Tabuh Rah
Kata Tabuh Rah tidak asing lagi dikalangan umat Hindu Bali
karena setiap prosesi upacara keagamaan di bali sudah barang tentu tabuh
rah merupakan runtutan upacara pecaruan (bhuta yadnya)
- PENGERTIAN TABUH RAH.
Tabuh rah adalah taburan darah binatang korban yang dilaksanakan dalam rangkaian upacara agama (yadnya). - SUMBER PENGGUNAAN TABUH RAH.
Sumber penggunaan tabuh rah terdapat pada Panca Yadnya. - DASAR- DASAR PENGGUNAAN TABUH RAH.
Dasar- dasar penggunaan tabuh rah tercantum di dalam : - Prasasti Bali Kuna (Tambra prasasti).
1. Prasasti Sukawana A l 804 Çaka.
2. Prasasti Batur Abang A 933 Çaka.
3. Prasasti Batuan 944 Çaka. - Lontar- lontar antara lain :
1. Siwatattwapurana.
2. Yadnyaprakerti. - FUNGSI TABUH RAH:
Fungsi tabuh rah adalah runtutan/ rangkaian dan upacara/ upakara agama (Yadnya). - WUJUD TABUH RAH:
Tabuh Rah berwujud taburan darah binatang korban. - SARANA :
Jenis- jenis binatang yang dijadikan korban yaitu : ayam, babi, itik, kerbau, dan lain- lainnya. - CARA PENABURAN DARAH
Penaburan darah dilaksanakan dengan menyembelih, "perang satha " (telung perahatan) dilengkapi dengan adu- aduan : kemiri; telur; kelapa; andel- andel; beserta upakaranya - PELAKSANAAN TABUH RAH:
- Diadakan pada tempat dan saat- saat upacara berlangsung oleh sang Yajamana.
- Pada waktu perang satha disertakan toh dedamping yang maknanya sebagai pernyataan atau perwujudan dari keikhlasan Sang Yajamana beryadnya, dan bukan bermotif judi.
- Lebih lanjut mengenai pelaksanaan tabuh rah
- Aduan ayam yang tidak memenuhi ketentuan- ketentuan tersebut di atas tidaklah perang satha dan bukan pula runtutan upacara Yadnya.
- Di dalam prasasti- prasasti disebutkan bahwa pelaksanaan tabuh rah tidak minta ijin kepada yang berwenang.
- Penjelasan- penjelasan: di bawah ini:
Memperinci Pelaksanaan 'Tabuh
Rah" dalam Bhuta Yadnya
- Tabuh Rah dilaksanakan dengan "penyambleh", disertai Upakara Yadnya. Adalah penaburan darah binatang korban dengan jalan memotong leher binatang itu atau menikamnya dengan keris. Di zaman Majapahit diistilahkan dengan "Menetak gulu ayam ".
- Tabuh Rah dalam bentuk "perang sata" adalah suatu dresta yang berlaku di masyarakat yang pelaksanaannya boleh diganti dengan "penyambleh".Adalah pertarungan ayam yang diadakan dalam rangkaian upacara agama (yadnya). Dalam hal ini dipakai adalah ayam sabungan, dilakukan tiga babak. ( telung perahatan) yang mengandung makna arti magis bilangan tiga yakni sebagai lambang dari permulaan tengah dan akhir. Hakekatnya perang adalah sebagai symbol daripada perjuangan (Galungan) antara dharma dengan adharma.
- Apabila akan melakukan "perang sata", harus memenuhi syarat sebagai berikut :
- Upacara Bhuta Yadnya yang boleh disertai "perang sata" adalah :
- Caru Panca Kelud (Pancasanak madurgha).
- Caru Rsi Ghana.
- Caru Balik Sumpah.
- Tawur Agung.
- Tawur Labuh Gentuh.
- Tawur Pancawalikrama.
- Tawur Eka Dasa Rudra.
- Pelaksanaannya dilakukan di tempat upacara pada saat mengakhiri upacara itu.
- Diiringi dengan adu tingkih, adu pangi, adu taluh, adu kelapa, andel- andel serta upakaranya.
- Pelaksanaannya adalah sang Yajamana dengan berpakaian upacara.
- Perang sata maksimum dilakukan "tiga parahatan" (3 sehet) tidak disertai taruhan apapun.
- Selain dari yang tersebut dalam butir, 1, 2, 3, di atas adalah merupakan suatu penyimpangan.
|
|||||||||||||||||
Tawur Agung
Tawur adalah : Penyucian/ pemarisudha bhuta kala yang dalam
pemujaan dimurtikan, setelah diberi tawur menjadi somiya.
Ngerupuk adalah lanjutan daripada pelaksanaan tawur yang dilaksanakan di tiap- tiap pekarangan rumah.
Pelaksanaan Tawur:
Kontroversi:
Ngerupuk adalah lanjutan daripada pelaksanaan tawur yang dilaksanakan di tiap- tiap pekarangan rumah.
Pelaksanaan Tawur:
Kontroversi:
- Menurut Sundarigama tawur, diadakan pada perwanining tilem kesanga.
- Menurut Swamandala, tawur diadakan pada tilem kesanga, tidak membenarkan berlakunya pada perwaninya. Selanjutnya Swamandala tidak membenarkan dilaksanakannya tawur pada waktu cetramasa, apabila kebetulan jatuh sesudah wuku Dungulan, sebelum Budha Keliwon Pahang, oleh karena itu tawur tersebut dilakukan pada Tilem Kedasa.
- Kemudian Widhi Sastra dalam lontar Dewa Tattwa Niti Bhatara Putrajaya, memperkuat Swamandala. Rupanya sesudah Budha Keliwon Dungulan sampai dengan Budha Keliwon Pahang adalah somiyanya Bhatari Durgha, sebab itu tidak baik melaksanakan tawur, karena tawur adalah untuk Durgha Murti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar