Selasa, 09 Juli 2013

Hak dan Kewajiban Politik Umat Hindu Sebagai Warganegara



Dalam waktu dekat Bali akan menyelenggarakan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara langsung di beberapa Kabupaten. Pilkada ini hal yang baru. Pertanyaannya, siapkah atau sudahkah umat Hindu merasa cukup dewasa dalam berpolitik?
Politik dalam tinjauan ini mengacu pada political parties seperti apa yang dipaparkan oleh V.O. Key Jr. dalam bukunya: Politics, Parties, and Pressure Groups, Crowell 1964, 5th ed.:
are organized groups of individuals or other groups who attempt to exercise power in a political system by winning control of the government or influencing governmental policy.
Kemenangan atau kekuasaan pemerintahan ditentukan oleh banyaknya perolehan suara. Dengan demikian maka luasnya dukungan massa terhadap suatu kandidat sangatlah penting. Persaingan antar kandidat dalam merebut simpati massa menjadi agenda utama para aktivis.
Berbagai taktik dan strategi dirancang untuk mencapai kemenangan. Ada aturan-aturan yang ditentukan Pemerintah dalam mengendalikan kegiatan ini agar tidak terjadi gesekan-gesekan, namun ada pula berbagai taktik baik yang nyata ataupun yang terselubung dirancang oleh politikus untuk mencapai kemenangan.
Pada dasarnya taktik dan strategi memenangkan pemilihan massa meliputi tiga unsur:
  1. Popularitas,
  2. Kekuatan untuk membendung kiprah lawan politik, dan
  3. Konsolidasi intern.
Taktik yang nomor dua inilah yang banyak menimbulkan ketidakwajaran dalam berpolitik. Bentuk yang negatif dari kegiatan ini oleh Carl J. Friedrich dinamakan sebagai Pathology of Politics, meliputi:  Violence, Betrayal, Corruption, Secrecy, dan Propaganda.
Lebih jauh diuraikan pula bahwa:
  1. Violence is intense physical force that causes or is intended to cause injury or destruction (kekuatan paksa dengan badan atau senjata yang menyebabkan kecelakaan atau perusakan).
  2. Betrayal is prove unfaithful to or deliver to an enemy by treachery (keadaan tidak beriman dan berkhianat).
  3. Corruption, walaupun sulit menetapkan definisinya karena dapat mencakup bidang yang sangat luas, tetapi Friedrich merumuskan bahwa political corruption is a general term for the misuse of a public position of trust for private gain (penyalahgunaan jabatan dan wewenang).
  4. Secrecy is kept from general knowledge (menutupi atau merahasiakan suatu strategi atau keburukan).
  5. Propaganda is spreading of ideas or information to further or damage a cause (menyebarkan ide atau informasi di masa depan atau menghapus opini negatif).
Kelima unsur pathology politik yang negatif dalam sejarah tanah air telah tercatat sebagai bencana yang menimbulkan korban jiwa dan material.
Demikian pula yang terjadi di belahan dunia lainnya seperti Amerika, sehingga para pakar ilmu politik antara lain Harold D. Lasswell menyatakan perlu adanya pendidikan politik atau political science agar para pelaku politik dapat membatasi serta menjaga aktivitasnya tidak menyimpang dari etika dan norma-norma hukum.
Pemerintah berkewajiban mengadakan pendidikan ini baik secara formal maupun secara informal misalnya melalui media.
Bagi pemeluk Hindu etika berpolitik terdapat dalam kitab suci Veda yaitu Rgveda, Yajurveda, Samaveda, dan Atharvaveda.
Politik dalam Veda menitikberatkan pada kewajiban pemimpin pemerintahan dan rakyat untuk bersama-sama menegakkan kejayaan bangsa dan negara, yang dikenal dengan istilah “dharma negara”.
Bentuk pemerintahan menurut Veda adalah berkedaulatan rakyat:
MAHATE JANARAJYAYA (YAJURVEDA IX. 40)
Semoga Tuhan membimbing kami ke sebuah negara yang berkedaulatan rakyat.
Lebih jauh diulas pula bahwa rakyat yang merdeka, sejahtera dan berdaulat adalah kekuatan utama bagi tegaknya suatu bangsa:
UTTARAM RASTRAM PRAJAYA UTTARA VAT (ATHARVAVEDA XII.3.10)
Para politisi yang bersaing menguasai pemerintahan disyaratkan dalam Veda agar selalu memperhatikan kepentingan rakyat karena landasan seorang pemimpin adalah rakyatnya:
VISI RAJA PRATISTHITAH (YAYURVEDA XX.9)
karena itu pemimpin hendaklah berupaya meningkatkan kualitas rakyat:
PRA JAM DRMHA (YAYURVEDA V.27)
memelihara kesejahteraan rakyat:
SIVAM PRAJABHYAH (YAYURVEDA XI.28)
membahagiakan rakyat:
PANCA KSITINAM DYUMNAM A BHARA (SAMAVEDA 971)
memperhatikan keluhan rakyat:
VISAM VISAM HI GACCHATHAH (SAMAVEDA 753)
dan memakmurkan rakyat:
PRAJAM CA ROHA-AMRTAM CA ROHA (ATHARVAVEDA XIII.1.34)
Sebaliknya rakyat pun wajib mematuhi perintah-perintah pemimpin bangsa:
TASYA VRATANI-ANU VAS CARAMASI (RGVEDA VIII.25.16)
selalu waspada pada hal-hal yang dapat membahayakan keselamatan bangsa:
VAYAM RASTRE JAGRYAMA PUROHITAH (YAYURVEDA IX.23)
dan berani berkorban untuk kejayaan bangsa:
VAYAM TUBHYAM BALIHRTAH SYAMA (ATHARVAVEDA XII.1.62)
Kutipan-kutipan ayat-ayat suci yang disebutkan di atas memberikan batasan kriteria, kualitas pemimpin yang bagaimana patut dipilih oleh rakyat agar rakyat mendapatkan hak-haknya sebagai warganegara dan kewajiban politik apa pula yang perlu dilakukan oleh rakyat.
Rakyat tidak dibenarkan untuk pasif atau apatis dalam kegiatan politik baik sebagai pemilih maupun tergabung dalam kegiatan politik praktis, karena itu merupakan swadarma warganegara dalam wujud bhakti.
Berbicara mengenai “Bhakti” dalam pengertian Veda, adalah “Cinta” kepada Hyang Widhi. Dalam mewujudkan cintanya kepada Hyang Widhi, antara lain manusia diwajibkan untuk “bekerja” atau “berbuat” sebagaimana ditulis dalam Bhagawadgita:
III.5: NAHI KASCITY KSANAM API JATU TISTHATY AKARMAKRIT, KARYATE HY AVASAH KARMA SARVAH PRAKRITIJAIR GUNAIH
(Walau sesaat jua tidak seorang pun untuk tidak berbuat karena manusia menjadi tidak berdaya oleh hukum alam yang memaksanya bertindak).
III.8: NIYATAM KURU KARMA TWAM KARMA JYAYO HY AKARMANAH, SARIRAYATRA PI CA TE NA PRASIDHYED AKARMANAH
(Bekerjalah seperti apa yang telah ditentukan, sebab berbuat lebih baik dari pada tidak berbuat, dan bahkan tubuh pun tidak akan berhasil terpelihara tanpa berkarya).
Tidak ada manusia yang bisa menghindar dari hukum kerja itu bahkan ketika tidurpun tanpa disadari jantung tetap berdetak, darah tetap mengalir dan nafas terus berhembus. Hyang Widhi pun setiap detik bekerja tiada henti seperti menggerakkan benda-benda angkasa, menumbuhkan, memelihara, dan memusnahkan kehidupan mahluk-mahluk, menghembuskan angin, meriakkan gelombang laut, dll.
Bhagawadgita III.223.24:
YADI HY AHAM NA VARTEYAM, JATU KARMANY ATANDRITAH, MAMA VARTNA NUVARTANTE, MANSYAH PARTHA SAVARSAH. UTSIDEYUR IME LOKA, NA KURYAM KARMA CED AHAM, SAMSKARARASYA CE KARTA SYAM, UPAHANYAM IMAH PRAJAH
(Sebab kalau Aku tidak selalu bekerja tanpa henti-henti, manusia tidak akan mengikuti jalan-Ku itu, dalam segala bidang apa pun juga. Dunia ini akan hancur jika Aku tidak bekerja; Aku jadi pencipta kekacauan, memusnahkan semua manusia).
Dengan demikian bila seseorang tidak berbuat maka dia akan dilindas oleh arus perputaran dunia yang mendatangkan penderitaan baginya. Manusia sebagai bhuwana alit dan Hyang Widhi sebagai bhuwana agung dapat diumpamakan sebagai setitik air dalam sungai.
Titik air itu mengikuti dan menyatu dengan sungai sehingga manusiapun mengikuti dan menyatu dengan Hyang Widhi, khususnya dalam bekerja. Untuk itu Hyang Widhi menciptakan Hukum Karma bagi manusia dan Hukum Rta bagi alam semesta.
Pikiran adalah sumber motivasi bekerja, maka ia menentukan hasil suka-duka dalam karma. Kerja yang dilandasi oleh pikiran mulia akan membuahkan karma yang mulia, sedangkan kerja yang dilandasi pikiran hina akan membuahkan karma yang hina pula.
Karma yang mulia menuntun manusia pada kehidupan yang moksartham jagadhita, sedangkan karma yang hina membawa manusia ke neraka. Sasaran kepentingan bekerja adalah untuk masyarakat, kemudian barulah hasilnya antara lain dapat dinikmati oleh diri pribadi.
Dalam keseharian orang menyebut dirinya “saya” yang berasal dari kata “sahaya”, artinya “pengabdi”. Di Bali orang menyebut dirinya “tityang” yang berasal dari kata “titah Hyang (Widhi)” artinya perintah Tuhan. Pengertian lebih luas adalah pernyataan bahwa saya adalah hamba Tuhan yang melaksanakan perintah-perintah-Nya untuk mengabdi pada kepentingan umat manusia.
Hasil dari perbuatan disebut “karma-phala” adalah bagian dari lima kepercayaan dasar umat Hindu yang disebut “Panca Srada”. Hukum karma-phala bersifat universal, berlaku bagi setiap umat manusia di dunia.
Hasil pekerjaan dapat berwujud nyata (skala) dan dapat pula berwujud tidak nyata (niskala). Wujud nyata banyak berkaitan dengan keduniawian, sedangkan wujud tidak nyata berkaitan dengan perasaan tenteram atau sebaliknya.
Ditinjau dari waktu saat berbuat dengan waktu menerima hasil perbuatan, karma-phala dibedakan menjadi tiga, yaitu:
  1. Prarabda karma-phala, yaitu karma yang dilakukan semasa hidup dan pahalanya diterima pula semasa hidup.
  2. Kryamana karma-phala, yaitu karma yang dilakukan semasa hidup namun pahalanya diterima di alam nirwana.
  3. Sancita karma-phala, yaitu karma yang dilakukan semasa hidup, pahalanya diterima pada reinkarnasi/ kehidupan berikutnya.
Oleh karena itu umat Hindu diajarkan untuk bekerja dengan baik agar memperoleh karma yang baik pula. Bekerja dengan baik adalah bekerja sesuai dengan norma-norma Agama, Susila, dan Hukum. Ketiganya terangkum dalam ajaran Catur Purusa Artha, yaitu:
  1. Dharma, bekerja dengan mengutamakan kepentingan masyarakat
  2. Artha, pahala dari karma berwujud benda keduniawian
  3. Kama, pemenuhan kebutuhan hidup seperti sandang, pangan, papan, dll
  4. Moksha, kebahagian hidup lahir-batin
Catur Purusa Artha ini urut-urutannya tidak dapat diubah, misalnya mendahulukan artha dari pada dharma. Bila demikian maka manusia akan bekerja tanpa pedoman moral yang bersumber dari ajaran Agama, hal mana akan menyeret manusia ke lembah penderitaan.
Umat Hindu yang religius senantiasa menghubungkan kehidupannya sehari-hari dengan Hyang Widhi sebagai Yang Maha Kuasa. Hubungan ini disebut “Bhakti” sebagaimana telah diuraikan di atas, yang artinya adalah cinta kasih. Cinta kasih manusia kepada Hyang Widhi hendaknya terwujud pula dalam cinta kasih kepada semua mahluk ciptaan-Nya, terutama kepada sesama manusia.
Dalam kehidupan berpolitik, kasih sayang itu tetap dipegang sebagaimana ditulis dalam kitab suci Bhagawadgita XII.13:
ADVESTA SARVA BHUTANAM MAITRAH KARUNA EVA CA, NIRMAMO NIRAHANKARAH SAMA DUHKHA SUKHAH KSAMI
(Dia yang tidak membenci semua mahluk, yang senantiasa bersikap ramah dan bersahabat, bebas dari rasa keakuan dan kemilikan serta pemaaf, berkeadaan sama dalam kesedihan maupun kesenangan).
Sifat-sifat manusia pada umumnya dapat dibagi dua, yaitu sifat-sifat “kedewataan” (Daiwi sampad) dan sifat-sifat “keraksasaan” (Asura Sampad).
Sifat-sifat kedewataan adalah tanpa kekerasan, menjunjung tinggi kebenaran, bebas dari kemarahan, tanpa pamrih, tenang, tidak mencari-cari kesalahan orang lain, welas asih, tidak lobha, sopan, dan rendah hati (Bhagawadgita XVI-2). Selain itu ia juga berani, pemaaf, teguh, murni, tidak dengki, tidak sombong (Bhagawadgita XVI-3).
Sifat-sifat keraksasaan adalah berlagak, angkuh, membanggakan diri, marah, kasar, bodoh (Bhagawadgita XVI-4). Ia juga tidak bisa bekerja dengan baik, jauh dari kebajikan dan kebenaran (Bhagawadgita XVI-7). Tidak bermoral, tidak memuja Tuhan dengan mantap, dan penuh nafsu keduniawian (Bhagawadgita XVI-8).
Keranjingan dengan keinginan yang tak terhitung banyaknya yang hanya berhenti pada kematian, memandang pemuasan keinginan sebagai tujuan tertinggi, dan memastikan itulah segala-galanya (Bhagawadgita XVI-11). Dibelenggu oleh ratusan keinginan, yang dipasrahkan pada nafsu dan kemarahan, berusaha untuk menimbun kekayaan dengan cara yang tidak jujur (Bhagawadgita XVI-12).
Bagi mereka yang sifat-sifat keraksasaannya lebih unggul dari pada sifat-sifat kedewataannya, Bhagawadgita-pun memastikan bahwa mereka akan jatuh ke dalam neraka yang menjijikkan (Bhagawadgita XVI-16).
Demikianlah beberapa ulasan dari kitab-kitab suci Agama Hindu yang dapat digunakan sebagai pedoman dalam menghayati hak dan kewajiban politik umat Hindu sebagai warga negara, dan etika dalam menempuh kehidupan berpolitik, semoga ada manfaatnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar