Berpolitik ala Gandhi: Mahkota dari Kaum
Miskin
Oleh
I Gusti Agung Raka Santa (Bali
Post, 21 September 2013)
GANDHI,
politikus humanis-religius India yang mendunia, ketika meregang nyawa karena
ditembak dengan pistol oleh Godse, warganya sendiri, 25 Januari 1948, sempat berujar: ''Jangan dihukum pembunuhku, karena
sesungguhnya ia tidak tahu apa-apa''. Dalam konteks politik, kata-kata Gandhi
selanjutnya, sebelum mengembuskan napas terakhirnya: ''Orang memandang aku
sebagai yogi yang terjun ke dunia politik. Tapi sesungguhnya, aku adalah
seorang politikus yang berkeinginan menjadi seorang yogi''. Berkat kata-kata
bertuahnya inilah Gandhi kemudian dijuluki Sang Mahatma, ''ia yang berjiwa
besar''.
Menjadikan
politik sebagai ibadah berarti menjadikan seluruh kegiatan dan karya politik
itu kita sebagai persembahan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, tanpa pernah
menghitung hasilnya. Paling tidak, ada tiga kegunaan kalau kita menjadikan
politik sebagai ibadah. Pertama, melalui kegiatan berpolitik, sekaligus
menjadikan politik sebagai jalan hidup pribadi untuk mencapai kebahagiaan
rohani, karena selalu merasa dekat dengan Tuhan. Kedua, secara sosial, seluruh
kegiatan politik kita berdampak pada kemaslahatan orang banyak, terutama dalam
rangka mencapai hidup yang rukun, damai, dan bahagia. Ketiga, langsung maupun
tak langsung, kita telah mengembangkan keutamaan politik itu sendiri, yaitu,
berpolitik sebagai salah satu jalan mulia untuk mencapai kehidupan yang
bermartabat. Dengan menjadikan politik sebagai ibadah berarti kita mengembangkan
demokrasi substansial, yakni kekuasaan dari, oleh, dan untuk rakyat dalam
rangka mencapai kesejahteraan bersama.
Gandhi
adalah teladan utama dalam melakoni politik sebagai ibadah. Semen pengunci
etika politik sebagai ibadah didapatkan Gandhi melalui pengalaman ajaran
filsafat kerja Hinduisme yang terkenal yakni Karmayoga. Secara harfiah karma
berarti kerja pengabdian dan yoga berarti menghubungkan diri dengan Tuhan.
Jadi,
Karmayoga artinya menghubungkan diri dengan Tuhan melalui pengabdian. Karmayoga
menekankan kerja pengabdian itu ditujukan kepada kaum miskin. Dengan indahnya
Rabindranath Tagore, pujangga India yang meraih Nobel sastra karena bukunya
berjudul Gitanjali, mengomentari: ''Aku tak ingin pergi ke tengah hutan untuk
bertapa. Aku akan temukan Tuhan di tengah-tengah derita dan air mata kaum
miskin.'' Seturut ini, Gandhi mendapatkan momen yang amat tepat. Pertama,
ketika kohesi sosial masyarakat India sangat rapuh karena friksi kasta yang
bertakik-takik. Kedua, senyampang bangsa India menghadapi penjajahan Inggris
yang amat menindas. Racikan kedua kondisi patologis ini, menyebabkan rakyat
negeri India sangat miskin dan menderita. Dalam kehancuran inilah Gandhi tampil
bak dewa penyelamat. Dengan kasih sayang universal yang dimiliki Gandhi, kaum
miskin ini dirangkul dengan program-program pemberdayaan seperti menenun
sendiri, bertani, pemberantasan buta huruf, dan sebagainya.
Untuk
mengakrabkan hubungan dengan kaum pria, Gandhi menyebut dengan istilah harijan,
yang kurang lebih berarti putra-putra Tuhan. Hubungan intim Gandhi dengan kaum
harijan bahkan melanglang keluar India, yaitu ke Afrika Selatan, negeri yang
sama-sama dijajah Inggris. Di Afrika Selatan, banyak sekali terdapat budak
belian asal India yang dipekerjakan paksa oleh Inggris.
Sepuluh Dosa Sosial
Gandhi
menuntut kebebasan para budak melalui proses peradilan di mana ia tampil
sebagai pengacara piawai. Hasilnya amat mengagumkan. Para budak dibebaskan dari
segala tuntutan hukum oleh penjajah Inggris di sana. Perjuangan Gandhi ini
telah menginspirasi Nelson Mandela, peraih Nobel perdamaian dari Afrika
Selatan, untuk membebaskan negerinya dari cengkraman politik apartheid. Gandhi
pun kemudian lebih dikenal sebagai Bapak Kaum Miskin.
Dari
permenungannya, ia menemukan tiga kearifan lokal bagi bangsanya sebagai
landasan perjuangan melawan penjajah, yang amat menggetarkan dunia. Kita sebut
saja Trilogi Gandhi, yaitu Ahimsa, Swadhesi, dan Satyagraha. Ahimsa diartikan
secara sederhana yaitu pantang kekerasan, Swadhesi berarti mencintai tanah air
dan menyukai pemakaian barang-barang buatan sendiri dan Satyagraha berarti
selalu menegakkan kebenaran. Kendatipun trilogi ini merupakan satu kesatuan,
namun Ahimsa yang bernilai utama, karena memberikan dampak yang amat luas pada
segala segi kehidupan. Menyimpang dari ahimsa, menurut Gandhi akan menimbulkan
sepuluh dosa sosial, yang salah satunya adalah politik tanpa hati nurani,
penyimpangan politik sebagai ibadah.
Berkat
penerapan Trilogi Gandhi itulah akhirnya Inggris bertekuk lutut tanpa daya.
Kemerdekaan India diberikan melalui upacara besar, 15 Agustus 1947, dua tahun
setelah kemerdekaan RI. Gandhi bahagia karena berlandaskan Trilogi, terutama
Ahimsa, bangsanya tak banyak berdarah-darah dalam berjuang mencapai
kemerdekaan. Dunia pun mengaguminya. Ketika Gandhi tewas, PBB mengibarkan
bendera setengah tiang, tanda perkabungan internasional.
Warisan
Gandhi berupa harta hampir tak ada sama sekali. Hanya tertinggal dalam gubuk
ashramnya, adalah dua lembar selimut sekaligus dipakai jubah, satu sandal jepit
dari kayu, dan satu mangkok batok kelapa untuk makan dan minum. Selebihnya
adalah buku-buku perpustakaan. Namun, secara rohaniah, Gandhi tetap 'hidup',
berkat ajaran-ajarannya yang terhimpun pada Gandhi Sutra, yang menjadi
inspirasi dunia dalam segala aspek kehidupan.
Sezaman
dengan perjuangan Gandhi di India, di Indonesia pun muncul banyak tokoh
pemimpin yang berjuang bersama rakyat melawan penjajah Belanda. Sebut saja dua
di antaranya yang patut diteladani adalah Soekarno-Hatta. Kedua tokoh pemimpin
kita ini sama asketik dan reflektifnya dengan Gandhi. Soekarno, melalui
permenungannya menemukan Pancasila, yang kita jadikan dasar negara yang sah
dalam UUD 1945. Pada ranah politik, Soekarno menemukan ajaran Marhaenisme,
yakni ide keberpihakan terhadap wong cilik, kaum miskin, sebagai ideologi
Partai Nasional Indonesia yang didirikannya, untuk melawan penjajah Belanda.
Kedua kearifan lokal temuan Soekarno ini menjadi komitmen yang amat kuat demi
kemerdekaan bangsa Indonesia dan dilaksanakan dengan penuh mantap dan
konsekuen.
Begitu
juga Hatta, yang terkenal dengan sebutan Gandhinya Indonesia. Hatta adalah
sosok pemimpin yang bersahaja dengan pemikirannya yang jernih dan bernas.
Melengkapi Soekarno, Hatta adalah pemikir ekonomi kawakan. Impiannya yang belum
terwujud adalah menjadikan koperasi sebagai sokoguru perekonomian Indonesia.
Hatta terkenal dijuluki Bapak Koperasi. Pada domain politik, Hatta mendirikan
partai yang dinamai Pendidikan Nasional Indonesia, yang berideologi
sosial-demokrat dengan sasaran utama mendidik sebanyak mungkin kader penerus
bangsa. Dalam kancah perjuangan, kedua tokoh kita ini terinspirasi juga oleh
Trilogi Gandhi. Hanya saja, sebagai local genious, amat disesuaikan dengan
situasi dan kondisi Indonesia yang lebih Bhineka untuk menuju ke dalam Tunggal
Ika. Misalnya, ahimsa diterapkan melalui perjuangan diplomasi, demonstrasi,
pemogokan. Perjuangan bersenjata ditempuh bila jalan damai sudah tak mungkin
lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar