Senin, 22 Juli 2013

Sulinggih di Jaman Kali

Menjadi Sulinggih di Jaman Kali

Kedudukan Pandita (Pendeta) dalam masyarakat Hindu sangat mulia sehingga dinamakan Sulinggih, artinya kedudukan yang utama. Selain disebut sebagai Sulinggih juga disebut sebagai Sang Dwijati, artinya yang lahir kedua kali.
Kelahiran pertama dari rahim Ibu sebagai manusia biasa yang membawa karma wasana dari atman yang ber-reinkarnasi. Karma wasana terdiri dari dua kelompok yaitu Swabhawa dan Guna. Swabhawa adalah bibit-bibit sifat sedangkan Guna adalah bibit-bibit minat dan bakat.
Kelahiran kedua adalah kelahiran yang diberikan oleh seorang Guru (Nabe) yang mengajarkan Weda sesuai dengan peraturan dan mendapatkannya melalui Sawitri Mantram.
Kelahiran kedua ini melalui proses yang panjang karena terlebih dahulu Swabhawa dan Guna diarahkan pada hal-hal yang suci dan positif sejak usia dini kemudian berbagai disiplin dan ilmu diajarkan dalam proses aguron-guron yang dipimpin oleh Nabe
Tahapan dan proses itu diuraikan antara lain dalam Manawa Dharmasastra II sloka 169 dan 170.
Jika itu dapat dilaksanakan dengan baik maka menjadilah ia Sulinggih yang memenuhi empat kriteria yaitu:
  1. Sang Satya Wadi, artinya orang yang selalu berbicara mengenai kebenaran dan hal-hal yang benar.
  2. Sang Apta, artinya orang yang dapat dipercaya.
  3. Sang Patirthan, artinya orang yang dapat dimintai mensucikan diri oleh umatnya.
  4. Sang Panadaham Upadesa, artinya orang yang memiliki swadharma memberikan pendidikan moral kesusilan kepada masyarakat agar hidup dengan harmonis dan berbudi luhur.
Kesimpulannya, Sulinggih yang ideal adalah yang berperan sebagai Adi Guru Loka artinya guru utama dalam masyarakat lingkungannya.
Dewasa ini banyak Sulinggih yang tidak sempat melalui proses panjang itu namun berhasil menjadi Sulinggih ideal karena beliau berusaha memenuhi kekurangan-kekurangan di masa walaka yakni mengembangkan Swabhawa dan Guna pada hal-hal yang positif dan suci.
Di samping itu senantiasa memperhatikan gejolak masyarakat serta membekali diri dengan berbagai pengetahuan lebih dari apa yang telah diperoleh dari Nabenya. Nabe yang baik tentu menginginkan putranya menjadi lebih baik daripada dirinya sebagaimana swadharma seorang guru biasa.
Misalnya seorang guru SLTA tentu tidak menginginkan muridnya hanya tamatan S.1 seperti dirinya; ia pasti ingin agar anak didiknya di suatu saat mencapai pendidikan tertinggi misalnya S.3, dll. Keberhasilan dalam kiprah ke-Sulinggihan seorang Putra akan membawa keharuman dan nama baik Nabe-nya.
Kriteria Sulinggih di tiap-tiap zaman pada umumnya sama seperti yang disebutkan di atas, namun dalam implementasi tugas dan fungsi, fokusnya berbeda-beda.
Di zaman Kertayuga, Sulinggih menerima wahyu Hyang Widhi dan meneruskannya berupa ajaran-ajaran agama kepada para pengikutnya.
Di zaman Tritya dan Dwapara di mana adharma sudah muncul sampai ke setengah jumlah penduduk, tugas Sulinggih semakin berat memperjuangkan tegaknya dharma.
Di zaman Kali seperti sekarang ini tugas Sulinggih sudah sangat-sangat berat karena getaran-getaran serta rangsangan untuk berbuat adharma tidak hanya terjadi pada umatnya saja tetapi juga bisa terjadi pada diri Sulinggih, sehingga perilaku kebanyakan manusia di zaman Kali mempunyai ciri-ciri antara lain:
  1. Atyanta Kopah, yaitu sifat yang mudah marah apabila keinginannya tidak tercapai.
  2. Katukaa cawani, yaitu suka berkata-kata kasar, membentak, berbohong, menipu, dan memfitnah karena merasa kepentingannya terancam.
  3. Daridrata, yaitu sifat lobha atau tidak pernah puas dengan apa yang sudah dimiliki, kikir, malas ber-dana punia atau membantu orang lain yang ditimpa kesusahan.
  4. Swajanesu wairan, yaitu tega memusuhi keluarganya sendiri karena didorong oleh kepentingan pribadi.
  5. Niica prasangga, yaitu melakukan swadharma bukan dari hati nurani yang suci, tetapi demi harta kekayaan tanpa memperhatikan segi-segi sosial.
  6. Kulahiina sewa, yaitu bersahabat dengan orang-orang bejat.
Upaya yang kuat perlu dilaksanakan agar keempat kriteria Sulinggih seperti yang disebutkan di atas dapat terus dipertahankan. Sulinggih mestinya sudah mampu mengendalikan diri agar tidak terkena godaan-godaan Sad Ripu serta teguh pada norma-norma kesulinggihan antara lain teguh melaksanakan yama brata, niyama brata, trikaya parisudha, dll.
Setelah berhasil mensucikan diri dan memperkuat pertahanan dari getaran-getaran adharma barulah ia dapat memenuhi swadharmanya sebagai Adi Guru Loka Namun demikian untuk mencapainya tidak sedikit kendala yang dihadapi Sulinggih dan lembaga kesulinggihan di masa kini, antara lain:
1. Latar belakang pendidikan yang kurang memadai.
Kebanyakan Sulinggih “tidak sengaja” menjadi Sulinggih, artinya tidak dipersiapkan sejak dini, misalnya mengikuti pendidikan Agama Hindu pada Perguruan Tinggi, atau Perguruan Tingi lainnya yang sederajat. Pendidikan yang kurang memadai ini berakibat pada wawasan yang sempit.
Seandainya Sulinggih berpendidikan yang memadai, maka ia akan memiliki keterampilan leadership, memiliki daya analisis, memiliki kemampuan problem solving, serta pandai mengambil keputusan sebagai decision maker, karena Sulinggih adalah leader bagi umatnya yang tugasnya setiap hari adalah mengambil keputusan.
Contoh-contoh kegiatan Sulinggih misalnya: Sebagai pemuput upacara, ia adalah pemimpin upacara; tugasnya akan lebih lancar bila mengetahui teori-teori manajemen, network planning, cost benefit analysis, dll. Dalam menghadapi problema di masyarakat, seorang Sulinggih yang berpendidikan cukup mengerti pada peraturan perundangan yang berlaku misalnya Undang-Undang Perkawinan.
Dalam upaya melindungi umat Hindu dari pengaruh budaya atau agama lain, Sulinggih yang terdidik baik akan mencoba menerapkan teori SWOT analysis.
Sering dijumpai, karena kurangnya wawasan dan kemampuan berdialog, para Sulingih kita keteteran dalam forum-forum Seminar, Paruman, atau pertemuan antar pemimpin umat beragama lain. Para Pendeta dari kalangan umat Kristen, Budha, dan Ustadz atau Kiayi dari umat Islam rata-rata berpendidikan S1.
2. Pemerintah kurang memperhatikan pendidikan Agama Hindu.
Belum ada sekolah yang bernuansa Hindu sejak dasar sampai perguruan tinggi yang berkelanjutan. Sekolah-sekolah umum sejak TK menggunakan pengantar Bahasa Indonesia, sehingga ketika memasuki Perguruan Tinggi bernuansa Hindu siswa menjadi asing pada bahasa Bali, aksara Bali, apalagi bahasa Kawi, dan Sanskerta.
3. Minat kaum muda untuk menjadi Sulinggih hampir tidak ada
Kecuali bagi keluarga tertentu di mana ia diharapkan menjadi calon pengganti pendahulunya yang sudah menjadi Sulinggih. Dewasa ini seseorang menjadi Sulinggih rata-rata di atas usia 50 tahun, pada usia mana biasanya fisik sudah kurang fit, daya pikir sudah berkurang, dan efek psikologis negatif lainnya seperti post power syndrome.
4. Pemerintah kurang memperhatikan nasib Sulinggih.
Ada Sulinggih yang kehidupan sehari-harinya memprihatinkan dan tidak mampu berobat ke dokter bila sakit. Sangat berbeda dengan apa yang dijumpai di Thailand misalnya, Pemerintah mengeluarkan dana yang tidak sedikit bagi tunjangan kehidupan para Bhiku, memelihara kuil/ pagoda, dan menyelenggarakan upacara-upacara.
Sumber dana untuk itu di Thailand berasal dari share income tourisme yang menjadikan pagoda dan kehidupan bhiku sebagai objek wisata, serta dari sumbangan (dana punia) umat. Kita mengenal adanya Rsi Yadnya dan Rsi Bojana, tetapi itu baru dilaksanakan insidentil dan tidak merata kepada semua Sulinggih.
Itulah gambaran kontradiktif yang dilihat dewasa ini. Kontradiktifnya terletak pada tugas-tugas Sulinggih yang sangat berat dibanding dengan kemampuan Sulinggih untuk memimpin umatnya agar selamat sejahtera di zaman Kali.
Yang menyedihkan, ada yang menuding lembaga kesulinggihan cukup keras karena menurut pengamatannya Sulinggih sebagai pemuka agama dianggap sudah terkooptasi (terbeli) oleh kekuasaan dan uang, bahkan dikatakan sudah berhianat karena memutar balikkan makna dharma dan widiya.
Seandainya itu benar, tentu kita sepakat untuk membenahinya dengan terlebih dahulu mengerti akar permasalahan seperti yang diuraikan di atas. Berbagai solusi bisa saja diambil bila pra kondisi berikut ini diperhatikan:
  1. Mereka yang ingin menjadi Sulinggih hendaknya menyadari bahwa tujuannya adalah mengabdi kepada umat, selain tujuan mensucikan diri sebagaimana diatur dalam kaidah Catur Ashrama. Mengabdi kepada umat berarti menjadi pelayan masyarakat di bidang kerohanian tanpa pamrih.
  2. Masyarakat menghargai serta menghormati Sulinggih bukan karena hubungan-hubungan tradisional gugon tuwon (mula keto) tetapi karena melihat Sulinggihnya benar-benar sebagi tokoh yang membela kepentingan umat.
  3. Pemerintah memberikan dorongan agar lembaga ke-Sulinggihan tetap ajeg dengan memberi bantuan fasilitas yang memadai, tetapi juga meminta prestasi swadharma kesulinggihan dalam membantu Pemerintah mendidik dan membina budi pekerti masyarakat.
  4. Merangsang kaum intelektual untuk menjadi Sulinggih. Hal ini bisa terjadi bila Masyarakat dan Pemerintah dapat menciptakan kondisi bahwa lembaga kesulinggihan itu terhormat dan diperlukan. Dewasa ini Sulinggih memang merasa dihormati, tetapi belum merasa diperlukan, atau keperluannya terbatas insidentil pada kegiatan muput-muput karya saja.
Apa yang dipaparkan di atas mudah-mudahan dapat membawa pembaca pada kesadaran perlunya kita mempunyai Adi Guru Loka dalam menghadapi kehidupan yang sulit di masa kini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar