Sabtu, 27 Juli 2013

Hindu Nusantara di Masa Depan

Aspek Upacara Hindu Nusantara di Masa Depan

Upacara dalam Bahasa Sanskrit berasal dari kata Upa yang artinya “dekat” dan Cara yang artinya “kegiatan”. Jadi Upacara arti sempitnya adalah kegiatan yang dilakukan dalam rangka berbakti atau mendekatkan diri kepada Tuhan.
Arti sempit ini kemudian berkembang sehingga dalam bahasa sehari-hari, upacara tidak saja berarti kegiatan dalam lingkup keagamaan, tetapi juga kegiatan seremonial di bidang lain.
Tiga aspek yang menjadi kerangka Agama Hindu adalah: Tattwa, Susila, dan Upacara.
  1. Tattwa: membentuk pola pikir manusia tentang pemahaman filsafat Veda
  2. Susila: menggerakkan dan mengendalikan perilaku berdasar Tattwa
  3. Upacara: ritual yang menguatkan keyakinan Tattwa
Ketiga aspek itu menyatu dan saling berkaitan sehingga bila salah satu aspek lemah atau tidak ada maka kehidupan beragama tidak berjalan sempurna.
Penonjolan salah satu aspek dari tiga kerangka Agama Hindu mencerminkan dua hal pokok yaitu kemampuan inteligensi dan “marga” yang digunakan dalam mencapai kesehatan spiritual.
Seseorang yang terpelajar akan lebih banyak menekuni bidang Tattwa dan Susila dibanding Upacara, sedangkan mereka yang terlalu menekankan aspek Upacara biasanya kurang mengerti Tattwa dan Susila.
Catur Marga adalah empat “jalan” menuju Tuhan yaitu Bhakti Marga, Karma Marga, Jnana Marga, dan Yoga Marga. Aspek Upacara bisa sangat menonjol pada Bhakti Marga sedangkan pada Marga-marga lainnya masalah ritual tidak terlalu diperhatikan.
Walaupun demikian, dengan berbagai Marga manusia Hindu dapat mencapai Tuhan karena Veda telah menyediakan alternatif yang paling sesuai di mana pada hakekatnya ke-empat Marga dapat digunakan secara serentak dengan perimbangan bobot menurut kemampuan masing-masing.
Inilah salah satu ciri kebesaran Agama Hindu sebagaimana disebutkan dalam Bhagavadgita IV.11:
YE YATHA MAM PRAPADYANTE, TAMS TATHAI VA BHAJAMY AHAM, MAMA VARTMA NUVARTANTE, MANUSYAH PARTHA SAVASAH
Dengan jalan bagaimanapun orang-orang mendekati, dengan jalan yang sama itu juga Aku memenuhi keinginan mereka. Melalui banyak jalan manusia mengikuti-Ku, O Partha.
Aspek Upacara sangat berkaitan dengan Panca Yadnya, yaitu Deva Yadnya, Rsi Yadnya, Pitra Yadnya, Bhuta Yadnya, dan Manusia Yadnya. Dalam Manava Dharmasastra III.73 disebut sebagai:
AHUTA, HUTA, PRAHUTA, BRAHMAHUTA, DAN PRASITA
Yadnya adalah bhakti dalam bentuk pengorbanan suci yang tulus ikhlas.
Yadnya diadakan karena hidup manusia berawal dari adanya Rna atau “hutang” kepada tiga pihak yaitu:
  1. Deva Rna: hutang kepada Tuhan yang telah memberi kesempatan pada Atman untuk bereinkarnasi dalam kehidupan.
  2. Pitra Rna: hutang kepada orang tua yang telah melahirkan dan memelihara.
  3. Rsi Rna: hutang kepada para Maha Rsi yang telah memberikan pengetahuan Veda.
Di samping itu ada kelompok Yadnya yang tidak berkaitan dengan Rna, yaitu Drwya Yadnya, Jnana Yadnya, dan Tapa Yadnya.
Drwya Yadnya adalah memberi dana punia, Jnana Yadnya adalah kegiatan belajar dan mengajar, dan Tapa Yadnya adalah pengendalian diri.
Tiga jenis Yadnya ini yang juga disebut sebagai Yadnya dalam arti luas, tidak berkaitan dengan aspek Upacara tetapi harus dilaksanakan untuk mewujudkan Bhakti dan mencapai kesadaran rohani yang tinggi.
Oleh karena itu Panca Yadnya sering disebut sebagai Yadnya dalam arti sempit, artinya belum sempurna jika tidak diikuti dengan Drwya, Jnana, dan Tapa Yadnya.
Upacara Panca Yadnya menggunakan Upakara, dari Bahasa Sanskrit di mana Upa artinya “dekat” dan Kara artinya “tangan” yaitu sesuatu yang dikerjakan dengan tangan dalam mewujudkan Bhakti. Bentuk upakara adalah sesajen dan sarana pendukungnya.
Unsur-unsur Upakara adalah: bunga, air, api, biji-bijian/ buah-buahan dan harum-haruman. Kelima unsur ini disebut Panca Upakara, sebagai pengembangan dari sloka Bhagawadgita IX.26:
PATTRAM PUSPAM PHALAM TOYAM, YO ME BHAKTYA PRAYACCHATI, TAD AHAM BHAKTYUPAHRTAM, ASNAMI PRAYATATMANAH
Siapapun yang dengan kesujudan mempersembahkan pada-Ku daun, bunga, buah-buahan, atau air, persembahan yang didasari oleh cinta dan keluar dari hati suci, Aku terima.
Penggunaan api disebutkan dalam Manava Dharmasastra III.76:
AGNAU PRASTAHUTIH SAMYAG ADITYAM UPATISTATE, ADITYAJJAYATE VRSTIR VRISTERANNAM TATAH PRAJAH
Persembahan yang dijatuhkan ke dalam api akan mencapai matahari, dari matahari turunlah hujan, dari hujan timbullah makanan, dari mana mahluk mendapatkan hidupnya.
Upakara berupa sesajen dan sarana pendukungnya adalah simbol atau Niyasa. Mencakup jenis yang banyak karena berkembang lebih jauh berdasarkan tafsir-tafsir para Maha Rsi.
Dari bentuk dasar berupa Panca Upakara menjadi berbagai variasi, ornamen, warna, dan tatanan, selanjutnya menyatu dalam tradisi yang membudaya.
Pengembangannya dimulai dari sloka Manava Dharmasastra III.81:
SVADHYAYANARCAYET SAMSIMNHOMAIR DEVANYATHAVIDHI, PITRRN CRADDHAISCA NRRNAM NAIRBHUTANI BALIKARMANA
Hendaknya sembahyang sesuai menurut aturan; kepada Rsi dengan mengucapkan Veda, kepada Deva dengan sesajen yang berisi api, kepada leluhur dengan Sraddha, kepada manusia dengan pemberian makanan dan kepada Bhuta dengan upacara kurban.
Dari sini berkembanglah berbagai jenis sesajen yang terdiri dari unsur tumbuh-tumbuhan dan hewan, serta penggunaan warna-warna tertentu menurut ciri dan kedudukan Deva-Deva di arah mata angin, yaitu: Ishvara di timur berwarna putih, Brahma di selatan berwarna merah, Mahadeva di barat berwarna kuning, dan Visnu di utara berwarna hitam.
Selanjutnya Deva dan warna-warna sela: Mahesora di tenggara berwarna merah muda, Rudra di barat daya berwarna oranye, Sangkara di barat laut berwarna hijau, Sambhu di timur laut berwarna abu-abu dan Siva di tengah-tengah berwarna campuran.
Upakara sebagai simbol atau Niyasa dalam bentuk sesajen dapat berfungsi sebagai:
  1. Kekuatan Tuhan,
  2. Wujud bhakti,
  3. Prasadam,
  4. Sarana pensucian roh,
  5. Mantra.
Sebagai kekuatan atau Sakti Tuhan misalnya niyasa yang disebut sebagai Daksina, banyak digunakan di India dan Nusantara; sebagai wujud bhakti, antara lain berbagai jenis sesajen persembahan; sebagai Prasadam adalah makanan-minuman yang telah diberkati;
Sarana pensucian roh banyak digunakan pada upacara Sraddha baik berupa bunga, air dan api; kemudian Mantra-Mantra dapat pula diwujudkan dalam bentuk ornamen dan sesajen tertentu, atau kain dengan warna tertentu bertuliskan aksara-aksara suci misalnya OM, Ang, Ung, Mang, dll.
Selain itu Niyasa dalam bentuk bangunan misalnya Pura/ Mandir, dan patung/ arca.
Upacara dari masa ke masa mengalami evolusi secara perlahan dan pasti karena terjadi perubahan-perubahan pada kehidupan manusia meliputi:
  1. Kecerdasan,
  2. Adanya sumber alam berupa tumbuh-tumbuhan dan hewan, dan
  3. Pola kehidupan manusia.
Umat Hindu Nusantara semakin terdidik dan terpelajar sehingga konsep Catur Marga mengalami pergeseran bobot yaitu lebih cenderung mendalami Marga-Marga Jnana dan Yoga.
Sejalan dengan itu dalam upaya memantapkan keyakinan pada Tuhan YME, pola pikir umat Hindu bergeser dari Praktiyasa Pramana dan Upamana Pramana, menuju pada Agama Pramana dan Anumana Pramana.
Tidak seperti leluhur kita di zaman lampau yang kurang pengetahuannya, berusaha meyakini kebesaran Tuhan dengan pengandaian (upamana) dan memperhatikan (praktiyasa) peristiwa-peristiwa alam yang tidak dipahami seperti “terbitnya matahari” di timur, adanya kilat/ petir, pasang surut air laut, bulan purnama, dan bulan gelap, adanya hari siang dan malam, perubahan posisi bintang-bintang, dll.
Perubahan pola pikir yang membentuk kepercayaan dan keyakinan pada kebesaran Tuhan akan banyak diperoleh dari mempelajari Veda (agama) dan menarik kesimpulan pada suatu kebenaran yang tak terbantah (anumana).
Di samping itu dalam pelaksanaan upacara, bahan-bahan dari sumber alam berupa tumbuh-tumbuhan dan hewan semakin langka. Di kota-kota besar sulit menemukan bahan-bahan untuk sesajen misalnya janur, daun pisang, jenis bunga tertentu, babi, bebek, dll.
Oleh karena itu umat Hindu Nusantara di masa depan akan sulit mempertahankan tradisi jenis upakara seperti yang diajarkan oleh tetua mereka dari generasi ke generasi.
Demikian pula hal-hal yang menyangkut pola kehidupan, telah bergeser dari pola kehidupan masyarakat agraris ke masyarakat industrialis.
Di masyarakat agraris seperti leluhur kita di masa lampau, aktivitas kehidupan seolah-olah terbagi dua yaitu di musim hujan dan musim kemarau. Di musim hujan ada pekerjaan seperti mengolah sawah, menanam pohon, mulai memelihara hewan, dll.
Sebaliknya di musim kemarau banyak waktu luang, hasil panen cukup, maka upacara-upacara keagamaan boleh dengan santai dilaksanakan di musim itu.
Kini, di era industrialisasi, pola hidup sudah sangat berubah; tidak lagi dipengaruhi musim dan iklim, waktu setiap menit sangat berharga. Segala aktivitas kehidupan mengacu pada pertimbangan-pertimbangan efektivitas dan efisiensi.
Pedoman dasar upacara Agama Hindu disebut dalam Veda sebagai Brahmana (Karma Kanda), dan Aranyaka/ Upanisad (Jnana Kanda).
Kitab-kitab yang tergolong Karma Kanda dari Rg Veda adalah Aiteraya dan Kausitaki, dari Sama Veda adalah Pancavimsa dan Sadvimsa, dari Yayur Veda adalah Satapatha dan Taittiriya, dari Atharva Veda adalah Gopatha.
Kitab-kitab yang tergolong Jnana Kanda dari masing-masing Samhita jumlahnya puluhan buah.
Upacara-upacara yang berkaitan dengan Rg Veda Samhita meliputi arti kedudukan yang penting dari Div, dan prosedur pemujaan yakni urutan pengucapan mantra.
Yang berkaitan dengan Yayur Veda Samhita, baik Sukla Yayur Veda maupun Krsna Yayur Veda adalah upacara korban dan penjelasan mistisnya.
Yang berkaitan dengan Sama Veda Samhita adalah cara atau irama suara di kala mengucapkan mantra, dan yang berkaitan dengan Atharva Veda Samhita menyangkut cara memanfaatkan pengetahuan untuk kehidupan dan kesehatan.
Apa yang dapat disimpulkan dari kitab-kitab Brahmana, Aranyaka, dan Upanisad bahwa upacara Agama Hindu seharusnya lebih banyak menekankan wujud Bhakti kepada Tuhan sebagai dasar kebenaran dalam mencari pencerahan spiritual.
Tidak sebagaimana tafsir kebanyakan orang, terutama di Bali yang membesarkan unsur upakara pada setiap upacara sehingga kadang-kadang tujuan utama sebagai Bhakti tidak jelas terlihat.
Dalam Aiteraya dan Kausitaki misalnya disebutkan bahwa setiap pemuja yang melakukan upacara baik sendiri-sendiri maupun secara berkelompok harus mengucapkan mantra menurut urutan dan irama yang tertentu.
Walaupun pada pemujaan berkelompok Pendeta atau Hotr bertugas memimpin pengucapan mantra, tetapi ia hanyalah sebagai pengarah.
Hotr tidak hanya bertugas sebagai pemandu, tetapi ia juga wajib menjelaskan makna upacara yang dilakukan. Hotr yang demikian disebut sebagai Adhvaryu karena ia menguasai Yayurveda Samhita dengan baik.
Dalam kitab-kitab Karma Kanda lainnya seperti Satapatha, Taittiriya, dan Gopatha juga disebutkan bahwa persembahan berupa upakara apapun tidak akan bermanfaat jika tidak disertai dengan mantra yang tepat dari Bhakta yang bersangkutan.
Dengan demikian, di masa depan umat Hindu Nusantara hendaknya melakukan upacara yang lebih tinggi kualitasnya dari masa lampau, lebih efektif dan lebih efisien.
Kitab-kitab Brahmana, Aranyaka dan Upanisad dapat digunakan sebagai pedoman untuk memastikan perolehan manfaat tinggi dalam pelaksanan upacara.
Kerajinan dan keuletan mempelajari kitab-kitab suci sudah menjadi kewajiban kita untuk memastikan pola upacara sehingga tidak tergantung pada tradisi-tradisi berupacara yang tidak jelas acuan sastranya.
Segala bentuk upakara, simbol atau Niyasa yang ada di masa kini mestinya dikaji ulang, apakah masih relevan dan tidak menyimpang dari kitab-kitab Brahmana, Aranyaka, dan Upanisad.
Banyak hal-hal yang tidak dipahami benar, tetapi diterima sebagaimana adanya karena tidak mempunyai acuan sehingga tidak mempunyai pilihan lain.
Pemeluk Hindu Nusantara pada umumnya meniru tradisi beragama di Bali. Ambillah contoh mengenai bangunan pemujaan yang berbentuk Padmasana.
Bangunan ini pertama kali diperkenalkan di Bali pada abad ke-14 oleh Mpu Nirartha, di mana sebelumnya umat Hindu di Jawa tidak mengenal bentuk Padmasana. Mereka mengenal bentuk bangunan pemujaan sebagai Candi-Candi atau lebih menyerupai Mandir di India.
Demikian pula tentang upakara yang di Bali disebut Banten. Banten mula-mula dikenalkan oleh Maharsi Markandeya sekitar abad ke-8 kepada penduduk di sekitar pertapaan beliau di Desa Puakan, Taro (sekarang Kecamatan Tegallalang, Gianyar).
Jenis simbol/ niyasa ini adalah pengganti Mantra, sebagaimana disebutkan dalam Lontar Yajnya Prakerti dan Mpu Lutuk. Jadi banten dikembangkan kepada umat Hindu yang tidak menguasai mantra-mantra dalam kegiatan bhaktinya.
Banten itu dahulu dinamakan Bali, sehingga orang-orang yang melakukan upacara persembahyangan menggunakan Banten disebut orang Bali. Lama kelamaan ajaran Maharsi Markandeya ini berkembang ke seluruh pulau maka jadilah nama pulau kecil ini: Pulau Bali.
Berbicara mengenai simbol “pengganti ucapan Mantra” di beberapa tempat berbeda. Di India dan Nepal simbolnya adalah lonceng-lonceng besar yang digantungkan di sebelah patung Deva. Mereka yang tidak pandai mengucapkan mantra cukup dengan menyembah patung dan memukul lonceng.
Di Bali, seperti yang dijelaskan di atas, banten juga berfungsi sebagai pengganti mantra. Generasi Hindu Nusantara di masa depan mempunyai pilihan yang jelas, yaitu bila tidak mampu membuat banten yang mahal, rumit, sulit dan memakan waktu, maka mantra-mantra harus dikuasai dengan baik.
Sehingga walaupun bantennya sederhana misalnya hanya susunan daun (daun Tulasi, Bila, Mangga, Beringin, dll), bunga, buah, harum-haruman (serbuk cendana), air dan dupa, atau canang sari, manfaat upacara akan lebih bagus.
Bentuk-bentuk bangunan pemujaan tidak harus dipaksakan seperti di Bali. Mestinya budaya lokal digali dan dikembangkan apakah berbentuk candi, atau patung. Tempat sembahyang juga tidak harus terbuka.
Di tempat-tempat yang curah hujannya tinggi atau jika ingin sembahyang dengan tenang, santai dan bersih, boleh saja tempat sembahyang tertutup, diberi atap dengan lantai marmer, memakai air condition, sehingga konsentrasi tidak terganggu ketika melakukan yoga atau meditasi ataupun sembahyang biasa.
Bentuk bangunan Pura-Pura di Bali yang kita warisi dari leluhur sejak berabad yang lampau, dibangun ketika situasi dan kondisi lingkungan masih memungkinkan, karena tersedianya lahan yang luas, dan belum ada polusi debu, asap mobil, kebisingan, dan gangguan kabel-kabel telepon-listrik.
Di Kota Denpasar misalnya, alangkah “merana”-nya sebuah Pura yang berdiri lesu di tengah-tengah kawasan bisnis. Timbul pertanyaan apa mungkin berkonsentrasi dengan baik memuja Tuhan, sementara bunyi klakson dan deru mobil di sekitarnya tiada henti.
Agama Hindu adalah Agama yang sangat mudah dilaksanakan. Ia sangat toleran dengan berbagai perubahan karena ia adalah Sanatana Dharma. Ia juga bukan doktrin yang kaku.
Ia memberikan kebebasan yang luas kepada umat-Nya untuk menempuh berbagai jalan yang termudah dan terbaik menurut keyakinan masing-masing.
Kita mestinya menyadari hal ini dan selalu mengembangkan pikiran-pikiran yang positif dan aktif dalam membangun reformasi menuju kehidupan yang lebih baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar