Minggu, 01 September 2013

Kidung dan Gamelan



Kidung dan Gamelan
Saya mengutip tulisan dari seorang tokoh/ pakar dalam hal ini, yaitu: I Gusti Bagus Sugriwa (alm) di mana beliau merumuskan bahwa “nyanyian” atau “tembang” di Jawa dan di Bali mempunyai kemiripan, dapat digolongkan dalam empat kategori:
  1. Gegendingan (Bali) atau Dolanan (Jawa).
  2. Pupuh (Bali) atau Macapat, Sekar Alit (Jawa).
  3. Kidung (Bali) atau Sekar Madya (Jawa),
  4. Kakawin (Bali) atau Sekar Agung (Jawa).
Gegendingan digunakan bukan untuk mendukung upacara, tetapi lebih bersifat hiburan, dan dewasa ini gegendingan sudah banyak menggunakan irama pop dijual dalam bentuk kaset ada yang berbahasa Bali ada yang bahasa Indonesia.
Pupuh, Kidung, dan Kakawin adalah untuk mendukung suatu upacara dalam kaitan Panca Yadnya. Irama dan liriknya sudah diatur sesuai dengan tujuan upacara.
Jadi mereka yang melakukan pupuh, kidung dan kakawin mestinya tidak hanya pandai melantunkan saja, tetapi juga pandai menempatkan pada situasi yang tepat.
Misalnya untuk kidung:
1. Pada upacara Dewa Yadnya ditembangkan kidung:
  • Tatkala nuntun Ida Bhatara: Kawitan Wargasari, Wargasari
  • Tatkala muspa: Mredu Komala, Totaka
  • Tatkala nunas tirta: wargasari
  • Tatkala nyineb: warga sirang
2. Untuk Rsi Yadnya digunakan: Rsi Bojana: Wilet Mayura, Bramara Sangupati, Palu Gangsa. Untuk Diksa digunakan Rara Wangi
3. Untuk Manusa Yadnya:
  • Upacara Raja Swala: Demung sawit
  • Upacara metatah: Kawitan Tantri, Demung Sawit
  • Upacara mapetik: Malat Rasmi
  • Upacara pawiwahan: Tunjung Biru
4. Untuk upacara Pitra Yadnya:
  • Nedunang/ nyiramang layon: Sewana Girisa, Bala Ugu
  • Memargi ke setra: Indra Wangsa
  • Mengurug kuburan (gegumuk): Adri
  • Ngeseng sawa: Praharsini
  • Ngereka abu: Aji Kembang
  • Nganyut abu ke segara: Sikarini, Asti
  • Nyekah (Atma Wedana): Wirat Kalengengan
5. Untuk Bhuta Yadnya: Pupuh Jerum, Alis-alis Ijo, Swaran Kumbang
6. Untuk upacara pelantikan pejabat: Perigel
Bahasa yang digunakan adalah bahasa Jawa Kuno (Kawi), dengan tulisan huruf Bali. Tulisan ini bukan tulisan Bali biasa tetapi sudah dimodifikasi untuk keperluan menetapkan irama dan tekanan (stressing), terutama pada kakawin: apada, wrtta matra, guru laghu, gana matra, canda karana, guru bhasa, guru lambuk dan purwa kanti.
Para penyanyi sebaiknya tidak menggunakan sound system yang keras, karena kidung dilakukan bersama dengan suara yang sayup-sayup mengiringi puja-mantra, dari pemimpin upacara. Jangan sampai suara kidung demikian keras, sehingga suara gentha Sulinggih tidak terdengar.
Mestinya para pelantun kidung berada dekat dengan Sulinggih sehingga mengetahui apa yang sedang dilakukan Sulinggih, lalu memilih kidung apa yang tepat. Jangan sampai Sulinggihnya muput caru, lalu kidungnya wargasari.
Suara gong/ gamelan di Pura juga sering mengganggu kehidmatan upacara, karena gambelan ditempatkan di utama mandala apalagi irama gongnya tidak sesuai dengan suasana hening yang ingin diciptakan.
Gambelan mestinya berada di Madya Mandala, iramanya yang lambat tetapi sakral misalnya tabuh telu, lelambatan, dll.
Di Bali jenis gambelan disesuaikan dengan tujuan upacara.
1. Misalnya untuk suasana sedih ketika meninggal dunia sampai ngaben digunakan angklung, namun ketika ke setra perlu kebulatan tekad dan semangat tinggi, digunakan gong baleganjur; ketika ngaskara perlu suasana sakral magis bervibrasi perjalanan atma ke sunia loka, digunakan gambang.
2. Pada upacara manusia yadnya digunakan gender, upacara di Pura: gong gede, juga untuk Nyekah yang dilaksanakan di dalam sanggah pamerajan
3. Untuk balih-balihan (hiburan) digunakan gerantang untuk joged, janger, gong gde, dll
Jadi gambelan, pupuh, kidung dan kakawin adalah sarana untuk membantu mewujudkan vibrasi kesucian sesuai dengan tujuan upacara. Tidak bertindak sendiri-sendiri asal ramai dan meriah.
Apalagi jika ada keinginan sang penyanyi kidung dan kakawin menonjolkan kebolehannya sendiri bahwa ia sudah pandai, hebat, dll. ini sudah jauh dari perilaku seorang BHAKTA.
Pertanyaan kenapa di Jawa dan Bali saja ada gegendingan, pupuh, kidung dan kakawin?
Saya pernah tahu bahwa rekan-rekan sedharma kita yang di Banten, Toraja, Kalimantan, Batak (Karo) juga mempunyai tatanan seni suara seperti itu, tetapi belum ada tokoh yang menulisnya, atau saya yang kurang tahu.
Nah mungkin rekan-rekan sedharma yang dari daerah lain Jawa-Bali dapat memberikan informasi serta tambahan pengetahuan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar