Kamis, 05 September 2013

Pengampunan Terhadap Roh Yang Berdosa



Salah satu hal yang sangat penting di dalam Pemujaan yang menghasilkan Tirtha adalah memohon pengampunan terhadap dosa-dosa. Sejak jaman dahulu rupa-rupanya masalah ini merupakan suatu topik yang sering dijadikan bahan perdebatan.
Pendapat yang dominan menyatakan bahwa liku-liku kehidupan yang ditempuh oleh roh itu ditetapkan oleh Karmanya sendiri. Jadi, roh orang yang berdosa itu tidak dapat diampuni lagi, titik.
Tetapi dari kekakuan pendapat itu, tumbuh pula pendapat yang lain, meniupkan angin segar kepada roh-roh yang disiksa oleh dosanya sendiri itu, yaitu bahwa karma yang buruk dengan pahalanya yang buruk pula, bisa dilebur, diampuni, sehingga pahalanya yang buruk itu tidak akan menimpa roh bersangkutan.
Kita di Bali merupakan penganut pendapat pandangan yang kedua ini. Kita yakin bahwa Tuhan itu sebenarnyalah Maha Adil, sehingga tidak mungkin tidak akan menghukum orang-onang berdosa, dan memberkati onang-orang yang berbudi baik. Dia juga Maha Pengasih, dan hidup ini, adalah pencerminan kasih-sayang-Nya yang Maha Besar itu.
Dia pun Maha Pengampun, sehingga kepada para Rsi Mulia yang berjiwa bersih itu diturunkan doa dan puja Pengampunan, dari tingkat yang ringan sampai ke tingkat paling sukar. Tuhan Maha Pengampun itu sudah menyediakan cara-cara untuk melebur dosa-dosa itu, baik untuk kepentingan diri sendiri maupun untuk kepentingan orang lain (roh orang lain).
Tuhan Pencipta mewahyukan ajaran-ajaran khusus untuk kepentingan ini, misalnya, ajaran yoga-samadhi untuk membakar karma buruk, ajaran berkurban dan berdana-punia, ajaran yang tersembunyi di dalam cerita Sang Garuda Nebus Biang (Kisah Garuda dan Dewi Winata), cerita Bhima-Swarga, ceritra Lubdhaka (Siwa-Ratri), Sudamala, dan sebagainya.
Tuhan menurunkan pula para Rsi dan petugas-petugas dosa itu (coba direnungkan tindak-tanduk semua tokoh suci yang muncul di dalam ingatan kita, baik dalam Agama Hindu maupun Agama-Agama Besar yang lain).
Di Bali kitapun mengenal Dewa-dewa tertentu yang khusus menangani masalah pengampunan dosa ini, bahkan Tuhan Pencipta pun telah menurunkan sarana khusus untuk kepentingan ini (Tirtha-Tirtha Suci, terutama sekali aliran air sungai Gangga).
Memang benar bahwa Tuhan tidak akan mengampuni begitu saja dosa-dosa itu. Prinsip memberi dan menerima tetap akan berlaku, hukum KARMA benjalan terus, tetapi cara-cara lengkap dengan petugas dan sarana cukup disediakan buat kita guna menebus dosa-dosa itu.
Prinsip yang berlaku di sini adalah:
  1. Mengaku dosa dan mohon pengampunan, maka dosa akan berhenti berproses.
  2. Miliki sifat pengampun sehingga dengan mudah kita bisa diampuni.
  3. A-subha-karma dinetralkan oleh Subha-karma.
Tiga prinsip di atas merupakan prinsip untuk menebus dosa-dosa; selanjutnya timbul pertanyaan, bagaimana dengan roh orang yang sudah meninggal? Bukankah roh itu tidak memiliki jasad lagi untuk melakukan karma?
Di dalam Asrama Wasika Parwa, yaitu ketika Rsi Vyasa menurunkan semua roh keluarga Pandawa dan Kaurawa yang tewas di dalam perang, dikatakan bahwa yang menyusun perwujudan roh-roh itu adalah energi hidup, lapisan-lapisan rasa, dan lapisan-lapisan pikiran.
Energi hidup itu didapatkan dari Alam (Brahman) setelah orang mempersembahkan upacara kurban (sraddha) untuk kepentingan roh itu. Lapisan-lapisan rasa dan pikiran itu semakin lama semakin sedikit jumlahnya dan semakin murni keadaannya.
Proses penyucian ini cepat bisa dilakukan apabila sanak-saudaranyayang masih hidup di Bumi suka mewakili dirinya untuk menyelenggarakan upacara-upacara penebusan dosa dan penyucian yang diperlukan itu.
Itulah sebabnya ketika raja Yudhisthira dan raja Dhritanashtra membagi-bagikan hadiah-hadiah kepada para Brahmana, beliau itu menyebutkan nama-nama roh yang diwakilinya seraya menyerahkan hadiah-hadiah tersebut. Dengan mantra dan yoga kedua raja itu manunggal dengan roh-roh yang diwakilinya.
Ini berarti bahwa roh orang yang sudah mati itu turun ke Bumi untuk menyelenggarakan upacaranya sendiri. Di Bali juga mengenal istilah-istilah ngelinggihang, ngelinggayang, ngadegang, odalan Ida Betara (bukan odalan kita) ngayahin di Pura (melakukan kegiatan bukan untuk kepentingan diri, bukan atas nama diri kita sendiri, tetapi untuk Ida Batara).
Jadi, demikian itulah caranya roh-roh yang tidak berjasad itu melakukan upacara penyucian dirinya.
Pada permulaan Aswamedha Parwa, setelah selesai upacana pembakaran mayat Bhishma, semua Pandawa terjun mandi di sungai Gangga, dan masing-masing menganggap dirinya itu sebagai Rsi Bhishma yang memerlukan mandi mesucian di sungai keramat itu.
Dengan mantra penunggalan roh mereka mandi untuk menyucikan Rsi Bhishma yang sangat dihormati itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar