SIWA-BUDDHA
Vedavyasa
adalah penggubah Kitab Mahabharata. Beliau menggubah lima Sloka dalam
kitab Mahabharata yang tersusun menjadi kitab Mahapurana (Purana Utama).
Purana ini beliau susun dari naskah asli kitab purana yang dikenal
dengan purana Samhita. Purana memiliki lima karakteristik yang disebut
Panca Laksana yang melukiskan lima hal yang berbeda yaitu : Sarga
(penciptaan alam semesta), Pratisarga (peleburan & penciptaan
kembali), Manvantara (berbagai periode jaman), Vamsa (silsilah
raja-raja), Vamsanu Carita (sislsilah umat manusia). Purana merupakan
pengetahuan suci merupakan pengetahuan dasar untuk selanjutnya
mempelajari kitab Veda dan Upanisad, karena cerita ini berasal dari
pura kala (jaman dahulu) dan merupakan pelengkap (purana) dari
pengetahuan Veda.
Menurut Kitab Purana, alam semesta memiliki tiga sifat yaitu: Satwa: kecerdasan / kemurnian / kehalusan / teratur / kepatuhan / seimbang / terang / kesatuan; Rajas: dinamis / energi / aktifitas / perubahan / mutasi / hasrat / gairah / kelahiran / penciptaan; Tamas:
yaitu kegelapan / lamban / perusakan / kematian / pengabaian /
kecerobohan / penolakan/ pengabaian / halangan dan batasan/ enggan untuk
berubah. Purana pun digolongkan kedalam Sattvika Purana, Rajasika
Purana dan Tamasika Purana dan Siva purana merupakan purana yang
termasuk dalam tamasika purana, Siva Purana merupakan Purana keempat
dari delapan belas mahapurana yang secara umum lebih memulyakan nama
Siva dari dari dewa lain atau karisma Sivalah yang banyak terkandung
dalam Siva Purana. Menurut tradisi yang tercantum di Vāyaviya Samhitā (the Venkateshvara Press edition), Teks aslinya dikenal sebagai Śaiva Purāna, berisikan 12 Samhitās dan 100,000 ślokas. Oleh Vedavyasa, dipilah dan di padatkan menjadi 24.000 ślokas. Ia mengajarkan kepada muridnya Romaharshana (Lomaharshana).
Terkait
dengan proses penciptaan, didalam kitab Siva Purana dinyatakan bahwa
pada awal penciptaan alam semesta masih kosong hanya terdapat Brahman
(Esensi ilahi) yang bersifat nirguna menyebar dimana-mana. Kemudian
air memenuhi semesta Visnu dalam wujud Narayana tidur dilautan maha luas lalu muncullah sekuntum teratai dari pusar beliau dan lahirlah Brahma dari teratai itu. Brahma
yang bingung akan keberadaan dirinya dan semesta yang masih kosong
menjelajahi tangkai teratai itu namun beliau tidak menemukan sel itu
hingga akhirnya menyerah. Suara gaib memerintahkan beliau untuk
bermeditasi. Setelah 12 tahun berlalu Visnu yang bertangan empat menampakkan diri dan menyebut Brahma dengan “Nak”. Brahma tidak mengenali Visnu dan Visnu menjelaskan bahwa Brahma tercipta dari tubuh beliau. Brahma tidak puas mendengar hal itu dan bertarung melawan Visnu. Lalu muncullah sebuah linga ( wujud Siva) diantara mereka. Karena heran Brahma dengan wujud angsa menelususri puncak linga sedangkan Visnu dengan wujud babi hutan
menelusuri dasarnya. Mereka mencari hingga 4000 tahun, namun tidak
berhasil menemukan ujung pangkalnya. Mereka lalu berdoa ditempat semula
dan setelah 100 tahun terdengarlah suara suci “OM” dilantunkan,
seiring munculnya Siva dengan lima kepala dan sepuluh tangan. Visnu
menanyakan tentang keberadaan Siva dan Siva menjelaskan bahwa mereka
bertiga merupakan satu kesatuan yang dibagi menjadi tiga. Brahma sebagai pencipta, Visnu
pemelihara dan Siva sendiri penghancur, Rudra adalah mahluk yang
akan muncul dari tubuh Siva tapi Siva dan Rudra adalah satu. Maka Brahma ditugasi untuk mencipta dan Sivapun menghilang. Brahma dan Visnu kembali ke wujud asalnya.
Persatuan wujud Wisnu dan Siwa tercantum Visnu Purana, Bahgavata Purana(4.30.23, 5.17.22-23, 10.14.19), Brahma-Samhita 5.45,
dan Siva Purana menyebutkan pada saat terbangunnya Wisnu menjadi
Brahma saat menciptakan dunia dan Siwa saat melebur kembali, Siwa juga
di katakana sebagai Manifestasi Wisnu dalama bhagavata Purana, dan dalam
Siva purana Siwa berperan dalam menciptakan, memeliharan dan melebur
dunia dan dikatakan bahawa Baik Wisnu maupun Siwa berasal dari
manifestasi Siwa. Namun perpaduan yang tampak terlihat adalah dalam
bentuk Harihara
sebagai bentuk Wisnu(Hari) dan Shiva(Hara) dua bentuk ini juga
dinamakan Harirudra yang muncul dalam Epik Mahabharata dan juga sebagai
Mahabalesiwara atau Kekuatan dari segala Kekuatan pada kisah dimana
Rahwana mendapatkan anugrah Siva lingga dari Siva dengan syarat ia harus
membawa kemanapun ia pergi. Saat ia hampir dekat dengan daerah Deoghar di Bihar
ia berhenti sejenak untuk melepas lela ia berhenti sejenak untuk
membersihkan diri dan bertemu dengan Winsu yang tengah menyamar menjadi
seorang pertapa dan menitipkan sejenak lingga itu. Setelah Rahwana
Pergi. Kemudian Wisnu menaruhnya ditanah dan melenyapkannya ketanah.
Saat Rahwana kembali Ia tidak dapat memindahkan Lingga itu dan tetap
demikian samapai dengan saat ini. Demikian dari sudut Purana dan
Samhita.
Nusantara
Awal mula perpaduan Agama Siwa Buddha tidak lepas dari sejarah Kerajaan Mataram kuno yang terdiri dua dinasti, yakni Wangsa Sanjaya dan Wangsa Syailendra. Wangsa Sanjaya yang bercorak Hindu didirikan oleh Sanjaya pada tahun 732. Beberapa saat kemudian, Wangsa Syailendra yang bercorak Buddha Mahayana didirikan oleh Bhanu pada tahun 752. Kedua wangsa ini berkuasa berdampingan secara damai. Nama Mataram sendiri pertama kali disebut pada prasasti yang ditulis di masa raja Balitung.
Wangsa Syailendra
Wangsa Syailendra diduga berasal dari daratan Indocina (sekarang Thailand dan Kamboja).
Wangsa ini bercorak Buddha Mahayana, didirikan oleh Bhanu pada tahun
752. Pada awal era Mataram Kuno, Wangsa Syailendra cukup dominan
dibanding Wangsa Sanjaya. Pada masa pemerintahan raja Indra (782-812), Syailendra mengadakan ekspedisi perdagangan ke Sriwijaya. Ia juga melakukan perkawinan politik: puteranya, Samaratungga, dinikahkan dengan Dewi Tara, puteri raja Sriwijaya. Pada tahun 790,
Syailendra menyerang dan mengalahkan Chenla (Kamboja), kemudian sempat
berkuasa di sana selama beberapa tahun. Peninggalan terbesar Wangsa
Syailendra adalah Candi Borobudur yang selesai dibangun pada masa pemerintahan raja Samaratungga (812-833).
Di
setiap tingkatan Borobudur dipahat relief-relief pada dinding candi.
Relief-relief ini dibaca sesuai arah jarum jam atau disebut mapradaksina dalam bahasa Jawa Kuna yang berasal dari bahasa Sansekerta daksina yang artinya ialah timur. Relief-relief ini bermacam-macam isi ceritanya, antara lain ada relief-relief tentang wiracarita Ramayana. Ada pula relief-relief cerita jātaka.
Wangsa Sanjaya
Wangsa Sanjaya didirikan oleh Raja Sanjaya/
Rakeyan Jamri / Prabu Harisdama, cicit Wretikandayun, raja kerajaan
Galuh pertama. Pada saat menjadi penguasa Kerajaan Sunda ia dikenal
dengan nama Prabu Harisdarma dan kemudian setelah menguasai Kerajaan
Galuh ia lebih dikenal dengan Sanjaya.
Ayah dari Sanjaya adalah Bratasenawa / SENA / SANNA, Raja Galuh
ketiga. Sena adalah cucu Wretikandayun dari putera bungsunya,
Mandiminyak, raja Galuh kedua (702-709 M). Sena di tahun 716 M
dilengserkan dari tahta Galuh oleh PURBASORA.
Purbasora
dan Sena sebenarnya adalah saudara satu ibu, tapi lain ayah. Sena dan
keluarganya menyelamatkan diri ke Pakuan, pusat kerajaan Sunda, dan
meminta pertolongan pada Raja Tarusbawa. Ironis sekali,
Wretikandayun, kakek Sena, sebelumnya menuntut Tarusbawa untuk
memisahkan Kerajaan Galuh dari Tarumanagara, sehingga kerajaan
Tarumanagara terpecah dua menjadi kerajaan Sunda dan kerajaan Galuh'
Di
kemudian hari, Sanjaya, yang merupakan penerus Kerajaan Galuh yang sah,
menyerang Galuh dengan bantuan Tarusbawa untuk melengserkan Purbasora.
Setelah itu ia menjadi raja Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh (723 -
732M), sehingga bekas wilayah kekuasaan Tarumanagara dapat disatukan
kembali dalam satu kerajaan, yaitu Kerajaan Sunda Galuh.
Sebagai ahli waris Kalingga, Sanjaya kemudian juga menjadi penguasa Kalingga Utara yang disebut Bumi Mataram dalam tahun 732 M[. Dengan kata lain, Sanjaya adalah penguasa Sunda, Galuh dan Kalingga / Kerajaan Mataram (Hindu).
Pada masa ini telah terbentuk semacam ikatan kekerabatan di antara
kerajaan-kerajaan tersebut. Hal ini mempengaruhi berbagai keputusan
politik pada masa-masa selanjutnya (misalnya saat penaklukan Nusantara
oleh Majapahit).
Kekuasaan
di Jawa Barat lalu diserahkan kepada putera Sanjaya dari Tejakencana,
putri Raja Tarusbawa dari kerajaan Sunda, yaitu Tamperan atau Rakeyan
Panaraban sedangkan penerus Sanjaya di Kerajaan Mataram adalah Rakai
Panangkaran, putera Sanjaya
dari Sudiwara, puteri Dewasinga raja Kalingga Selatan atau Bumi
Sambara. Jadi Rakai Panangkaran dan Rakeyan Panaraban / Tamperan adalah
saudara seayah tapi lain ibu.
Pemimpin
Mataram selanjutnya adalah, berturut-turut, Rakai Panunggalan, Rakai
Warak, dan Rakai Garung. Rakai Garung memiliki anak yaitu Rakai Pikatan.
Rakai Pikatan, yang waktu itu menjadi pangeran Wangsa Sanjaya, menikah dengan Pramodhawardhani (833-856), puteri raja Wangsa Syailendara Samaratungga.
Sejak itu pengaruh Sanjaya yang bercorak Hindu mulai dominan di
Mataram, menggantikan Agama Buddha. Rakai Pikatan bahkan mendepak Raja Balaputradewa (putera Samaratungga dan Dewi Tara). Tahun 850, era Wangsa Syailendra berakhir yang ditandai dengan larinya Balaputradewa ke Sriwijaya.
Pada tahun 910, Raja Tulodong mendirikan Candi Prambanan. Prambanan merupakan kompleks candi Hindu terbesar di Asia Tenggara. Pada masa ini, ditulis karya sastra Ramayana dalam Bahasa Kawi. Tahun 928, Raja Mpu Sindok memindahkan istana Kerajaan Mataram dari Jawa Tengah ke Jawa Timur (Medang). Perpindahan ini diduga akibat letusan Gunung Merapi, atau mendapat serangan dari Sriwijaya.
Empu
Sendok adalah raja Mataram terkahir, Mpu Sendok(929-947M) menghasilkan
dua buku yang menguraikan ajaran Mahayana, yaitu 'Sanghyang Kamahayan
Mantrayana' yang berisi ajaran yang ditujukan kepada bhikkhu yang sedang
ditasbihkan, dan 'Sanghyang Kamahayanikan' yang berisi kumpulan
pengajaran bagaimana orang dapat mencapai kelepasan. Pokok ajaran dalam
Sanghyang Kamahayanikan adalah menunjukan bahwa bentuk yang bermacam-
macam dari bentuk pelepasan pada dasarnya adalah sama. Bagi penulis
Sanghyang Kamahayanikan tidaklah terlalu sulit untuk mengidentifikasikan
Siwa dengan Buddha dan menyebutnya "Siwa-Buddha", bukan lagi Siwa atau
Buddha, tetapi Siwa-Buddha sebagai satu Tuhan.
Pada
jaman pemerintahan raja Krtanagara, raja Singasari terakhir. Penyatuan
Siwa dan Buddha adalah juga karena toleransinya yang sangat besar dan
juga alasan yang bersifat politik, yaitu untuk memperkuat diri dalam
menghadapi musuh dari Cina, Kubilai Khan.Untuk mempertemukan kedua agama
itu, Krtanagara membuat candi Siwa-Buddha yaitu Candi Jawi di Prigen
dan Candi Singasari di dekat kota Malang.
Pembaruan
agama Siwa-Buddha pada jaman Majapahit antara lain terlihat pada cara
mendharmakan raja dan keluarganya yang wafat pada 2 candi yang berbeda
sifat keagamaannya. Hal ini dapat dilihat pada raja pertama Majapahit,
yaitu Kertarajasa yang didharmakan di Candi Sumberjati (Simping) sebagai wujud siwa (Siwawimbha)
dan di Antahpura sebagai Buddha; atau raja kedua Majapahit, yaitu Raja
Jayabaya yang didharmakan di Shila Ptak sebagai Wisnu dan di Sukhalila
sebagai Buddha. Hal ini memperlihatkan bahwa kepercayaan dimana
Kenyataan Tertinggi dalam agama Siwa maupun Buddha tidak berbeda.
Agama Siwa yang berkembang dan dipeluk oleh raja-raja Majapahit adalah Siwasiddhanta (Siddantatapaksa) yang mulai berkembang di Jawa Timur pada masa Raja Sindok (abad X). Sumber ajarannya adalah Kitab Tutur (Smrti),
dan yang tertua adalah Tutur Bhwanakosa yang disusun pada jaman Mpu
Sindok, sedang yang termuda dan terpanjang adalah Tutur Jnanasiddhanta
yang disusun pada jaman Majapahit. Ajaran agama ini sangat dipegaruhi
oleh Saiwa Upanisad, Vedanta dan Samkhya. Kenyataan Tertinggi agama ini
disebut Paramasiwa yang disamakan dengan suku Kata suci OM. Sebagai dewa tertinggi Siwa mempunyai 3 hakekat (tattwa) yaitu:
- Paramasiwa-tattwa yang bersifat tak terwujud (niskala)
- Sadasiwa-taattwa yang bersifat berwujud-tak berwujud (sanakala-niskala)
- Siwa-tattwa bersifat berwujud (sakala)
Selain agama Siwasiddhanta dikenal pula aliran Siwa Bhairawa
yang muncul sejak pemerintahan Raja Jayabhaya dari Kediri. Beberapa
pejabat pemerintahan Majapahit memeluk agama ini. Agama ini adalah
aliran yang memuja Siwa sebagai Bhairawa. Di India Selatan mungkin
dikenal sebagai aliran Kapalika. Pemujanya melakukan tapa yang sangat keras, seperti tinggal di kuburan dan memakan daging dan darah manusia (mahavrata).
Disamping agama Siwa, terdapat pula agama Waisnawa yang memuja dewa
Wisnu, yang dalam agama Siwa, Wisnu hanya dipuja sebagai dewa pelindung (istadewata).
Berdasarkan
sumber tertulis, raja-raja Majapahit pada umumnya beragama Siwa dari
aliran Siwasiddhanta kecuali Tribuwanattungadewi (ibunda Hayam Wuruk)
yang beragama Buddha Mahayana. Walaupun begitu agama Siwa dan agama
Buddha tetap menjadi agama resmi kerajaan hingga akhir tahun 1447.
Pejabat resmi keagamaan pada masa pemerintahan Raden Wijaya (Krtarajasa) ada 2 pejabat tinggi Siwa dan Buddha, yaitu Dharmadyaksa ring Kasaiwan dan Dharmadyaksa ring Kasogatan, kemudian 5 pejabat Siwa dibawahnya yang disebut Dharmapapati atau Dharmadihikarana.
Selain itu terdapat pula para agamawan yang mempunyai peranan penting dilingkungan istana yang disebut tripaksa yaitu rsi-saiwa-sagata (berkelompok 3); dan berkelompok 4 disebut catur dwija yaitu mahabrahmana (wipra)-saiwa-sogata-rsi.
Tidak banyak yang mengetahui bahwa saat
itu masyarakat Majapahit sudah amat plural. Hindu sendiri terdiri dari
tiga agama besar. Agama Brahma, agama Wisnu, dan agama Syiwa. Lalu ada
Buddha, Tantrayana, Syiwa Buddha dan Buddha Bhairawa. Semua mendapat
tempat di Majapahit tanpa diskriminasi. Penganut animisme juga banyak.
Oleh pemeluk agama lain, mereka tidak dianggap kafir sebab inilah agama
asli warisan nenek moyang. Kerajaan besar ini amat toleran dengan
keberagamaan karena belajar dari kekonyolan kerajaan terdahulu.
Pelajaran dari masa lalui lah yang membuat Majapahit menjadi negara
besar, terbuka dan toleran terhadap semua ideologi, bahkan terhadap
agama yang amat baru dan aneh.
Di
era Majapahit, Eropa sudah terbagi menjadi berbagai kerajaan, sebagian
masih eksis hingga kini. Agama Katolik Roma yang berumur 14 abad sedang
mengalami puncak kejayaan. Islam yang lahir abad ke-7 juga tumbuh pesat.
Kemaharajaan Ottoman menunjukkan hegemoninya di Timur Tengah, Afrika
Utara, bahkan sebagian Eropa. Tarekat Rahib Katolik banyak berdiri. Saat
itulah seorang rahib sempat berkunjung ke Majapahit. Orang bule dengan
agama baru yang aneh ini di Majapahit diterima dengan baik. Setelah
kunjungan selesai, ia dibiarkan pergi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar