Sabtu, 21 September 2013

Berpolitik ala Gandhi



Berpolitik ala Gandhi: Mahkota dari Kaum Miskin
Oleh I Gusti Agung Raka Santa (Bali Post, 21 September 2013)
GANDHI, politikus humanis-religius India yang mendunia, ketika meregang nyawa karena ditembak dengan pistol oleh Godse, warganya sendiri, 25 Januari 1948, sempat berujar: ''Jangan dihukum pembunuhku, karena sesungguhnya ia tidak tahu apa-apa''. Dalam konteks politik, kata-kata Gandhi selanjutnya, sebelum mengembuskan napas terakhirnya: ''Orang memandang aku sebagai yogi yang terjun ke dunia politik. Tapi sesungguhnya, aku adalah seorang politikus yang berkeinginan menjadi seorang yogi''. Berkat kata-kata bertuahnya inilah Gandhi kemudian dijuluki Sang Mahatma, ''ia yang berjiwa besar''.
Menjadikan politik sebagai ibadah berarti menjadikan seluruh kegiatan dan karya politik itu kita sebagai persembahan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, tanpa pernah menghitung hasilnya. Paling tidak, ada tiga kegunaan kalau kita menjadikan politik sebagai ibadah. Pertama, melalui kegiatan berpolitik, sekaligus menjadikan politik sebagai jalan hidup pribadi untuk mencapai kebahagiaan rohani, karena selalu merasa dekat dengan Tuhan. Kedua, secara sosial, seluruh kegiatan politik kita berdampak pada kemaslahatan orang banyak, terutama dalam rangka mencapai hidup yang rukun, damai, dan bahagia. Ketiga, langsung maupun tak langsung, kita telah mengembangkan keutamaan politik itu sendiri, yaitu, berpolitik sebagai salah satu jalan mulia untuk mencapai kehidupan yang bermartabat. Dengan menjadikan politik sebagai ibadah berarti kita mengembangkan demokrasi substansial, yakni kekuasaan dari, oleh, dan untuk rakyat dalam rangka mencapai kesejahteraan bersama.
Gandhi adalah teladan utama dalam melakoni politik sebagai ibadah. Semen pengunci etika politik sebagai ibadah didapatkan Gandhi melalui pengalaman ajaran filsafat kerja Hinduisme yang terkenal yakni Karmayoga. Secara harfiah karma berarti kerja pengabdian dan yoga berarti menghubungkan diri dengan Tuhan.
Jadi, Karmayoga artinya menghubungkan diri dengan Tuhan melalui pengabdian. Karmayoga menekankan kerja pengabdian itu ditujukan kepada kaum miskin. Dengan indahnya Rabindranath Tagore, pujangga India yang meraih Nobel sastra karena bukunya berjudul Gitanjali, mengomentari: ''Aku tak ingin pergi ke tengah hutan untuk bertapa. Aku akan temukan Tuhan di tengah-tengah derita dan air mata kaum miskin.'' Seturut ini, Gandhi mendapatkan momen yang amat tepat. Pertama, ketika kohesi sosial masyarakat India sangat rapuh karena friksi kasta yang bertakik-takik. Kedua, senyampang bangsa India menghadapi penjajahan Inggris yang amat menindas. Racikan kedua kondisi patologis ini, menyebabkan rakyat negeri India sangat miskin dan menderita. Dalam kehancuran inilah Gandhi tampil bak dewa penyelamat. Dengan kasih sayang universal yang dimiliki Gandhi, kaum miskin ini dirangkul dengan program-program pemberdayaan seperti menenun sendiri, bertani, pemberantasan buta huruf, dan sebagainya.
Untuk mengakrabkan hubungan dengan kaum pria, Gandhi menyebut dengan istilah harijan, yang kurang lebih berarti putra-putra Tuhan. Hubungan intim Gandhi dengan kaum harijan bahkan melanglang keluar India, yaitu ke Afrika Selatan, negeri yang sama-sama dijajah Inggris. Di Afrika Selatan, banyak sekali terdapat budak belian asal India yang dipekerjakan paksa oleh Inggris.
Sepuluh Dosa Sosial
Gandhi menuntut kebebasan para budak melalui proses peradilan di mana ia tampil sebagai pengacara piawai. Hasilnya amat mengagumkan. Para budak dibebaskan dari segala tuntutan hukum oleh penjajah Inggris di sana. Perjuangan Gandhi ini telah menginspirasi Nelson Mandela, peraih Nobel perdamaian dari Afrika Selatan, untuk membebaskan negerinya dari cengkraman politik apartheid. Gandhi pun kemudian lebih dikenal sebagai Bapak Kaum Miskin.
Dari permenungannya, ia menemukan tiga kearifan lokal bagi bangsanya sebagai landasan perjuangan melawan penjajah, yang amat menggetarkan dunia. Kita sebut saja Trilogi Gandhi, yaitu Ahimsa, Swadhesi, dan Satyagraha. Ahimsa diartikan secara sederhana yaitu pantang kekerasan, Swadhesi berarti mencintai tanah air dan menyukai pemakaian barang-barang buatan sendiri dan Satyagraha berarti selalu menegakkan kebenaran. Kendatipun trilogi ini merupakan satu kesatuan, namun Ahimsa yang bernilai utama, karena memberikan dampak yang amat luas pada segala segi kehidupan. Menyimpang dari ahimsa, menurut Gandhi akan menimbulkan sepuluh dosa sosial, yang salah satunya adalah politik tanpa hati nurani, penyimpangan politik sebagai ibadah.
Berkat penerapan Trilogi Gandhi itulah akhirnya Inggris bertekuk lutut tanpa daya. Kemerdekaan India diberikan melalui upacara besar, 15 Agustus 1947, dua tahun setelah kemerdekaan RI. Gandhi bahagia karena berlandaskan Trilogi, terutama Ahimsa, bangsanya tak banyak berdarah-darah dalam berjuang mencapai kemerdekaan. Dunia pun mengaguminya. Ketika Gandhi tewas, PBB mengibarkan bendera setengah tiang, tanda perkabungan internasional.
Warisan Gandhi berupa harta hampir tak ada sama sekali. Hanya tertinggal dalam gubuk ashramnya, adalah dua lembar selimut sekaligus dipakai jubah, satu sandal jepit dari kayu, dan satu mangkok batok kelapa untuk makan dan minum. Selebihnya adalah buku-buku perpustakaan. Namun, secara rohaniah, Gandhi tetap 'hidup', berkat ajaran-ajarannya yang terhimpun pada Gandhi Sutra, yang menjadi inspirasi dunia dalam segala aspek kehidupan.
Sezaman dengan perjuangan Gandhi di India, di Indonesia pun muncul banyak tokoh pemimpin yang berjuang bersama rakyat melawan penjajah Belanda. Sebut saja dua di antaranya yang patut diteladani adalah Soekarno-Hatta. Kedua tokoh pemimpin kita ini sama asketik dan reflektifnya dengan Gandhi. Soekarno, melalui permenungannya menemukan Pancasila, yang kita jadikan dasar negara yang sah dalam UUD 1945. Pada ranah politik, Soekarno menemukan ajaran Marhaenisme, yakni ide keberpihakan terhadap wong cilik, kaum miskin, sebagai ideologi Partai Nasional Indonesia yang didirikannya, untuk melawan penjajah Belanda. Kedua kearifan lokal temuan Soekarno ini menjadi komitmen yang amat kuat demi kemerdekaan bangsa Indonesia dan dilaksanakan dengan penuh mantap dan konsekuen.
Begitu juga Hatta, yang terkenal dengan sebutan Gandhinya Indonesia. Hatta adalah sosok pemimpin yang bersahaja dengan pemikirannya yang jernih dan bernas. Melengkapi Soekarno, Hatta adalah pemikir ekonomi kawakan. Impiannya yang belum terwujud adalah menjadikan koperasi sebagai sokoguru perekonomian Indonesia. Hatta terkenal dijuluki Bapak Koperasi. Pada domain politik, Hatta mendirikan partai yang dinamai Pendidikan Nasional Indonesia, yang berideologi sosial-demokrat dengan sasaran utama mendidik sebanyak mungkin kader penerus bangsa. Dalam kancah perjuangan, kedua tokoh kita ini terinspirasi juga oleh Trilogi Gandhi. Hanya saja, sebagai local genious, amat disesuaikan dengan situasi dan kondisi Indonesia yang lebih Bhineka untuk menuju ke dalam Tunggal Ika. Misalnya, ahimsa diterapkan melalui perjuangan diplomasi, demonstrasi, pemogokan. Perjuangan bersenjata ditempuh bila jalan damai sudah tak mungkin lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar