Selasa, 17 September 2013

Prajapati dan Mrajapati



Prajapati dan Mrajapati
Prajapati adalah ‘nama’ lain dari Sanghyang Widhi, di mana istilah itu terdiri dari dua kata bahasa kawi, yaitu: ‘praja’ artinya ‘kemanusiaan (manusia)’ dan ‘pati’ artinya ‘inti’ sehingga secara harfiah prajapati disimpulkan sebagai ‘inti manusia’, yaitu ‘atman’ (roh) yang sama dengan/ pecahan brahman (Sanghyang Widhi).
Mrajapati atau Merajapati terdiri dari dua kata bahasa Kawi (jawa kuno) di mana ‘meraja’ artinya ‘menjadi penguasa’ sedangkan ‘pati’ seperti penjelasan di atas artinya ‘roh’. Jadi ‘meraja pati’ artinya ‘penguasa roh’.
Menurut tradisi beragama Hindu di Bali atau Hindu-Bali, maka roh si mati yang jasadnya dikuburkan, dipercaya masih dikuasai oleh Sanghyang Widhi dalam ‘prabhawa-Nya’ sebagai Bhatara Merajapati.
Pelinggihnya ada di ‘ulun sema’ berbentuk ‘padma capah’ Itulah sebabnya bila upacara pitra yadnya, di saat mungkah sang Sulinggih memohon kepada Bhatara Merajapati untuk diijinkan membebaskan roh si mati untuk di aben dst. agar bisa ‘mantuk ke sunia’.
Hukuman Mati, Salah Pati, Ngulah Pati
Pertanyaan:
Banyak berita-berita di media masa maupun elektronik menyajikan berita-berita kriminal dan sampai vonis mati. Yang ingin saya tanyakan adalah bagaimana sebenarnya pandangan agama Hindu terhadap hukuman mati, apakah ajaran Hindu membenarkan hukuman mati dan apakah ada sumber hukum Hindu yang mengatur semua itu?
Mengingat Hindu adalah menjunjung tinggi ajaran Ahimsa dan kasih sayang, apakah arwahnya nanti bisa reinkarnasi? Termasuk jenis kematian apa orang yang terkena hukuman mati tersebut apakah ulahpati atau salah pati?
Jawaban:
Hukuman mati tidak disebutkan secara tegas/ pasti dalam kitab-kitab hukum Hindu.
Dalam Manawa Dharmasastra Buku ke-XI (Atha Ekadaso dhyayah) bentuk-bentuk kesalahan/ kejahatan digolongkan pada upa-pataka (kesalahan/ kejahatan kecil) dan maha-pataka (kesalahan/ kejahatan besar). Kesalahan/ kejahatan itu harus “ditebus” dengan prayascita.
Yang dimaksud dengan prayascita adalah pensucian kembali roh/ atman, tidak hanya dengan upacara saja, tetapi juga dengan tapa-brata-yoga-samadhi, dan menjalani hukuman atas dasar kesadaran, dan pengakuan, serta terbukti sah telah berbuat kesalahan/ kejahatan.
Hanya pasal 74 yang sedikit mengkiaskan “hukuman mati” sebagai berikut:
LAKSYAM SASTRABHRITAM WA, SYADWIDUSAMISCHAYATMANAH, PRASYEDATMANAMAGNAN WA, SAMIDDHE TRIRAWAKSARAH
Artinya: Atau biarkan menurut kemauannya sendiri perlahan-lahan (suntik mati), menjadi sasaran panah (hukum tembak) dari para pemanah (eksekutor) yang mengetahui tujuan itu (yang bertugas) atau ia boleh terjun jungkir balik ke unggun api (kursi listrik?, kamar gas?)
Istilah: “salah pati” dan “ngulah pati” hanya ada dalam tradisi beragama Hindu di Bali. Oleh karena itu penetapannya tergantung dari kebijaksanaan dan anumana pramana Sulinggih yang “muput” upacara pitra yadnya itu.
Kalau pendapat saya pribadi, hukuman mati bagi seorang pemeluk Hindu-Bali, termasuk “ngulah pati”, karena dia sudah tahu sebelumnya bahwa perbuatannya jahat; jika kemudian terbukti bersalah akan mendapat sanksi hukuman mati dari Pengadilan.
Masalah roh/ atman dari orang yang dihukum mati, apakah akan amoring acintya (moksah) ataukah akan lahir kembali ke dunia (re-inkarnasi/ punarbhawa), tentunya kita tidak tahu karena masalah itu termasuk astaaiswarya “kehendak” Sanghyang Widhi yang Maha Kuasa.
Namun perlu diingat bahwa hukuman mati yang diputuskan oleh “manusia” karena dipandang “bersalah”, belum tentu dalam pertimbangan Sanghyang Widhi dia juga dianggap “bersalah”. Misalnya para korban kemelut politik, huru-hara, dll.
Mati Salah Pati dan Ngulah Pati
Pertanyaan:
Menurut dharma sabha para Sulinggih, mati salah pati, ngulah pati, sampun kepatehang mekadi mati biasa. Pertanyaan:
1. Dwaning sampun wenten siaran asapunika, napi dados yening wenten anak mati salah pati/ ngulah pati nenten ngemargiang meseh lawang.
2. Sapunapi, utawi wenten tata cara mangda nenten terus menerus keni ala mati salah pati/ ulah pati, dwaning titiang maduwe kakilitan sampun wenten petang diri sane mati salah pati: kekalih rerame uwa, asiki misan, asiki pianak, matinnyane: kelebu di pasih, majukut ring carik, kabedil ring alase, lan mati sirep di proyek.
Jawaban:
1. Yang dimaksud dengan mati salah pati adalah mati yang tidak terduga-duga karena kecelakaan atau di sarap macan, buaya, disenggot sampi, digigit ular, dibunuh, dll. Yang dimaksud mati ngulah pati adalah mati karena bunuh diri.
Berdasarkan hasil pesamuhan Agung Para Sulinggih dan Walaka di Campuhan, Ubud, tanggal 21 Oktober 1961, dapat diupacarai sebagai orang mati biasa (karena sakit) hanya ditambah dengan upacara panebusan.
Ini merupakan reformasi atas Lontar: “Yama Purwa Tattwa Atma” yang menyatakan:
… YAN MATI SALAH PATI, TELUNG TIBAN WENANG PRATEKA, YAN NORA PRATEKA, WENANG ANGADEG SAMAYA;
YAN ANGALIH PATI LIMANG TIBAN WENANG PRETEKA;
YAN ATURU, MATI ATIMPUH, MATI ANGADEG, SININGOTING BANTENG, PITUNG TIBAN WENANG PRETEKA, YAN NORA PRATEKA WENANG ANGADEG SAMAYA;
YAN MATI NYUWANG SOMAH ANAK, LIMOLAS TIBAN WENANG PRETEKA, YAN NORA PRATEKA WENANG ANGADEG SAMAYA;
SEMALIH YAN HANA WANG NGEMADUWANG MUWANI, TEKANING PATINYA, TELUNG DASA TIBAN NANGGU TELUNG TIBAN WENANG PRETEKA …
Jadi kesimpulannya bahwa untuk mati salah pati dan ngulah pati dapat diupacarai sebagai mati biasa dengan syarat ditambah beberapa upacara panebusan yaitu di: perempatan jalan Desa, di tempat kejadian, dan di cangkem setra, lalu ketiga pejati penebusan disatukan dengan sawa baik bila mapendem maupun bila segera di-aben.
Upacara meseh lawang merupakan loka dresta yang dipandang perlu untuk melengkapi upacara panebusan itu namun berbeda-beda pelaksanaannya; ada yang melaksanakan pada saat 42 hari setelah ditanam , dan ada yang melaksanakan pada saat pengabenan.
2. Kematian dan cara mati seseorang sudah diperjanjikan jauh ketika Sang Atma belum reinkarnasi (lahir kembali menjadi manusia) yaitu ketika Sang Atma menghadap kepada Hyang Wisesa (Ida Sanghyang Widi Wasa).
Oleh karena itu maka menurut Lontar “Puja Pengabenan” Sang Pandita yang memimpin upacara pengabenan berkewajiban menuntun Sang Atma dalam perjalanannya menghadap Hyang Wisesa dengan nasihat/ pitutur kepada Sang Atma ketika upacara Nyekah yang disebut “Puja Putru Saji Nyekah” antara lain berbunyi:
… LUMARIS TA KITA RING KADEWATAN, JUMUJUG PWA KITA RING KAHYANGANIRA HYANG WISESA, MWAH TINAKONAN PATINTA DE BETHARA HYANG WISESA, WARAHIN PATINTA, ELING RING SAMAYANTA … DST
… AYUWA LAWAS DENTA MANDADI DEWATA, PITUNG LEK PITUNG WENGI LAWASANTA MANGGE RING SWARGA, AREP PWA KITA TUMITIS ANJANMA, AYUWA KITA NYOLONG TUMITIS ANJANMA MANAWA KITA ANWAN PEJAH … DST
… AYUWA KITA ASEMAYA MATI KESARIK, SININGGOTING KEBO SAMPI, AYUWA KITA ASEMAYA MATI SINAWUTANING WUHAYA, SINAWUTANING ULA, AYUWA KITA ASEMAYA MATI SEDENG BISA PAPALAYON, SEDENG SAPANGANGON, SEDENG RUMAJA PUTRA, SEDENG APAPANGKAS, SEDENG ANUWUH TUWUH, MWAH AYUWA KITA SAMAYA MATI SAKALWIRING KAPANGAWEN, ANGULAH PATI, SALAH PATI, ASEMAYA KITA ANUTUGAKEN TUWUH …
Demikianlah bunyi Lontar yang digunakan oleh Sang Pandita yang bertanggung jawab; oleh karena itu sangatlah penting artinya untuk memilih Sulinggih Dwijati/ Pandita yang diminta untuk muput upacara ngaben.
Bila Putru tersebut tidak diucapkan atau salah diucapkan atau diucapkan oleh yang tidak berwenang, maka bisa menyesatkan Sang Atma sehingga terjadilah kematian-kematian yang tidak wajar tersebut.
Suka Duka Lara Pati
Pertanyaan:
Kenapa kehidupan manusia lebih banyak susahnya dibandingkan senangnya?
Jawaban:
Kehidupan kita sebagai manusia tidak dapat lepas dari hukum Hyang Widhi, yaitu: suka – duka – lara – pati. Siapapun pernah mengalami empat keadaan itu baik ia orang berpangkat, berbangsa, berkuasa, bahkan rakyat jelata.
Agama (Hindu) berperan sebagai pedoman hidup di kala manusia mengalami empat keadaan itu. Singkatnya, di saat kita senang (suka) jangan terlalu takabur, di saat kita susah (duka), lara dan menemui kematian jangan terlalu sedih.
Empat keadaan itu juga membuktikan bahwa menjadi manusia lebih banyak susahnya (duka – lara – pati) dibanding dengan senangnya (suka) karena begitulah hukum Hyang Widhi yang bertujuan agar manusia selalu mawas diri karena tugas atman (roh) menjelma menjadi manusia adalah untuk meningkatkan kesucian secara bertahap sehingga di suatu saat atman (roh) bisa bersatu dengan Brahman (Hyang Widhi), itu yang dinamakan “amoring acintya” di mana akan ditemukan “suka tanpawali duka”.
Jadi gunakanlah kehidupan sebagai manusia dengan sebaik-baiknya dalam arti senantiasa menegakkan dharma.
Manusia berbuat kekeliruan namun apa yang telah terlanjur terjadi jangan terlalu disesalkan. Kita harus bersemangat untuk bangkit. Pengalaman lalu merupakan pelajaran berharga untuk memacu kita menjadi dewasa dan bertanggung jawab.
Hasil Karma
Pertanyaan:
Dalam hidup ini, kejadian sekarang dan yang akan datang apakah murni dari hasil karma kita? Dalam Hindu apakah ada “cobaan” (kejadian negatif yang tidak ada hubungan dengan karma kita yang lampau) atau “anugrah” (kebalikan dari yang di atas).
Yang saya tahu karmapala adalah hukum sebab akibat. Ada sebab maka ada akibatnya. Jadi dosa kita tidak akan pernah terhapuskan dan akan ada balasannya.
Kalau usaha yang gagal meskipun sudah bekerja keras apakah itu berarti karma kita yang dulu memang buruk atau hal itu adalah ujian dari Tuhan?
Jawaban:
Kehidupan manusia ditentukan oleh:
1. Takdir atau “Rta”, yaitu “hukum alam-Tuhan” bahwa semua manusia mengalami empat jenis kehidupan: suka (kesenangan), duka (kesusahan), lara (sakit), dan pati (kematian). Tak ada manusia seorang pun yang terhindar dari Rta karena itulah hukum-Nya.
2. Bahwa manusia lahir ke dunia karena roh-nya belum bersih sehingga roh itu harus menjelma (re-inkarnasi) agar di kehidupan selanjutnya manusia bisa memperbaiki diri atau lebih mensucikan roh-nya sehingga di suatu saat roh itu (setelah meninggal dunia) bisa bersatu dengan Brahman (Tuhan).
Inilah yang dinamakan moksah atau amoring acintya, cita-cita dari setiap roh.
3. Maka kehidupan di dunia adalah “samsara” atau sengsara, sedangkan kehidupan roh yang bisa moksah adalah: “suka tan pawali duhka” (kesenangan, tiada kedukaan).
4. Karma-phala (buah dari perbuatan) di masa kini atau di masa lampau atau di masa kehidupan periode yang lalu.
5. Tuhan (Sanghyang Widhi) “menguji” ketahanan manusia dengan memberikan penderitaan. Bila manusia berhasil mengatasi penderitaan/ kesulitan itu maka wara nugraha akan dilimpahkan kepadanya.
6. Pengaruh dari:
  • Kondisi ayah-ibu tatkala berhubungan badan kemudian hamil dan mengandung manusia sebagai bayi. Bila ayah-ibu berhubungan badan dalam keadaan: sedih, mabuk, marah, maka anaknya akan terpengaruh hal-hal yang sifatnya “keraksasaan” (asuri sampad)
  • Pengaruh dari posisi bintang, bulan, matahari ketika bayi lahir
  • Pengaruh dari lingkungan/ suasana sejak lahir sampai tumbuh besar
Sorga dan Neraka
Sorga dan Neraka bukan suatu tempat di alam sana seperti Kawah Candradimuka atau Nirwana, dan bukan pula sesuatu yang berwujud. Sorga atau Neraka adalah karmawasana yang membungkus Atman (Roh manusia) seperti kembungan karet yang mengurung udara di dalamnya.
Atman diibaratkan sebagai udara dalam kembungan karet. Atman ingin bersatu dengan Brahman (Hyang Widhi), begitu juga udara dalam kembungan ingin bergabung dengan udara di luarnya, namun bungkusan karet itulah yang menghalangi.
Atman dibungkus oleh tiga lapisan, yaitu:
  1. Panca Mahabutha sebagai bungkusan terluar berbentuk badan/ tubuh manusia
  2. Panca Tanmatra sebagai bungkusan kedua yaitu pengaruh panca indra manusia ketika masih hidup terhadap Atman
  3. Karmawasana adalah bungkusan ketiga yang merupakan karmaphala baik/buruk perbuatan manusia dalam kehidupannya dahulu
Ngaben dan Nyekah tujuannya mengembalikan Panca Mahabutha dan menghilangkan Panca Tanmatra. Karmawasana tidak dapat dihilangkan, dan inilah yang membawa Atma ke dalam keadaan Sorga dan Neraka.
Keadaan Sorga dialami Atman bila Karmawasana-nya baik karena di kehidupannya dahulu banyak berbuat dharma (subha karma). Keadaan Neraka dialami Atman bila Karmawasananya buruk karena di kehidupannya dahulu banyak berbuat adharma (asubha karma).
Bilamana Karmawasana-nya tiada cacat, di situlah Atman bersatu dengan Brahman. Selama Karmawasana belum sempurna, Atman akan bereinkarnasi berulang-ulang dengan tujuan agar di setiap kehidupan senantiasa berbuat subha karma agar suatu ketika menjadi sempurna.
Oleh karena itu manusia wajib selalu berbuat dharma agar Atman tidak lagi bereinkarnasi. Ketahuilah kehidupan sebagai manusia sebenarnya tidak enak karena masih mengalami Suka, Duka, Lara, Pati, yaitu: kesenangan, kesedihan, sakit, dan kematian.
Di alam Brahman yang menjadi cita-cita Atman, tersedia kehidupan kekal abadi, “Suka tanpawali duka”: kebahagiaan tanpa kesusahan. Inilah Sorga yang diidam-idamkan oleh setiap Atma.
Sekian semoga dapat memahaminya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar