Prajapati dan Mrajapati
Prajapati adalah ‘nama’ lain dari Sanghyang Widhi, di mana
istilah itu terdiri dari dua kata bahasa kawi, yaitu: ‘praja’ artinya
‘kemanusiaan (manusia)’ dan ‘pati’ artinya ‘inti’ sehingga secara harfiah
prajapati disimpulkan sebagai ‘inti manusia’, yaitu ‘atman’ (roh) yang sama
dengan/ pecahan brahman (Sanghyang Widhi).
Mrajapati atau Merajapati terdiri dari dua kata bahasa Kawi
(jawa kuno) di mana ‘meraja’ artinya ‘menjadi penguasa’ sedangkan ‘pati’
seperti penjelasan di atas artinya ‘roh’. Jadi ‘meraja pati’ artinya ‘penguasa
roh’.
Menurut tradisi beragama Hindu di Bali atau Hindu-Bali, maka
roh si mati yang jasadnya dikuburkan, dipercaya masih dikuasai oleh Sanghyang
Widhi dalam ‘prabhawa-Nya’ sebagai Bhatara Merajapati.
Pelinggihnya ada di ‘ulun sema’ berbentuk ‘padma capah’
Itulah sebabnya bila upacara pitra yadnya, di saat mungkah sang Sulinggih
memohon kepada Bhatara Merajapati untuk diijinkan membebaskan roh si mati untuk
di aben dst. agar bisa ‘mantuk ke sunia’.
Hukuman Mati, Salah Pati, Ngulah
Pati
Pertanyaan:
Banyak berita-berita di media masa maupun elektronik
menyajikan berita-berita kriminal dan sampai vonis mati. Yang ingin saya
tanyakan adalah bagaimana sebenarnya pandangan agama Hindu terhadap hukuman
mati, apakah ajaran Hindu membenarkan hukuman mati dan apakah ada sumber hukum
Hindu yang mengatur semua itu?
Mengingat Hindu adalah menjunjung tinggi ajaran Ahimsa dan
kasih sayang, apakah arwahnya nanti bisa reinkarnasi? Termasuk jenis kematian
apa orang yang terkena hukuman mati tersebut apakah ulahpati atau salah pati?
Jawaban:
Hukuman mati tidak disebutkan secara tegas/ pasti dalam
kitab-kitab hukum Hindu.
Dalam Manawa Dharmasastra Buku ke-XI (Atha Ekadaso dhyayah)
bentuk-bentuk kesalahan/ kejahatan digolongkan pada upa-pataka (kesalahan/
kejahatan kecil) dan maha-pataka (kesalahan/ kejahatan besar). Kesalahan/
kejahatan itu harus “ditebus” dengan prayascita.
Yang dimaksud dengan prayascita adalah pensucian kembali
roh/ atman, tidak hanya dengan upacara saja, tetapi juga dengan
tapa-brata-yoga-samadhi, dan menjalani hukuman atas dasar kesadaran, dan
pengakuan, serta terbukti sah telah berbuat kesalahan/ kejahatan.
Hanya pasal 74 yang sedikit mengkiaskan “hukuman mati”
sebagai berikut:
LAKSYAM
SASTRABHRITAM WA, SYADWIDUSAMISCHAYATMANAH, PRASYEDATMANAMAGNAN WA, SAMIDDHE
TRIRAWAKSARAH
Artinya: Atau biarkan menurut kemauannya sendiri
perlahan-lahan (suntik mati), menjadi sasaran panah (hukum tembak) dari para
pemanah (eksekutor) yang mengetahui tujuan itu (yang bertugas) atau ia boleh
terjun jungkir balik ke unggun api (kursi listrik?, kamar gas?)
Istilah: “salah pati” dan “ngulah pati” hanya ada dalam
tradisi beragama Hindu di Bali. Oleh karena itu penetapannya tergantung dari
kebijaksanaan dan anumana pramana Sulinggih yang “muput” upacara pitra yadnya
itu.
Kalau pendapat saya pribadi, hukuman mati bagi seorang
pemeluk Hindu-Bali, termasuk “ngulah pati”, karena dia sudah tahu sebelumnya
bahwa perbuatannya jahat; jika kemudian terbukti bersalah akan mendapat sanksi
hukuman mati dari Pengadilan.
Masalah roh/ atman dari orang yang dihukum mati, apakah akan
amoring acintya (moksah) ataukah akan lahir kembali ke dunia (re-inkarnasi/
punarbhawa), tentunya kita tidak tahu karena masalah itu termasuk astaaiswarya
“kehendak” Sanghyang Widhi yang Maha Kuasa.
Namun perlu diingat bahwa hukuman mati yang diputuskan oleh
“manusia” karena dipandang “bersalah”, belum tentu dalam pertimbangan Sanghyang
Widhi dia juga dianggap “bersalah”. Misalnya para korban kemelut politik,
huru-hara, dll.
Mati Salah Pati dan Ngulah Pati
Pertanyaan:
Menurut dharma sabha para Sulinggih, mati salah pati, ngulah
pati, sampun kepatehang mekadi mati biasa. Pertanyaan:
1. Dwaning sampun wenten siaran asapunika, napi dados yening
wenten anak mati salah pati/ ngulah pati nenten ngemargiang meseh lawang.
2. Sapunapi, utawi wenten tata cara mangda nenten terus
menerus keni ala mati salah pati/ ulah pati, dwaning titiang maduwe kakilitan
sampun wenten petang diri sane mati salah pati: kekalih rerame uwa, asiki
misan, asiki pianak, matinnyane: kelebu di pasih, majukut ring carik, kabedil
ring alase, lan mati sirep di proyek.
Jawaban:
1. Yang dimaksud dengan mati salah pati adalah mati yang
tidak terduga-duga karena kecelakaan atau di sarap macan, buaya, disenggot
sampi, digigit ular, dibunuh, dll. Yang dimaksud mati ngulah pati adalah mati
karena bunuh diri.
Berdasarkan hasil pesamuhan Agung Para Sulinggih dan Walaka
di Campuhan, Ubud, tanggal 21 Oktober 1961, dapat diupacarai sebagai orang mati
biasa (karena sakit) hanya ditambah dengan upacara panebusan.
Ini merupakan reformasi atas Lontar: “Yama Purwa Tattwa
Atma” yang menyatakan:
…
YAN MATI SALAH PATI, TELUNG TIBAN WENANG PRATEKA, YAN NORA PRATEKA, WENANG
ANGADEG SAMAYA;
YAN
ANGALIH PATI LIMANG TIBAN WENANG PRETEKA;
YAN
ATURU, MATI ATIMPUH, MATI ANGADEG, SININGOTING BANTENG, PITUNG TIBAN WENANG
PRETEKA, YAN NORA PRATEKA WENANG ANGADEG SAMAYA;
YAN
MATI NYUWANG SOMAH ANAK, LIMOLAS TIBAN WENANG PRETEKA, YAN NORA PRATEKA WENANG
ANGADEG SAMAYA;
SEMALIH
YAN HANA WANG NGEMADUWANG MUWANI, TEKANING PATINYA, TELUNG DASA TIBAN NANGGU
TELUNG TIBAN WENANG PRETEKA …
Jadi kesimpulannya bahwa untuk mati salah pati dan ngulah
pati dapat diupacarai sebagai mati biasa dengan syarat ditambah beberapa
upacara panebusan yaitu di: perempatan jalan Desa, di tempat kejadian, dan di
cangkem setra, lalu ketiga pejati penebusan disatukan dengan sawa baik bila
mapendem maupun bila segera di-aben.
Upacara meseh lawang merupakan loka dresta yang dipandang
perlu untuk melengkapi upacara panebusan itu namun berbeda-beda pelaksanaannya;
ada yang melaksanakan pada saat 42 hari setelah ditanam , dan ada yang
melaksanakan pada saat pengabenan.
2. Kematian dan cara mati seseorang sudah diperjanjikan jauh
ketika Sang Atma belum reinkarnasi (lahir kembali menjadi manusia) yaitu ketika
Sang Atma menghadap kepada Hyang Wisesa (Ida Sanghyang Widi Wasa).
Oleh karena itu maka menurut Lontar “Puja Pengabenan” Sang
Pandita yang memimpin upacara pengabenan berkewajiban menuntun Sang Atma dalam
perjalanannya menghadap Hyang Wisesa dengan nasihat/ pitutur kepada Sang Atma
ketika upacara Nyekah yang disebut “Puja Putru Saji Nyekah” antara lain
berbunyi:
…
LUMARIS TA KITA RING KADEWATAN, JUMUJUG PWA KITA RING KAHYANGANIRA HYANG
WISESA, MWAH TINAKONAN PATINTA DE BETHARA HYANG WISESA, WARAHIN PATINTA, ELING
RING SAMAYANTA … DST
…
AYUWA LAWAS DENTA MANDADI DEWATA, PITUNG LEK PITUNG WENGI LAWASANTA MANGGE RING
SWARGA, AREP PWA KITA TUMITIS ANJANMA, AYUWA KITA NYOLONG TUMITIS ANJANMA
MANAWA KITA ANWAN PEJAH … DST
…
AYUWA KITA ASEMAYA MATI KESARIK, SININGGOTING KEBO SAMPI, AYUWA KITA ASEMAYA
MATI SINAWUTANING WUHAYA, SINAWUTANING ULA, AYUWA KITA ASEMAYA MATI SEDENG BISA
PAPALAYON, SEDENG SAPANGANGON, SEDENG RUMAJA PUTRA, SEDENG APAPANGKAS, SEDENG
ANUWUH TUWUH, MWAH AYUWA KITA SAMAYA MATI SAKALWIRING KAPANGAWEN, ANGULAH PATI,
SALAH PATI, ASEMAYA KITA ANUTUGAKEN TUWUH …
Demikianlah bunyi Lontar yang digunakan oleh Sang Pandita
yang bertanggung jawab; oleh karena itu sangatlah penting artinya untuk memilih
Sulinggih Dwijati/ Pandita yang diminta untuk muput upacara ngaben.
Bila Putru tersebut tidak diucapkan atau salah diucapkan
atau diucapkan oleh yang tidak berwenang, maka bisa menyesatkan Sang Atma
sehingga terjadilah kematian-kematian yang tidak wajar tersebut.
Suka Duka Lara Pati
Pertanyaan:
Kenapa kehidupan manusia lebih banyak susahnya dibandingkan
senangnya?
Jawaban:
Kehidupan kita sebagai manusia tidak dapat lepas dari hukum
Hyang Widhi, yaitu: suka – duka – lara – pati. Siapapun pernah mengalami empat
keadaan itu baik ia orang berpangkat, berbangsa, berkuasa, bahkan rakyat
jelata.
Agama (Hindu) berperan sebagai pedoman hidup di kala manusia
mengalami empat keadaan itu. Singkatnya, di saat kita senang (suka) jangan
terlalu takabur, di saat kita susah (duka), lara dan menemui kematian jangan
terlalu sedih.
Empat keadaan itu juga membuktikan bahwa menjadi manusia
lebih banyak susahnya (duka – lara – pati) dibanding dengan senangnya (suka)
karena begitulah hukum Hyang Widhi yang bertujuan agar manusia selalu mawas
diri karena tugas atman (roh) menjelma menjadi manusia adalah untuk
meningkatkan kesucian secara bertahap sehingga di suatu saat atman (roh) bisa
bersatu dengan Brahman (Hyang Widhi), itu yang dinamakan “amoring acintya” di mana
akan ditemukan “suka tanpawali duka”.
Jadi gunakanlah kehidupan sebagai manusia dengan
sebaik-baiknya dalam arti senantiasa menegakkan dharma.
Manusia berbuat kekeliruan namun apa yang telah terlanjur
terjadi jangan terlalu disesalkan. Kita harus bersemangat untuk bangkit.
Pengalaman lalu merupakan pelajaran berharga untuk memacu kita menjadi dewasa
dan bertanggung jawab.
Hasil Karma
Pertanyaan:
Dalam hidup ini, kejadian sekarang dan yang akan datang
apakah murni dari hasil karma kita? Dalam Hindu apakah ada “cobaan” (kejadian
negatif yang tidak ada hubungan dengan karma kita yang lampau) atau “anugrah”
(kebalikan dari yang di atas).
Yang saya tahu karmapala adalah hukum sebab akibat. Ada
sebab maka ada akibatnya. Jadi dosa kita tidak akan pernah terhapuskan dan akan
ada balasannya.
Kalau usaha yang gagal meskipun sudah bekerja keras apakah
itu berarti karma kita yang dulu memang buruk atau hal itu adalah ujian dari
Tuhan?
Jawaban:
Kehidupan manusia ditentukan oleh:
1. Takdir atau “Rta”, yaitu “hukum alam-Tuhan” bahwa semua
manusia mengalami empat jenis kehidupan: suka (kesenangan), duka (kesusahan),
lara (sakit), dan pati (kematian). Tak ada manusia seorang pun yang terhindar
dari Rta karena itulah hukum-Nya.
2. Bahwa manusia lahir ke dunia karena roh-nya belum bersih
sehingga roh itu harus menjelma (re-inkarnasi) agar di kehidupan selanjutnya
manusia bisa memperbaiki diri atau lebih mensucikan roh-nya sehingga di suatu
saat roh itu (setelah meninggal dunia) bisa bersatu dengan Brahman (Tuhan).
Inilah yang dinamakan moksah atau amoring acintya, cita-cita
dari setiap roh.
3. Maka kehidupan di dunia adalah “samsara” atau sengsara,
sedangkan kehidupan roh yang bisa moksah adalah: “suka tan pawali duhka”
(kesenangan, tiada kedukaan).
4. Karma-phala (buah dari perbuatan) di masa kini atau di
masa lampau atau di masa kehidupan periode yang lalu.
5. Tuhan (Sanghyang Widhi) “menguji” ketahanan manusia
dengan memberikan penderitaan. Bila manusia berhasil mengatasi penderitaan/
kesulitan itu maka wara nugraha akan dilimpahkan kepadanya.
6. Pengaruh dari:
- Kondisi ayah-ibu tatkala berhubungan badan kemudian hamil dan mengandung manusia sebagai bayi. Bila ayah-ibu berhubungan badan dalam keadaan: sedih, mabuk, marah, maka anaknya akan terpengaruh hal-hal yang sifatnya “keraksasaan” (asuri sampad)
- Pengaruh dari posisi bintang, bulan, matahari ketika bayi lahir
- Pengaruh dari lingkungan/ suasana sejak lahir sampai tumbuh besar
Sorga dan Neraka bukan suatu tempat di alam sana seperti
Kawah Candradimuka atau Nirwana, dan bukan pula sesuatu yang berwujud. Sorga
atau Neraka adalah karmawasana yang membungkus Atman (Roh manusia) seperti
kembungan karet yang mengurung udara di dalamnya.
Atman diibaratkan sebagai udara dalam kembungan karet. Atman
ingin bersatu dengan Brahman (Hyang Widhi), begitu juga udara dalam kembungan
ingin bergabung dengan udara di luarnya, namun bungkusan karet itulah yang
menghalangi.
Atman dibungkus oleh tiga lapisan, yaitu:
- Panca Mahabutha sebagai bungkusan terluar berbentuk badan/ tubuh manusia
- Panca Tanmatra sebagai bungkusan kedua yaitu pengaruh panca indra manusia ketika masih hidup terhadap Atman
- Karmawasana adalah bungkusan ketiga yang merupakan karmaphala baik/buruk perbuatan manusia dalam kehidupannya dahulu
Ngaben dan Nyekah tujuannya mengembalikan Panca Mahabutha
dan menghilangkan Panca Tanmatra. Karmawasana tidak dapat dihilangkan, dan
inilah yang membawa Atma ke dalam keadaan Sorga dan Neraka.
Keadaan Sorga dialami Atman bila Karmawasana-nya baik karena
di kehidupannya dahulu banyak berbuat dharma (subha karma). Keadaan Neraka
dialami Atman bila Karmawasananya buruk karena di kehidupannya dahulu banyak
berbuat adharma (asubha karma).
Bilamana Karmawasana-nya tiada cacat, di situlah Atman bersatu
dengan Brahman. Selama Karmawasana belum sempurna, Atman akan bereinkarnasi
berulang-ulang dengan tujuan agar di setiap kehidupan senantiasa berbuat subha
karma agar suatu ketika menjadi sempurna.
Oleh karena itu manusia wajib selalu berbuat dharma agar
Atman tidak lagi bereinkarnasi. Ketahuilah kehidupan sebagai manusia sebenarnya
tidak enak karena masih mengalami Suka, Duka, Lara, Pati, yaitu: kesenangan,
kesedihan, sakit, dan kematian.
Di alam Brahman yang menjadi cita-cita Atman, tersedia
kehidupan kekal abadi, “Suka tanpawali duka”: kebahagiaan tanpa kesusahan.
Inilah Sorga yang diidam-idamkan oleh setiap Atma.
Sekian semoga dapat memahaminya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar