Salah satu hal yang sangat penting di dalam Pemujaan yang
menghasilkan Tirtha adalah memohon pengampunan terhadap dosa-dosa. Sejak jaman
dahulu rupa-rupanya masalah ini merupakan suatu topik yang sering dijadikan bahan
perdebatan.
Pendapat yang dominan menyatakan bahwa liku-liku kehidupan
yang ditempuh oleh roh itu ditetapkan oleh Karmanya sendiri. Jadi, roh orang
yang berdosa itu tidak dapat diampuni lagi, titik.
Tetapi dari kekakuan pendapat itu, tumbuh pula pendapat yang
lain, meniupkan angin segar kepada roh-roh yang disiksa oleh dosanya sendiri
itu, yaitu bahwa karma yang buruk dengan pahalanya yang buruk pula, bisa
dilebur, diampuni, sehingga pahalanya yang buruk itu tidak akan menimpa roh
bersangkutan.
Kita di Bali merupakan penganut pendapat pandangan yang
kedua ini. Kita yakin bahwa Tuhan itu sebenarnyalah Maha Adil, sehingga tidak
mungkin tidak akan menghukum orang-onang berdosa, dan memberkati onang-orang
yang berbudi baik. Dia juga Maha Pengasih, dan hidup ini, adalah pencerminan
kasih-sayang-Nya yang Maha Besar itu.
Dia pun Maha Pengampun, sehingga kepada para Rsi Mulia yang
berjiwa bersih itu diturunkan doa dan puja Pengampunan, dari tingkat yang
ringan sampai ke tingkat paling sukar. Tuhan Maha Pengampun itu sudah
menyediakan cara-cara untuk melebur dosa-dosa itu, baik untuk kepentingan diri
sendiri maupun untuk kepentingan orang lain (roh orang lain).
Tuhan Pencipta mewahyukan ajaran-ajaran khusus untuk
kepentingan ini, misalnya, ajaran yoga-samadhi untuk membakar karma buruk,
ajaran berkurban dan berdana-punia, ajaran yang tersembunyi di dalam cerita
Sang Garuda Nebus Biang (Kisah Garuda dan Dewi Winata), cerita Bhima-Swarga,
ceritra Lubdhaka (Siwa-Ratri), Sudamala, dan sebagainya.
Tuhan menurunkan pula para Rsi dan petugas-petugas dosa itu
(coba direnungkan tindak-tanduk semua tokoh suci yang muncul di dalam ingatan
kita, baik dalam Agama Hindu maupun Agama-Agama Besar yang lain).
Di Bali kitapun mengenal Dewa-dewa tertentu yang khusus
menangani masalah pengampunan dosa ini, bahkan Tuhan Pencipta pun telah
menurunkan sarana khusus untuk kepentingan ini (Tirtha-Tirtha Suci, terutama
sekali aliran air sungai Gangga).
Memang benar bahwa Tuhan tidak akan mengampuni begitu saja
dosa-dosa itu. Prinsip memberi dan menerima tetap akan berlaku, hukum KARMA
benjalan terus, tetapi cara-cara lengkap dengan petugas dan sarana cukup
disediakan buat kita guna menebus dosa-dosa itu.
Prinsip yang berlaku di sini adalah:
- Mengaku dosa dan mohon pengampunan, maka dosa akan berhenti berproses.
- Miliki sifat pengampun sehingga dengan mudah kita bisa diampuni.
- A-subha-karma dinetralkan oleh Subha-karma.
Tiga prinsip di atas merupakan prinsip untuk menebus
dosa-dosa; selanjutnya timbul pertanyaan, bagaimana dengan roh orang yang sudah
meninggal? Bukankah roh itu tidak memiliki jasad lagi untuk melakukan karma?
Di dalam Asrama Wasika Parwa, yaitu ketika Rsi Vyasa
menurunkan semua roh keluarga Pandawa dan Kaurawa yang tewas di dalam perang,
dikatakan bahwa yang menyusun perwujudan roh-roh itu adalah energi hidup,
lapisan-lapisan rasa, dan lapisan-lapisan pikiran.
Energi hidup itu didapatkan dari Alam (Brahman) setelah
orang mempersembahkan upacara kurban (sraddha) untuk kepentingan roh itu.
Lapisan-lapisan rasa dan pikiran itu semakin lama semakin sedikit jumlahnya dan
semakin murni keadaannya.
Proses penyucian ini cepat bisa dilakukan apabila
sanak-saudaranyayang masih hidup di Bumi suka mewakili dirinya untuk
menyelenggarakan upacara-upacara penebusan dosa dan penyucian yang diperlukan
itu.
Itulah sebabnya ketika raja Yudhisthira dan raja
Dhritanashtra membagi-bagikan hadiah-hadiah kepada para Brahmana, beliau itu
menyebutkan nama-nama roh yang diwakilinya seraya menyerahkan hadiah-hadiah
tersebut. Dengan mantra dan yoga kedua raja itu manunggal dengan roh-roh yang
diwakilinya.
Ini berarti bahwa roh orang yang sudah mati itu turun ke
Bumi untuk menyelenggarakan upacaranya sendiri. Di Bali juga mengenal
istilah-istilah ngelinggihang, ngelinggayang, ngadegang, odalan Ida Betara
(bukan odalan kita) ngayahin di Pura (melakukan kegiatan bukan untuk
kepentingan diri, bukan atas nama diri kita sendiri, tetapi untuk Ida Batara).
Jadi, demikian itulah caranya roh-roh yang tidak berjasad
itu melakukan upacara penyucian dirinya.
Pada permulaan Aswamedha Parwa, setelah selesai upacana
pembakaran mayat Bhishma, semua Pandawa terjun mandi di sungai Gangga, dan
masing-masing menganggap dirinya itu sebagai Rsi Bhishma yang memerlukan mandi
mesucian di sungai keramat itu.
Dengan mantra penunggalan roh mereka mandi untuk menyucikan
Rsi Bhishma yang sangat dihormati itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar