Upacara
dalam Bahasa Sanskrit berasal dari kata Upa yang artinya “dekat” dan
Cara yang artinya “kegiatan”. Jadi Upacara arti sempitnya adalah
kegiatan yang dilakukan dalam rangka berbakti atau mendekatkan diri
kepada Tuhan.
Arti sempit ini kemudian berkembang
sehingga dalam bahasa sehari-hari, upacara tidak saja berarti kegiatan
dalam lingkup keagamaan, tetapi juga kegiatan seremonial di bidang lain.
Tiga aspek yang menjadi kerangka Agama Hindu adalah: Tattwa, Susila, dan Upacara.
- Tattwa: membentuk pola pikir manusia tentang pemahaman filsafat Veda
- Susila: menggerakkan dan mengendalikan perilaku berdasar Tattwa
- Upacara: ritual yang menguatkan keyakinan Tattwa
Ketiga aspek itu menyatu dan saling
berkaitan sehingga bila salah satu aspek lemah atau tidak ada maka
kehidupan beragama tidak berjalan sempurna.
Penonjolan salah satu aspek dari tiga
kerangka Agama Hindu mencerminkan dua hal pokok yaitu kemampuan
inteligensi dan “marga” yang digunakan dalam mencapai kesehatan
spiritual.
Seseorang yang terpelajar akan lebih
banyak menekuni bidang Tattwa dan Susila dibanding Upacara, sedangkan
mereka yang terlalu menekankan aspek Upacara biasanya kurang mengerti
Tattwa dan Susila.
Catur Marga adalah empat “jalan” menuju
Tuhan yaitu Bhakti Marga, Karma Marga, Jnana Marga, dan Yoga Marga.
Aspek Upacara bisa sangat menonjol pada Bhakti Marga sedangkan pada
Marga-marga lainnya masalah ritual tidak terlalu diperhatikan.
Walaupun demikian, dengan berbagai Marga
manusia Hindu dapat mencapai Tuhan karena Veda telah menyediakan
alternatif yang paling sesuai di mana pada hakekatnya ke-empat Marga
dapat digunakan secara serentak dengan perimbangan bobot menurut
kemampuan masing-masing.
Inilah salah satu ciri kebesaran Agama Hindu sebagaimana disebutkan dalam Bhagavadgita IV.11:
YE YATHA MAM PRAPADYANTE, TAMS TATHAI VA BHAJAMY AHAM, MAMA VARTMA NUVARTANTE, MANUSYAH PARTHA SAVASAH
Dengan jalan bagaimanapun orang-orang
mendekati, dengan jalan yang sama itu juga Aku memenuhi keinginan
mereka. Melalui banyak jalan manusia mengikuti-Ku, O Partha.
Aspek Upacara sangat berkaitan dengan
Panca Yadnya, yaitu Deva Yadnya, Rsi Yadnya, Pitra Yadnya, Bhuta Yadnya,
dan Manusia Yadnya. Dalam Manava Dharmasastra III.73 disebut sebagai:
AHUTA, HUTA, PRAHUTA, BRAHMAHUTA, DAN PRASITA
Yadnya adalah bhakti dalam bentuk pengorbanan suci yang tulus ikhlas.
Yadnya diadakan karena hidup manusia berawal dari adanya Rna atau “hutang” kepada tiga pihak yaitu:
- Deva Rna: hutang kepada Tuhan yang telah memberi kesempatan pada Atman untuk bereinkarnasi dalam kehidupan.
- Pitra Rna: hutang kepada orang tua yang telah melahirkan dan memelihara.
- Rsi Rna: hutang kepada para Maha Rsi yang telah memberikan pengetahuan Veda.
Di samping itu ada kelompok Yadnya yang tidak berkaitan dengan Rna, yaitu Drwya Yadnya, Jnana Yadnya, dan Tapa Yadnya.
Drwya Yadnya adalah memberi dana punia,
Jnana Yadnya adalah kegiatan belajar dan mengajar, dan Tapa Yadnya
adalah pengendalian diri.
Tiga jenis Yadnya ini yang juga disebut
sebagai Yadnya dalam arti luas, tidak berkaitan dengan aspek Upacara
tetapi harus dilaksanakan untuk mewujudkan Bhakti dan mencapai kesadaran
rohani yang tinggi.
Oleh karena itu Panca Yadnya sering
disebut sebagai Yadnya dalam arti sempit, artinya belum sempurna jika
tidak diikuti dengan Drwya, Jnana, dan Tapa Yadnya.
Upacara Panca Yadnya menggunakan
Upakara, dari Bahasa Sanskrit di mana Upa artinya “dekat” dan Kara
artinya “tangan” yaitu sesuatu yang dikerjakan dengan tangan dalam
mewujudkan Bhakti. Bentuk upakara adalah sesajen dan sarana
pendukungnya.
Unsur-unsur Upakara adalah: bunga, air,
api, biji-bijian/ buah-buahan dan harum-haruman. Kelima unsur ini
disebut Panca Upakara, sebagai pengembangan dari sloka Bhagawadgita
IX.26:
PATTRAM PUSPAM PHALAM TOYAM, YO ME BHAKTYA PRAYACCHATI, TAD AHAM BHAKTYUPAHRTAM, ASNAMI PRAYATATMANAH
Siapapun yang dengan kesujudan
mempersembahkan pada-Ku daun, bunga, buah-buahan, atau air, persembahan
yang didasari oleh cinta dan keluar dari hati suci, Aku terima.
Penggunaan api disebutkan dalam Manava Dharmasastra III.76:
AGNAU PRASTAHUTIH SAMYAG ADITYAM UPATISTATE, ADITYAJJAYATE VRSTIR VRISTERANNAM TATAH PRAJAH
Persembahan yang dijatuhkan ke dalam api
akan mencapai matahari, dari matahari turunlah hujan, dari hujan
timbullah makanan, dari mana mahluk mendapatkan hidupnya.
Upakara berupa sesajen dan sarana
pendukungnya adalah simbol atau Niyasa. Mencakup jenis yang banyak
karena berkembang lebih jauh berdasarkan tafsir-tafsir para Maha Rsi.
Dari bentuk dasar berupa Panca Upakara
menjadi berbagai variasi, ornamen, warna, dan tatanan, selanjutnya
menyatu dalam tradisi yang membudaya.
Pengembangannya dimulai dari sloka Manava Dharmasastra III.81:
SVADHYAYANARCAYET SAMSIMNHOMAIR DEVANYATHAVIDHI, PITRRN CRADDHAISCA NRRNAM NAIRBHUTANI BALIKARMANA
Hendaknya sembahyang sesuai menurut
aturan; kepada Rsi dengan mengucapkan Veda, kepada Deva dengan sesajen
yang berisi api, kepada leluhur dengan Sraddha, kepada manusia dengan
pemberian makanan dan kepada Bhuta dengan upacara kurban.
Dari sini berkembanglah berbagai jenis
sesajen yang terdiri dari unsur tumbuh-tumbuhan dan hewan, serta
penggunaan warna-warna tertentu menurut ciri dan kedudukan Deva-Deva di
arah mata angin, yaitu: Ishvara di timur berwarna putih, Brahma di
selatan berwarna merah, Mahadeva di barat berwarna kuning, dan Visnu di
utara berwarna hitam.
Selanjutnya Deva dan warna-warna sela:
Mahesora di tenggara berwarna merah muda, Rudra di barat daya berwarna
oranye, Sangkara di barat laut berwarna hijau, Sambhu di timur laut
berwarna abu-abu dan Siva di tengah-tengah berwarna campuran.
Upakara sebagai simbol atau Niyasa dalam bentuk sesajen dapat berfungsi sebagai:
- Kekuatan Tuhan,
- Wujud bhakti,
- Prasadam,
- Sarana pensucian roh,
- Mantra.
Sebagai kekuatan atau Sakti Tuhan
misalnya niyasa yang disebut sebagai Daksina, banyak digunakan di India
dan Nusantara; sebagai wujud bhakti, antara lain berbagai jenis sesajen
persembahan; sebagai Prasadam adalah makanan-minuman yang telah
diberkati;
Sarana pensucian roh banyak digunakan
pada upacara Sraddha baik berupa bunga, air dan api; kemudian
Mantra-Mantra dapat pula diwujudkan dalam bentuk ornamen dan sesajen
tertentu, atau kain dengan warna tertentu bertuliskan aksara-aksara suci
misalnya OM, Ang, Ung, Mang, dll.
Selain itu Niyasa dalam bentuk bangunan misalnya Pura/ Mandir, dan patung/ arca.
Upacara dari masa ke masa mengalami
evolusi secara perlahan dan pasti karena terjadi perubahan-perubahan
pada kehidupan manusia meliputi:
- Kecerdasan,
- Adanya sumber alam berupa tumbuh-tumbuhan dan hewan, dan
- Pola kehidupan manusia.
Umat Hindu Nusantara semakin terdidik
dan terpelajar sehingga konsep Catur Marga mengalami pergeseran bobot
yaitu lebih cenderung mendalami Marga-Marga Jnana dan Yoga.
Sejalan dengan itu dalam upaya
memantapkan keyakinan pada Tuhan YME, pola pikir umat Hindu bergeser
dari Praktiyasa Pramana dan Upamana Pramana, menuju pada Agama Pramana
dan Anumana Pramana.
Tidak seperti leluhur kita di zaman
lampau yang kurang pengetahuannya, berusaha meyakini kebesaran Tuhan
dengan pengandaian (upamana) dan memperhatikan (praktiyasa)
peristiwa-peristiwa alam yang tidak dipahami seperti “terbitnya
matahari” di timur, adanya kilat/ petir, pasang surut air laut, bulan
purnama, dan bulan gelap, adanya hari siang dan malam, perubahan posisi
bintang-bintang, dll.
Perubahan pola pikir yang membentuk
kepercayaan dan keyakinan pada kebesaran Tuhan akan banyak diperoleh
dari mempelajari Veda (agama) dan menarik kesimpulan pada suatu
kebenaran yang tak terbantah (anumana).
Di samping itu dalam pelaksanaan
upacara, bahan-bahan dari sumber alam berupa tumbuh-tumbuhan dan hewan
semakin langka. Di kota-kota besar sulit menemukan bahan-bahan untuk
sesajen misalnya janur, daun pisang, jenis bunga tertentu, babi, bebek,
dll.
Oleh karena itu umat Hindu Nusantara di
masa depan akan sulit mempertahankan tradisi jenis upakara seperti yang
diajarkan oleh tetua mereka dari generasi ke generasi.
Demikian pula hal-hal yang menyangkut
pola kehidupan, telah bergeser dari pola kehidupan masyarakat agraris ke
masyarakat industrialis.
Di masyarakat agraris seperti leluhur
kita di masa lampau, aktivitas kehidupan seolah-olah terbagi dua yaitu
di musim hujan dan musim kemarau. Di musim hujan ada pekerjaan seperti
mengolah sawah, menanam pohon, mulai memelihara hewan, dll.
Sebaliknya di musim kemarau banyak waktu
luang, hasil panen cukup, maka upacara-upacara keagamaan boleh dengan
santai dilaksanakan di musim itu.
Kini, di era industrialisasi, pola hidup
sudah sangat berubah; tidak lagi dipengaruhi musim dan iklim, waktu
setiap menit sangat berharga. Segala aktivitas kehidupan mengacu pada
pertimbangan-pertimbangan efektivitas dan efisiensi.
Pedoman dasar upacara Agama Hindu disebut dalam Veda sebagai Brahmana (Karma Kanda), dan Aranyaka/ Upanisad (Jnana Kanda).
Kitab-kitab yang tergolong Karma Kanda
dari Rg Veda adalah Aiteraya dan Kausitaki, dari Sama Veda adalah
Pancavimsa dan Sadvimsa, dari Yayur Veda adalah Satapatha dan
Taittiriya, dari Atharva Veda adalah Gopatha.
Kitab-kitab yang tergolong Jnana Kanda dari masing-masing Samhita jumlahnya puluhan buah.
Upacara-upacara yang berkaitan dengan Rg
Veda Samhita meliputi arti kedudukan yang penting dari Div, dan
prosedur pemujaan yakni urutan pengucapan mantra.
Yang berkaitan dengan Yayur Veda
Samhita, baik Sukla Yayur Veda maupun Krsna Yayur Veda adalah upacara
korban dan penjelasan mistisnya.
Yang berkaitan dengan Sama Veda Samhita
adalah cara atau irama suara di kala mengucapkan mantra, dan yang
berkaitan dengan Atharva Veda Samhita menyangkut cara memanfaatkan
pengetahuan untuk kehidupan dan kesehatan.
Apa yang dapat disimpulkan dari
kitab-kitab Brahmana, Aranyaka, dan Upanisad bahwa upacara Agama Hindu
seharusnya lebih banyak menekankan wujud Bhakti kepada Tuhan sebagai
dasar kebenaran dalam mencari pencerahan spiritual.
Tidak sebagaimana tafsir kebanyakan
orang, terutama di Bali yang membesarkan unsur upakara pada setiap
upacara sehingga kadang-kadang tujuan utama sebagai Bhakti tidak jelas
terlihat.
Dalam Aiteraya dan Kausitaki misalnya
disebutkan bahwa setiap pemuja yang melakukan upacara baik
sendiri-sendiri maupun secara berkelompok harus mengucapkan mantra
menurut urutan dan irama yang tertentu.
Walaupun pada pemujaan berkelompok Pendeta atau Hotr bertugas memimpin pengucapan mantra, tetapi ia hanyalah sebagai pengarah.
Hotr tidak hanya bertugas sebagai
pemandu, tetapi ia juga wajib menjelaskan makna upacara yang dilakukan.
Hotr yang demikian disebut sebagai Adhvaryu karena ia menguasai
Yayurveda Samhita dengan baik.
Dalam kitab-kitab Karma Kanda lainnya
seperti Satapatha, Taittiriya, dan Gopatha juga disebutkan bahwa
persembahan berupa upakara apapun tidak akan bermanfaat jika tidak
disertai dengan mantra yang tepat dari Bhakta yang bersangkutan.
Dengan demikian, di masa depan umat
Hindu Nusantara hendaknya melakukan upacara yang lebih tinggi
kualitasnya dari masa lampau, lebih efektif dan lebih efisien.
Kitab-kitab Brahmana, Aranyaka dan
Upanisad dapat digunakan sebagai pedoman untuk memastikan perolehan
manfaat tinggi dalam pelaksanan upacara.
Kerajinan dan keuletan mempelajari
kitab-kitab suci sudah menjadi kewajiban kita untuk memastikan pola
upacara sehingga tidak tergantung pada tradisi-tradisi berupacara yang
tidak jelas acuan sastranya.
Segala bentuk upakara, simbol atau
Niyasa yang ada di masa kini mestinya dikaji ulang, apakah masih relevan
dan tidak menyimpang dari kitab-kitab Brahmana, Aranyaka, dan Upanisad.
Banyak hal-hal yang tidak dipahami
benar, tetapi diterima sebagaimana adanya karena tidak mempunyai acuan
sehingga tidak mempunyai pilihan lain.
Pemeluk Hindu Nusantara pada umumnya
meniru tradisi beragama di Bali. Ambillah contoh mengenai bangunan
pemujaan yang berbentuk Padmasana.
Bangunan ini pertama kali diperkenalkan
di Bali pada abad ke-14 oleh Mpu Nirartha, di mana sebelumnya umat Hindu
di Jawa tidak mengenal bentuk Padmasana. Mereka mengenal bentuk
bangunan pemujaan sebagai Candi-Candi atau lebih menyerupai Mandir di
India.
Demikian pula tentang upakara yang di
Bali disebut Banten. Banten mula-mula dikenalkan oleh Maharsi Markandeya
sekitar abad ke-8 kepada penduduk di sekitar pertapaan beliau di Desa
Puakan, Taro (sekarang Kecamatan Tegallalang, Gianyar).
Jenis simbol/ niyasa ini adalah
pengganti Mantra, sebagaimana disebutkan dalam Lontar Yajnya Prakerti
dan Mpu Lutuk. Jadi banten dikembangkan kepada umat Hindu yang tidak
menguasai mantra-mantra dalam kegiatan bhaktinya.
Banten itu dahulu dinamakan Bali,
sehingga orang-orang yang melakukan upacara persembahyangan menggunakan
Banten disebut orang Bali. Lama kelamaan ajaran Maharsi Markandeya ini
berkembang ke seluruh pulau maka jadilah nama pulau kecil ini: Pulau
Bali.
Berbicara mengenai simbol “pengganti
ucapan Mantra” di beberapa tempat berbeda. Di India dan Nepal simbolnya
adalah lonceng-lonceng besar yang digantungkan di sebelah patung Deva.
Mereka yang tidak pandai mengucapkan mantra cukup dengan menyembah
patung dan memukul lonceng.
Di Bali, seperti yang dijelaskan di
atas, banten juga berfungsi sebagai pengganti mantra. Generasi Hindu
Nusantara di masa depan mempunyai pilihan yang jelas, yaitu bila tidak
mampu membuat banten yang mahal, rumit, sulit dan memakan waktu, maka
mantra-mantra harus dikuasai dengan baik.
Sehingga walaupun bantennya sederhana
misalnya hanya susunan daun (daun Tulasi, Bila, Mangga, Beringin, dll),
bunga, buah, harum-haruman (serbuk cendana), air dan dupa, atau canang
sari, manfaat upacara akan lebih bagus.
Bentuk-bentuk bangunan pemujaan tidak
harus dipaksakan seperti di Bali. Mestinya budaya lokal digali dan
dikembangkan apakah berbentuk candi, atau patung. Tempat sembahyang juga
tidak harus terbuka.
Di tempat-tempat yang curah hujannya
tinggi atau jika ingin sembahyang dengan tenang, santai dan bersih,
boleh saja tempat sembahyang tertutup, diberi atap dengan lantai marmer,
memakai air condition, sehingga konsentrasi tidak terganggu ketika
melakukan yoga atau meditasi ataupun sembahyang biasa.
Bentuk bangunan Pura-Pura di Bali yang
kita warisi dari leluhur sejak berabad yang lampau, dibangun ketika
situasi dan kondisi lingkungan masih memungkinkan, karena tersedianya
lahan yang luas, dan belum ada polusi debu, asap mobil, kebisingan, dan
gangguan kabel-kabel telepon-listrik.
Di Kota Denpasar misalnya, alangkah
“merana”-nya sebuah Pura yang berdiri lesu di tengah-tengah kawasan
bisnis. Timbul pertanyaan apa mungkin berkonsentrasi dengan baik memuja
Tuhan, sementara bunyi klakson dan deru mobil di sekitarnya tiada henti.
Agama Hindu adalah Agama yang sangat
mudah dilaksanakan. Ia sangat toleran dengan berbagai perubahan karena
ia adalah Sanatana Dharma. Ia juga bukan doktrin yang kaku.
Ia memberikan kebebasan yang luas kepada
umat-Nya untuk menempuh berbagai jalan yang termudah dan terbaik
menurut keyakinan masing-masing.
Kita mestinya menyadari hal ini dan
selalu mengembangkan pikiran-pikiran yang positif dan aktif dalam
membangun reformasi menuju kehidupan yang lebih baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar