Dalam
waktu dekat Bali akan menyelenggarakan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara
langsung di beberapa Kabupaten. Pilkada ini hal yang baru. Pertanyaannya,
siapkah atau sudahkah umat Hindu merasa cukup dewasa dalam berpolitik?
Politik
dalam tinjauan ini mengacu pada political parties seperti apa yang dipaparkan
oleh V.O. Key Jr. dalam bukunya: Politics, Parties, and Pressure Groups,
Crowell 1964, 5th ed.:
are
organized groups of individuals or other groups who attempt to exercise power
in a political system by winning control of the government or influencing
governmental policy.
Kemenangan
atau kekuasaan pemerintahan ditentukan oleh banyaknya perolehan suara. Dengan
demikian maka luasnya dukungan massa terhadap suatu kandidat sangatlah penting.
Persaingan antar kandidat dalam merebut simpati massa menjadi agenda utama para
aktivis.
Berbagai
taktik dan strategi dirancang untuk mencapai kemenangan. Ada aturan-aturan yang
ditentukan Pemerintah dalam mengendalikan kegiatan ini agar tidak terjadi
gesekan-gesekan, namun ada pula berbagai taktik baik yang nyata ataupun yang
terselubung dirancang oleh politikus untuk mencapai kemenangan.
Pada
dasarnya taktik dan strategi memenangkan pemilihan massa meliputi tiga unsur:
- Popularitas,
- Kekuatan untuk membendung kiprah lawan politik, dan
- Konsolidasi intern.
Taktik
yang nomor dua inilah yang banyak menimbulkan ketidakwajaran dalam berpolitik.
Bentuk yang negatif dari kegiatan ini oleh Carl J. Friedrich dinamakan sebagai
Pathology of Politics, meliputi: Violence, Betrayal, Corruption, Secrecy,
dan Propaganda.
Lebih
jauh diuraikan pula bahwa:
- Violence is intense physical force that causes or is intended to cause injury or destruction (kekuatan paksa dengan badan atau senjata yang menyebabkan kecelakaan atau perusakan).
- Betrayal is prove unfaithful to or deliver to an enemy by treachery (keadaan tidak beriman dan berkhianat).
- Corruption, walaupun sulit menetapkan definisinya karena dapat mencakup bidang yang sangat luas, tetapi Friedrich merumuskan bahwa political corruption is a general term for the misuse of a public position of trust for private gain (penyalahgunaan jabatan dan wewenang).
- Secrecy is kept from general knowledge (menutupi atau merahasiakan suatu strategi atau keburukan).
- Propaganda is spreading of ideas or information to further or damage a cause (menyebarkan ide atau informasi di masa depan atau menghapus opini negatif).
Kelima
unsur pathology politik yang negatif dalam sejarah tanah air telah tercatat
sebagai bencana yang menimbulkan korban jiwa dan material.
Demikian
pula yang terjadi di belahan dunia lainnya seperti Amerika, sehingga para pakar
ilmu politik antara lain Harold D. Lasswell menyatakan perlu adanya pendidikan
politik atau political science agar para pelaku politik dapat membatasi serta
menjaga aktivitasnya tidak menyimpang dari etika dan norma-norma hukum.
Pemerintah
berkewajiban mengadakan pendidikan ini baik secara formal maupun secara
informal misalnya melalui media.
Bagi
pemeluk Hindu etika berpolitik terdapat dalam kitab suci Veda yaitu Rgveda, Yajurveda,
Samaveda, dan Atharvaveda.
Politik
dalam Veda menitikberatkan pada kewajiban pemimpin pemerintahan dan rakyat
untuk bersama-sama menegakkan kejayaan bangsa dan negara, yang dikenal dengan
istilah “dharma negara”.
Bentuk
pemerintahan menurut Veda adalah berkedaulatan rakyat:
MAHATE JANARAJYAYA (YAJURVEDA IX.
40)
Semoga
Tuhan membimbing kami ke sebuah negara yang berkedaulatan rakyat.
Lebih
jauh diulas pula bahwa rakyat yang merdeka, sejahtera dan berdaulat adalah
kekuatan utama bagi tegaknya suatu bangsa:
UTTARAM RASTRAM PRAJAYA UTTARA VAT
(ATHARVAVEDA XII.3.10)
Para
politisi yang bersaing menguasai pemerintahan disyaratkan dalam Veda agar
selalu memperhatikan kepentingan rakyat karena landasan seorang pemimpin adalah
rakyatnya:
VISI RAJA PRATISTHITAH (YAYURVEDA
XX.9)
karena
itu pemimpin hendaklah berupaya meningkatkan kualitas rakyat:
PRA JAM DRMHA (YAYURVEDA V.27)
memelihara
kesejahteraan rakyat:
SIVAM PRAJABHYAH (YAYURVEDA XI.28)
membahagiakan
rakyat:
PANCA KSITINAM DYUMNAM A BHARA
(SAMAVEDA 971)
memperhatikan
keluhan rakyat:
VISAM VISAM HI GACCHATHAH (SAMAVEDA
753)
dan
memakmurkan rakyat:
PRAJAM CA ROHA-AMRTAM CA ROHA
(ATHARVAVEDA XIII.1.34)
Sebaliknya
rakyat pun wajib mematuhi perintah-perintah pemimpin bangsa:
TASYA VRATANI-ANU VAS CARAMASI
(RGVEDA VIII.25.16)
selalu
waspada pada hal-hal yang dapat membahayakan keselamatan bangsa:
VAYAM RASTRE JAGRYAMA PUROHITAH
(YAYURVEDA IX.23)
dan
berani berkorban untuk kejayaan bangsa:
VAYAM TUBHYAM BALIHRTAH SYAMA
(ATHARVAVEDA XII.1.62)
Kutipan-kutipan
ayat-ayat suci yang disebutkan di atas memberikan batasan kriteria, kualitas
pemimpin yang bagaimana patut dipilih oleh rakyat agar rakyat mendapatkan
hak-haknya sebagai warganegara dan kewajiban politik apa pula yang perlu
dilakukan oleh rakyat.
Rakyat
tidak dibenarkan untuk pasif atau apatis dalam kegiatan politik baik sebagai
pemilih maupun tergabung dalam kegiatan politik praktis, karena itu merupakan
swadarma warganegara dalam wujud bhakti.
Berbicara
mengenai “Bhakti” dalam pengertian Veda, adalah “Cinta” kepada Hyang Widhi.
Dalam mewujudkan cintanya kepada Hyang Widhi, antara lain manusia diwajibkan
untuk “bekerja” atau “berbuat” sebagaimana ditulis dalam Bhagawadgita:
III.5: NAHI KASCITY KSANAM API JATU
TISTHATY AKARMAKRIT, KARYATE HY AVASAH KARMA SARVAH PRAKRITIJAIR GUNAIH
(Walau
sesaat jua tidak seorang pun untuk tidak berbuat karena manusia menjadi tidak berdaya
oleh hukum alam yang memaksanya bertindak).
III.8: NIYATAM KURU KARMA TWAM KARMA
JYAYO HY AKARMANAH, SARIRAYATRA PI CA TE NA PRASIDHYED AKARMANAH
(Bekerjalah
seperti apa yang telah ditentukan, sebab berbuat lebih baik dari pada tidak
berbuat, dan bahkan tubuh pun tidak akan berhasil terpelihara tanpa berkarya).
Tidak
ada manusia yang bisa menghindar dari hukum kerja itu bahkan ketika tidurpun
tanpa disadari jantung tetap berdetak, darah tetap mengalir dan nafas terus
berhembus. Hyang Widhi pun setiap detik bekerja tiada henti seperti
menggerakkan benda-benda angkasa, menumbuhkan, memelihara, dan memusnahkan
kehidupan mahluk-mahluk, menghembuskan angin, meriakkan gelombang laut, dll.
Bhagawadgita
III.223.24:
YADI HY AHAM NA VARTEYAM, JATU
KARMANY ATANDRITAH, MAMA VARTNA NUVARTANTE, MANSYAH PARTHA SAVARSAH. UTSIDEYUR
IME LOKA, NA KURYAM KARMA CED AHAM, SAMSKARARASYA CE KARTA SYAM, UPAHANYAM IMAH
PRAJAH
(Sebab
kalau Aku tidak selalu bekerja tanpa henti-henti, manusia tidak akan mengikuti
jalan-Ku itu, dalam segala bidang apa pun juga. Dunia ini akan hancur jika Aku
tidak bekerja; Aku jadi pencipta kekacauan, memusnahkan semua manusia).
Dengan
demikian bila seseorang tidak berbuat maka dia akan dilindas oleh arus
perputaran dunia yang mendatangkan penderitaan baginya. Manusia sebagai bhuwana
alit dan Hyang Widhi sebagai bhuwana agung dapat diumpamakan sebagai setitik
air dalam sungai.
Titik
air itu mengikuti dan menyatu dengan sungai sehingga manusiapun mengikuti dan
menyatu dengan Hyang Widhi, khususnya dalam bekerja. Untuk itu Hyang Widhi
menciptakan Hukum Karma bagi manusia dan Hukum Rta bagi alam semesta.
Pikiran
adalah sumber motivasi bekerja, maka ia menentukan hasil suka-duka dalam karma.
Kerja yang dilandasi oleh pikiran mulia akan membuahkan karma yang mulia,
sedangkan kerja yang dilandasi pikiran hina akan membuahkan karma yang hina
pula.
Karma
yang mulia menuntun manusia pada kehidupan yang moksartham jagadhita, sedangkan
karma yang hina membawa manusia ke neraka. Sasaran kepentingan bekerja adalah
untuk masyarakat, kemudian barulah hasilnya antara lain dapat dinikmati oleh
diri pribadi.
Dalam
keseharian orang menyebut dirinya “saya” yang berasal dari kata “sahaya”,
artinya “pengabdi”. Di Bali orang menyebut dirinya “tityang” yang berasal dari
kata “titah Hyang (Widhi)” artinya perintah Tuhan. Pengertian lebih luas adalah
pernyataan bahwa saya adalah hamba Tuhan yang melaksanakan
perintah-perintah-Nya untuk mengabdi pada kepentingan umat manusia.
Hasil
dari perbuatan disebut “karma-phala” adalah bagian dari lima kepercayaan dasar
umat Hindu yang disebut “Panca Srada”. Hukum karma-phala bersifat universal,
berlaku bagi setiap umat manusia di dunia.
Hasil
pekerjaan dapat berwujud nyata (skala) dan dapat pula berwujud tidak nyata
(niskala). Wujud nyata banyak berkaitan dengan keduniawian, sedangkan wujud
tidak nyata berkaitan dengan perasaan tenteram atau sebaliknya.
Ditinjau
dari waktu saat berbuat dengan waktu menerima hasil perbuatan, karma-phala
dibedakan menjadi tiga, yaitu:
- Prarabda karma-phala, yaitu karma yang dilakukan semasa hidup dan pahalanya diterima pula semasa hidup.
- Kryamana karma-phala, yaitu karma yang dilakukan semasa hidup namun pahalanya diterima di alam nirwana.
- Sancita karma-phala, yaitu karma yang dilakukan semasa hidup, pahalanya diterima pada reinkarnasi/ kehidupan berikutnya.
Oleh
karena itu umat Hindu diajarkan untuk bekerja dengan baik agar memperoleh karma
yang baik pula. Bekerja dengan baik adalah bekerja sesuai dengan norma-norma
Agama, Susila, dan Hukum. Ketiganya terangkum dalam ajaran Catur Purusa Artha,
yaitu:
- Dharma, bekerja dengan mengutamakan kepentingan masyarakat
- Artha, pahala dari karma berwujud benda keduniawian
- Kama, pemenuhan kebutuhan hidup seperti sandang, pangan, papan, dll
- Moksha, kebahagian hidup lahir-batin
Catur
Purusa Artha ini urut-urutannya tidak dapat diubah, misalnya mendahulukan artha
dari pada dharma. Bila demikian maka manusia akan bekerja tanpa pedoman moral
yang bersumber dari ajaran Agama, hal mana akan menyeret manusia ke lembah
penderitaan.
Umat
Hindu yang religius senantiasa menghubungkan kehidupannya sehari-hari dengan
Hyang Widhi sebagai Yang Maha Kuasa. Hubungan ini disebut “Bhakti” sebagaimana
telah diuraikan di atas, yang artinya adalah cinta kasih. Cinta kasih manusia
kepada Hyang Widhi hendaknya terwujud pula dalam cinta kasih kepada semua
mahluk ciptaan-Nya, terutama kepada sesama manusia.
Dalam
kehidupan berpolitik, kasih sayang itu tetap dipegang sebagaimana ditulis dalam
kitab suci Bhagawadgita XII.13:
ADVESTA SARVA BHUTANAM MAITRAH
KARUNA EVA CA, NIRMAMO NIRAHANKARAH SAMA DUHKHA SUKHAH KSAMI
(Dia
yang tidak membenci semua mahluk, yang senantiasa bersikap ramah dan
bersahabat, bebas dari rasa keakuan dan kemilikan serta pemaaf, berkeadaan sama
dalam kesedihan maupun kesenangan).
Sifat-sifat
manusia pada umumnya dapat dibagi dua, yaitu sifat-sifat “kedewataan” (Daiwi
sampad) dan sifat-sifat “keraksasaan” (Asura Sampad).
Sifat-sifat
kedewataan adalah tanpa kekerasan, menjunjung tinggi kebenaran, bebas dari
kemarahan, tanpa pamrih, tenang, tidak mencari-cari kesalahan orang lain, welas
asih, tidak lobha, sopan, dan rendah hati (Bhagawadgita XVI-2). Selain itu ia
juga berani, pemaaf, teguh, murni, tidak dengki, tidak sombong (Bhagawadgita
XVI-3).
Sifat-sifat
keraksasaan adalah berlagak, angkuh, membanggakan diri, marah, kasar, bodoh
(Bhagawadgita XVI-4). Ia juga tidak bisa bekerja dengan baik, jauh dari
kebajikan dan kebenaran (Bhagawadgita XVI-7). Tidak bermoral, tidak memuja
Tuhan dengan mantap, dan penuh nafsu keduniawian (Bhagawadgita XVI-8).
Keranjingan
dengan keinginan yang tak terhitung banyaknya yang hanya berhenti pada
kematian, memandang pemuasan keinginan sebagai tujuan tertinggi, dan memastikan
itulah segala-galanya (Bhagawadgita XVI-11). Dibelenggu oleh ratusan keinginan,
yang dipasrahkan pada nafsu dan kemarahan, berusaha untuk menimbun kekayaan
dengan cara yang tidak jujur (Bhagawadgita XVI-12).
Bagi
mereka yang sifat-sifat keraksasaannya lebih unggul dari pada sifat-sifat
kedewataannya, Bhagawadgita-pun memastikan bahwa mereka akan jatuh ke dalam
neraka yang menjijikkan (Bhagawadgita XVI-16).
Demikianlah
beberapa ulasan dari kitab-kitab suci Agama Hindu yang dapat digunakan sebagai
pedoman dalam menghayati hak dan kewajiban politik umat Hindu sebagai warga
negara, dan etika dalam menempuh kehidupan berpolitik, semoga ada manfaatnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar