Belajar Veda
Seseorang
yang akan mempelajari kitab suci Weda/ sastra Agama wajib mensucikan diri
terlebih dahulu karena dalam diri yang sudah suci akan terwujud pikiran-pikiran
suci sehingga ajaran Weda mudah meresap.
Yang
dimaksud dengan mempelajari Weda, adalah:
- Belajar tattwa agama, misalnya dharma gita, mendalami tattwa, dll.
- Belajar ritual agama misalnya membuat banten, tukang wadah, undagi, dalang, dll.
- Menjadi pejabat dalam lingkup agama misalnya menjadi Guru Agama, Pegawai Kantor Agama, Bendesa/Klian Adat, Jero Mangku, Jero Gde, Pandita, dll.
Mensucikan
diri dilaksanakan dengan upacara pawintenan untuk kelompok ekajati, dan
padiksaan untuk kelompok dwijati.
Pawintenan
asal katanya inten mengandung simbol kesucian dan kecemerlangan. Diksa artinya
pengesahan menjadi rohaniawan Brahmana-jati (Pandita/ Pendeta).
Ekajati
artinya mereka yang lahir sekali saja yaitu dari rahim ibu; dwijati artinya
mereka yang lahir dua kali yaitu pertama dari rahim ibu dan yang kedua kali
lahir dari ibu Gayatri (Weda) melalui Nabe (Guru putra).
Pawintenan
dilaksanakan dalam tiga tingkatan, yaitu pawintenan dengan ayaban Saraswati,
ayaban Bebangkit, dan ayaban Catur. Pilihan diserahkan kepada diri
masing-masing, namun dengan mempertimbangkan kepentingan atau kesepadanan, dan pertimbangan
kekuatan melaksanakan tapa, berata, yoga, samadi.
Pertimbangan
kepentingan dan kesepadanan maksudnya adalah menyesuaikan tingkat ayaban dengan
tingkat pelajaran Weda.
Misalnya
jika ingin belajar dharma gita, cukup mawinten dengan ayaban Saraswati saja
(sederhana), karena tingkat ini yang paling ringan “beberatannya”; namun jika
ingin menjadi undagi atau tukang banten tingkat pawintenannya ayaban Bebangkit
(medium); untuk Jero Dalang, Jero Mangku Kahyangan Tiga, Jero Gede, dll.
tingkat pawintennya harus ayaban Catur (utama).
Ayaban
Saraswati tujuannya menstanakan Bethari Saraswati yaitu manifestasi Ida
Sanghyang Widhi Wasa sebagai pencipta ilmu pengetahuan.
Ayaban
Bebangkit tujuannya menstanakan Bethara Gana yaitu manifestasi Ida Sanghyang
Widhi Wasa sebagai pelindung dan pemberi kemakmuran. Ayaban Catur tujuannya
menstanakan Bethara Iswara, Brahma, Mahadewa dan Wisnu sebagai wujud Ida
Sanghyang Widhi wasa.
Pantangan-pantangan
dan sikap mereka yang sudah mawinten pada umumnya untuk menjaga kesucian diri
misalnya untuk makanan: tidak memakan daging sapi, daging babi, daging ayam,
daging binatang melata, cendawan yang tumbuh di kotoran sapi, makanan yang
dimasak oleh orang cuntaka atau candala, dll.
Untuk
pakaian: tidak berpakaian selain warna putih atau kuning; untuk perumahan,
tidak sekamar dengan orang cuntaka (kematian, haid, melahirkan, dll).
Selanjutnya
yang paling utama adalah pantangan melanggar Trikaya Parisuda yaitu: Kayika:
tidak menyiksa/ membunuh mahluk apapun, tidak mencuri, tidak berzina; Wacika:
tidak memaki, tidak berkata keras, tidak memfitnah, tidak ingkar janji;
Manacika: tidak iri pada keberpunyaan orang lain, tidak berprasangka buruk,
percaya kepada hukum karma pala.
Di
samping itu sikap-sikap dharma lainnya harus dipatuhi yaitu:
- Pengendalian sad ripu: kroda (kejam/ pemarah), lobha (tamak), kama (mengumbar nafsu indria), moha (angkuh), mada (mabuk, kegila-gilaan), matsaria (cemburu/ dengki/ iri hati).
- Tidak melakukan sad atatayi: agnida (membakar rumah dll), wisada (meracun orang), atharwa (melakukan ilmu hitam), sastregna (mengamuk, merampok), dratikrama (memperkosa, menipu), rajapisuna (memfitnah).
- Menghindari sapta timira: surupa (sombong karena tampan/ cantik), dana (sombong karena kaya), guna (sombong karena pandai), kulina (sombong karena keturunan/ kelahiran), yowana (sombong karena remaja), kasuran (sombong karena kemenangan), sura (mabuk karena minuman keras).
Masih
banyak ajaran tentang sikap ke-dharmaan lainnya misalnya asadhabrata, yama
brata, niyama brata, dll. nanti akan diperoleh bila telah mendalami tattwa.
Tidak
hanya mereka yang aktif belajar sastra Agama saja, tetapi semua orang Hindu
wajib mawinten bila sudah menginjak masa Grehasta Ashrama; sampai meninggal
dunia pun, sebelum di-aben harus mawinten terlebih dahulu yaitu dengan upacara
yang disebut “ngaskara”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar