Minggu, 08 September 2013

Belajar Veda



Belajar Veda
Seseorang yang akan mempelajari kitab suci Weda/ sastra Agama wajib mensucikan diri terlebih dahulu karena dalam diri yang sudah suci akan terwujud pikiran-pikiran suci sehingga ajaran Weda mudah meresap.
Yang dimaksud dengan mempelajari Weda, adalah:
  1. Belajar tattwa agama, misalnya dharma gita, mendalami tattwa, dll.
  2. Belajar ritual agama misalnya membuat banten, tukang wadah, undagi, dalang, dll.
  3. Menjadi pejabat dalam lingkup agama misalnya menjadi Guru Agama, Pegawai Kantor Agama, Bendesa/Klian Adat, Jero Mangku, Jero Gde, Pandita, dll.
Mensucikan diri dilaksanakan dengan upacara pawintenan untuk kelompok ekajati, dan padiksaan untuk kelompok dwijati.
Pawintenan asal katanya inten mengandung simbol kesucian dan kecemerlangan. Diksa artinya pengesahan menjadi rohaniawan Brahmana-jati (Pandita/ Pendeta).
Ekajati artinya mereka yang lahir sekali saja yaitu dari rahim ibu; dwijati artinya mereka yang lahir dua kali yaitu pertama dari rahim ibu dan yang kedua kali lahir dari ibu Gayatri (Weda) melalui Nabe (Guru putra).
Pawintenan dilaksanakan dalam tiga tingkatan, yaitu pawintenan dengan ayaban Saraswati, ayaban Bebangkit, dan ayaban Catur. Pilihan diserahkan kepada diri masing-masing, namun dengan mempertimbangkan kepentingan atau kesepadanan, dan pertimbangan kekuatan melaksanakan tapa, berata, yoga, samadi.
Pertimbangan kepentingan dan kesepadanan maksudnya adalah menyesuaikan tingkat ayaban dengan tingkat pelajaran Weda.
Misalnya jika ingin belajar dharma gita, cukup mawinten dengan ayaban Saraswati saja (sederhana), karena tingkat ini yang paling ringan “beberatannya”; namun jika ingin menjadi undagi atau tukang banten tingkat pawintenannya ayaban Bebangkit (medium); untuk Jero Dalang, Jero Mangku Kahyangan Tiga, Jero Gede, dll. tingkat pawintennya harus ayaban Catur (utama).
Ayaban Saraswati tujuannya menstanakan Bethari Saraswati yaitu manifestasi Ida Sanghyang Widhi Wasa sebagai pencipta ilmu pengetahuan.
Ayaban Bebangkit tujuannya menstanakan Bethara Gana yaitu manifestasi Ida Sanghyang Widhi Wasa sebagai pelindung dan pemberi kemakmuran. Ayaban Catur tujuannya menstanakan Bethara Iswara, Brahma, Mahadewa dan Wisnu sebagai wujud Ida Sanghyang Widhi wasa.
Pantangan-pantangan dan sikap mereka yang sudah mawinten pada umumnya untuk menjaga kesucian diri misalnya untuk makanan: tidak memakan daging sapi, daging babi, daging ayam, daging binatang melata, cendawan yang tumbuh di kotoran sapi, makanan yang dimasak oleh orang cuntaka atau candala, dll.
Untuk pakaian: tidak berpakaian selain warna putih atau kuning; untuk perumahan, tidak sekamar dengan orang cuntaka (kematian, haid, melahirkan, dll).
Selanjutnya yang paling utama adalah pantangan melanggar Trikaya Parisuda yaitu: Kayika: tidak menyiksa/ membunuh mahluk apapun, tidak mencuri, tidak berzina; Wacika: tidak memaki, tidak berkata keras, tidak memfitnah, tidak ingkar janji; Manacika: tidak iri pada keberpunyaan orang lain, tidak berprasangka buruk, percaya kepada hukum karma pala.
Di samping itu sikap-sikap dharma lainnya harus dipatuhi yaitu:
  1. Pengendalian sad ripu: kroda (kejam/ pemarah), lobha (tamak), kama (mengumbar nafsu indria), moha (angkuh), mada (mabuk, kegila-gilaan), matsaria (cemburu/ dengki/ iri hati).
  2. Tidak melakukan sad atatayi: agnida (membakar rumah dll), wisada (meracun orang), atharwa (melakukan ilmu hitam), sastregna (mengamuk, merampok), dratikrama (memperkosa, menipu), rajapisuna (memfitnah).
  3. Menghindari sapta timira: surupa (sombong karena tampan/ cantik), dana (sombong karena kaya), guna (sombong karena pandai), kulina (sombong karena keturunan/ kelahiran), yowana (sombong karena remaja), kasuran (sombong karena kemenangan), sura (mabuk karena minuman keras).
Masih banyak ajaran tentang sikap ke-dharmaan lainnya misalnya asadhabrata, yama brata, niyama brata, dll. nanti akan diperoleh bila telah mendalami tattwa.
Tidak hanya mereka yang aktif belajar sastra Agama saja, tetapi semua orang Hindu wajib mawinten bila sudah menginjak masa Grehasta Ashrama; sampai meninggal dunia pun, sebelum di-aben harus mawinten terlebih dahulu yaitu dengan upacara yang disebut “ngaskara”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar