Awatara
Dewa Wisnu
Awatara atau Avatar
dalam agama Hindu adalah inkarnasi dari Tuhan Yang Maha Esa maupun
manifestasinya. Tuhan Yang Maha Esa ataupun manifestasinya turun ke dunia,
mengambil suatu bentuk dalam dunia material, guna menyelamatkan dunia dari
kehancuran dan kejahatan, menegakkan dharma dan menyelamatkan orang-orang yang
melaksanakan Dharma/Kebenaran.Agama Hindu mengenal adanya Dasa
Awatara yang sangat terkenal di antara Awatara-Awatara lainnya. Dasa Awatara
adalah sepuluh Awatara yang diyakini sebagai penjelmaan material Dewa Wisnu
dalam misi menyelamatkan dunia. Dari sepuluh Awatara, sembilan diantaranya
diyakini sudah pernah menyelamatkan dunia, sedangkan satu di antaranya, Awatara
terakhir (Kalki Awatara), masih menunggu waktu yang tepat (konon pada akhir Kali Yuga) untuk turun ke dunia. Kisah-kisah
Awatara tersebut terangkum dalam sebuah kitab yang disebut Purana.
1. Matsya Avatar
Dalam
ajaran agama Hindu, Matsya adalahawatara Wisnu yang
berwujud ikan raksasa. Dalam bahasa Sanskerta,
kata matsya sendiri berarti ikan. Menurut mitologi
Hindu, Matsya muncul pada masa Satyayuga,
pada masa pemerintahan Raja Satyabrata (lebih
dikenal sebagai Maharaja Waiwaswata Manu),
putra Wiwaswan, dewa matahari. Matsya turun ke
dunia untuk memberitahu Maharaja Manu mengenai bencana air
bah yang akan melanda bumi. Ia memerintahkan Maharaja Manu untuk segera
membuat bahtera besar.
Kisah
dengan tema serupa juga dapat disimak dalam kisah Nabi
Nuh, yang konon membuat bahtera besar untuk melindungi umatnya dari bencana
air bah yang melanda bumi. Kisah dengan tema yang sama juga ditemukan di
beberapa negara, seperti kisah dari penduduk asli
Amerika dan dari Yunani.Dalam diri
manusia "ikan" adalah lambang sebuah benih. Atau sel sperma
dan sel telur. Sel seperma tidak akan mengalami pembuahan jika tidak ada sel
telur yang bagus. Untuk menampung pertemuan tersebut dalam organ tubuh wanita
disebut dengan rahim ( perahu dari raja Manu). Jaman Satya Yuga jika dalam diri
manusia adalah ketika masih dalam kandungan hingga berumur 3 tahun.
Pada
kehidupan di bumi = ikan merupakan binatang air. Pada awal terbentuknya dunia
yang ada adalah kehidupan satwa air. Jaman Ordovisium (500 - 440 juta tahun
lalu) Zaman Ordovisium dicirikan oleh munculnya ikan tanpa rahang (hewan
bertulang belakang paling tua) dan beberapa hewan bertulang belakang yang
muncul pertama kali seperti Tetrakoral, Graptolit, Ekinoid (Landak Laut),
Asteroid (Bintang Laut), Krinoid (Lili Laut) dan Bryozona. Koral dan Alaga
berkembang membentuk karang, dimana trilobit dan Brakiopoda mencari mangsa.
Graptolit dan Trilobit melimpah, sedangkan Ekinodermata dan Brakiopoda mulai
menyebar. Meluapnya Samudra dari Zaman Es merupakan bagian peristiwa dari zaman
ini. Gondwana dan benua-benua lainnya mulai menutup celah samudera yang berada
di antaranya.
Kisah
tentang Matsya dapat disimak dalam Matsyapurana
dan juga Purana lainnya. Diceritakan
bahwa pada saat Raja Satyabrata (yang lebih
dikenal sebagai Waiwaswata Manu) mencuci
tangan di sungai, seekor ikan kecil menghampiri tangannya dan sang raja tahu
bahwa ikan itu meminta perlindungan. Akhirnya ia memelihara ikan tersebut. Ia
menyiapkan kolam kecil sebagai tempat tinggal ikan tersebut. Namun lambat laun
ikan tersebut bertambah besar, hampir memenuhi seluruh kolam. Akhirnya ia
memindahkan ikan tersebut ke kolam yang lebih besar. Kejadian tersebut terus
terjadi berulang-ulang sampai akhirnya beliau sadar bahwa ikan yang ia pelihara
bukanlah ikan biasa.
Akhirnya
melalui upacara, diketahuilah bahwa ikan tersebut merupakan penjelmaan Dewa Wisnu. Dalam versi lain, ikan itu dibawa ke samudera. Ikan itu sendiri menyampaikan kabar bahwa
di bumi akan terjadi bencana air bah yang sangat hebat selama tujuh hari. Ikan
itu berpesan agar sang raja membuat sebuah bahtera
besar untuk menyelamatkan diri dari banjir besar, dan mengisi bahtera tersebut
dengan berbagai makhluk hidup yang setiap jenisnya berjumlah sepasang (betina
dan jantan), serta membawa obat-obatan, makanan, bibit segala macam tumbuhan,
dan mengajak Saptaresi (Tujuh Maha
Rsi). Ikan tersebut juga menambahkan bahwa setelah banjir besar tiba,
diharapkan agar bahtera tersebut diikat ke tanduk sang ikan dengan naga Basuki sebagai talinya. Setelah menyampaikan seluruh
pesan, ikan ajaib tersebut menghilang.
Menurut
Matsyapurana, seratus tahun kemudian,
kekeringan yang hebat melanda bumi. Banyak makhluk yang mati kelaparan.
Kemudian, langit dipenuhi oleh tujuh macam awan yang mencurahkan hujan lebat
tak terhentikan. Dengan cepat, air yang dicurahkan menutupi daratan di bumi.
Oleh karena Waiwaswata Manu sudah membuat bahtera
sesuai dengan petunjuk yang disampaikan awatara Wisnu, maka ia beserta
pengikutnya selamat dari bencana.
2. Kurma Avatar
Kurma
adalah awatara (penjelmaan) kedua dewa Wisnu yang berwujud kura-kura
raksasa. Awatara ini muncul pada masa Satyayuga.
Menurut kitab Adiparwa, kura-kura
tersebut bernama Akupa.
Menurut
berbagai kitab Purana, Wisnu mengambil wujud seekor kura-kura (kurma) dan mengapung di lautan susu (Kserasagara
atau Kserarnawa). Di dasar laut tersebut konon terdapat harta karun dan
tirta amerta yang dapat membuat peminumnya
hidup abadi. Para Dewa dan Asura berlomba-lomba mendapatkannya. Untuk mangaduk
laut tersebut, mereka membutuhkan alat dan sebuah gunung yang bernama Gunung
Mandara Giri, yang digunakan untuk mengaduknya. Para Dewa
dan para Asura mengikat gunung tersebut dengan
Naga Wasuki (Naga Basuki) dan memutar gunung tersebut. Kurma menopang dasar
gunung tersebut dengan tempurungnya. Dewa Indra
memegang puncak gunung tersebut agar tidak terangkat ke atas. Setelah sekian
lama tirta amerta berhasil didapat dan Dewa Wisnu
mengambil alih.
Kisah
tentang Kurma Awatara muncul dari kisah pemutaran Mandaragiri yang terdapat
dalam Kitab Adiparwa. Dikisahkan pada
zaman Satyayuga, para Dewa
dan asura (rakshasa)
bersidang di puncak gunung Mahameru untuk
mencari cara mendapatkan tirta amerta, yaitu
air suci yang dapat membuat hidup menjadi abadi. Sang
Hyang Nārāyana (Wisnu) bersabda,
"Kalau kalian menghendaki tirta amerta tersebut, aduklah lautan Ksera (Kserasagara),
sebab dalam lautan tersebut terdapat tirta amerta. Maka dari itu,
kerjakanlah."
Setelah
mendengar perintah Sang Hyang Nārāyana,
berangkatlah para Dewa dan asura pergi ke laut Ksera. Terdapat sebuah gunung
bernama Gunung Mandara (Mandaragiri) di Sangka Dwipa (Pulau Sangka), tingginya
sebelas ribu yojana. Gunung tersebut dicabut oleh Sang Anantabhoga beserta segala isinya. Setelah mendapat
izin dari Dewa Samudera, gunung Mandara
dijatuhkan di laut Ksira sebagai tongkat pengaduk lautan tersebut. Seekor kura-kura (kurma) raksasa bernama Akupa yang konon
katanya sebagai penjelmaan Wisnu, menjadi
dasar pangkal gunung tersebut. Ia disuruh menahan gunung Mandara supaya tidak
tenggelam.
Naga Basuki dipergunakan sebagai tali, membelit
lereng gunung tersebut. Dewa Indra menduduki
puncaknya, suapaya gunung tersebut tidak melambung ke atas. Setelah siap, para
Dewa, rakshasa dan asura mulai memutar gunung Mandara dengan menggunakan Naga
Basuki sebagai tali. Para Dewa memegang ekornya sedangkan para asura dan
rakshasa memegang kepalanya. Mereka berjuang dengan hebatnya demi mendapatkan
tirta amerta sehingga laut bergemuruh. Gunung
Mandara menyala, Naga Basuki menyemburkan bisa
membuat pihak asura dan rakshasa kepanasan. Lalu Dewa Indra memanggil awan
mendung yang kemudian mengguyur para asura dan rakshasa. Lemak segala binatang di gunung Mandara beserta
minyak kayu hutannya membuat lautan Ksira mengental, pemutaran Gunung Mandara
pun makin diperhebat.
Saat
lautan diaduk, racun mematikan yang disebut Halahala
menyebar. Racun tersebut dapat membunuh segala makhluk hidup. Dewa Siwa kemudian meminum racun tersebut maka lehernya
menjadi biru dan disebut Nilakantha (Sanskerta:
Nila: biru, Kantha: tenggorokan). Setelah itu, berbagai dewa-dewi,
binatang, dan harta karun muncul, yaitu:
1. Sura, Dewi yang menciptakan minuman anggur
2. Apsara, Kaum bidadari kahyangan
3. Kostuba, Permata yang paling berharga di dunia
4. Uccaihsrawa, Kuda para Dewa
5. Kalpawreksa, Pohon yang dapat mengabulkan keinginan
6. Kamadhenu, Sapi pertama dan ibu dari segala sapi
7. Airawata, Kendaraan Dewa Indra
8. Laksmi, Dewi keberuntungan dan kemakmuran
Akhirnya
keluarlah Dhanwantari membawa kendi berisi
tirta amerta. Karena para Dewa sudah banyak mendapat bagian sementara para asura dan rakshasa
tidak mendapat bagian sedikit pun, maka para asura dan rakshasa ingin agar
tirta amerta menjadi milik mereka. Akhirnya tirta amerta berada di pihak para
asura dan rakshasa dan Gunung Mandara dikembalikan ke tempat asalnya, Sangka
Dwipa.
Melihat
tirta amerta berada di tangan para asura dan rakshasa,
Dewa Wisnu memikirkan siasat bagaimana merebutnya
kembali. Akhirnya Dewa Wisnu mengubah wujudnya menjadi seorang wanita yang sangat cantik, bernama Mohini. Wanita cantik tersebut menghampiri para
asura dan rakshasa. Mereka sangat senang dan terpikat dengan kecantikan wanita
jelmaan Wisnu. Karena tidak sadar terhadap tipu daya, mereka menyerahkan tirta
amerta kepada Mohini.
Setelah
mendapatkan tirta, wanita tersebut lari dan mengubah wujudnya kembali menjadi
Dewa Wisnu. Melihat hal itu, para asura dan rakshasa menjadi marah. Kemudian
terjadilah perang antara para Dewa dengan asura dan rakshasa. Pertempuran terjadi
sangat lama dan kedua pihak sama-sama sakti. Agar pertempuran dapat segera
diakhiri, Dewa Wisnu memunculkan senjata cakra
yang mampu menyambar-nyambar para asura dan rakshasa. Kemudian mereka lari
tunggang langgang karena menderita kekalahan. Akhirnya tirta amerta berada di
pihak para Dewa.
Para
Dewa kemudian terbang ke Wisnuloka, kediaman
Dewa Wisnu, dan di sana mereka meminum tirta amerta sehingga hidup abadi.
Seorang rakshasa yang merupakan anak Sang Wipracitti dengan Sang Singhika
mengetahui hal itu, kemudian ia mengubah wujudnya menjadi Dewa dan turut serta meminum tirta amerta. Hal tersebut diketahui oleh Dewa Aditya dan Chandra,
yang kemudian melaporkannya kepada Dewa Wisnu.
Dewa Wisnu kemudian mengeluarkan senjata chakranya dan memenggal leher sang rakshasa, tepat ketika tirta amerta sudah
mencapai tenggorokannya. Badan sang rakshasa mati, namun kepalanya masih hidup
karena tirta amerta sudah menyentuh tenggorokannya. Sang rakshasa marah kepada
Dewa Aditya dan Chandra,
dan bersumpah akan memakan mereka pada pertengahan bulan. Sehingga terjadilah
gerhana bulan dan gerhana matahari.
3. Waraha Avatar
Waraha
adalah awatara (penjelmaan) ketiga dari Dewa Wisnu yang berwujud babi
hutan. Awatara ini muncul pada masa Satyayuga (zaman kebenaran). Kisah mengenai Waraha
Awatara selengkapnya terdapat di dalam kitab Warahapurana
dan Purana-Purana lainnya.
Pada
zaman Satyayuga (zaman kebenaran), ada seorang
raksasa bernama Hiranyaksa, adik raksasa Hiranyakasipu. Keduanya merupakan kaum Detya (raksasa). Hiranyaksa hendak menenggelamkan Pertiwi (planet bumi) ke dalam "lautan
kosmik," suatu tempat antah berantah di ruang angkasa.
Melihat
dunia akan mengalami kiamat, Wisnu menjelma
menjadi babi hutan yang memiliki dua taring panjang mencuat dengan tujuan
menopang bumi yang dijatuhkan oleh Hiranyaksa. Usaha penyelamatan yang
dilakukan Waraha tidak berlangsung lancar karena dihadang oleh
Hiranyaksa.
Maka
terjadilah pertempuran sengit antara raksasa Hiranyaksa
melawan Dewa Wisnu. Konon pertarungan ini
terjadi ribuan tahun yang lalu dan memakan waktu ribuan tahun pula. Pada
akhirnya, Dewa Wisnu yang menang.
Setelah
Beliau memenangkan pertarungan, Beliau mengangkat bumi
yang bulat seperti bola dengan dua taringnya yang panjang mencuat, dari lautan
kosmik, dan meletakkan kembali bumi pada
orbitnya. Setelah itu, Dewa Wisnu menikahi
Dewi Pertiwi dalam wujud awatara tersebut.
Waraha
Awatara dilukiskan sebagai babi hutan yang membawa planet
bumi dengan kedua taringnya dan meletakkannya
di atas hidung, di depan mata. Kadangkala dilukiskan sebagai manusia berkepala
babi hutan, dengan dua taring menyangga bola dunia, bertangan empat,
masing-masing membawa: cakra, terompet dari
kulit kerang (sangkakala), teratai, dan gada.
4. Narasinga Avatar
Narasinga
(disebut juga Narasingh, Nārasiṃha) adalah awatara (inkarnasi /penjelmaan) Wisnu yang turun ke dunia, berwujud manusia dengan
kepala singa, berkuku tajam seperti pedang,
dan memiliki banyak tangan yang memegang senjata. Narasinga merupakan simbol dewa pelindung yang melindungi setiap pemuja Wisnu
jika terancam bahaya.
Menurut
kitab Purana, pada menjelang akhir
zaman Satyayuga (zaman kebenaran), seorang
raja asura Hiranyakasipu membenci segala
sesuatu yang berhubungan dengan Wisnu, dan dia tidak senang apabila di
kerajaannya ada orang yang memuja Wisnu. Sebab bertahun-tahun yang lalu,
adiknya yang bernama Hiranyaksa dibunuh oleh Waraha, awatara Wisnu.
Agar
menjadi sakti, ia melakukan tapa yang sangat berat, dan hanya memusatkan
pikirannya pada Dewa Brahma. Setelah Brahma
berkenan untuk muncul dan menanyakan permohonannya, Hiranyakasipu meminta agar
ia diberi kehidupan abadi, tak akan bisa mati dan tak akan bisa dibunuh. Namun
Dewa Brahma menolak, dan menyuruhnya untuk meminta permohonan lain. Akhirnya
Hiranyakashipu meminta, bahwa ia tidak akan bisa dibunuh oleh manusia, hewan
ataupun dewa, tidak bisa dibunuh pada saat
pagi, siang ataupun malam, tidak bisa dibunuh di darat, air, api, ataupun
udara, tidak bisa dibunuh di dalam ataupun di luar rumah, dan tidak bisa
dibunuh oleh segala macam senjata. Mendengar permohonan tersebut, Dewa Brahma
mengabulkannya.
Sementara
ia meninggalkan rumahnya untuk memohon berkah, para dewa
yang dipimpin oleh Dewa Indra, menyerbu
rumahnya. Narada datang untuk menyelamatkan
istri Hiranyakasipu yang tak berdosa, bernama Lilawati. Saat Lilawati meninggalkan rumah, anaknya
lahir dan diberi nama Prahlada. Anak itu
dididik oleh Narada untuk menjadi anak yang
budiman, menyuruhnya menjadi pemuja Wisnu, dan
menjauhkan diri dari sifat-sifat keraksasaan ayahnya.
Mengetahui
para dewa melindungi istrinya, Hiranyakasipu menjadi sangat marah. Ia semakin
membenci Dewa Wisnu, dan anaknya sendiri, Prahlada yang kini menjadi pemuja Wisnu. Namun, setiap kali ia membunuh putranya, ia
selalu tak pernah berhasil karena dihalangi oleh kekuatan gaib yang merupakan
perlindungan dari Dewa Wisnu. Ia kesal karena selalu gagal oleh kekuatan Dewa
Wisnu, namun ia tidak mampu menyaksikan Dewa Wisnu
yang melindungi Prahlada secara langsung. Ia menantang Prahlada untuk
menunjukkan Dewa Wisnu. Prahlada menjawab, "Ia ada dimana-mana, Ia ada di
sini, dan Ia akan muncul".
Mendengar
jawaban itu, ayahnya sangat marah, mengamuk dan menghancurkan pilar rumahnya.
Tiba-tiba terdengar suara yang menggemparkan. Pada saat itulah Dewa Wisnu
sebagai Narasinga muncul dari pilar yang dihancurkan Hiranyakasipu. Narasinga
datang untuk menyelamatkan Prahlada dari
amukan ayahnya, sekaligus membunuh Hiranyakasipu.
Namun, atas anugerah dari Brahma, Hiranyakasipu tidak bisa mati apabila tidak
dibunuh pada waktu, tempat dan kondisi yang tepat. Agar berkah dari Dewa Brahma
tidak berlaku, ia memilih wujud sebagai manusia berkepala singa untuk membunuh
Hiranyakasipu. Ia juga memilih waktu dan tempat yang tepat. Akhirnya, berkah
dari Dewa Brahma tidak berlaku. Narasinga
berhasil merobek-robek perut Hiranyakasipu.
Akhirnya Hiranyakasipu berhasil dibunuh oleh Narasinga, karena ia dibunuh bukan
oleh manusia, binatang, atau dewa. Ia dibunuh
bukan pada saat pagi, siang, atau malam, tapi senja hari. Ia dibunuh bukan di
luar atau di dalam rumah. Ia dibunuh bukan di darat, air, api, atau udara, tapi
di pangkuan Narasinga. Ia dibunuh bukan dengan senjata, melainkan dengan kuku.
Narasinga
memberi contoh bahwa Tuhan itu ada dimana-mana. Rasa bakti yang tulus dari
Prahlada menunjukkan bahwa sikap seseorang bukan ditentukan dari golongannya,
ataupun bukan karena berasal dari keturunan yang jelek, melainkan dari
sifatnya. Meskipun Prahlada seorang keturunan Asura, namun ia juga seorang
penyembah Wisnu yang taat.
Membunuh
Hiranyakasipu dengan mengambil wujud sebagai Narasinga merupakan salah satu
cara menghukum yang paling sadis dari Dewa Wisnu. Di India, Narasinga sangat
terkenal. Dalam festival tradisional India, kisah ini berhubungan dengan
perayaan Holi, salah satu perayaan terpenting di India. Dari sinilah Narasimha
menjadi terkenal. Di India Selatan, Narasinga sering dituangkan ke dalam bentuk
seni pahatan dan lukisan. Narasinga merupakan awatara yang paling terkenal
setelah Rama dan Kresna.
5. Wamana Avatar
|
Wamana
adalah awatara Wisnu
yang kelima, turun pada masa Tretayuga, sebagai
putra Aditi dan Kasyapa,
seorang Brahmana. Ia (Wisnu)
turun ke dunia guna menegakkan kebenaran dan memberi pelajaran kepada raja Bali (Mahabali),
seorang Asura, cucu dari Prahlada. Raja Bali telah merebut surga dari
kekuasaan Dewa Indra, karena itu Wisnu turun
tangan dan menjelma ke dunia, memberi hukuman pada Raja Bali. Wamana awatara dilukiskan sebagai Brahmana dengan raga anak
kecil yang membawa payung. Wamana Awatara merupakan penjelmaan pertama Dewa
Wisnu yang mengambil bentuk manusia lengkap, meskipun berwujud Brahmana mungil. Wamana kadang-kadang dikenal juga
dengan sebutan "Upendra."
Kisah
Wamana Awatara dimuat dalam kitab Bhagawatapurana.
Menurut cerita dalam kitab, Wamana sebagai Brahmana cilik datang ke istana Raja
Bali karena pada saat itu Raja Bali mengundang
seluruh Brahmana untuk diberikan hadiah. Ia
sudah dinasehati oleh Sukracarya agar tidak
memberikan hadiah apapun kepada Brahmana yang
aneh dan lain daripada biasanya. Pada waktu pemberian hadiah, seorang Brahmana
kecil muncul di antara Brahmana-Brahmana yang sudah tua-tua. Brahmana tersebut juga
akan diberi hadiah oleh Bali.
Brahmana
kecil itu meminta tanah seluas tiga jengkal yang diukur dengan langkah kakinya.
Raja Bali begitu takabur dan melupakan nasehat dari Sukracarya.
Lalu Raja Bali menyuruh Brahmana kecil itu
untuk melangkah.
Pada
waktu itu juga, Brahmana tersebut membesar dan
terus membesar. Dengan ukurannya yang sangat besar, ia mampu melangkah di surga
dan bumi sekaligus (Bhur, Bwah, Swah). Pada langkah yang pertama, ia menginjak
surga. Pada langkah yang kedua, ia menginjak bumi. Pada langkah yang ketiga,
karena tidak ada lahan untuknya berpijak, maka Bali menyerahkan kepalanya.
Sejak itu, tamatlah kekuasaan Bali. Karena terkesan dengan kedermawanan Bali,
Wamana memberinya gelar Mahabali. Ia juga berjanji bahwa kelak Bali akan
menjadi Indra pada Manwantara
berikutnya.
6. Parasurama Avatar
Parasurama
adalah nama seorang tokoh Ciranjiwin dalam
ajaran agama Hindu. Secara harfiah, nama Parashurama bermakna "Rama
yang bersenjata kapak". Nama lainnya adalah Bhargawa yang bermakna
"keturunan Maharesi Bregu". Ia
sendiri dikenal sebagai awatara Wisnu yang keenam dan hidup pada zaman Tretayuga. Pada zaman ini banyak kaum kesatria yang berperang satu sama lain sehingga
menyebabkan kekacauan di dunia. Maka, Wisnu sebagai dewa
pemelihara alam semesta lahir ke dunia sebagai
seorang brahmana berwujud angker, yaitu Rama
putra Jamadagni, untuk menumpas para kesatria tersebut.
Parasurama
merupakan putra bungsu Jamadagni, seorang resi keturunan Bregu.
Itulah sebabnya ia pun terkenal dengan julukan Bhargawa. Sewaktu lahir
Jamadagni memberi nama putranya itu Rama. Setelah dewasa, Rama pun
terkenal dengan julukan Parasurama karena selalu membawa kapak sebagai
senjatanya. Selain itu, Parasurama juga memiliki senjata lain berupa busur
panah yang besar luar biasa.
Sewaktu
muda Parasuama pernah membunuh ibunya sendiri, yang bernama Renuka. Hal itu
disebabkan karena kesalahan Renuka dalam melayani kebutuhan Jamadagni sehingga
menyebabkan suaminya itu marah. Jamadagni kemudian memerintahkan putra-putranya
supaya membunuh ibu mereka tersebut. Ia menjanjikan akan mengabulkan apa pun
permintaan mereka. Meskipun demikian, sebagai seorang anak, putra-putra
Jamadagni, kecuali Parasurama, tidak ada yang bersedia melakukannya. Jamadagni
semakin marah dan mengutuk mereka menjadi batu.
Parasurama
sebagai putra termuda dan paling cerdas ternyata bersedia membunuh ibunya
sendiri. Setelah kematian Renuka, ia pun mengajukan permintaan sesuai janji
Jamadagni. Permintaan tersebut antara lain, Jamadagni harus menghidupkan dan
menerima Renuka kembali, serta mengembalikan keempat kakaknya ke wujud manusia.
Jamadagni pun merasa bangga dan memenuhi semua permintaan Parasurama.
Pada
zaman kehidupan Parasurama, ketenteraman dunia dikacaukan oleh ulah kaum kesatria yang gemar berperang satu sama lain.
Parasurama pun bangkit menumpas mereka, yang seharusnya berperan sebagai
pelindung kaum lemah. Tidak terhitung banyaknya kesatria, baik itu raja ataupun
pangeran, yang tewas terkena kapak dan panah milik Rama putra Jamadagni.
Konon
Parasurama bertekad untuk menumpas habis seluruh kesatria dari muka bumi. Ia
bahkan dikisahkan telah mengelilingi dunia sampai tiga kali. Setelah merasa
cukup, Parasurama pun mengadakan upacara pengorbanan suci di suatu tempat
bernama Samantapancaka. Kelak pada zaman berikutnya, tempat tersebut terkenal
dengan nama Kurukshetra dan dianggap sebagai
tanah suci yang menjadi ajang perang saudara
besar-besaran antara keluarga Pandawa
dan Korawa.
Penyebab
khusus mengapa Parasurama bertekad menumpas habis kaum kesatria adalah karena
perbuatan raja Kerajaan Hehaya bernama Kartawirya Arjuna yang telah merampas sapi milik
Jamadagni. Parasurama marah dan membunuh raja tersebut. Namun pada kesempatan
berikutnya, anak-anak Kartawirya Arjuna membalas dendam dengan cara membunuh
Jamadagni. Kematian Jamadagni inilah yang menambah besar rasa benci Parasurama
kepada seluruh golongan kesatria.
Meskipun
jumlah kesatria yang mati dibunuh Parasurama tidak terhitung banyaknya, namun
tetap saja masih ada yang tersisa hidup. Antara lain dari Wangsa Surya yang berkuasa di Ayodhya, Kerajaan Kosala.
Salah seorang keturunan wangsa tersebut adalah Sri
Rama putra Dasarata. Pada suatu hari ia
berhasil memenangkan sayembara di Kerajaan Mithila
untuk memperebutkan Sita putri negeri
tersebut. Sayembara yang digelar ialah yaitu membentangkan busur pusaka
pemberian Siwa. Dari sekian banyak pelamar
hanya Sri Rama yang mampu mengangkat, bahkan mematahkan busur tersebut.
Suara
gemuruh akibat patahnya busur Siwa sampai terdengar oleh Parasurama di
pertapaannya. Ia pun mendatangi istana Mithila untuk menantang Rama yang
dianggapnya telah berbuat lancang. Sri Rama dengan lembut hati berhasil
meredakan kemarahan Parasurama yang kemudian kembali pulang ke pertapaannya.
Ini merupakan peristiwa bertemunya sesama awatara
Wisnu, karena saat itu Wisnu telah menjelma kembali Ciranjiwin, ia hidup abadi sebagai
Rama sedangkan Parasurama sendiri masih hidup. Peran Parasurama sebagai awatara
Wisnu saat itu telah berakhir.
Pada
zaman Dwaparayuga Wisnu terlahir kembali
sebagai Kresna putra Basudewa.
Pada zaman tersebut Parasurama menjadi guru sepupu Kresna yang bernama Karna yang menyamar sebagai anak seorang brahmana. Setelah mengajarkan berbagai ilmu
kesaktian, barulah Parasurama mengetahui kalau Karna berasal dari kaum
kesatria. Ia pun mengutuk Karna akan lupa terhadap semua ilmu kesaktian yang
pernah dipelajarinya pada saat pertempuran terakhirnya. Kutukan tersebut
menjadi kenyataan ketika Karna berhadapan dengan adiknya sendiri, yang bernama Arjuna, dalam perang di
Kurukshetra.
Parasurama
diyakini masih hidup pada zaman sekarang. Konon saat ini ia sedang bertapa
mengasingkan diri di puncak gunung, atau di dalam hutan belantara.
7. Rama Avatar
Rama
atau Ramacandra adalah seorang raja legendaris yang terkenal dari India yang konon hidup pada zaman Tretayuga, keturunan Dinasti
Surya atau Suryawangsa. Ia berasal dari
Kerajaan Kosala yang beribukota Ayodhya. Menurut pandangan Hindu,
ia merupakan awatara Dewa Wisnu yang ketujuh yang turun ke bumi pada zaman Tretayuga. Sosok dan kisah kepahlawanannya yang
terkenal dituturkan dalam sebuah sastra Hindu Kuno
yang disebut Ramayana, tersebar dari Asia Selatan sampai Asia
Tenggara. Terlahir sebagai putera sulung dari pasangan Raja Dasarata dengan Kosalya,
ia dipandang sebagai Maryada Purushottama, yang artinya "Manusia
Sempurna". Setelah dewasa, Rama memenangkan sayembara
dan beristerikan Dewi Sita, inkarnasi dari
Dewi Laksmi. Rama memiliki anak kembar, yaitu Kusa dan Lawa.
Dalam
wiracarita Ramayana
diceritakan bahwa sebelum Rama lahir, seorang raja raksasa
bernama Rahwana telah meneror Triloka (tiga
dunia) sehingga membuat para dewa merasa cemas. Atas hal tersebut, Dewi bumi menghadap Brahma
agar beliau bersedia menyelamatkan alam beserta isinya. Para dewa juga mengeluh kepada Brahma,
yang telah memberikan anugerah kepada Rahwana sehingga raksasa tersebut menjadi
takabur. Setelah para dewa bersidang, mereka memohon agar Wisnu bersedia menjelma kembali ke dunia untuk
menegakkan dharma serta menyelamatkan
orang-orang saleh. Dewa Wisnu menyatakan bahwa ia bersedia melakukannya. Ia
berjanji akan turun ke dunia sebagai Rama, putera raja Dasarata
dari Ayodhya. Dalam penjelmaannya ke dunia,
Wisnu ditemani oleh Naga Sesa yang akan
mengambil peran sebagai Laksmana, serta Laksmi yang akan mengambil peran sebagai Sita.
8. Kresna Avatar
Kresna
adalah salah satu dewa yang dipuja oleh umat Hindu,
berwujud pria berkulit gelap atau biru tua, memakai dhoti
kuning dan mahkota yang dihiasi bulu merak. Dalam seni lukis
dan arca, umumnya ia digambarkan sedang
bermain seruling sambil berdiri dengan kaki yang ditekuk ke samping. Legenda
Hindu dalam kitab Purana dan Mahabharata menyatakan bahwa ia adalah putra
kedelapan Basudewa dan Dewaki dari kerajaan Surasena,
kerajaan mitologis di India Utara. Secara
umum, ia dipuja sebagai awatara (inkarnasi) Dewa Wisnu
kedelapan di antara sepuluh awatara Wisnu.
Dalam beberapa sekte Hindu, misalnya Gaudiya Waisnawa,
ia dianggap sebagai manifestasi dari kebenaran mutlak, atau perwujudan Tuhan
itu sendiri, dan dalam tafsiran kitab-kitab yang mengatasnamakan Wisnu atau Kresna, misalnya Bhagawatapurana, ia dimuliakan sebagai
Kepribadian Tuhan Yang Maha Esa. Dalam Bhagawatapurana, ia digambarkan
sebagai sosok penggembala muda yang mahir
bermain seruling, sedangkan dalam wiracarita Mahabharata
ia dikenal sebagai sosok pemimpin yang bijaksana, sakti, dan berwibawa. Selain
itu ia dikenal pula sebagai tokoh yang memberikan ajaran filosofis, dan umat
Hindu meyakini Bhagawadgita sebagai
kitab yang memuat kotbah Kresna kepada Arjuna tentang ilmu rohani.
9. Gautama Buddha Avatar
Budha
adalah perwujudan Awatara Wisnu yang kesembilan dan di antara perwujudan
awatara Wisnu awatara Budha adalah yang sempurna di mana umat manusia diajarkan
tentang dharma dan kebahagiaan yang mutlak.Di jaman kerajaan Kapilavastu dengan
rajanya Suddhodana dan ratunya Mahamaya. Di mana sang ratu kemudian melahirkan
seorang bayi laki-laki yang tampan yang mereka beri nama Siddhartha, akan
tetapi sungguhlah sayang tujuh hari kemudian, sang ratu Mahamaya meninggal
dunia.
Seorang
Rsi bijaksana/penasehat raja pada saat itu yang bernama Kala Devala memberi
tahu sang raja bahwa ketika pangeran Siddhartha beranjak dewasa ia akan melihat
hal-hal yang akan membuatnya sedih dan pergi menuju hutan. Mendengar hal itu
raja tidak memperbolehkan Siddhartha untuk pergi melewati gerbang istana.
Siddhartha merupakan anak pintar, berbahagia dan juga amat penyayang serta lembut. Pada suatu hari Siddhartha dan sepupunya Devadatta sedang berjalan-jalan. Devadatta tiba-tiba melihat seekor angsa dan memanahnya sehingga angsa tersebut terjatuh. Siddhartha amat terkejut melihat burung yang terluka tersebut, Devadatta bersikeras untuk memiliki burung angsa tersebut karena ia yang memanahnya. Akan tetapi Siddharta mengatakan itu adalah miliknya. Akhirnya mereka pergi ke Rsi Kala Devala sang penasehat raja di mana kemudian Rsi itu mengatakan angsa tersebut menjadi milik orang yang menyelamatkannya bukan orang yang berusaha membunuhnya.
Siddhartha tumbuh dewasa dan menjadi seorang pria muda. Raja Suddhodana menikahkannya dengan seorang putri cantik yang bernama Yashodhara. Raja berharap agar Siddhartha tidak akan pernah meninggalkan istana. Tapi Siddhartha tidak merasa bahagia di dalam istana. Ia memerintahkan pelayannya yang setia Channa untuk menemaninya berjalan-jalan keluar istana. Dalam perjalanannya Siddhartha melihat orang yang sudah tua yang bungkuk dimana Siddhartha tidak pernah melihatnya di dalam istana. Melihat orang yang sedang sakit keras dan melihat orang meninggal. Siddartha menyadari bahwa ayahnya mengungkungnya di dalam istana, untuk melindunginya agar ia tidak melihat hal-hal semacam itu.
Siddhartha merupakan anak pintar, berbahagia dan juga amat penyayang serta lembut. Pada suatu hari Siddhartha dan sepupunya Devadatta sedang berjalan-jalan. Devadatta tiba-tiba melihat seekor angsa dan memanahnya sehingga angsa tersebut terjatuh. Siddhartha amat terkejut melihat burung yang terluka tersebut, Devadatta bersikeras untuk memiliki burung angsa tersebut karena ia yang memanahnya. Akan tetapi Siddharta mengatakan itu adalah miliknya. Akhirnya mereka pergi ke Rsi Kala Devala sang penasehat raja di mana kemudian Rsi itu mengatakan angsa tersebut menjadi milik orang yang menyelamatkannya bukan orang yang berusaha membunuhnya.
Siddhartha tumbuh dewasa dan menjadi seorang pria muda. Raja Suddhodana menikahkannya dengan seorang putri cantik yang bernama Yashodhara. Raja berharap agar Siddhartha tidak akan pernah meninggalkan istana. Tapi Siddhartha tidak merasa bahagia di dalam istana. Ia memerintahkan pelayannya yang setia Channa untuk menemaninya berjalan-jalan keluar istana. Dalam perjalanannya Siddhartha melihat orang yang sudah tua yang bungkuk dimana Siddhartha tidak pernah melihatnya di dalam istana. Melihat orang yang sedang sakit keras dan melihat orang meninggal. Siddartha menyadari bahwa ayahnya mengungkungnya di dalam istana, untuk melindunginya agar ia tidak melihat hal-hal semacam itu.
Siddartha
keluar lagi dan kali ini ia melihat seorang pria dengan kepala gundul. Ia
bertanya pada pelayannya dan pelayannya berkata itu adalah seorang bijak yang
meninggalkan segalanya serta pergi ke hutan untuk mencari kebahagiaan.
Pada
suatu kesempatan Siddharta berpikir untuk meninggalkan Istana dan mencari
kebahagiaan. Akhirnya pada suatu malam, ketika istri dan anaknya Rahula sedang
tertidur, Siddartha bersama pelayannya yang setia Channa dengan diam-diam pergi
meninggalkan istana. Mereka menyeberangi sungai Anoma, disana Siddartha
melepaskan jubah kerajaanya dan memberikannya kepada Channa untuk
mengembalikannya ke istana. Kemudian Siddartha menggunakan jubah oranye serta
memotong rambut panjangnya. Siddartha pergi menemui satu guru ke guru yang lain
menanyakan; Apakah Anda tahu jalan untuk mencapai kebahagian?
Tapi
tidak ada seorang pun bisa memberitahunya. Akhirnya ia duduk di bawah pohon
Bodhi dan berusaha menemukan jawabannya sendiri. Beberapa hari kemudian ia
menjadi seorang yang bijak dan orang-orang menyebutnya Gautama Budha. Budha
mencintai seluruh binatang dan memperlakukan mereka dengan penuh kasih sayang.
Pada suatu hari Dewa Siwa menguji Sang Budha karena Siwa tahu Awatara ini yang akan membawa umat dunia untuk mencari jalan kebahagian karena mempunyai jiwa kasih sayang terhadap semua makhluk.
Pada suatu hari Dewa Siwa menguji Sang Budha karena Siwa tahu Awatara ini yang akan membawa umat dunia untuk mencari jalan kebahagian karena mempunyai jiwa kasih sayang terhadap semua makhluk.
Dewa
Siwa mengirim binatang buas yaitu gajah liar dan harimau liar nan ganas. Tetapi
yang terjadi pada binatang-binatang tersebut setelah melihat cahaya kasih
sayang yang dipancarkan oleh Sang Budha binatang-binatang tersebut langsung
tunduk hormat dan bersimpuh di bawah kaki Sang Budha. Akhirnya Sang Budha
mempunyai pengikut yang sangat banyak dan pengikutnya tinggal di dalam sebuah
grup yang di sebut Sangha.
Sang
Budha mengajarkan bahwa seseorang bisa mendapatkan kebahagiaan dengan merasa
puas akan apa yang dimilikinya dan menunjukkan kasih sayang pada semua mahluk.
Pada akhirnya di sebuah tempat yang bernama Kusinara, Sang Budha berbaring di
bawah pohon Sala dan menghembuskan nafasnya yang terakhir.
Maka sesuai petunjuk dari Sakyamuni yang diperoleh oleh Ida Mpu Kuturan, Sang Budha Gautama akan bereinkarnasi kembali karena di jaman Kali Sang Budha akan berkhotbah kembali sebagai Awatara yang terakhir agar dunia ini bisa tentram dan damai. Dengan alasan tersebut Sang Budha tidak moksha atau kembali ke Nirwana di jaman itu karena Sang Budha akan bereinkarnasi kembali dengan Awataranya yang terakhir yaitu Kalki Awatara.
Maka sesuai petunjuk dari Sakyamuni yang diperoleh oleh Ida Mpu Kuturan, Sang Budha Gautama akan bereinkarnasi kembali karena di jaman Kali Sang Budha akan berkhotbah kembali sebagai Awatara yang terakhir agar dunia ini bisa tentram dan damai. Dengan alasan tersebut Sang Budha tidak moksha atau kembali ke Nirwana di jaman itu karena Sang Budha akan bereinkarnasi kembali dengan Awataranya yang terakhir yaitu Kalki Awatara.
10. Kalki Avatar
Kalki
(juga disalin sebagai Kalkin dan Kalaki) adalah awatara kesepuluh dan awatara (inkarnasi) terakhir Dewa Wisnu Sang pemelihara, yang akan datang pada akhir zaman Kaliyuga (zaman kegelapan dan kehancuran).
Kata
Kalki seringkali merupakan suatu kiasan dari “keabadian” atau “masa”.
Asal mula nama tersebut diperkirakan berasal dari kata Kalka yang
bermakna “kotor”, “busuk”, atau “jahat” dan oleh karena itu "Kalki"
berarti “Penghancur kejahatan”, “Penghancur kekacauan”, "Penghancur
kegelapan", atau “Sang Pembasmi Kebodohan”. Dalam bahasa
Hindi, kalki avatar berarti “inkarnasi hari esok”.
Berbagai
tradisi memiliki berbagai kepercayaan dan pemikiran mengenai kapan, bagaimana,
di mana, dan mengapa Kalki Awatara muncul. Penggambaran yang umum mengenai
Kalki Awatara yaitu beliau adalah Awatara yang mengendarai kuda putih (beberapa
sumber mengatakan nama kudanya “Devadatta” (anugerah Dewa) dan
dilukiskan sebagai kuda bersayap). Kalki memiliki pedang berkilat yang
digunakan untuk memusnahkan kejahatan dan menghancurkan iblis Kali, kemudian menegakkan kembali Dharma dan memulai zaman yang baru.
Salah
satu sumber yang pertama kali menyebutkan istilah Kalki adalah Wisnu Purana, yang diduga muncul setelah masa
Kerajaan Gupta sekitar abad ke-7 sebelum Masehi. Wisnu adalah Dewa pemelihara dan pelindung,
salah satu bagian Trimurti, dan merupakan
penengah yang mempertimbangkan penciptaan dan kehancuran sesuatu. Kalki juga
muncul di salah satu dari 18 kitab Purana yang
utama, Agni Purana. Kitab purana yang memuat
khusus tentang Kalki adalah Kalki Purana. Di
sana dibahas kapan, dimana, bagaimana, dan mengapa Kalki muncul.
Membuka Wawasan Pikiran Kita
Beberapa
orang meyakini bahwa filsafat Dasa Awatara menunjukkan perkembangan kehidupan
dan peradaban manusia di muka bumi. Setiap Awatara merupakan lambang dari
setiap perkembangan zaman yang terjadi. Matsya
Awatara merupakan lambang bahwa kehidupan pertama terjadi di air. Kurma Awatara menunjukkan perkembangan selanjutnya,
yakni munculnya hewan amphibi. Waraha Awatara
melambangkan kehidupan selanjutnya terjadi di darat. Narasimha
Awatara melambangkan dimulainya evolusi mamalia. Wamana Awatara melambangkan perkembangan makhluk yang disebut
manusia namun belum sempurna. Parashurama Awatara,
pertapa bersenjata kapak, melambangkan perkembangan manusia di tingkat yang
sempurna. Rama Awatara melambangkan peradaban
manusia untuk memulai pemerintahan. Krishna Awatara,
yang mahir dalam enam puluh empat bidang pengetahuan dan kesenian melambangkan
kecakapan manusia di bidang kebudayaan dan memajukan peradaban. Balarama Awatara, Kakak Kresna yang bersenjata alat
pembajak sawah, melambangkan peradaban dalam bidang pertanian. Buddha Awatara, yang mendapatkan pencerahan,
melambangkan kemajuan sosial manusia.
Awatara
yang turun ke dunia juga memiliki makna-makna menurut zamannya: masa para Raja
meraih kejayaan dengan pemerintahan Rama Awatara pada masa Treta Yuga, dan keadilan sosial dan Dharma
dilindungi oleh Sri Kresna pada masa Dwapara Yuga.
Makna dari turunnya para Awatara selama masa Satya
Yuga menuju Kali Yuga juga menunjukkan
evolusi makhluk hidup dan perkembangan peradaban manusia.
Awatara-awatara
dalam daftar di atas merupakan inkarnasi Wisnu,
yang mana dalam suatu filsafat merupakan lambang dari takaran dari nilai-nilai
kemasyarakatan. Istri Dewa Wisnu bernama Laksmi,
Dewi kemakmuran. Kemakmuran dihasilkan oleh masyarakat, dan diusahakan agar
terus berjalan seimbang. Hal tersebut dilambangkan dengan Dewi Laksmi yang
berada di kaki Dewa Wisnu. Dewi Laksmi sangat setia terhadapnya.
Filsafat
Catur Yuga yang merupakan masa-masa yang
menjadi latar belakang turunnya suatu Awatara dideskripsikan sebagai berikut:
- Satya Yuga, dilambangkan dengan seseorang membawa sebuah kendi
(kamandalu)
- Treta Yuga, dilambangkan dengan seseorang yang membawa sapi dan sauh
- Dwapara Yuga, dilambangkan
dengan seseorang membawa busur panah dan kapak
- Kali Yuga,
dilambangkan dengan seseorang yang sangat jelek, telanjang, dan melakukan
tindakan yang tidak senonoh.
Jika
deskripsi di atas diamati dengan seksama, maka masing-masing zaman memiliki
makna tersendiri yang mewakili perkembangan peradaban masyarakat manusia. Pada
masa pertama, Satya Yuga, ada peradaban mengenai tembikar, bahasa, ritual
(yajña), dan sebagainya. Pada masa yang kedua, Treta Yuga, manusia memiliki
kebudayaan bertani, bercocok tanam dan beternak. Pada masa yang ketiga, manusia
memiliki peradaban untuk membuat senjata karena bidang pertanian dan kemakmuran
perlu dijaga. Yuga yang terakhir merupakan puncak dari kekacauan, dan akhir
dari peradaban manusia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar