Mawinten
Mawinten
asal katanya dalam Bahasa Kawi: mawa artinya bersinar-sinar dan inten artinya
intan (permata). Jadi orang yang sudah mawinten diibaratkan sebagai permata
yang kemilau karena lahir bathinnya sudah disucikan.
Pada
dasarnya semua orang terutama yang akan mengakhiri masa Grahasta (pensiun)
perlu mawinten dengan tujuan mensucikan diri menjelang pulang ke sunia-loka.
Pada akhirnya manusia Hindu setelah meninggal dunia dan di-aben, diwinten
dengan upacara Askara.
Mereka
yang wajib mawinten karena profesinya antara lain: pemangku, dalang, undagi,
tukang banten, sangging, dll.
Tingkat
pawintenan ada tiga menurut besar/ kecilnya upacara pawintenan yaitu :
- pawintenan dengan ayaban saraswati termasuk yang paling sederhana.
- pawintenan dengan ayaban bebangkit untuk yang medium, dan
- pawintenan dengan ayaban catur yang paling utama.
Pawintenan
dengan ayaban saraswati adalah pensucian diri dengan memuja Dewi Saraswati
sebagai sakti Brahma yang mencipta ilmu pengetahuan; pawintenan tingkat ini
untuk para brahmacari misalnya yang belajar agama, yang senang gegitaan,
pegawai kantor agama, dll.
Pawintenan
dengan ayaban bebangkit adalah pensucian diri dengan memuja Dewi Saraswati dan
Bethara Gana sebagai putra Siwa yang berfungsi sebagai pelindung manusia;
pawintenan tingkat ini untuk para undagi, sangging, tukang banten, dll.
Pawintenan
dengan ayaban catur adalah pensucian diri dengan memuja para Dewa : Iswara,
Brahma, Mahadewa, dan Wisnu sebagai manifestasi Ida Sanghyang Widhi Wasa;
pawintenan tingkat ini untuk para pemangku, dalang, pinandita, dll.
Mereka
yang sudah mawinten wajib menggelar brata, tapa, yoga, samadi. Makin tinggi
tingkat pawintenannya makin ketat pelaksanaan brata, tapa, yoga, samadi-nya.
Brata
adalah pengekangan hawa nafsu panca indra; Tapa adalah pengendalian diri agar
selalu dalam jalur Dharma. Yoga adalah senantiasa memuja kebesaran dan
kemuliaan Ida Sanghyang Widhi Wasa. Samadi adalah mengosongkan pikiran dan
penyerahan diri secara total pada kemahakuasaan Ida Sanghyang Widhi Wasa.
Untuk
dapat melaksanakan brata-tapa-yoga-samadi dengan baik, kesucian lahir bathin
selalu harus dipelihara, antara lain dengan menjaga agar tidak cemer. Yang
dimaksud dengan cemer adalah:
- Pikiran, perbuatan, dan perkataan yang menyimpang dari ajaran dharma agama dan swadarma seorang ekajati.
- Kesepungan yaitu keadaan cuntaka yang bukan berasal dari diri sendiri.
Ajaran
dharma agama yang khusus antara lain: yama-niyama brata, sad ripu, sad atatayi,
trikaya parisudha, asta brata, dll.
Swadharma
seorang ekajati adalah pelaksanaan dharma agama disertai dengan atribut yang
dikenakan seorang ekajati yaitu kain, kampuh, baju, destar putih, dan tatanan
rambut, semuanya disesuaikan dengan tingkatan pawintenan masing-masing.
Menyantap
suguhan di tempat orang meninggal/ ngaben, turut memandikan layon, termasuk
“cemer” yang nomor dua.
Masyarakat
yang mengetahui seseorang telah mawinten tidak akan menyalahkan jika ia tidak
makan/ minum di tempat orang meninggal/ ngaben dan tidak turut memandikan
layon.
Oleh
karena itu pada setiap upacara pawintenan sebaiknya prajuru adat diundang agar
mereka secara resmi mengetahui bahwa seseorang sudah mawinten.
Sebaiknya
pula mereka yang sudah mawinten mengenakan atribut-atribut pawintenannya, sehingga
masyarakat luas mengetahui dan memaklumi.
Apabila
seseorang yang sudah mawinten cemer, maka ia wajib mensucikan diri dengan
berbagai tingkatan cara sesuai dengan tingkat kecemerannya.
Misalnya
jika hanya menyantap makanan di tempat orang berhalangan kematian, cukup dengan
meprayascita saja; jika sampai mengambil/ memegang jenazah wajib mengulangi
upacara pawintenannya yang dinamakan upacara “masepuh”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar