Kepemimpinan
Hindu
Kemampuan
individual seoarang pemimpin dalam melaksanakan kepemimpinannya melahirkan model
atau gaya-gaya kepemimpinan. Menurut Nagon (1994:126) gaya kepemimpinan seorang
pemimpin akan tepat, jika bersikap otoriter terhadap anggota yang tidak
terdidik dan kurang mampu, sebaliknya sikap demokratis atau partisipatif cocok
dimiliki pemimpin yang membawahi anggota yang intelektual dan berpendidikan.
Pimpinan otoriter bersifat inisiatif tidak melibatkan tenaga kerja dalam proses
pengambilan keputusan one man show
dan menyenangi organisasi yang bersifat sentralistik. Pemimpin bersifat
partisipatif lebih meningkatkan aspek menusia dan kerja serta menyenangi system
kerja yang desentralisasi dan sering memberi delegasi wewenang. Ini
menggambarkan tipe-tipe kepemimpinan yang paling mungkin diberikan oleh seorang
pemimpin kepada organisasi dan masyarakat.
Hindu,
sebagai agama tertua di dunia ternyata telah memiliki pemikiran yang cemerlang
tentang kepemimpinan. Salah satu tipe pemimpin ideal yang direkomendasikan oleh
Arthasastra adalah Rajarshi. Secara harafiah Rajarshi
terdiri atas dua kata, Raja dan Rshi. Raja berarti seorang pemimpin tertinggi dalam system monarki atau
kerajaan. Sementara itu rshi menunjuk
pada seseorang yang berkedudukan sebagai pendeta agama, atau orang yang
memiliki pengetahuan mendalam di bidang keagamaan. Dengan demikian Rajarshi adalah dua buah konsep yang
berbeda untuk membentuk sebuah kata baru sebagai satu kesatuan konseptual.
Dalam konteks pemimpin dan kepemimpinan, raja
dan rshi telah menjadi satu
kesatuan karakter yang memeribadi dalam diri seorang pemimpin (Radendra S,
2005:37).
Di
zaman kerajaan India Kuno, tugas seorang pemimpin (raja) adalah menciptakan
sebuah Negara yang sejahtera, sebagaimana tertuang dalam kitab Yajurveda yang diucapkan oleh Pendeta
sebagai amanat sebelum pelantikan raja dilakukan, sebagai berikut :
“Oh Tuhan, inilah kerajaan yang mulia, jadilah
engkau seorang raja yang menjalani undang-undang dan memberi petunjuk kepada
rakyat; tetaplah tabah dalam kedudukan; yang mulia adalah seniman yang
mengetahui kalau pertanian akan tumbuh subur, dan kemakmuran Negara akan tetap
tak tergoyahkan ; yang mulia tahu kalau rakyat akan menjadi kaya, dengan
demikian rakyat akan dapat menikmati kehidupan yang layak” (Rao, 2003:177).
Sementara itu, ajaran Parikesit yang
tertuang dalam Atharvaveda juga menyebutkan tentang nyanyian pujian terhadap raja
menyatakan bahwa pertanian dan perkebunan hendaknya berada dalam kondisi subur,
perdamaian dan kebahagaiaan memiliki kedudukan yang penting didalam suatu
kerajaan, dan yang namanya kelangkaan hendaknya tidak terjadi dalam kerajaan
(Rao, 2003:178).
Pemimpin yang baik menurut Hindu adalah
pemimpin yang mampu memberikan tauladan, selalu mengusahakan kesejahteraan
rakyat (sukanikangrat), dan
menghindari kesenangan pribadi (agawe
sukaning awak). Hal ini ditegaskan dalam Arthasastra, bahwa kebahagiaan
kepala Negara terletak pada kebahagiaan rakyatnya, apapun yang menyebabkan
dirinya senang hendaknya tidak beranggapan bahwa itu yang baik, tetapi apapun
yang membuat rakyat bahagia itulah yang terbaik bagi seorang raja (Gunadha,
2003:vii).
Dalam menjalankan kepemimpinannya
seorang pemimpin wajib menjalankan konsep-konsep kepemimpinan Hindu yang telah
dituangkan dalam kitab suci. Berbagai kitab yang berisi tentang konsep-konsep
kepemimpinan seperti : Nitisastra,
Arthasastra, Manawadharmasastra, Kakawin Ramayana, dan sebagainya
memberikan petunjuk-petunjuk tentang cara mengelola Negara dengan baik dan
berorientasi pada tercapainya kesejahteraan rakyat.
Terkait dengan penelitian ini maka ada
dua konsep kepemimpinan Hindu yang akan dibahas, yaitu Catur Upaya Sandhi dan Asta
Brata. Catur Upaya Sandhi, yaitu Sama,
Bedha, Dana dan Danda. Sama bermakna bahwa seorang raja harus
menjamin setiap warga negaranya mendapatkan hak yang sama dalam hukum, hak yang
sama untuk hidup dan beraktivitas sesuai dengan swadharmanya, termasuk juga hak-hak istimewa yang mungkin
didapatkan karena kecakapannya. Bedha,
bermakna bahwa seorang raja harus bisa membedakan kawan dan lawan, teman dan
musuh, untuk mengetahui hal-hal yang dapat membahayakan kedaulatan bangsa dan
negara. Dana, bermakna bahwa seorang
raja harus mampu mengusahakan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat, memberikan
penghargaan kepada yang berjasa, memberikan sedekah bagi rakyat miskin,
membantu negara lain yang menderita kesusahan akibat bencana, dan sebagainya. Danda, bermakna bahwa seorang raja
adalah penegak hokum yang memiliki ketegasan dalam memberikan hukuman (punishment) kepada orang yang bersalah
tanpa kecuali. Untuk menjalankan keempat hal ini tentu seorang pemimpin harus
memiliki karakter kuat sehingga mampu melaksanakan tugas tanpa adanya
pertimbangan-pertimbangan emosional yang bertentangan dengan prinsip-prinsip dharma (Gunadha, 2006).
Di samping itu dalam Hindu dikenal juga
sebuah konsep yang disebut Astabrata.
Astabrata sebagai delapan sifat mulia
para dewa dalam pandangan Hindu dianggap sebagai komponen yang memadai untuk
memberikan pelayanan kepada masyarakat. Kedelapan komponen kepemimpinan menurut
astabrata sebagaimana dijelaskan
dalam Kakawin Ramayana dan kitab Manawa Dharmasastra adalah sebagai
berikut :
(1) Indra Brata, yakni Hyang Indra dianggap mengadakan hujan di dunia
caranya dengan memberi atau menurunkan hujan kepada bumi sama rata, tidak boleh
pilih kasih. Artinya, seorang pemimpin harus mampu memberi kesenangan,
mengayomi, dan memberi kesejahteraan pada bawahan atau orang-orang yang
dipimpin.
(2) Yama Brata, yakni Bhatara Yama dianggap
menjadi dewanya atma neraka,
mengatur, dan menghukum orang yang berbuat curang dan memuji orang suci, jujur,
dan setia. Artinya, seorang pemimpin harus mampu berlaku adil dan tegas,
menghukum atau memberi sanksi kepada yang salah dan memberi penghargaan pada
yang berprestasi.
(3) Surya Brata, yakni tugas berat surya adalah tiap-tiap hari memanasi
atau menerangi seluruh alam karena panasnya seluruh isi dan penghuni alam ini
dapat bergerak atau tumbuh dengan baik. Oleh karena terangnya mereka dapat berjalan dengan cepat
tidak meraba-raba dalam kegelapan. Artinya, seorang pemimpin harus mampu
memberikan penerangan dan kekuatan pada orang-orang yang dipimpin.
(4)
Chandra Brata, yakni tercermin dalam sifat-sifat bulan, tatkala bulan
penuh (purnama) semua penghuni dunia senang olehnya. Kias rakyat bahwa alam
semesta ramah-tamah dan menunjukkan muka yang tenang kepada rakyat atau
pengikutnya, baik dalam keadaan senang maupun kesusahan. Artinya, seorang pemimpin harus dapat memberi kesejukan dan
kenyamanan pada bawahannya.
(5)
Bayu
Brata, yakni sifat bayu (angin) ini
tersebar keseluruh pelosok penjuru dunia sampai kepada badan seluruh makhluk
untuk memberi kesejateraan hidupnya dengan tak dapat dilihat orang. Artinya,
seorang pemimpin harus memahami hal ikhwal orang-orang yang dipimpin.
(6)
Kuwera
Brata (Dana Brata), yakni Bhatara Kuwara dianggap dewa
kekayaan. Pemimpin harus mengikhtiarkan kekayaan harta benda untuk kemegahan
dan kemakmurannya dan seorang pemimpin harus berpenampilan simpatik dan rapi,
baik dalam penampilan maupun dalam bertutur kata.
(7)
Barurna
(Waruna Brata), yakni Bhatara Baruna dianggap dewa
yang bersenjatakan Naga Panca yang bertugas membasmi sekalian durjana dan
musuh. Artinya, pemimpin harus memiliki pengetahuan atau wawasan yang luas
sehingga mampu mengendalikan bawahannya dengan kearifan dan kebijaksanaan.
(8)
Agni
Brata, yakni konsep kepemimpinan ini
ditirukan sifatnya agni (api) yang
selalu menyala dan berkobar. Artinya, seorang pemimpin hendaknya mampu
memotivasi dan membangkitkan semangat bawahan.
Begitu pula
dalam Kakawin Ramayana yang termuat dalam Sloka 84, dan bagian terakhir dari
ajaran Asta Brata, yaitu sebagai berikut :
Nahan de sang natha kemita, iringkang bhumi subhaga,
Pararthasih
yagong sakalara, nikang rat wi nulatan,
Tuminghal yatna asing sawuwusikanang
sasana tinut,
Tepet masih
tar weruh kutima, milaging bancana dumeh.
Artinya :
Demikian
kewajiban seorang raja
untuk melindungi dunia
demi untuk kemakmuran dan
kebahagiaan rakyat. Seorang raja
harus selalu mengutamakan
kepentingan-kepentingan rakyatnya dan segala penderitaan rakyat harus
dipikirkan. Segala ajaran-ajaran di dalam kitab-kitab suci harus diikuti dengan
seksama. Dengan demikian, rakyat
akan tetap mencintai raja dengan
teguh, tidak mengenal kecurangan serta menjauhi penipuan, itulah akibatnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar