Bhagawadgita Bab IX
tentang Raja Vidyaraja Guhya Yoga, Sloka ke 26 menyatakan:
PATTRAM PUSHPAM PHALAM TOYAM, YO ME
BHAKTYA PRAYACHCHHATI, TAD AHAM BHAKTYUPAHRITAM, ASNAMI PRAYATATMANAH
artinya: Siapa yang sujud kepada-Ku dengan persembahan setangkai
daun, sekuntum bunga, sebiji buah-buahan, atau seteguk air, Aku terima sebagai
bakti persembahan dari orang yang berhati suci.
Membaca Bhagawadgita, yaitu rangkuman percakapan antara Sri Krisna
sebagai awatara Wisnu dengan Arjuna di medan perang Kuruksetra, tidak bisa
sepotong-sepotong. Seluruhnya ada delapan belas Bab dan 700 sloka.
Bab ke-17 adalah percakapan mengenai “Sraddhatraya Vibhaga Yoga”
di mana Arjuna mengajukan pertanyaan kepada Sri Krisna: Bagaimana kalau
seseorang mengadakan upacara dengan penuh khidmat dan kepercayaan tetapi
melalaikan petunjuk-petunjuk kitab suci?
Sri Krisnya menjawab bahwa ada tiga macam kepercayaan yang
masing-masing tergantung kepada tiap-tiap individu dengan sifat-sifatnya, yaitu
baik-mulia (sattwa), aktif bernafsu (rajas), dan gelap-bodoh (tamas).
Yang bersifat sattwa pergi memuja Dewata, makan makanan yang
berguna bagi pertumbuhan badan dan kesehatan, mengadakan upacara menurut
petunjuk kitab suci, bermeditasi dengan keyakinan mendalam, bersedekah tanpa
mengharapkan kembali.
Yang bersifat rajas pergi memuja yaksha dan raksasa makan makanan
yang serba banyak rempah, mengadakan upacara dengan harapan akan pahala,
bersamadi dengan maksud supaya dipuji dan disegani, bersedekah dengan harapan
mendapat kembali.
Yang bersifat tamas pergi memuja roh orang mati dan setan, makan
makanan yang tidak sehat, mengadakan upacara tidak menurut peraturan, bertapa
beratha dengan pengertian kurang, bersedekah pada waktu dan kesempatan yang
salah.
Upacara, sedekah dan tapa beratha yang tidak disertai dengan
kepercayaan tidak ada artinya. Segala sesuatu di dunia ini berasal dari Ida
Sanghyang Widhi Wasa, apakah yang mungkin kita persembahkan kepada-Nya?
Banten beserta segala perlengkapannya semuanya milik-Nya; tanpa
dipersembahkan pun sudah milik-Nya. Jadi yang kita persembahkan hanyalah cinta
kasih kita kepada Ida Sanghyang Widhi Wasa.
Masalahnya, bagaimana kita mewujudkan cinta kasih kita kepada-Nya,
karena manusia yang mempunyai keterbatasan pengetahuan ingin semuanya dalam
wujud yang nyata.
Manusia mewujudkan perasaan hatinya dengan perilaku yang
dimengerti secara nalar. Demikianlah para Maha Rsi atas wahyu-wahyu yang
diterima menciptakan banten sebagai “niyasa” atau simbol perwujudan cinta kasih
kepada-Nya.
Bhagawadgita-pun memberi peluang ke arah ini: “Demi kepuasanmu
engkau memberi nama dan wujud kepada-Ku, tetapi sesungguhnya Aku sama sekali
tidak bernama dan tidak berwujud.”
Kita membuat banten untuk membawa perasaan kita setahap demi
setahap sujud bhakti kepada-Nya.
Mulai sejak mengumpulkan bahan-bahan, mejejahitan, metanding,
menjunjung ke Pura, lalu menaruh banten di palinggih, semua dilakukan dengan
hidmat, hati-hati, dan dengan perasaan kasih yang melimpah kehadapan-Nya.
Setelah itu banten disucikan dan diantarkan puja-nya oleh Sang Wiku untuk
dihaturkan kepada-Nya.
Semua prosesi itu membawa kepuasan bathin yang tiada tara kepada
kita, sehingga setelah upacara selesai, perasaan kita lega karena sudah
memuja-Nya.
Apakah maknanya? Apakah Ida Sanghyang Widhi Wasa mengharapkan semua
persembahan material itu?
Tidak; karena Beliau sudah memiliki semuanya. Beliau hanya
memperhatikan cinta kasih yang tulus dan suci yang keluar dari lubuk hati kita
dalam menghadap Beliau.
Untuk siapakah cinta kasih yang kita wujudkan itu?
Hanya untuk kita sendiri! Tiada seorang pun yang tahu rahasia hati kita kepada-Nya.
Jika kita dekat dengan-Nya maka Beliau pun akan dekat kepada kita; sebaliknya
jika kita jauh dari-Nya maka Beliau pun akan jauh dari kita, walaupun Ida
Sanghyang Widhi Wasa selalu kasih kepada ciptaan-ciptaan-Nya.
Selanjutnya Bhagawadgita Bab III mengenai Karma Yoga,
Sloka 12:
ISHTAN BHOGAN HI VO DEVA, DASYANTE
YAJNA BHAVITAH, TAIR DATTAN APRADAYAI BHYO, YO BHUNKTE STENA EVA SAH
artinya: Dengan pemujaanmu Ida Sanghyang Widhi Wasa akan
memberkahi kebahagiaan bagimu, mereka yang tiada membalas rahmat ini
kepada-Nya, sesungguhnya adalah pencuri.
Sloka 13:
YAJNA SISHTASINAH SANTO, MUCHYANTE
SARVA KILBISHAIH, BHUNJATE TE TV AGHAM PAPA, YE PACHANTY ATMA KARANAT
artinya: Yang baik makan setelah upacara bhakti akan terlepas dari
segala dosa, tetapi menyediakan makanan lezat hanya bagi diri sendiri, mereka
ini sesungguhnya makan dosa.
Sloka 14:
ANNAD BHAVANTI BHUTANI, PARJANYAD
ANNASAMBHAVAH, YAJNAD BHAVATI PARJANYO, YAJNAH KARMA SAMUDBHAVAH
artinya: Karena makanan mahluk hidup, karena
hujan makanan tumbuh, karena persembahan hujan turun, dan persembahan lahir karena
kerja.
Sloka 12-13-14 ini menyimpulkan bahwa wujud bhakti kita kepada-Nya
antara lain mempersembahkan “sarin tahun” atau hasil kerja kita terlebih dahulu
kepada-Nya setelah itu barulah kita “ngelungsur.”
Ada dua istilah yang dikenal dalam rangkaian Yadnya yaitu
“upacara” dan “upakara”.
Istilah upacara terdiri dari dua kata yaitu “upa” artinya
“berhubungan dengan” dan “cara” artinya “gerakan/
aktivitas/ kegiatan”
Jadi upacara artinya kegiatan/ pelaksanaan
suatu yadnya dengan proses tertentu.
Istilah upakara terdiri dari dua kata yaitu “upa” artinya seperti
tersebut di atas, dan “kara” artinya “perbuatan/
pekerjaan dengan tangan”. Upakara adalah segala
sesuatu berbentuk materi yang dibuat dengan tangan untuk keperluan upacara.
Secara visual upakara antara lain berbentuk banten.
Dalam Bhagawadgita Bab II sloka 10 ada dijelaskan tentang landasan
Yadnya. Bahwa tujuan kita mengadakan upacara sebagai landasan yadnya adalah
untuk mewujudkan hubungan yang harmonis antara Ida Sanghyang Widhi Wasa, manusia,
dan alam, dalam keterkaitan sebagai berikut: Ida Sanghyang Widhi Wasa
(Prajapati) ber-yadnya menciptakan manusia dan alam; manusia (Praja) ber-yadnya
untuk Prajapati dan alam; Kamadhuk (alam) memberikan kemakmuran kepada manusia.
Manusia yang melaksanakan upacara Yadnya disebut melaksanakan Karma Yoga.
Lontar Yadnya Prakerti menjelaskan pula bahwa banten adalah
“lambang”: Ida Sanghyang Widhi Wasa, manusia, dan alam. Banten berasal dari
kata “wanten” sebagai pengembangan kata “wantu” yang artinya dalam Bahasa
Indonesia: bantu; jadi banten adalah alat bantu bagi manusia Hindu dalam
berkonsentrasi mewujudkan bhakti dan cinta kasihnya kepada Ida Sanghyang Widhi
Wasa.
Oleh karena itu di beberapa daerah di Bali, banten juga disebut
sebagai bhakti. Manusia membutuhkan alat bantu dalam berkonsentrasi ke
hadapan-Nya, karena keterbatasan pengetahuan (jnana).
Bagi para Maha Rsi yang tingkat jnana-nya sudah tinggi, tidak
banyak menggunakan alat bantu dalam berhubungan dengan Ida Sanghyang Widhi
Wasa.
Dari lontar Dwijendra Tattwa dapat dibaca bahwa Ida Danghyang
Dwijendra (Danghyang Nirartha) yang tinggal di Bali di abad ke-15 Masehi
mempunyai tingkat jnana yang sangat tinggi, sehingga beliau digelari pula Ida
Pedanda Sakti Wawu Rawuh.
Beliau tidak menggunakan alat bantu dalam berhubungan dengan Yang
Maha Kuasa, bahkan ketika sampai waktunya Beliau moksahPura Uluwatu. di suatu tempat yang kini dikenal sebagai
Di zaman kini, belum ada umat Hindu di Bali yang tingkat jnana-nya
tinggi, sehingga kita masih memerlukan alat bantu antara lain banten itu tadi.
Menurut fungsinya, banten dapat dikelompokkan menjadi lima bagian
yaitu:
- Banten sebagai palinggih Ida Sanghyang Widhi Wasa atau manifestasi-Nya, misalnya: dewa-dewi, daksina linggih, lingga, sanggahurip, puspa, dll.
- Banten sebagai pensucian misalnya: banyuawang, prayascita, durmenggala, padudusan, dius kamaligi, dll.
- Banten sebagai pesaksi, misalnya: suci, ardenareswari, catur, cane, peras, guru, panca saraswati, gana, dll.
- Banten sebagai ayaban (kepada Ida Sanghyang Widhi Wasa dan/ atau Manifestasi-Nya) misalnya: sesayut pengambean, dedari, pulagembal, bebangkit, tadah pawitra, tadah sukla, tadah kala, canang meraka, daksina, ajuman, saiban, beakala, caru, gana, jerimpen, sarad, dll.
- Banten sebagai tataban (kepada manusia) misalnya sambutan. Jenis banten untuk tataban memang sedikit, karena banten untuk ayaban bisa merangkap sebagai tataban dalam pemahaman bahwa manusia ngelungsur tataban dari ayaban Ida Bethara.
Yang perlu dipikirkan sekarang adalah upaya untuk menyederhanakan
jumlah dan jenis banten agar upacara dapat diselenggarakan dengan efektif dan
efisien, terjangkau oleh umat yang kehidupannya sederhana.
Bila memahami pengelompokan banten seperti yang diuraikan di atas,
dengan mudah dapat ditentukan banten-banten apa saja yang diperlukan dalam
suatu upacara.
Pertama, tetapkanlah banten pesaksi, karena ini yang dinamakan
“hulu” sebagai permohonan kepada Ida Sanghyang Widhi Wasa untuk menyaksikan/ mensahkan penyelenggaraan
upacara.
Setelah itu tetapkan banten pesucian yang berfungsi mensucikan
upakara.
Kemudian tetapkan banten palinggih Ida Sanghyang Widhi Wasa atau
manifestasi-Nya yang akan dihaturi persembahan.
Selanjutnya tetapkan banten ayaban dan tataban sesuai dengan
tujuan upacara.
Perimbangan jenis banten agar sepadan dan berpedoman ke “hulu”.
Bila hulu menggunakan suci, yang lain-lainnya (atau “teben”) jangan menggunakan
banten yang lebih tinggi dari suci.
Demikian pula mengenai banten ayaban, gunakan hanya ayaban untuk
manifestasi-Nya yang sesuai dengan tujuan upacara; misalnya dalam upacara
perkawinan, kita tidak perlu memakai banten gana karena yang kita puja dalam
upacara itu adalah Sanghyang Semara-Ratih. Demikian seterusnya ke banten-banten
lainnya.
Dalam menyelenggarakan upacara, konsep: Desa – Kala – Patra
digunakan dengan pemahaman sebagai berikut:
- Desa, adalah penggunaan upakara yang sesuai dengan bahan-bahan yang tersedia di daerah itu
- Kala, adalah penyelenggaraan upacara sesuai dengan waktu yang tersedia (misalnya lamanya cuti/ liburan yang bisa dimanfaatkan untuk menyelenggarakan upacara)
- Patra, adalah kemampuan material yang ada untuk menunjang upacara
Dewasa ini masalah “Patra” inilah yang perlu dikaji dengan tujuan
bagaimana caranya menyelenggarakan upacara sesuai dengan kemampuan material,
agar tidak sampai berhutang atau menjual barang-barang berharga.
Untuk itu perlu kesadaran “Tri Manggalaning Yadnya”, yaitu:
- Sang Yajamana yaitu mereka yang beryadnya,
- Sang Widia yaitu tukang banten,
- Sang Sadaka yaitu Sulinggih yang muput karya.
Kesadaran Sang Yajamana adalah tidak memaksakan diri berupacara
secara mewah di luar batas kemampuannya antara lain dengan motif-motif
demonstrasi, rasa malu, dll.
Kesadaran Sang Widia adalah tidak menggunakan kesempatan menjual
banten dengan harga yang berlipat-lipat dari harga pokok; Sang Widia hendaknya
berpikir bahwa profesinya itu adalah di jalan Dharma.
Kesadaran Sang Sadaka adalah tidak menetapkan “tarif” yang tinggi
bagi jasanya muput karya; Beliau hendaknya juga berfikir bahwa sasana Kawikon
adalah tidak mengejar materi keduniawian, bahkan wajib membantu umatnya yang
miskin, sebagaimana kutipan Bhagawadgita Bab XVIII, mengenai Samnyasa Yoga,
sloka ke-2:
SRIBHAGAWAVAN UVACHA: KAMYANAM
KARMANAM NYASAM, SAMNYASAM KAVAYO VIDUH, SARVAKARMAPHALA TYAGAM, PRAHUS TYAGAM
VICHAKSHANAH
artinya: Sri Bhagawan (Sri Krisna) menjawab: Para Pandita
menyatakan samnyasa, tidak melaksanakan kerja yang didorong nafsu, dan menolak
pahala semua kerja, oleh orang arif bijaksana dikatakan tyaga.
Menurut jumlah dan jenis upakara, maka upacara Yadnya ada tiga
tingkat, yaitu: Utama, Madya, dan Kanista.
Pemilihan tingkat itulah berdasarkan konsep desa-kala-patra tadi.
Tingkat upacara yang Kanista tidak berarti lebih rendah dari tingkat Madya dan
Utama. Demikian pula tingkat yang Utama tidak berarti lebih super dari tingkat
Madya dan Kanista.
Kembalilah pada bagian awal dari pembicaraan kita tadi bahwa
diterima atau tidak diterimanya persembahan kita kepada Ida Sanghyang Widhi
Wasa, tergantung dari: ketulusan hati, kesucian pikiran/ perkataan/ perbuatan, dan kepasrahan kita kehadirat-Nya.
Bhagawadgita Bab IV, tentang Jnana Yoga, sloka ke-11 berbunyi:
YE YATHA MAM PRAPADYANTE, TAMS
TATHAI VA BHAJAMY AHAM, MAMA VARTMA NUVARTANTE, MANUSHYAH PARTHA SARVASAH
artinya: Jalan mana pun ditempuh manusia, kearah-Ku semuanya
Ku-terima, dari mana-mana semua mereka, menuju jalan Ku oh Parta.
Dalam sloka ini Sri Krisna menyatakan kepada Arjuna (Parta) betapa
Tuhan/ Ida
Sanghyang Widhi Wasa menemui tiap orang yang mengharapkan karunia dari-Nya dan
menerima mereka yang menempuh jalan-Nya.
Tuhan/ Ida
Sanghyang Widhi Wasa tidak ingin menghapus harapan tiap-tiap orang yang tumbuh
menurut kodratnya dan tidak memihak. Hanya pada masing-masing orang menurut
jalan dan kepercayaannya sendiri untuk mencapai Tuhanlah terletak perbedaan,
yang bukan merupakan pilihan-Nya.
Jalan upacara, jalan sembahyang, jalan falsafah, atau jalan
meditasi semuanya menuju Tuhan/ Ida Sanghyang Widhi Wasa yang satu. Di sini Sri Krisna
tidak menyebut cara atau jalan yang tertentu untuk mencapai hubungan dengan
Tuhan/ Ida Sanghyang Widhi Wasa, sebab
semuanya menuju Tuhan Yang Maha Esa. Hanya orang yang belum tinggi tingkat
spirituilnya tidak bisa mengakui cara atau jalan orang lain untuk mencapai
Tuhan Yang Maha Esa.
Jadi kesimpulannya, sloka ini intinya memberi kebebasan tentang
cara atau jalan yang dipilih manusia menuju Tuhan, dalam wujud pemahaman Agama Hindu
yaitu: Bhakti Marga, Karma Marga, Jnana Marga, dan Yogi (Raja) Marga, yang
dapat dilakukan bersama-sama atau bertahap sesuai dengan kemampuan
masing-masing individu.
Menyangkut tatacara nganteb banten atau muput suatu upacara,
haruslah diperhatikan kesucian lahir bathin dan tingkat jnana-nya. Kesucian
lahir adalah kebersihan fisik dan tata berpakaian yang suci.
Mengenai kesucian bathin, antara lain ada pada Bhagawadgita Bab IV
tentang Jnana Yoga, sloka ke-10 berbunyi: “Vita raga bhaya krodha, manmaya mam
upasritah, bahavo jnana tapasa, puta madbhavam agatah”. Artinya: “Terbebas dari
hawa nafsu takut dan benci, bersatu dan berlindung pada-Ku, dibersihkan oleh
kesucian budi pekerti, banyak yang telah mencapai diri-Ku”.
Selanjutnya Bhagawadgita Bab IX, tentang Raja Vidyaraja Guhya
Yoga, sloka ke-34 berbunyi:
MANMANA BHAVA MADBHAKTO, MADYAJI MAM
NAMASKURU, MAM EVAI SHYASI YUKTVAI VAM, ATMANAM MATPARAYANAH
artinya: Pusatkan pikiranmu pada-Ku berbakti pada-Ku, bersujud
pada-Ku sembahlah Aku, dan setelah engkau mendisiplinkan jiwamu, Aku jadi
tujuanmu tertinggi kau akan tiba pada-Ku.
Kemudian Bhagawadgita Bab XVII tentang Sraddhatraya Vibhaga Yoga,
sloka ke-13 berbunyi:
VIDHIHINAM ASRISHTANNAM, MANTRAHINAM
ADAKSHINAM, SRADDHAVIRAHITAM YAJNAM, TAMASAM PARICHAKSHATE
Artinya: Upacara yang tidak menurut peraturan, di mana makanan
tidak dihidangkan, tanpa ucapan mantra dan tanpa daksina, dan tanpa kepercayaan
dinamakan tamasa. (Tamasa artinya perbuatan yang bodoh dan malas).
Kesimpulannya adalah bahwa seseorang yang bertindak sebagai
pemimpin upacara yaitu “nganteb banten” bagi seorang Ekajati atau “muput karya”
bagi seorang Dwijati hendaknya memperhatikan sloka-sloka tersebut di atas.
Bukan pakaian atau atribut lain yang menentukan seseorang boleh
nganteb atau muput. Pakaian dan atribut yang dikenakan oleh seorang Pemangku
atau seorang Pandita bukan untuk ditunjukkan kepada orang lain, tetapi justru
untuk diri beliau sendiri.
Misalnya seorang Pandita rambutnya di-prucut, adalah sebagai
simbol “ngeret indriya”, berpakaian putih/
kuning sebagai simbol kesucian, membawa tongkat
(teteken) sebagai simbol sudah lingsir yang patut menjadi suri tauladan
generasi muda.
Dengan berpakaian seperti itu beliau selalu mengingatkan diri
sendiri agar waspada, “eling ring raga”, menjaga ucapan pikiran dan perbuatan
tidak menyimpang dari Trikaya Parisuda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar