Senin, 30 September 2013

Kebangkitan Nasional Berdasarkan Persatuan dan Kesatuan



Kebangkitan Nasional Berdasarkan Persatuan dan Kesatuan
Para pendiri Negara Kesatuan Republik Indonesia telah merancang Lambang Negara: Garuda Pancasila, di mana kaki-kaki burung Garuda mencengkram kuat sebuah pita yang bertuliskan “Bhinneka Tunggal Ika”.
Lambang Negara itu mempunyai arti yang sangat dalam tentang cita-cita kemerdekaan di mana bangsa Indonesia diharapkan bangkit dari berbagai keterpurukan akibat penjajahan, menuju kepada Indonesia merdeka yang rakyatnya hidup makmur, berbahagia, toto tentrem kerto raharjo, gemah ripah loh jinawi, subur kang saro tinandur, murah kang sawo tinuku.
Demikian kira-kira cuplikan pidato-pidato Bung Karno yang berulang-ulang beliau sampaikan kepada rakyat Indonesia selama hidupnya.
Cengkraman kuat kaki-kaki burung garuda pada pita itu lebih jauh dapat ditafsirkan bahwa untuk mencapai kejayaan, bangsa Indonesia harus berlandaskan pada prinsip-prinsip persatuan dan kesatuan, seperti apa yang dilakukan oleh leluhur kita di masa lampau, di saat adanya proses sintesa antara agama Hindu dari sekte Siwa Sidanta dengan agama Budha dari sekte Mahayana.
Ketika itu para pemimpin, rohaniawan, dan cendekiawan dari masing-masing agama menyadari bahwa hakekat agama Siwa dan Budha sebenarnya sama, yakni menuju pada kebenaran akhir yang tertinggi, sehingga Mpu Tantular mengungkapkannya pada Lontar Sutasoma:
HYANG BUDDHA TANPAHI SIWA-RAJA-DEWA, RWANEKADHATU WINUWUS, WARA BUDDHA WISWA; BHINNEKI RAKWA RING APAN KENA PARWWA NOSEN, MANGKA JINATWA LAWAN SIWATATTWA TUNGGAL, BHINNEKA TUNGGAL IKA TAN HANA DHARMA MANGRWA
Sejarah membuktikan bahwa prinsip yang digoreskan Mpu Tantular tidak berarti bahwa timbul agama baru yang disebut Siwa-Buddha, kemudian agama Hindu dan Buddha masing-masing menghilang.
Agama Hindu (sekte Siwa-Siddanta) dan agama Buddha (sekte Mahayana) tetap ajeg, dan para pemeluknya hidup rukun damai berdampingan, saling menghormati dan menyayangi, sekali lagi dengan prinsip kuat: Bhinneka Tunggal Ika tan hana dharma mangrwa.
Bukti sejarah dapat juga dilihat pada prasasti Singasari (1273) “Lumah ri Siwa-Buddha” dan di Nagarakrtagama (43.5) di mana Krtanagara disebut “Mokteng Siwa-Buddha loka” Inilah yang mengilhami para pendiri NKRI, bercita-cita agar bangsa Indonesia tetap jaya karena berpegang teguh pada prinsip-prinsip persatuan dan kesatuan dalam perbedaan-perbedaan yang ada.
Apa upaya-upaya untuk menjaga persatuan dan kesatuan?
Kita bangsa Indonesia harus mempunyai pandangan bahwa setiap agama membimbing umat/ pemeluknya untuk mencapai kesempurnaan hidup, kesejahteraan lahir dan bathin, artinya tujuannya sama, walaupun caranya berbeda. Demikian pula mengenai suku dan ras, walaupun berbeda tetapi kita sudah menjadi satu bangsa, yakni bangsa Indonesia.
Untuk menjaga persatuan dan kesatuan, tidak pantas kalau masing-masing kelompok agama, suku, dan ras berlomba-lomba menonjolkan ciri-ciri perbedaan yang ada secara terbuka. Baik ciri-ciri atau atribut-atribut yang berhubungan dengan agama, adat istiadat, maupun budaya.
Apalagi dengan slogan-slogan tertentu atau kalimat-kalimat tertentu yang bersumber dari kitab suci, upanisad, tafsir, dll. Yang kalimatnya melecehkan atau merendahkan agama, suku, dan ras yang lain. Singkatnya bila kita bertemu dengan sesama bangsa, agar tidak timbul pikiran tentang perbedaan: suku, ras, dan agama.
Kalau seseorang berpakaian dengan ciri-ciri khas suatu agama di tempat-tempat pertemuan umum, orang lain yang kebetulan berbeda agama, akan terlintas dalam pikirannya: “Oh orang ini berbeda dengan saya” Apalagi bila di sebuah sekolah yang berada di lingkungan pemeluk agama tertentu, di mana mayoritas muridnya mengenakan busana dengan atribut khas, maka murid yang beragama lain pasti akan merasa berbeda, dan menyisih dari pergaulan. Inilah yang kita lihat sebagai bibit awal perpecahan.
Dalam membina kesatuan dan persatuan bangsa Indonesia hendaknya Pemerintah berlaku adil kepada kelompok mayoritas dan minoritas dalam bidang suku, agama dan ras. Tidak membedakan pelayanan dengan mengutamakan kelompok mayoritas lalu tidak memperhatikan kelompok minoritas.
Setiap warga negara Indonesia, apapun sukunya, apa pun agamanya, dan apa pun ras-nya hendaknya diberikan kesempatan yang sama di semua bidang birokrasi. Benar bahwa UUD telah menyatakan demikian. Namun apa yang kita lihat pada aplikasinya? Misalnya saja: apakah seorang warga negara Indonesia yang beragama Hindu bisa menjadi Presiden RI?
Oleh karena itu marilah kita merenung, agar tidak sia-sialah pengorbanan para pejuang yang telah gugur membela kemerdekaan NKRI. Kita wajib mewujudkan apa yang dicita-citakan mereka demi kejayaan Nusa-Bangsa dan anak-cucu di kemudian hari.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar