Kidung dan Gamelan
Saya mengutip tulisan dari seorang tokoh/ pakar dalam hal
ini, yaitu: I Gusti Bagus Sugriwa (alm) di mana beliau merumuskan bahwa
“nyanyian” atau “tembang” di Jawa dan di Bali mempunyai kemiripan, dapat
digolongkan dalam empat kategori:
- Gegendingan (Bali) atau Dolanan (Jawa).
- Pupuh (Bali) atau Macapat, Sekar Alit (Jawa).
- Kidung (Bali) atau Sekar Madya (Jawa),
- Kakawin (Bali) atau Sekar Agung (Jawa).
Gegendingan digunakan bukan untuk mendukung upacara, tetapi
lebih bersifat hiburan, dan dewasa ini gegendingan sudah banyak menggunakan
irama pop dijual dalam bentuk kaset ada yang berbahasa Bali ada yang bahasa
Indonesia.
Pupuh, Kidung, dan Kakawin adalah untuk mendukung suatu
upacara dalam kaitan Panca Yadnya. Irama dan liriknya sudah diatur sesuai
dengan tujuan upacara.
Jadi mereka yang melakukan pupuh, kidung dan kakawin
mestinya tidak hanya pandai melantunkan saja, tetapi juga pandai menempatkan
pada situasi yang tepat.
Misalnya untuk kidung:
1. Pada upacara Dewa Yadnya ditembangkan kidung:
- Tatkala nuntun Ida Bhatara: Kawitan Wargasari, Wargasari
- Tatkala muspa: Mredu Komala, Totaka
- Tatkala nunas tirta: wargasari
- Tatkala nyineb: warga sirang
2. Untuk Rsi Yadnya digunakan: Rsi Bojana: Wilet Mayura,
Bramara Sangupati, Palu Gangsa. Untuk Diksa digunakan Rara Wangi
3. Untuk Manusa Yadnya:
- Upacara Raja Swala: Demung sawit
- Upacara metatah: Kawitan Tantri, Demung Sawit
- Upacara mapetik: Malat Rasmi
- Upacara pawiwahan: Tunjung Biru
4. Untuk upacara Pitra Yadnya:
- Nedunang/ nyiramang layon: Sewana Girisa, Bala Ugu
- Memargi ke setra: Indra Wangsa
- Mengurug kuburan (gegumuk): Adri
- Ngeseng sawa: Praharsini
- Ngereka abu: Aji Kembang
- Nganyut abu ke segara: Sikarini, Asti
- Nyekah (Atma Wedana): Wirat Kalengengan
5. Untuk Bhuta Yadnya: Pupuh Jerum, Alis-alis Ijo, Swaran
Kumbang
6. Untuk upacara pelantikan pejabat: Perigel
Bahasa yang digunakan adalah bahasa Jawa Kuno (Kawi), dengan
tulisan huruf Bali. Tulisan ini bukan tulisan Bali biasa tetapi sudah
dimodifikasi untuk keperluan menetapkan irama dan tekanan (stressing), terutama
pada kakawin: apada, wrtta matra, guru laghu, gana matra, canda karana, guru
bhasa, guru lambuk dan purwa kanti.
Para penyanyi sebaiknya tidak menggunakan sound system yang
keras, karena kidung dilakukan bersama dengan suara yang sayup-sayup mengiringi
puja-mantra, dari pemimpin upacara. Jangan sampai suara kidung demikian keras,
sehingga suara gentha Sulinggih tidak terdengar.
Mestinya para pelantun kidung berada dekat dengan Sulinggih
sehingga mengetahui apa yang sedang dilakukan Sulinggih, lalu memilih kidung
apa yang tepat. Jangan sampai Sulinggihnya muput caru, lalu kidungnya
wargasari.
Suara gong/ gamelan di Pura juga sering mengganggu
kehidmatan upacara, karena gambelan ditempatkan di utama mandala apalagi irama
gongnya tidak sesuai dengan suasana hening yang ingin diciptakan.
Gambelan mestinya berada di Madya Mandala, iramanya yang
lambat tetapi sakral misalnya tabuh telu, lelambatan, dll.
Di Bali jenis gambelan disesuaikan dengan tujuan upacara.
1. Misalnya untuk suasana sedih ketika meninggal dunia
sampai ngaben digunakan angklung, namun ketika ke setra perlu kebulatan tekad
dan semangat tinggi, digunakan gong baleganjur; ketika ngaskara perlu suasana
sakral magis bervibrasi perjalanan atma ke sunia loka, digunakan gambang.
2. Pada upacara manusia yadnya digunakan gender, upacara di
Pura: gong gede, juga untuk Nyekah yang dilaksanakan di dalam sanggah pamerajan
3. Untuk balih-balihan (hiburan) digunakan gerantang untuk
joged, janger, gong gde, dll
Jadi gambelan, pupuh, kidung dan kakawin adalah sarana untuk
membantu mewujudkan vibrasi kesucian sesuai dengan tujuan upacara. Tidak
bertindak sendiri-sendiri asal ramai dan meriah.
Apalagi jika ada keinginan sang penyanyi kidung dan kakawin
menonjolkan kebolehannya sendiri bahwa ia sudah pandai, hebat, dll. ini sudah
jauh dari perilaku seorang BHAKTA.
Pertanyaan kenapa di Jawa dan Bali saja ada gegendingan,
pupuh, kidung dan kakawin?
Saya pernah tahu bahwa rekan-rekan sedharma kita yang di
Banten, Toraja, Kalimantan, Batak (Karo) juga mempunyai tatanan seni suara
seperti itu, tetapi belum ada tokoh yang menulisnya, atau saya yang kurang
tahu.
Nah mungkin rekan-rekan sedharma yang dari daerah lain
Jawa-Bali dapat memberikan informasi serta tambahan pengetahuan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar