Minggu, 21 Juli 2013

Siwa-Buddha di Bali



Siwa-Buddha di Bali
Di bali, Siwa-Buddha dan Wainawa dilebur menjadi agama Hindu yang ada sekarang di bali oleh Mpu Kuturan.
Sementara sejarah keagamaan orang Bali sama dengan orang Tibet. Sebelum masuk Buddha, orang Tibet memiliki agama Bon. Agama Buddha dan Bon, akhirnya menyatu seperti Siwa-Buddha di Bali.
Peristiwa itu terjadi pada masa pemerintahan Raja suami istri Gunaprya Dharmapatni/Udayana Warmadewa yang bertahta di Bali pada tahun caka 910 sampai dengan 988 atau tahun 988M sampai dengan tahun 1011M. Pada masa itu penduduk pulau Bali adalah mayoritas orang Bali Aga (orang Bali asli, selanjutnya pendatang dari Jawa disebut orang Bali, jadi ada orang Bali Aga dan Bali) yang sudah sejak lama memeluk dan menganut ajaran agama orang-orang Indu dari berbagai “paksa”(sekte). Yang terbanyak adalah dari sekte Indra disampung yang menganut sekte Bayu, Khala, Brahma, Wisnu, dan Syambhu. Dengan demikian di Bali terdapat 6 sekte yang dalam pelaksanaannya terdapat perbedaan-perbedaan satu dengan yang lainnya. Perbedaan-perbedaan itu akhirnya menimbulkan pertentangan antara satu sekte dengan sekte yang lainnya yang menyebabkan timbulnya ketegangan dan sengketa didalam tubuh masyarakat Bali Aga.
Inilah yang merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya gangguan keamanan dan ketertiban di masyarakat yang membawa dampak negative pada hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat. Akibat yang bersifat negative ini bukan saja menimpa desa bersangkutan, tetapi meluas sampai pada pemerintahan kerajaan sehingga roda pemerintahan menjadi kurang lancar dan terganggu. Dalam kondisi seperti itu, Raja Gunaprya Dharmapatni/Udayana Warmadewa perlu mendatangkan rohaniawan dari Jawa Timur yang oleh Gunaprya Dharmapatni sudah dikenal sejak dahulu semasih beliau ada di Jawa Timur. Oleh karena itu Raja Gunaprya Dharmapatni/Udayana Warmadewa bersekepatan untuk mendatangkan 4 orang Brahmana bersaudara yaitu:
  • Mpu Semeru, dari sekte Ciwa tiba di Bali pada hari jumat Kliwon, wuku Pujut, bertepatan dengan hari Purnamaning Kawolu, candra sengkala jadma siratmaya muka yaitu tahun caka 921 (999M) lalu berparhyangan di Besakih.
  • Mpu Ghana, penganut aliran Gnanapatya tiba di Bali pada hari Senin Kliwon, wuku Kuningan tanggal 7 tahun caka 922 (1000M), lalu berparhyangan di Gelgel
  • Mpu Kuturan, pemeluk agama Budha dari aliran Mahayana tiba di Bali pada hari Rabu Kliwon wuku pahang, maduraksa (tanggal ping 6), candra sengkala agni suku babahan atau tahun caka 923 (1001M), selanjutnya berparhyangan di Cilayukti (Padang)
  • Mpu Gnijaya, pemeluk Brahmaisme tiba di Bali pada hari Kamis Umanis, wuku Dungulan, bertepatan sasih kadasa, prati padha cukla (tanggal 1), candra sengkala mukaa dikwitangcu (tahun caka 928 atau 1006M) lalu berparhyangan di bukit Bisbis (Lempuyang)
Keempat orang Brahmana dari Jawa Timur bersaudara 5 orang, adiknya yang bungsu bernama Mpu Bharadah ditinggalkan di Jawa Timur dengan berparhyangan di Lemahtulis, Pajarakan. Kelima orang Brahmana ini lazim disebut Panca Pandita atau “Panca Tirtha” karena beliau telah melaksanakan upacara “wijati” yaitu menjalankan dharma “Kabrahmanan”. Adapun Mpu Semeru yang berparhyangan di Besakih dan Mpu Ghana yang berparhyangan di Gelgel, karena beliau “Nyukla Brahmacari” maka keduanya tidak mengadakan keturunan. Sedangkan Mpu Kuturan yang berparhyangan di Cilayukti sebagai “Swala Brahmacari” mempunyai seorang putri bernama Dyah Ratna Manggali, yang ditinggalkan di Jawa bersama ibunya (Calon Arang, aku tambahin) yang kemudian kawin dengan salah satu putera Mpu Bharadah yaitu Mpu Bahula.
Tentang adanya Mpu Kuturan di Bali dapat diketahui dari 7 prasasti peninggalan purbakala, dimana disebutkan bahwa Mpu Kuturan di Bali berpangkat “Senapati”, dan prasasti-prasasti tersebut kini masih terdapat:
  • Di desa Srai, kecamatan Kintamani, kabupaten daerah tinggkat II Bangli, bertahun Caka 915 atau 993M
  • Di desa Batur, kecamatan Kintamani, kabupaten daerah tingkat II Bangli, bertahun caka 933 atau 1011M
  • Di desa Sambiran, kecamatan Tejakula kabupaten tingkat II Buleleng, bertahun caka 938 atau 1016M
  • Di desa Batuan, kecamatan Sukawati kabupaten tingkat II Gianyar bertahun caka 944 (1022M)
  • Di desa Ujung Kabupatendaerah tingkat II Karangasem bertahun caka 962 (1040M)
  • Di Pura Kehen Bangli, kabupaten tingkat II Bangli, karena sudah rusak tidak tampak tahunnya
  • Di desa Buahan, kecamatan Kintamani, kabupaten daerah tingkat II Bangli bertahun caka 947 (1025M)
Sekian banyaknya prasasti sebagai fakta sejarah yang mencantumkan nama Mpu Kuturan sebagai Senapati di Bali dalam tahun-tahun tersebut dan prasasti-prasasti itu merupakan firman raja-raja yang bertahta di Bali yaitu:
  • Raja Gunaprya Dharmapatni/Udayana Warmadewa yang bertahta dari tahun caka 910 sampai dengan 933(988-1011M) menerbitkan prasasti pertama dan kedua
  • Cri Adnyadani yang bertahta dari tahun caka 933 sampai 928 (1011-1016M) menerbitkan prasasti yang ketiga
  • Cri Dharmawangsa Wardhana Marakatopangkaja Stano Tunggadewa, yang bertahta dari tahun caka 938 sampai 962 (1016-1040M) menerbitkan prasasti keempat sampai ketujuh
Dari adanya lontar Calon Arang dapat diketahui bahwa Mpu Kuturan berasal dari Jawa Timur yaitu di suatu tempat bernama Girah, dan disanalah beliau pernah berkuasa sebagai seorang Raja. Beliau berangkat dan menetap di Bali didorong oleh tiga factor penyebab yaitu:
  • Memenuhi permintaan raja suami istri yang disebut diatas, yang memerlukan keahlian beliau dalam bidang adapt dan agama untuk merehabilitasi dan mestabilisasi timbulnya ketengangan-ketegangan dalam tubuh masyarakat Bali Aga
  • Karena bertentangan dengan istri beliau yang menguasai magic. Sebab itu istri beliau ditinggalkan di Jawa yang dijuluki “Walu Natheng Girah” atau “Rangda Natheng Girah” (jandanya Raja Girah)
  • Sebagai bhiksuka atau Sanyasa, beliau lebih mengutamakan ajaran dharma dari pada kepentingan pribadi
Kesempatan yang baik itu beliau pergunakan untuk untuk datang ke Bali, karena dorongan kewajiban menyebarkan dharma. Selain Senapati, beliau juga diangkat sebagai sebagai ketua Majelis ”Pakira kiran I Jro makabehan:, yang beranggotakan sekalian senapati dan para pandita Ciwa dan Budha. Dalan suatu rapat majelis yang diadakan di Bataanyar yang dihadiri oleh unsure tiga kekuatan pada saat itu, yaitu
  • Dari pihak Budha Mahayana diwakili oleh Mpu Kuturan yang juga sebagai ketua sidang
  • Dari pihak Ciwa diwakili oleh pemuka Ciwa dari Jawa
  • Dari pihak 6 sekte yang pemukanya adalah orang Bali Aga
Dalam rapat majelis tersebut Mpu Kuturan membahas bagaimana menyederhanakan keagamaan di Bali, yg terdiri dari berbagai aliran. Tatkala itu semua hadirin setuju untuk menegakkan paham Tri Murti (Brahma,Wisnu,Ciwa) untuk menjadi inti keagamaan di Bali dan yang layak dianggap sebagai perwujudan atau manifestasi dari Sang Hyang Widhi Wasa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar