Mengapa Bali Menuntut Otsus
Tinjauan dari Aspek Religi – Sosial – Budaya
Bahwa Bali itu istimewa, unik, khas, menarik, tidak terbantah karena masyarakat dunia telah mengakuinya bahkan sejak ratusan tahun lampau ketika Bali mula-mula terkuak oleh laporan Aernoudt Lintgens yang tak sengaja mengunjungi Bali pada tanggal 9-25 Pebruari 1597.
Ia menulis dalam laporannya kepada Pemerintah Belanda, pulau kecil ini sangat istimewa terutama oleh keramah-tamahan penduduknya yang hidup makmur, didukung alam yang indah dan subur, pemerintahan Raja yang bijaksana dan taat melaksanakan ritual agama Hindu sehari-hari.
Segala bentuk kesenian yang tiada bandingnya di dunia, berkembang sejalan dengan keyakinan kuat penduduknya yang memeluk agama Hindu.
Para Maha Rsi dari Jawa Timur yang datang ke Bali sejak awal abad ke-8 sampai abad ke-14, yakni Rsi Markandeya, Danghyang Sidimantra, Mpu Gnijaya, Mpu Semeru, Mpu Ghana, Mpu Kuturan, Mpu Bharadah, Danghyang Nirartha, dll. adalah perintis dan “arsitek” tatanan kehidupan religi, sosial, dan budaya Bali.
Maka agama Hindu yang tetap bersumber dari kitab suci Veda mempunyai warna yang khas. Agama Hindu dengan penonjolan ritual yang khas inipun berganti-ganti nama: Agama Tirtha, Agama Hindu-Bali, dan terakhir menjadi Hindu-Dharma.
Tidak ada catatan sejarah tentang maksud kedatangan para Maha Rsi itu ke Bali, namun jika dikaitkan dengan periode waktu kedatangan mereka, dapat dibagi dua, yaitu antara abad ke-8 sampai abad ke 12, dan abad ke 12 sampai ke 14.
Pada periode yang pertama datanglah Maha Rsi Markandeya dan Danghyang Sidimantra. Dalam babad dan prasasti yang ada, disebutkan bahwa kedatangan beliau karena wahyu yang diterima dari Sanghyang Widhi, untuk menyebarkan dan membina agama Hindu di Bali.
Pada periode yang kedua datanglah para Maha Rsi lainnya yakni Mpu Gnijaya, Mpu Semeru, Mpu Ghana, Mpu Kuturan, Mpu Baradah, dan Danghyang Nirartha. Beliau memperkuat dan mengembangkan ajaran-ajaran Rsi Markandeya, serta menambah atau melengkapinya dengan konsep-konsep baru.
Peranan Mpu Kuturan yang paling menonjol adalah mempersatukan semua aliran atau sekte yang ada di Bali, dengan ajaran Trimurti, memperkenalkan simbol pelinggih Kemulan. Di masa ini pula Bali berhasil dikuasai Majapahit, sehingga kedatangan para Arya pengiring Raja (Ida Bhatara Dalem Sri Kresna Kepakisan) serta perpindahan penduduk dari Jawa Timur ke Bali sangat berperan dalam pengembangan Bali di masa selanjutnya.
Menjelang keruntuhan Majapahit eksudos penduduk Jawa Timur ke Bali makin deras, karena seiring dengan runtuhnya Majapahit, agama Islam muncul sebagai keyakinan baru yang dikembangkan oleh para wali-songo. Bali kemudian menjadi pulau yang menampung penduduk yang ingin tetap beragama Hindu.
Kedatangan Danghyang Nirartha ke Bali disambut dengan sangat antusias oleh Dalem Waturenggong, Raja Gelgel yang sadar bahwa rakyat Bali memerlukan seorang rohaniawan Hindu yang mempunyai kemampuan kuat membendung pengaruh Islam di Bali. Beliau mengembangkan paham Tripurusha, di mana niyasa atau simbol pelinggihnya adalah Padmasana. Ajaran-ajaran para Maha Rsi itu telah berhasil meng-ajegkan Agama Hindu di Bali berabad-abad lamanya, hingga sekarang.
Metoda pembelajaran Agama Hindu yang dikembangkan sejak awal melalui jalur kesenian dalam arti luas, mencakup bidang-bidang keterampilan membuat sarana upakara, seni suara, seni tabuh, seni tari, seni lukis, seni pahat, dll. telah membentuk budaya Hindu-Bali yang khas.
Keyakinan umat Hindu di Bali pada keharmonisan hubungan antara manusia dengan Sanghyang Widhi, dengan sesama manusia, dan dengan alam semesta, yang dikenal dengan Trihita Karana, membentuk kehidupan sosial masyarakat agraris yang homogen, terhimpun dalam kesatuan paguyuban berbentuk Subak, Banjar Adat, dan Desa Pakraman.
Dengan demikian dapatlah ditarik kesimpulan, bahwa ke-ajegan Agama Hindu di Bali disebabkan karena unsur-unsur ajaran agama Hindu telah menyatu dengan sosial budaya penduduk yang diwujudkan sehari-hari dalam segala aspek kehidupan. Demikianlah corak yang telah terbina berabad-abad lamanya, yang membawa kesejahteraan bagi penduduk secara lahir dan bathin.
Zaman beredar, tibalah masa penjajahan Belanda yang lamanya tiga abad lebih. Belanda yang paham benar corak kehidupan agama, sosial, dan budaya rakyat Bali, menjaga kelestariannya, bahkan mendukung kemandirian dan pengembangan kehidupan rakyat Bali sesuai dengan kebijaksanaan Raja-Raja yang didampingi Purohita beliau masing-masing. Dengan demikian, walaupun secara politis Bali dijajah Belanda, namun keajegan Hindu di Bali tetap terjaga dengan baik.
Demikian pula di masa penjajahan Jepang yang relatif singkat, dan menjelang revolusi menuju Indonesia merdeka, keajegan Hindu di Bali tetap tak terusik. Kini, setelah Indonesia merdeka selama 60 tahun, kaum cendekiawan Hindu di Bali mulai berpikir karena ada sinyal-sinyal yang membahayakan keajegannya.
Sumbernya adalah pengaruh globalisasi yang melanda dunia dengan semboyan ‘dunia tanpa batas’ sebagai dampak negatif kemajuan iptek dan komunikasi. Di samping itu konsep Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai UUD 1945 sering disalahartikan sebagai konsep aspek-aspek kehidupan bernegara yang harus sama di seluruh Indonesia di bawah pimpinan mutlak Pemerintah Pusat.
Pandangan itu sama sekali tidak memperhatikan kekhususan yang mentradisi turun-temurun melalui kurun waktu yang sangat lama. Bali, misalnya telah mempunyai ciri khas sebagaimana yang dikemukakan di atas. Karena keistimewaannya itu, Bali menjadi objek wisata internasional yang pada gilirannya menerima pendapatan berlimpah dari industri pariwisata yang mengalir ke Pemerintah Pusat.
Sangat ironis kalau dilihat kenyataannya bahwa rakyat Bali dewasa ini masih banyak yang hidup di bawah garis kemiskinan.
Di samping itu bantuan Pemerintah Pusat pada pengembangan agama, kesenian, dan budaya Bali tidak memadai, padahal sumber devisa dari industri pariwisata bertumpu pada ketiga unsur itu.
Bantuan di bidang keagamaan baik berupa pendidikan dan penyediaan fasilitas, sarana dan prasarana, sangat jauh dari kecukupan. Demikian pula di bidang seni dan budaya. Kini terlihat adanya ketimpangan-ketimpangan yang memudarkan kegiatan seni dan budaya, karena terbentur pada masalah pembiayaan.
Aktivitas seni dan budaya di desa-desa yang bukan sentra wisata seperti di Kabupaten-Kabupaten Buleleng, Jembrana, Bangli, dan Karangasem, hampir punah. Di desa-desa yang menjadi sentra wisata seperti yang ada di Kabupaten-Kabupaten Klungkung, Gianyar, Badung, dan Tabanan kelihatan masih bisa sedikit bertahan karena mendapat pembiayaan swakelola dari pendapatan wisata, namun bukan dari Pemerintah Pusat.
Selain masalah sosial – ekonomi sebagaimana diuraikan di atas, ada bentuk kecemasan lain yang berkembang akhir-akhir ini di kalangan rakyat Bali. Pertama, dengan makin banyaknya pendatang dari luar Bali yang mengais kehidupan, mendesak kewirausahawan penduduk asli.
Kaum pendatang ini lama kelamaan menguasai perekonomian Bali dan dengan sendirinya membawa dampak negatif pada kehidupan sosial budaya ke-Hindu-an. Kedua, adanya usaha-usaha terselubung untuk mengeksploitir Bali tanpa memperhatikan segi-segi religi, sosial, dan budaya Bali, misalnya menggunakan trik-trik ancaman dan pemaksaan proyek-proyek raksasa Pemerintah Pusat di Bali yang bertentangan dengan konsep Trihita Karana.
Kecemasan-kecemasan ini tidak dapat dihilangkan dengan mudah karena Bali tidak mempunyai kekuatan membendungnya. Di sisi lain Pemerintah Pusat seakan tak peduli pada kecemasan rakyat Bali. Ini tersirat dari ucapan-ucapan para pejabat tinggi Negara akhir-akhir ini yang mengejutkan rakyat dari segala lapisan.
Maka demi menjaga keajegan Hindu di Bali, sudah waktunya rakyat Bali menuntut Otonomi Khusus, sebagai hak warga Negara untuk mendapat perlakuan yang bijak, adil, dan logis dari Pemerintah Pusat. Permintaan itupun hendaknya dipandang sebagai sesuatu yang wajar, karena Bali memiliki ciri-ciri khas di bidang religi, sosial, dan budaya.
Ketiga hal itu perlu dipupukkembangkan selain demi kesejahteraan umat Hindu di Bali, juga karena memegang peranan penting dalam pertumbuhan dan perkembangan industri pariwisata nasional. Rakyat Bali ingin menjadi tuan di tanah kelahirannya sendiri, ingin mengatur rumah tangganya dengan kekuatan sendiri, mandiri, dan ingin mempertahankan warisan leluhurnya yang bernilai sangat tinggi.
Rakyat Bali-pun ingin anak-cucunya dikemudian hari mencapai moksartham jagaditaya ca iti dharmah yakni kebahagiaan lahir dan bathin sesuai dengan ajaran Agama Hindu. Politik pemerintahan yang sesuai di Bali adalah seperti yang diatur dalam Reg Veda II sampai IX di mana secara panjang lebar telah diulas tentang persyaratan pemimpin, pengambilan sumpah jabatan, swadharma pemimpin, dan model demokrasi menurut ajaran Veda.
Bila otonomi khusus untuk Bali berhasil diperoleh, maka para pemimpin mulai tingkat Gubernur sampai Kepala Desa di Bali diharapkan melaksanakan pola dan kebijakan pemerintahan menurut Veda, dan untuk ini pihak legislatif dan eksekutif didampingi pemimpin-pemimpin umat Hindu terlebih dahulu merancangnya dengan matang.
Sekolah dan lembaga pendidikan di semua tingkatan dapat pula ditata bernuansa Hindu. Dengan kata singkat, otonomi khusus diperlukan agar Bali dapat menata kehidupan religi, sosial, dan budaya menurut ajaran Agama Hindu tanpa harus meminta persetujuan Pemerintah Pusat dalam setiap aspek pelaksanaannya.
OM A NO BHADRAH KRETTAVO YANTU VISVATAH
Sanghyang Widhi, semoga pikiran yang baik datang dari segala penjuru.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar