak, andaikan
pintar masih banyak yang perlu dipelajari”.
Perilaku sederhana seperti itu pula
mendorong mereka untuk lebih banyak mengalah daripada gigih
berkompetisi. Selanjutnya menunjukkan sikap toleransi tinggi, selalu
memikirkan kepentingan dan perasaan orang lain. Ingin hidup damai,
tenang, dan seia sekata dalam paguyuban kemasyarakatan.
Inti sari filsafat dalam itihasa
Mahabharata dan Ramayana yang sering diungkapkan dalam kidung, kekawin,
dan pementasan wayang menanamkan keyakinan bahwa sesuatu yang adharma
pasti akan kalah dan hancur, walaupun pada mulanya tampak akan berjaya.
Sebaliknya dharma pasti akan menang walaupun awalnya tercabik-cabik.
Dewa-Dewa pun memihak pada dharma,
sedangkan Raksasa berada di seberang. Manusia yang memihak Dewa akan
menuju sorga, sedangkan yang suka Raksasa akan menuju neraka. Selain itu
kisah-kisah semacam Jayaprana, ceritra I Bawang – I Kesuna, I Siap
Badeng, Cerukcuk Punyah, dan lain-lain, semuanya menghargai dan membela
kebenaran.
Orang Bali umumnya sabar, bisa
mengendalikan diri. Hal-hal yang mengecewakan atau tidak memuaskan
dipendam dalam hati. Sepanjang sejarah hal ini telah terbukti.
Dahulu, pada abad ke-17 banyak pekerja
asal Bali dijualbelikan sebagai budak oleh raja-raja mereka. Ada yang
terpaksa meninggalkan keluarga, anak dan istri selama-lamanya karena
tunduk pada titah raja dijual sebagai budak ke luar Bali.
Itulah asal mula adanya kampung Bali di
Jakarta, dan Desa Kebalen di Jawa, sebagai sentra pemukiman budak asal
Bali dahulu kala. Kejadian di zaman sekarang, tengoklah “Bom Kuta –
Bali” yang demikian hebat membawa korban jiwa dan memporak-porandakan
turisme yang menjadi andalan penghasilan penduduk.
Di Koran kemudian tersiar berita bahwa
para pelaku ledakan bom yang divonis mati, belum juga dieksekusi, bahkan
tujuh belas Agustus yang lalu para pelaku mendapat remisi. Orang Bali
tetap sabar dan menyerahkan sepenuhnya kasus itu pada pemerintah.
Di bidang pendapatan daerah, imbalan
bantuan pemerintah pusat kepada Bali tidak sesuai dengan sumbangan
pendapatan devisa baik berupa pendapatan bisnis maupun pajak. Berbagai
ketidakadilan nampak dengan jelas di pelupuk mata.
Bali yang kaya raya dengan beragam seni
budaya, yang menarik kunjungan jutaan wisman tetap saja miskin karena
keuntungan dari industri pariwisata yang dinikmati pemerintah pusat
tidak dibagikan secara proporsional ke daerah.
Sarana dan prasarana masih ketinggalan
jaman dibanding dengan kota-kota di Jawa. Orang Bali masih tetap sulit
mendapat lapangan kerja karena investasi tidak diarahkan ke Bali.
“Belog – polos” ungkapan yang sekarang
terasa kurang enak, tidak mau diterima oleh kalangan muda-mudi. Mereka
mungkin mengira kata “belog” = bodoh, dan “polos” = lugu. Sebenarnya
tidak demikian.
Belog – polos mempunyai satu pengertian
tentang pola pikir, ucapan, dan perilaku yang sederhana, jujur, tidak
mementingkan diri sendiri, dan menjunjung nilai-nilai spiritual utama
seperti yang diungkapkan di atas.
Walaupun demikian, kesabaran, dan
kekuatan memendam rasa tidak puas dan ketidakadilan pada orang-orang
Bali ternyata ada batasnya. Sejarah pula mencatat pemberontakan Untung
Suropati, pemuda Bali yang menjadi budak di Pasuruan. Perang Puputan
Jagaraga, Klungkung, dan Badung. Kepahlawanan Ngurah Rai, Wisnu, Gempol,
Kajeng, dan kawan-kawan mereka melawan penjajah.
Penumpasan PKI/G-30-S melawan
kebathilan, dan banyak lagi kasus-kasus lainnya yang tidak mencuat ke
permukaan, menyangkut perlawanan pada hal-hal yang beraroma adharma.
Bagaikan aliran sungai yang terbendung,
suatu ketika bendungnya jebol, banjir dahsyat meluap, dan membinasakan
sekitarnya. Orang Bali bahkan tidak takut mengorbankan nyawa bila tekad
mereka sudah menggumpal.
Kini, kaum cendekiawan Bali mulai
berpikir dan berbicara soal Bali di masa depan. Tetapkah Hindu dalam
artian agama dan budayanya masih bisa dipertahankan? Apa pula upaya kita
melindungi dan mengembangkan ke-Hindu-an? Bagaimana nasib anak-cucu
kita kemudian? Masihkah kesucian tanah Bali ajeg?
Diskusi pun ramai, di Kampus, di Balai
Banjar, di Geria para Sulinggih, di Pura, di pertemuan paguyuban warga/
soroh, di pemerintahan, di radio/ televisi, di koran, di mana saja orang
bertemu bahkan di dunia maya seperti website Hindu-Dharma Net, Babad
Bali, Hindu Reform, dll.
Selain itu organisasi-organisasi
ke-Hinduan muncul bak cendawan di musim hujan, dalam bentuk organisasi
pemuda, mahasiswa, LSM, dll.
Bagus! Menggembirakan! Menambah
semangat! Itu tanda-tanda kita peduli pada diri kita sendiri. Logis dan
smart, jika bukan kita yang mengurus diri sendiri, lalu siapa?
Mungkinkah suku lain yang memikirkannya, sementara orang Bali tidur
ayem-ayem?
Sudah waktunya orang Bali unjuk gigi.
Belog – Polos boleh-boleh saja namun ada batasnya dan jangan terlalu
lama menahan ketidakpuasan, jangan terlalu lama membiarkan adharma
mencabik-cabik kita, jangan pula membiarkan pihak-pihak tertentu
“ngerjain” Bali.
Bangkitlah dan berjuanglah, karena jika
tidak demikian kita akan tertinggal dan terlanggar oleh derasnya arus
atau “rush”. Kita akan diinjak-injak, misalnya ada pejabat tinggi negara
yang seenaknya ngomong meremehkan Bali.
Mungkin dalam pikirannya kita ini
dianggap suku yang paling mudah diatur, paling penurut, paling penakut,
paling “koh-ngomong”. Maka segera perkuat konsolidasi ke dalam, artinya
bina, pupuk, dan kembangkan rasa kesatuan dan persatuan sesama umat
Hindu khususnya yang ada di Bali.
Jangan mau di-adu domba, jangan silau
dengan kemilau Rupiah atau Dollar dari suap, sogokan, pemberian, dll.,
jangan mau dirayu dengan janji-janji gombal, dan yang terpenting jangan
mau ditipu. Hanya orang bodoh saja yang mudah di tipu. Kita bukan orang
bodoh, kita sudah punya Professor, Doktor, segudang!
Kita sudah punya pejabat-pejabat tinggi
di sipil dan militer, kita sudah punya usahawan yang berhasil, kita
sudah punya kaum muda yang bersemangat. Tinggal dikoordinasikan saja.
Para pejabat dan orang-orang Bali yang “sukses” dalam karir dan ekonomi
yang ada di luar pulau Bali, mohonlah memperhatikan tanah air
leluhurnya.
Jangan berpeluk tangan, tolong ikut
memikirkan, memberi masukan, membantu perjuangan menuju kelestarian
Bali: agama, budaya, penduduk, dan alam pulau Bali. Mencintai Bali sama
juga mencintai leluhur kita sendiri, karena beliau orang Bali!
Selamat Malam
BalasHapusartikel belog dan polos, namun kenyataannya tidak demikian, kini Bali tepatnya orang bali sudah pinter dan 'nyenye' (cerewet). Kepada siapa ? kepada para pemimpin yang telah berkata mensejahterakan rakyat, namun kenyataannya lebih mensejahterakan investor (penanam modal), dimanjakan, dibela mati-matian, sedangkan rakyatnya sendiri dianggap pengganggu di tanahnya sendiri... inggih suksma
dumogi Bali semakin sejahtera secara lahir dan spiritual
om swastyastu,
BalasHapusRahajeng kecunduk ring dunia maya pak wayan. Artikel niki becik pisan, meskipun masyarakat bali sudah ada yang pintar. tetapi "Belog Polos" sampunang punah. niki anggen slogan kemanten. Ampure niki bahasa tiyang campuran he he he.