Saraswati
Hari Saraswati jatuh setiap Saniscara (Saptu), Umanis, wuku Watugunung. Dari Lontar Wariga, diketahui bahwa penetapan hari (dewasa) Saraswati atau di Bali dikenal dengan dewasa Piodalan Sanghyang Aji Saraswati
mengandung makna yang sakral sebagai berikut: Saniscara, hari baik
untuk mulai memupuk pikiran yang baik, berlaku hati-hati/waspada, dan
hari baik pula untuk mohon perlindungan Sanghyang Parama Kawi.
Saniscara (hari terakhir dari Saptawara), Umanis (awal Pancawara),
pada wuku Watugunung, merupakan hari istimewa dimana seseorang akan
mendapatkan kesenangan/kebahagiaan bila di hari itu ia bersembahyang
secara khusus memuja kemaha-kuasaan Ida Sanghyang Widhi. Wuku
Watugunung sebagai wuku terakhir dari 30 wuku sebagai symbol
pembinasaan Asuri Sampad yakni sifat-sifat keraksasaan yang
bercirikan: kemalasan, kebodohan, kerakusan dan sifat-sifat adharma
lainnya yang ada pada diri manusia.
Saraswati berasal dari kata saras artinya: sesuatu yang terus mengalir, dan wati artinya: mempunyai (sifat). Jadi Saraswati artinya: sesuatu yang bersifat terus mengalir. “Sesuatu” adalah kaprajnan (kebijakan) dan samyagjnana (pengetahuan
sempurna). Sedangkan “mengalir” diartikan sebagai dinamika tiada henti,
berkelanjutan dan berkembang. Kaprajnan dan samyagjnana adalah ilmu
pengetahuan yang tidak hanya bersifat material atau lahiriah (aparawidya) tetapi juga immaterial atau rohaniah (parawidya). Parawidya, pengetahuan tentang hakekat kebenaran Atma dan Brahma (atma-brahma widya). Kaprajnanan dan Samyagjnana mempengaruhi Buddhi pada diri manusia untuk berprilaku dharma.
Saat memuja Dewi Saraswati diperlukan
simbul atau niyasa berupa gambar atau patung wanita muda yang cantik
bertangan empat, dimana dua tangan memegang wina (alat musik), tangan
kanan memegang ganitri, dan tangan kiri memegang lontar. Berdiri di atas
burung merak dan teratai putih.
Arti dari simbul atau niyasa itu sebagai berikut: Dalam brahmawidya (teologi Hindu) Dewi Saraswati Shakti (kekuatan) Brahma. Tafsir keliru telah berkembang di masyarakat bahwa Dewi Saraswati “istri” Bhatara Brahma. Advayta Vedanta
menyatakan Brahma sebagai supreme power bersifat nirguna, sedangkan
untuk mewujudkan kekuatan dinamis dan kreatif Brahma berubah menjadi
bersifat saguna atau Shakti. Selanjutnya dalam Prasna Upanishad
disebutkan Brahma menginginkan kebahagiaan bagi ciptaan-Nya. Oleh
karena itu ada unsur kekuatan memelihara pada Shakti-Nya yang
disimbulkan sebagai wujud female (perempuan), karena perempuan
ditakdirkan mempunyai sifat-sifat dan naluri memelihara serta
melindungi.
Gambaran sebagai wanita muda yang cantik
menarik, menunjukkan kaprajnan dan samyagjnana sangat diminati,
kekal/selalu muda karena prinsip-prinsip lama selalu diperbaharui kearah
penyempurnaan. Wina, alat musik yang mendendangkan irama indah dan
teratur. Hukum Rta sebagai irama alam semesta yang indah dan teratur
seperti peredaran bumi, bulan, dan bintang. Ganitri simbul pemujaan dan
pemusatan pikiran. Lontar simbul kaprajnan dan samyagjnana. Burung merak
simbul ego yang harus ditekan atau ditaklukkan, dan teratai putih
simbul kaprajnan dan samyagjnana yang suci tidak ternoda oleh ketidak
benaran.
Linggasthana Dewi Saraswati, Aksara. Aksara adalah gambar atau simbul bunyi yang dibuat dengan goresan (lekha).
Dewi Saraswati dan Aksara, manunggal. Aksara pertama dalam Weda: OM
sehingga OM juga disebut pranawa mantra (esensi semua mantra) dan
sebagai nada Brahma. OM terbentuk dari tiga aksara (AUM) yakni: Ang, Ung, Mang, dimana ketiga aksara itu disebut pula aksara alam semesta atau hukum alam semesta karena Ang Utpatti (kelahiran), Ung sthiti (kehidupan) dan Mang pralina (kematian).
Brata Saraswati dilaksanakan dengan
upacara pemujaan yang dilakukan pada pagi hari sampai sebelum tengah
hari. Selama itu tidak diperkenankan membaca atau menulis sesuatu yang
sakral, mengingat linggastana Dewi Saraswati adalah aksara. Buku-buku,
lontar dan prasasti dihaturi sesajen berupa: Suci, pejati, daksina
lingga, pisng payasan, cane, sesayut saraswati, perangkatan
putih-kuning, dan segehan.
Banyupinaruh
Keesokan harinya atau tepatnya pada
Redite, Paing wuku Sinta hari Banyupinaruh. Wuku Sinta merupakan awal
rangkaian wuku, sehingga Redite sebagai hari pertama dari wuku pertama,
menjadi saat yang tepat untuk mulai meningkatkan pembelajaran yang
dilandasi kesucian. Dewi Saraswati dipuja sebagai Dewi yang melimpahkan
kaprajnanan dan samyagjnana.
Wujud perayaan hari Banyupinaruh berupa
mandi suci di sumber mata air atau laut, sambil membawa sesajen berupa
pejati dan kembang-kembang harum. Makna dari mandi secara khusus itu
menyadarkan diri kita sendiri agar kaprajnanan dan samyagjnana yang
telah diperoleh digunakan dijalan yang suci dan untuk tujuan yang
dharma.
Soma Ribek
Setelah Banyupinaruh, pada Soma, Pon
wuku Sinta tibalah hari Soma Ribek, dimana Bhatari Sri, Shakti Wisnu
memenuhi kebutuhan pangan manusia, terutama yang sudah melaksanakan
ajaran dan nilai-nilai luhur Saraswati. Upacara pada hari ini,
menghaturkan banten pejati pada pulu dan lumbung, atau tempat menyimpan
beras/padi sebagai tanda bhakti dan sujud kepada Sanghyang Widhi karena
telah melimpahkan kebutuhan pokok pangan.
Sabuh Mas
Keesokan harinya pada Anggara Wage wuku
Sinta, hari Sabuh Mas, yang bermakna: Sanghyang Widhi mengaruniakan
tidak hanya kebutuhan pangan, tetapi juga harta benda lain yang berguna
untuk meningkatkan taraf hidup. Umat Hindu-Bali merayakannya dengan
menghaturkan sesajen berupa canang ajuman pada benda-benda keperluan
rumah tangga, dan perhiasan emas/perak/permata.
Pagerwesi
Tibalah hari Buda, Kliwon wuku Sinta,
yang dikenal dengan nama hari Pagerwesi. Pagerwesi artinya pagar yang
kokoh dari besi. Dalam perayaan ini umat Hindu-Bali memuja Hyang
Pramesti Guru, yakni Sanghyang Widhi yang telah melimpahkan kehidupan
dan kebahagiaan kepada umat manusia.
Untuk mencapai mokshartam jagaditaya ca iti dharmah, menurut Chandogya Upanishad, manusia wajib terus-menerus berusaha mencapai kemajuan melalui para-apara widya yang menuju pada: satyam (kebenaran), siwam (kesucian) dan sundaram
(keindahan/kebahagiaan). Makna Pagerwesi adalah menjaga atau
mempertahankan agar satyam, siwam, sundaram yang telah
diperoleh/dikuasai tetap ajeg sepanjang kehidupan di dunia skala dan
niskala sunia.
Mantram pemujaan Dewi Saraswati
(Rg Veda I.3.10, I.3.11, II.41.16)
Yajnam vastu dhiyavasuh
Semoga Saraswati yang mensucikan yang amat kaya
Yang memiliki pengetahuan mendatangi persembahan hamba
—
Codayitri sunrtanam cesanti sumatinam
Yajnam dadhe Saraswati
Yang memberikan kebenaran serta yang menggugah pikiran baik
Semoga Saraswati menerima persembahan hamba
—
Amvitame naditame
Devitame Saraswati
Apra sastim amva naptkrdhi
Ibu yang paling mulia, sungai yang paling mulia
Dewi yang paling utama ya Saraswati
Hamba yang tidak mempunyai, berilah hamba kemashuran
Nasehat Saraswati
1.
Saraswati adalah “tonggak peringatan, agar kita (umat Hindu) menyadari
bahwa ilmu pengetahuan adalah sesuatu yang sangat penting untuk
meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM).
2. SDM terdiri dari dua: fisik dan non
fisik. Fisik adalah kesehatan dan kebugaran tubuh. Non-fisik adalah
“kesehatan/ kesempurnaan”: Spiritual, Emosional, dan Intelektual.
3. SDM adalah Sumber Daya utama,
melebihi pentingnya sumber daya yang lain seperti SDA (Sumber Daya
Alam), SDMod (Sumber Daya Modal), dll. Tanpa SDM, SDA dan SDMod tidak
ada artinya dan tidak dapat dimaksimalkan hasil-gunanya.
4. Kualitas SDM penting untuk mencapai
Mokshartam jagaditaya ca iti dharmah (secara individu) dan pada akhirnya
mencapai Satyam-Siwam-Sundaram (secara bersama/ kemasyarakatan).
5. Proses belajar dan pembelajaran
berlanjut sepanjang waktu selama hayat dikandung badan. Maka jangan
pernah berhenti belajar-mengajar.
6. Derajat manusia ditentukan oleh mutu SDM. Bukan karena kelahiran, kekayaan, kebangsawanan, dan tetek-bengek lainnya.
7. Veda adalah sumber segala Ilmu
Pengetahuan. Sangat ironis bila umat Hindu yang “memiliki” Veda, kok
SDM-nya lemah! Nah, bangkit, bangkit, bangkit, bangkit! Jangan tidur.
8. Mau badan sehat,bugar, ada YOGA; mau
pintar, ada RGVEDA, SAMAVEDA, YAYURVEDA, ATHARVAVEDA; mau suci dan dekat
dengan-Nya, ada meditasi. Nah mau apa lagi?
9. Jangan “Koh Ngomong”, jangan lagi
nyanyi: “De ngaden awak bisa, ndepang anake ngadanin…” Yang lebih
penting, kurangi tidur. Baca, belajar, berbuat, ngomong, nulis, dan…
sembahyang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar