Senin, 29 Juli 2013
SHAKTI
SHAKTI
Pada masa dewa Siva berawatara sebagai Mahesvaran yang melakukan tugas penyamaran. Shakti yang mendampingi nya disebut Mahesvari. Akhirnya ketika Dewa Siva berawatara sebagai Sadhaasivam, tugasnya adalah merestui semua umat manusia maka saktinya yang mendam¬pingi nya disebut Manoonmani. Kebenaran ini harus dipahami dengan jelas.
Dewa Siva sebenarnya tidak pernah mempunyai istri. Dewa Siva atau yang sering disebut sebagai Tuhan sebenarnya bukanlah seorang Lelaki atau Wanita. Melainkan sebagai simbol ( Nyaya) dari Siva Shakti (lihat Siva Linggam) dalam hal ini dimaksudkan bahwa agama Hindu tidak menganut Tuhan perempuan ataupun Tuhan Lelaki serta tidak beranak ataupun diperanakkan. Tapi jika dunia ataupun ciptaannya dalam bahaya maka beliau bisa mengambil segala rupa yang dike-hendakinya untuk turun ke dunia untuk menyelesaikan. seperti yang disabdakan dalam Bhagawad Gita. Bab 4 sloka 7
yadà yadà hi dharmasya glànir bhavati bhàrata,
abhyutthànam adharmasya tadàtmànam srjàmy aham.
Artinya.
Sesungguhnya manakala dharma terancam dan Adharma merajalela wahai Arjuna, saat itu Aku ciptakan diriku sendiri untuk menyelamatkan dharma.
Pengikut aliran Shakta, menyembah Shakti sebagai perwu-judan Tuhan yang maha segalanya. Pada suatu ketika aliran ini tersebar begitu pesat di seluruh India. Shakti disebut dengan berbagai nama seperti Aathi Shakti, Para sahkti, Purani, Raja Raajeswari, dan Thiripura Sundhari dll.
Shakti dalam seni musik atau pun kesenian disebut sebagai Kalaimagal (Dewi kesenian). Sedangkan dalam hal kemakmuran Shakti disebut sebagai Thirumagal (Dewi kemakmuran). Sakti dalam perwujudannya disembah sebagai dewi. Sebe¬narnya Siva dan Sakti bukan dua unsur yang berbeda. Jika Siva diandaikan sebagai Batu permata, maka pancaran permata itu adalah Shathi. Pancaran tersebut tidak dapat dibuang dari batu permata. Begitu juga dengan Shakti ia tidak dapat dipisahkan dari Siva dan sebaliknya.
Dalam perayaan Navaraatthiri, Shakti dipuja dalam bentuk Parasakthi, Lakhsmi dan Saraswati untuk mendapatkan restu bagi keberanian kemakmuran dan pendidikan. Apabila Shakti mendamplngi Siva, maka beliau disebut Para sakti. Ketika Sakti sebagai waktu atau zaman, maka beliau disebut Kaali. Pada saat Shakti melindungi dunia, maka ia dipuja sebagai Puwenesvari atau Ulaga naayagi.
MANTRA GAYATRl
Om katyaye naye widmahi.
Kaniya Kumari dhimahi
Tanno durge pracodayatho.
Om Shanti Shanti Shanti Om
Sabtu, 27 Juli 2013
Hindu Nusantara di Masa Depan
Upacara
dalam Bahasa Sanskrit berasal dari kata Upa yang artinya “dekat” dan
Cara yang artinya “kegiatan”. Jadi Upacara arti sempitnya adalah
kegiatan yang dilakukan dalam rangka berbakti atau mendekatkan diri
kepada Tuhan.
Arti sempit ini kemudian berkembang
sehingga dalam bahasa sehari-hari, upacara tidak saja berarti kegiatan
dalam lingkup keagamaan, tetapi juga kegiatan seremonial di bidang lain.
Tiga aspek yang menjadi kerangka Agama Hindu adalah: Tattwa, Susila, dan Upacara.
- Tattwa: membentuk pola pikir manusia tentang pemahaman filsafat Veda
- Susila: menggerakkan dan mengendalikan perilaku berdasar Tattwa
- Upacara: ritual yang menguatkan keyakinan Tattwa
Ketiga aspek itu menyatu dan saling
berkaitan sehingga bila salah satu aspek lemah atau tidak ada maka
kehidupan beragama tidak berjalan sempurna.
Penonjolan salah satu aspek dari tiga
kerangka Agama Hindu mencerminkan dua hal pokok yaitu kemampuan
inteligensi dan “marga” yang digunakan dalam mencapai kesehatan
spiritual.
Seseorang yang terpelajar akan lebih
banyak menekuni bidang Tattwa dan Susila dibanding Upacara, sedangkan
mereka yang terlalu menekankan aspek Upacara biasanya kurang mengerti
Tattwa dan Susila.
Catur Marga adalah empat “jalan” menuju
Tuhan yaitu Bhakti Marga, Karma Marga, Jnana Marga, dan Yoga Marga.
Aspek Upacara bisa sangat menonjol pada Bhakti Marga sedangkan pada
Marga-marga lainnya masalah ritual tidak terlalu diperhatikan.
Walaupun demikian, dengan berbagai Marga
manusia Hindu dapat mencapai Tuhan karena Veda telah menyediakan
alternatif yang paling sesuai di mana pada hakekatnya ke-empat Marga
dapat digunakan secara serentak dengan perimbangan bobot menurut
kemampuan masing-masing.
Inilah salah satu ciri kebesaran Agama Hindu sebagaimana disebutkan dalam Bhagavadgita IV.11:
YE YATHA MAM PRAPADYANTE, TAMS TATHAI VA BHAJAMY AHAM, MAMA VARTMA NUVARTANTE, MANUSYAH PARTHA SAVASAH
Dengan jalan bagaimanapun orang-orang
mendekati, dengan jalan yang sama itu juga Aku memenuhi keinginan
mereka. Melalui banyak jalan manusia mengikuti-Ku, O Partha.
Aspek Upacara sangat berkaitan dengan
Panca Yadnya, yaitu Deva Yadnya, Rsi Yadnya, Pitra Yadnya, Bhuta Yadnya,
dan Manusia Yadnya. Dalam Manava Dharmasastra III.73 disebut sebagai:
AHUTA, HUTA, PRAHUTA, BRAHMAHUTA, DAN PRASITA
Yadnya adalah bhakti dalam bentuk pengorbanan suci yang tulus ikhlas.
Yadnya diadakan karena hidup manusia berawal dari adanya Rna atau “hutang” kepada tiga pihak yaitu:
- Deva Rna: hutang kepada Tuhan yang telah memberi kesempatan pada Atman untuk bereinkarnasi dalam kehidupan.
- Pitra Rna: hutang kepada orang tua yang telah melahirkan dan memelihara.
- Rsi Rna: hutang kepada para Maha Rsi yang telah memberikan pengetahuan Veda.
Di samping itu ada kelompok Yadnya yang tidak berkaitan dengan Rna, yaitu Drwya Yadnya, Jnana Yadnya, dan Tapa Yadnya.
Drwya Yadnya adalah memberi dana punia,
Jnana Yadnya adalah kegiatan belajar dan mengajar, dan Tapa Yadnya
adalah pengendalian diri.
Tiga jenis Yadnya ini yang juga disebut
sebagai Yadnya dalam arti luas, tidak berkaitan dengan aspek Upacara
tetapi harus dilaksanakan untuk mewujudkan Bhakti dan mencapai kesadaran
rohani yang tinggi.
Oleh karena itu Panca Yadnya sering
disebut sebagai Yadnya dalam arti sempit, artinya belum sempurna jika
tidak diikuti dengan Drwya, Jnana, dan Tapa Yadnya.
Upacara Panca Yadnya menggunakan
Upakara, dari Bahasa Sanskrit di mana Upa artinya “dekat” dan Kara
artinya “tangan” yaitu sesuatu yang dikerjakan dengan tangan dalam
mewujudkan Bhakti. Bentuk upakara adalah sesajen dan sarana
pendukungnya.
Unsur-unsur Upakara adalah: bunga, air,
api, biji-bijian/ buah-buahan dan harum-haruman. Kelima unsur ini
disebut Panca Upakara, sebagai pengembangan dari sloka Bhagawadgita
IX.26:
PATTRAM PUSPAM PHALAM TOYAM, YO ME BHAKTYA PRAYACCHATI, TAD AHAM BHAKTYUPAHRTAM, ASNAMI PRAYATATMANAH
Siapapun yang dengan kesujudan
mempersembahkan pada-Ku daun, bunga, buah-buahan, atau air, persembahan
yang didasari oleh cinta dan keluar dari hati suci, Aku terima.
Penggunaan api disebutkan dalam Manava Dharmasastra III.76:
AGNAU PRASTAHUTIH SAMYAG ADITYAM UPATISTATE, ADITYAJJAYATE VRSTIR VRISTERANNAM TATAH PRAJAH
Persembahan yang dijatuhkan ke dalam api
akan mencapai matahari, dari matahari turunlah hujan, dari hujan
timbullah makanan, dari mana mahluk mendapatkan hidupnya.
Upakara berupa sesajen dan sarana
pendukungnya adalah simbol atau Niyasa. Mencakup jenis yang banyak
karena berkembang lebih jauh berdasarkan tafsir-tafsir para Maha Rsi.
Dari bentuk dasar berupa Panca Upakara
menjadi berbagai variasi, ornamen, warna, dan tatanan, selanjutnya
menyatu dalam tradisi yang membudaya.
Pengembangannya dimulai dari sloka Manava Dharmasastra III.81:
SVADHYAYANARCAYET SAMSIMNHOMAIR DEVANYATHAVIDHI, PITRRN CRADDHAISCA NRRNAM NAIRBHUTANI BALIKARMANA
Hendaknya sembahyang sesuai menurut
aturan; kepada Rsi dengan mengucapkan Veda, kepada Deva dengan sesajen
yang berisi api, kepada leluhur dengan Sraddha, kepada manusia dengan
pemberian makanan dan kepada Bhuta dengan upacara kurban.
Dari sini berkembanglah berbagai jenis
sesajen yang terdiri dari unsur tumbuh-tumbuhan dan hewan, serta
penggunaan warna-warna tertentu menurut ciri dan kedudukan Deva-Deva di
arah mata angin, yaitu: Ishvara di timur berwarna putih, Brahma di
selatan berwarna merah, Mahadeva di barat berwarna kuning, dan Visnu di
utara berwarna hitam.
Selanjutnya Deva dan warna-warna sela:
Mahesora di tenggara berwarna merah muda, Rudra di barat daya berwarna
oranye, Sangkara di barat laut berwarna hijau, Sambhu di timur laut
berwarna abu-abu dan Siva di tengah-tengah berwarna campuran.
Upakara sebagai simbol atau Niyasa dalam bentuk sesajen dapat berfungsi sebagai:
- Kekuatan Tuhan,
- Wujud bhakti,
- Prasadam,
- Sarana pensucian roh,
- Mantra.
Sebagai kekuatan atau Sakti Tuhan
misalnya niyasa yang disebut sebagai Daksina, banyak digunakan di India
dan Nusantara; sebagai wujud bhakti, antara lain berbagai jenis sesajen
persembahan; sebagai Prasadam adalah makanan-minuman yang telah
diberkati;
Sarana pensucian roh banyak digunakan
pada upacara Sraddha baik berupa bunga, air dan api; kemudian
Mantra-Mantra dapat pula diwujudkan dalam bentuk ornamen dan sesajen
tertentu, atau kain dengan warna tertentu bertuliskan aksara-aksara suci
misalnya OM, Ang, Ung, Mang, dll.
Selain itu Niyasa dalam bentuk bangunan misalnya Pura/ Mandir, dan patung/ arca.
Upacara dari masa ke masa mengalami
evolusi secara perlahan dan pasti karena terjadi perubahan-perubahan
pada kehidupan manusia meliputi:
- Kecerdasan,
- Adanya sumber alam berupa tumbuh-tumbuhan dan hewan, dan
- Pola kehidupan manusia.
Umat Hindu Nusantara semakin terdidik
dan terpelajar sehingga konsep Catur Marga mengalami pergeseran bobot
yaitu lebih cenderung mendalami Marga-Marga Jnana dan Yoga.
Sejalan dengan itu dalam upaya
memantapkan keyakinan pada Tuhan YME, pola pikir umat Hindu bergeser
dari Praktiyasa Pramana dan Upamana Pramana, menuju pada Agama Pramana
dan Anumana Pramana.
Tidak seperti leluhur kita di zaman
lampau yang kurang pengetahuannya, berusaha meyakini kebesaran Tuhan
dengan pengandaian (upamana) dan memperhatikan (praktiyasa)
peristiwa-peristiwa alam yang tidak dipahami seperti “terbitnya
matahari” di timur, adanya kilat/ petir, pasang surut air laut, bulan
purnama, dan bulan gelap, adanya hari siang dan malam, perubahan posisi
bintang-bintang, dll.
Perubahan pola pikir yang membentuk
kepercayaan dan keyakinan pada kebesaran Tuhan akan banyak diperoleh
dari mempelajari Veda (agama) dan menarik kesimpulan pada suatu
kebenaran yang tak terbantah (anumana).
Di samping itu dalam pelaksanaan
upacara, bahan-bahan dari sumber alam berupa tumbuh-tumbuhan dan hewan
semakin langka. Di kota-kota besar sulit menemukan bahan-bahan untuk
sesajen misalnya janur, daun pisang, jenis bunga tertentu, babi, bebek,
dll.
Oleh karena itu umat Hindu Nusantara di
masa depan akan sulit mempertahankan tradisi jenis upakara seperti yang
diajarkan oleh tetua mereka dari generasi ke generasi.
Demikian pula hal-hal yang menyangkut
pola kehidupan, telah bergeser dari pola kehidupan masyarakat agraris ke
masyarakat industrialis.
Di masyarakat agraris seperti leluhur
kita di masa lampau, aktivitas kehidupan seolah-olah terbagi dua yaitu
di musim hujan dan musim kemarau. Di musim hujan ada pekerjaan seperti
mengolah sawah, menanam pohon, mulai memelihara hewan, dll.
Sebaliknya di musim kemarau banyak waktu
luang, hasil panen cukup, maka upacara-upacara keagamaan boleh dengan
santai dilaksanakan di musim itu.
Kini, di era industrialisasi, pola hidup
sudah sangat berubah; tidak lagi dipengaruhi musim dan iklim, waktu
setiap menit sangat berharga. Segala aktivitas kehidupan mengacu pada
pertimbangan-pertimbangan efektivitas dan efisiensi.
Pedoman dasar upacara Agama Hindu disebut dalam Veda sebagai Brahmana (Karma Kanda), dan Aranyaka/ Upanisad (Jnana Kanda).
Kitab-kitab yang tergolong Karma Kanda
dari Rg Veda adalah Aiteraya dan Kausitaki, dari Sama Veda adalah
Pancavimsa dan Sadvimsa, dari Yayur Veda adalah Satapatha dan
Taittiriya, dari Atharva Veda adalah Gopatha.
Kitab-kitab yang tergolong Jnana Kanda dari masing-masing Samhita jumlahnya puluhan buah.
Upacara-upacara yang berkaitan dengan Rg
Veda Samhita meliputi arti kedudukan yang penting dari Div, dan
prosedur pemujaan yakni urutan pengucapan mantra.
Yang berkaitan dengan Yayur Veda
Samhita, baik Sukla Yayur Veda maupun Krsna Yayur Veda adalah upacara
korban dan penjelasan mistisnya.
Yang berkaitan dengan Sama Veda Samhita
adalah cara atau irama suara di kala mengucapkan mantra, dan yang
berkaitan dengan Atharva Veda Samhita menyangkut cara memanfaatkan
pengetahuan untuk kehidupan dan kesehatan.
Apa yang dapat disimpulkan dari
kitab-kitab Brahmana, Aranyaka, dan Upanisad bahwa upacara Agama Hindu
seharusnya lebih banyak menekankan wujud Bhakti kepada Tuhan sebagai
dasar kebenaran dalam mencari pencerahan spiritual.
Tidak sebagaimana tafsir kebanyakan
orang, terutama di Bali yang membesarkan unsur upakara pada setiap
upacara sehingga kadang-kadang tujuan utama sebagai Bhakti tidak jelas
terlihat.
Dalam Aiteraya dan Kausitaki misalnya
disebutkan bahwa setiap pemuja yang melakukan upacara baik
sendiri-sendiri maupun secara berkelompok harus mengucapkan mantra
menurut urutan dan irama yang tertentu.
Walaupun pada pemujaan berkelompok Pendeta atau Hotr bertugas memimpin pengucapan mantra, tetapi ia hanyalah sebagai pengarah.
Hotr tidak hanya bertugas sebagai
pemandu, tetapi ia juga wajib menjelaskan makna upacara yang dilakukan.
Hotr yang demikian disebut sebagai Adhvaryu karena ia menguasai
Yayurveda Samhita dengan baik.
Dalam kitab-kitab Karma Kanda lainnya
seperti Satapatha, Taittiriya, dan Gopatha juga disebutkan bahwa
persembahan berupa upakara apapun tidak akan bermanfaat jika tidak
disertai dengan mantra yang tepat dari Bhakta yang bersangkutan.
Dengan demikian, di masa depan umat
Hindu Nusantara hendaknya melakukan upacara yang lebih tinggi
kualitasnya dari masa lampau, lebih efektif dan lebih efisien.
Kitab-kitab Brahmana, Aranyaka dan
Upanisad dapat digunakan sebagai pedoman untuk memastikan perolehan
manfaat tinggi dalam pelaksanan upacara.
Kerajinan dan keuletan mempelajari
kitab-kitab suci sudah menjadi kewajiban kita untuk memastikan pola
upacara sehingga tidak tergantung pada tradisi-tradisi berupacara yang
tidak jelas acuan sastranya.
Segala bentuk upakara, simbol atau
Niyasa yang ada di masa kini mestinya dikaji ulang, apakah masih relevan
dan tidak menyimpang dari kitab-kitab Brahmana, Aranyaka, dan Upanisad.
Banyak hal-hal yang tidak dipahami
benar, tetapi diterima sebagaimana adanya karena tidak mempunyai acuan
sehingga tidak mempunyai pilihan lain.
Pemeluk Hindu Nusantara pada umumnya
meniru tradisi beragama di Bali. Ambillah contoh mengenai bangunan
pemujaan yang berbentuk Padmasana.
Bangunan ini pertama kali diperkenalkan
di Bali pada abad ke-14 oleh Mpu Nirartha, di mana sebelumnya umat Hindu
di Jawa tidak mengenal bentuk Padmasana. Mereka mengenal bentuk
bangunan pemujaan sebagai Candi-Candi atau lebih menyerupai Mandir di
India.
Demikian pula tentang upakara yang di
Bali disebut Banten. Banten mula-mula dikenalkan oleh Maharsi Markandeya
sekitar abad ke-8 kepada penduduk di sekitar pertapaan beliau di Desa
Puakan, Taro (sekarang Kecamatan Tegallalang, Gianyar).
Jenis simbol/ niyasa ini adalah
pengganti Mantra, sebagaimana disebutkan dalam Lontar Yajnya Prakerti
dan Mpu Lutuk. Jadi banten dikembangkan kepada umat Hindu yang tidak
menguasai mantra-mantra dalam kegiatan bhaktinya.
Banten itu dahulu dinamakan Bali,
sehingga orang-orang yang melakukan upacara persembahyangan menggunakan
Banten disebut orang Bali. Lama kelamaan ajaran Maharsi Markandeya ini
berkembang ke seluruh pulau maka jadilah nama pulau kecil ini: Pulau
Bali.
Berbicara mengenai simbol “pengganti
ucapan Mantra” di beberapa tempat berbeda. Di India dan Nepal simbolnya
adalah lonceng-lonceng besar yang digantungkan di sebelah patung Deva.
Mereka yang tidak pandai mengucapkan mantra cukup dengan menyembah
patung dan memukul lonceng.
Di Bali, seperti yang dijelaskan di
atas, banten juga berfungsi sebagai pengganti mantra. Generasi Hindu
Nusantara di masa depan mempunyai pilihan yang jelas, yaitu bila tidak
mampu membuat banten yang mahal, rumit, sulit dan memakan waktu, maka
mantra-mantra harus dikuasai dengan baik.
Sehingga walaupun bantennya sederhana
misalnya hanya susunan daun (daun Tulasi, Bila, Mangga, Beringin, dll),
bunga, buah, harum-haruman (serbuk cendana), air dan dupa, atau canang
sari, manfaat upacara akan lebih bagus.
Bentuk-bentuk bangunan pemujaan tidak
harus dipaksakan seperti di Bali. Mestinya budaya lokal digali dan
dikembangkan apakah berbentuk candi, atau patung. Tempat sembahyang juga
tidak harus terbuka.
Di tempat-tempat yang curah hujannya
tinggi atau jika ingin sembahyang dengan tenang, santai dan bersih,
boleh saja tempat sembahyang tertutup, diberi atap dengan lantai marmer,
memakai air condition, sehingga konsentrasi tidak terganggu ketika
melakukan yoga atau meditasi ataupun sembahyang biasa.
Bentuk bangunan Pura-Pura di Bali yang
kita warisi dari leluhur sejak berabad yang lampau, dibangun ketika
situasi dan kondisi lingkungan masih memungkinkan, karena tersedianya
lahan yang luas, dan belum ada polusi debu, asap mobil, kebisingan, dan
gangguan kabel-kabel telepon-listrik.
Di Kota Denpasar misalnya, alangkah
“merana”-nya sebuah Pura yang berdiri lesu di tengah-tengah kawasan
bisnis. Timbul pertanyaan apa mungkin berkonsentrasi dengan baik memuja
Tuhan, sementara bunyi klakson dan deru mobil di sekitarnya tiada henti.
Agama Hindu adalah Agama yang sangat
mudah dilaksanakan. Ia sangat toleran dengan berbagai perubahan karena
ia adalah Sanatana Dharma. Ia juga bukan doktrin yang kaku.
Ia memberikan kebebasan yang luas kepada
umat-Nya untuk menempuh berbagai jalan yang termudah dan terbaik
menurut keyakinan masing-masing.
Kita mestinya menyadari hal ini dan
selalu mengembangkan pikiran-pikiran yang positif dan aktif dalam
membangun reformasi menuju kehidupan yang lebih baik.
Senin, 22 Juli 2013
Sulinggih di Jaman Kali
Kedudukan
Pandita (Pendeta) dalam masyarakat Hindu sangat mulia sehingga
dinamakan Sulinggih, artinya kedudukan yang utama. Selain disebut
sebagai Sulinggih juga disebut sebagai Sang Dwijati, artinya yang lahir
kedua kali.
Kelahiran pertama dari rahim Ibu sebagai
manusia biasa yang membawa karma wasana dari atman yang
ber-reinkarnasi. Karma wasana terdiri dari dua kelompok yaitu Swabhawa
dan Guna. Swabhawa adalah bibit-bibit sifat sedangkan Guna adalah
bibit-bibit minat dan bakat.
Kelahiran kedua adalah kelahiran yang
diberikan oleh seorang Guru (Nabe) yang mengajarkan Weda sesuai dengan
peraturan dan mendapatkannya melalui Sawitri Mantram.
Kelahiran kedua ini melalui proses yang
panjang karena terlebih dahulu Swabhawa dan Guna diarahkan pada hal-hal
yang suci dan positif sejak usia dini kemudian berbagai disiplin dan
ilmu diajarkan dalam proses aguron-guron yang dipimpin oleh Nabe
Tahapan dan proses itu diuraikan antara lain dalam Manawa Dharmasastra II sloka 169 dan 170.
Jika itu dapat dilaksanakan dengan baik maka menjadilah ia Sulinggih yang memenuhi empat kriteria yaitu:
- Sang Satya Wadi, artinya orang yang selalu berbicara mengenai kebenaran dan hal-hal yang benar.
- Sang Apta, artinya orang yang dapat dipercaya.
- Sang Patirthan, artinya orang yang dapat dimintai mensucikan diri oleh umatnya.
- Sang Panadaham Upadesa, artinya orang yang memiliki swadharma memberikan pendidikan moral kesusilan kepada masyarakat agar hidup dengan harmonis dan berbudi luhur.
Kesimpulannya, Sulinggih yang ideal
adalah yang berperan sebagai Adi Guru Loka artinya guru utama dalam
masyarakat lingkungannya.
Dewasa ini banyak Sulinggih yang tidak
sempat melalui proses panjang itu namun berhasil menjadi Sulinggih ideal
karena beliau berusaha memenuhi kekurangan-kekurangan di masa walaka
yakni mengembangkan Swabhawa dan Guna pada hal-hal yang positif dan
suci.
Di samping itu senantiasa memperhatikan
gejolak masyarakat serta membekali diri dengan berbagai pengetahuan
lebih dari apa yang telah diperoleh dari Nabenya. Nabe yang baik tentu
menginginkan putranya menjadi lebih baik daripada dirinya sebagaimana
swadharma seorang guru biasa.
Misalnya seorang guru SLTA tentu tidak
menginginkan muridnya hanya tamatan S.1 seperti dirinya; ia pasti ingin
agar anak didiknya di suatu saat mencapai pendidikan tertinggi misalnya
S.3, dll. Keberhasilan dalam kiprah ke-Sulinggihan seorang Putra akan
membawa keharuman dan nama baik Nabe-nya.
Kriteria Sulinggih di tiap-tiap zaman
pada umumnya sama seperti yang disebutkan di atas, namun dalam
implementasi tugas dan fungsi, fokusnya berbeda-beda.
Di zaman Kertayuga, Sulinggih menerima wahyu Hyang Widhi dan meneruskannya berupa ajaran-ajaran agama kepada para pengikutnya.
Di zaman Tritya dan Dwapara di mana
adharma sudah muncul sampai ke setengah jumlah penduduk, tugas Sulinggih
semakin berat memperjuangkan tegaknya dharma.
Di zaman Kali seperti sekarang ini tugas
Sulinggih sudah sangat-sangat berat karena getaran-getaran serta
rangsangan untuk berbuat adharma tidak hanya terjadi pada umatnya saja
tetapi juga bisa terjadi pada diri Sulinggih, sehingga perilaku
kebanyakan manusia di zaman Kali mempunyai ciri-ciri antara lain:
- Atyanta Kopah, yaitu sifat yang mudah marah apabila keinginannya tidak tercapai.
- Katukaa cawani, yaitu suka berkata-kata kasar, membentak, berbohong, menipu, dan memfitnah karena merasa kepentingannya terancam.
- Daridrata, yaitu sifat lobha atau tidak pernah puas dengan apa yang sudah dimiliki, kikir, malas ber-dana punia atau membantu orang lain yang ditimpa kesusahan.
- Swajanesu wairan, yaitu tega memusuhi keluarganya sendiri karena didorong oleh kepentingan pribadi.
- Niica prasangga, yaitu melakukan swadharma bukan dari hati nurani yang suci, tetapi demi harta kekayaan tanpa memperhatikan segi-segi sosial.
- Kulahiina sewa, yaitu bersahabat dengan orang-orang bejat.
Upaya yang kuat perlu dilaksanakan agar
keempat kriteria Sulinggih seperti yang disebutkan di atas dapat terus
dipertahankan. Sulinggih mestinya sudah mampu mengendalikan diri agar
tidak terkena godaan-godaan Sad Ripu serta teguh pada norma-norma
kesulinggihan antara lain teguh melaksanakan yama brata, niyama brata,
trikaya parisudha, dll.
Setelah berhasil mensucikan diri dan
memperkuat pertahanan dari getaran-getaran adharma barulah ia dapat
memenuhi swadharmanya sebagai Adi Guru Loka Namun demikian untuk
mencapainya tidak sedikit kendala yang dihadapi Sulinggih dan lembaga
kesulinggihan di masa kini, antara lain:
1. Latar belakang pendidikan yang kurang memadai.
Kebanyakan Sulinggih “tidak sengaja”
menjadi Sulinggih, artinya tidak dipersiapkan sejak dini, misalnya
mengikuti pendidikan Agama Hindu pada Perguruan Tinggi, atau Perguruan
Tingi lainnya yang sederajat. Pendidikan yang kurang memadai ini
berakibat pada wawasan yang sempit.
Seandainya Sulinggih berpendidikan yang
memadai, maka ia akan memiliki keterampilan leadership, memiliki daya
analisis, memiliki kemampuan problem solving, serta pandai mengambil
keputusan sebagai decision maker, karena Sulinggih adalah leader bagi
umatnya yang tugasnya setiap hari adalah mengambil keputusan.
Contoh-contoh kegiatan Sulinggih
misalnya: Sebagai pemuput upacara, ia adalah pemimpin upacara; tugasnya
akan lebih lancar bila mengetahui teori-teori manajemen, network
planning, cost benefit analysis, dll. Dalam menghadapi problema di
masyarakat, seorang Sulinggih yang berpendidikan cukup mengerti pada
peraturan perundangan yang berlaku misalnya Undang-Undang Perkawinan.
Dalam upaya melindungi umat Hindu dari
pengaruh budaya atau agama lain, Sulinggih yang terdidik baik akan
mencoba menerapkan teori SWOT analysis.
Sering dijumpai, karena kurangnya
wawasan dan kemampuan berdialog, para Sulingih kita keteteran dalam
forum-forum Seminar, Paruman, atau pertemuan antar pemimpin umat
beragama lain. Para Pendeta dari kalangan umat Kristen, Budha, dan
Ustadz atau Kiayi dari umat Islam rata-rata berpendidikan S1.
2. Pemerintah kurang memperhatikan pendidikan Agama Hindu.
Belum ada sekolah yang bernuansa Hindu
sejak dasar sampai perguruan tinggi yang berkelanjutan. Sekolah-sekolah
umum sejak TK menggunakan pengantar Bahasa Indonesia, sehingga ketika
memasuki Perguruan Tinggi bernuansa Hindu siswa menjadi asing pada
bahasa Bali, aksara Bali, apalagi bahasa Kawi, dan Sanskerta.
3. Minat kaum muda untuk menjadi Sulinggih hampir tidak ada
Kecuali bagi keluarga tertentu di mana
ia diharapkan menjadi calon pengganti pendahulunya yang sudah menjadi
Sulinggih. Dewasa ini seseorang menjadi Sulinggih rata-rata di atas usia
50 tahun, pada usia mana biasanya fisik sudah kurang fit, daya pikir
sudah berkurang, dan efek psikologis negatif lainnya seperti post power
syndrome.
4. Pemerintah kurang memperhatikan nasib Sulinggih.
Ada Sulinggih yang kehidupan
sehari-harinya memprihatinkan dan tidak mampu berobat ke dokter bila
sakit. Sangat berbeda dengan apa yang dijumpai di Thailand misalnya,
Pemerintah mengeluarkan dana yang tidak sedikit bagi tunjangan kehidupan
para Bhiku, memelihara kuil/ pagoda, dan menyelenggarakan
upacara-upacara.
Sumber dana untuk itu di Thailand
berasal dari share income tourisme yang menjadikan pagoda dan kehidupan
bhiku sebagai objek wisata, serta dari sumbangan (dana punia) umat. Kita
mengenal adanya Rsi Yadnya dan Rsi Bojana, tetapi itu baru dilaksanakan
insidentil dan tidak merata kepada semua Sulinggih.
Itulah gambaran kontradiktif yang
dilihat dewasa ini. Kontradiktifnya terletak pada tugas-tugas Sulinggih
yang sangat berat dibanding dengan kemampuan Sulinggih untuk memimpin
umatnya agar selamat sejahtera di zaman Kali.
Yang menyedihkan, ada yang menuding
lembaga kesulinggihan cukup keras karena menurut pengamatannya Sulinggih
sebagai pemuka agama dianggap sudah terkooptasi (terbeli) oleh
kekuasaan dan uang, bahkan dikatakan sudah berhianat karena memutar
balikkan makna dharma dan widiya.
Seandainya itu benar, tentu kita sepakat
untuk membenahinya dengan terlebih dahulu mengerti akar permasalahan
seperti yang diuraikan di atas. Berbagai solusi bisa saja diambil bila
pra kondisi berikut ini diperhatikan:
- Mereka yang ingin menjadi Sulinggih hendaknya menyadari bahwa tujuannya adalah mengabdi kepada umat, selain tujuan mensucikan diri sebagaimana diatur dalam kaidah Catur Ashrama. Mengabdi kepada umat berarti menjadi pelayan masyarakat di bidang kerohanian tanpa pamrih.
- Masyarakat menghargai serta menghormati Sulinggih bukan karena hubungan-hubungan tradisional gugon tuwon (mula keto) tetapi karena melihat Sulinggihnya benar-benar sebagi tokoh yang membela kepentingan umat.
- Pemerintah memberikan dorongan agar lembaga ke-Sulinggihan tetap ajeg dengan memberi bantuan fasilitas yang memadai, tetapi juga meminta prestasi swadharma kesulinggihan dalam membantu Pemerintah mendidik dan membina budi pekerti masyarakat.
- Merangsang kaum intelektual untuk menjadi Sulinggih. Hal ini bisa terjadi bila Masyarakat dan Pemerintah dapat menciptakan kondisi bahwa lembaga kesulinggihan itu terhormat dan diperlukan. Dewasa ini Sulinggih memang merasa dihormati, tetapi belum merasa diperlukan, atau keperluannya terbatas insidentil pada kegiatan muput-muput karya saja.
Apa yang dipaparkan di atas
mudah-mudahan dapat membawa pembaca pada kesadaran perlunya kita
mempunyai Adi Guru Loka dalam menghadapi kehidupan yang sulit di masa
kini.
Minggu, 21 Juli 2013
Awatara Dewa Wisnu
Awatara
Dewa Wisnu
Awatara atau Avatar
dalam agama Hindu adalah inkarnasi dari Tuhan Yang Maha Esa maupun
manifestasinya. Tuhan Yang Maha Esa ataupun manifestasinya turun ke dunia,
mengambil suatu bentuk dalam dunia material, guna menyelamatkan dunia dari
kehancuran dan kejahatan, menegakkan dharma dan menyelamatkan orang-orang yang
melaksanakan Dharma/Kebenaran.Agama Hindu mengenal adanya Dasa
Awatara yang sangat terkenal di antara Awatara-Awatara lainnya. Dasa Awatara
adalah sepuluh Awatara yang diyakini sebagai penjelmaan material Dewa Wisnu
dalam misi menyelamatkan dunia. Dari sepuluh Awatara, sembilan diantaranya
diyakini sudah pernah menyelamatkan dunia, sedangkan satu di antaranya, Awatara
terakhir (Kalki Awatara), masih menunggu waktu yang tepat (konon pada akhir Kali Yuga) untuk turun ke dunia. Kisah-kisah
Awatara tersebut terangkum dalam sebuah kitab yang disebut Purana.
1. Matsya Avatar
Dalam
ajaran agama Hindu, Matsya adalahawatara Wisnu yang
berwujud ikan raksasa. Dalam bahasa Sanskerta,
kata matsya sendiri berarti ikan. Menurut mitologi
Hindu, Matsya muncul pada masa Satyayuga,
pada masa pemerintahan Raja Satyabrata (lebih
dikenal sebagai Maharaja Waiwaswata Manu),
putra Wiwaswan, dewa matahari. Matsya turun ke
dunia untuk memberitahu Maharaja Manu mengenai bencana air
bah yang akan melanda bumi. Ia memerintahkan Maharaja Manu untuk segera
membuat bahtera besar.
Kisah
dengan tema serupa juga dapat disimak dalam kisah Nabi
Nuh, yang konon membuat bahtera besar untuk melindungi umatnya dari bencana
air bah yang melanda bumi. Kisah dengan tema yang sama juga ditemukan di
beberapa negara, seperti kisah dari penduduk asli
Amerika dan dari Yunani.Dalam diri
manusia "ikan" adalah lambang sebuah benih. Atau sel sperma
dan sel telur. Sel seperma tidak akan mengalami pembuahan jika tidak ada sel
telur yang bagus. Untuk menampung pertemuan tersebut dalam organ tubuh wanita
disebut dengan rahim ( perahu dari raja Manu). Jaman Satya Yuga jika dalam diri
manusia adalah ketika masih dalam kandungan hingga berumur 3 tahun.
Pada
kehidupan di bumi = ikan merupakan binatang air. Pada awal terbentuknya dunia
yang ada adalah kehidupan satwa air. Jaman Ordovisium (500 - 440 juta tahun
lalu) Zaman Ordovisium dicirikan oleh munculnya ikan tanpa rahang (hewan
bertulang belakang paling tua) dan beberapa hewan bertulang belakang yang
muncul pertama kali seperti Tetrakoral, Graptolit, Ekinoid (Landak Laut),
Asteroid (Bintang Laut), Krinoid (Lili Laut) dan Bryozona. Koral dan Alaga
berkembang membentuk karang, dimana trilobit dan Brakiopoda mencari mangsa.
Graptolit dan Trilobit melimpah, sedangkan Ekinodermata dan Brakiopoda mulai
menyebar. Meluapnya Samudra dari Zaman Es merupakan bagian peristiwa dari zaman
ini. Gondwana dan benua-benua lainnya mulai menutup celah samudera yang berada
di antaranya.
Kisah
tentang Matsya dapat disimak dalam Matsyapurana
dan juga Purana lainnya. Diceritakan
bahwa pada saat Raja Satyabrata (yang lebih
dikenal sebagai Waiwaswata Manu) mencuci
tangan di sungai, seekor ikan kecil menghampiri tangannya dan sang raja tahu
bahwa ikan itu meminta perlindungan. Akhirnya ia memelihara ikan tersebut. Ia
menyiapkan kolam kecil sebagai tempat tinggal ikan tersebut. Namun lambat laun
ikan tersebut bertambah besar, hampir memenuhi seluruh kolam. Akhirnya ia
memindahkan ikan tersebut ke kolam yang lebih besar. Kejadian tersebut terus
terjadi berulang-ulang sampai akhirnya beliau sadar bahwa ikan yang ia pelihara
bukanlah ikan biasa.
Akhirnya
melalui upacara, diketahuilah bahwa ikan tersebut merupakan penjelmaan Dewa Wisnu. Dalam versi lain, ikan itu dibawa ke samudera. Ikan itu sendiri menyampaikan kabar bahwa
di bumi akan terjadi bencana air bah yang sangat hebat selama tujuh hari. Ikan
itu berpesan agar sang raja membuat sebuah bahtera
besar untuk menyelamatkan diri dari banjir besar, dan mengisi bahtera tersebut
dengan berbagai makhluk hidup yang setiap jenisnya berjumlah sepasang (betina
dan jantan), serta membawa obat-obatan, makanan, bibit segala macam tumbuhan,
dan mengajak Saptaresi (Tujuh Maha
Rsi). Ikan tersebut juga menambahkan bahwa setelah banjir besar tiba,
diharapkan agar bahtera tersebut diikat ke tanduk sang ikan dengan naga Basuki sebagai talinya. Setelah menyampaikan seluruh
pesan, ikan ajaib tersebut menghilang.
Menurut
Matsyapurana, seratus tahun kemudian,
kekeringan yang hebat melanda bumi. Banyak makhluk yang mati kelaparan.
Kemudian, langit dipenuhi oleh tujuh macam awan yang mencurahkan hujan lebat
tak terhentikan. Dengan cepat, air yang dicurahkan menutupi daratan di bumi.
Oleh karena Waiwaswata Manu sudah membuat bahtera
sesuai dengan petunjuk yang disampaikan awatara Wisnu, maka ia beserta
pengikutnya selamat dari bencana.
2. Kurma Avatar
Kurma
adalah awatara (penjelmaan) kedua dewa Wisnu yang berwujud kura-kura
raksasa. Awatara ini muncul pada masa Satyayuga.
Menurut kitab Adiparwa, kura-kura
tersebut bernama Akupa.
Menurut
berbagai kitab Purana, Wisnu mengambil wujud seekor kura-kura (kurma) dan mengapung di lautan susu (Kserasagara
atau Kserarnawa). Di dasar laut tersebut konon terdapat harta karun dan
tirta amerta yang dapat membuat peminumnya
hidup abadi. Para Dewa dan Asura berlomba-lomba mendapatkannya. Untuk mangaduk
laut tersebut, mereka membutuhkan alat dan sebuah gunung yang bernama Gunung
Mandara Giri, yang digunakan untuk mengaduknya. Para Dewa
dan para Asura mengikat gunung tersebut dengan
Naga Wasuki (Naga Basuki) dan memutar gunung tersebut. Kurma menopang dasar
gunung tersebut dengan tempurungnya. Dewa Indra
memegang puncak gunung tersebut agar tidak terangkat ke atas. Setelah sekian
lama tirta amerta berhasil didapat dan Dewa Wisnu
mengambil alih.
Kisah
tentang Kurma Awatara muncul dari kisah pemutaran Mandaragiri yang terdapat
dalam Kitab Adiparwa. Dikisahkan pada
zaman Satyayuga, para Dewa
dan asura (rakshasa)
bersidang di puncak gunung Mahameru untuk
mencari cara mendapatkan tirta amerta, yaitu
air suci yang dapat membuat hidup menjadi abadi. Sang
Hyang Nārāyana (Wisnu) bersabda,
"Kalau kalian menghendaki tirta amerta tersebut, aduklah lautan Ksera (Kserasagara),
sebab dalam lautan tersebut terdapat tirta amerta. Maka dari itu,
kerjakanlah."
Setelah
mendengar perintah Sang Hyang Nārāyana,
berangkatlah para Dewa dan asura pergi ke laut Ksera. Terdapat sebuah gunung
bernama Gunung Mandara (Mandaragiri) di Sangka Dwipa (Pulau Sangka), tingginya
sebelas ribu yojana. Gunung tersebut dicabut oleh Sang Anantabhoga beserta segala isinya. Setelah mendapat
izin dari Dewa Samudera, gunung Mandara
dijatuhkan di laut Ksira sebagai tongkat pengaduk lautan tersebut. Seekor kura-kura (kurma) raksasa bernama Akupa yang konon
katanya sebagai penjelmaan Wisnu, menjadi
dasar pangkal gunung tersebut. Ia disuruh menahan gunung Mandara supaya tidak
tenggelam.
Naga Basuki dipergunakan sebagai tali, membelit
lereng gunung tersebut. Dewa Indra menduduki
puncaknya, suapaya gunung tersebut tidak melambung ke atas. Setelah siap, para
Dewa, rakshasa dan asura mulai memutar gunung Mandara dengan menggunakan Naga
Basuki sebagai tali. Para Dewa memegang ekornya sedangkan para asura dan
rakshasa memegang kepalanya. Mereka berjuang dengan hebatnya demi mendapatkan
tirta amerta sehingga laut bergemuruh. Gunung
Mandara menyala, Naga Basuki menyemburkan bisa
membuat pihak asura dan rakshasa kepanasan. Lalu Dewa Indra memanggil awan
mendung yang kemudian mengguyur para asura dan rakshasa. Lemak segala binatang di gunung Mandara beserta
minyak kayu hutannya membuat lautan Ksira mengental, pemutaran Gunung Mandara
pun makin diperhebat.
Saat
lautan diaduk, racun mematikan yang disebut Halahala
menyebar. Racun tersebut dapat membunuh segala makhluk hidup. Dewa Siwa kemudian meminum racun tersebut maka lehernya
menjadi biru dan disebut Nilakantha (Sanskerta:
Nila: biru, Kantha: tenggorokan). Setelah itu, berbagai dewa-dewi,
binatang, dan harta karun muncul, yaitu:
1. Sura, Dewi yang menciptakan minuman anggur
2. Apsara, Kaum bidadari kahyangan
3. Kostuba, Permata yang paling berharga di dunia
4. Uccaihsrawa, Kuda para Dewa
5. Kalpawreksa, Pohon yang dapat mengabulkan keinginan
6. Kamadhenu, Sapi pertama dan ibu dari segala sapi
7. Airawata, Kendaraan Dewa Indra
8. Laksmi, Dewi keberuntungan dan kemakmuran
Akhirnya
keluarlah Dhanwantari membawa kendi berisi
tirta amerta. Karena para Dewa sudah banyak mendapat bagian sementara para asura dan rakshasa
tidak mendapat bagian sedikit pun, maka para asura dan rakshasa ingin agar
tirta amerta menjadi milik mereka. Akhirnya tirta amerta berada di pihak para
asura dan rakshasa dan Gunung Mandara dikembalikan ke tempat asalnya, Sangka
Dwipa.
Melihat
tirta amerta berada di tangan para asura dan rakshasa,
Dewa Wisnu memikirkan siasat bagaimana merebutnya
kembali. Akhirnya Dewa Wisnu mengubah wujudnya menjadi seorang wanita yang sangat cantik, bernama Mohini. Wanita cantik tersebut menghampiri para
asura dan rakshasa. Mereka sangat senang dan terpikat dengan kecantikan wanita
jelmaan Wisnu. Karena tidak sadar terhadap tipu daya, mereka menyerahkan tirta
amerta kepada Mohini.
Setelah
mendapatkan tirta, wanita tersebut lari dan mengubah wujudnya kembali menjadi
Dewa Wisnu. Melihat hal itu, para asura dan rakshasa menjadi marah. Kemudian
terjadilah perang antara para Dewa dengan asura dan rakshasa. Pertempuran terjadi
sangat lama dan kedua pihak sama-sama sakti. Agar pertempuran dapat segera
diakhiri, Dewa Wisnu memunculkan senjata cakra
yang mampu menyambar-nyambar para asura dan rakshasa. Kemudian mereka lari
tunggang langgang karena menderita kekalahan. Akhirnya tirta amerta berada di
pihak para Dewa.
Para
Dewa kemudian terbang ke Wisnuloka, kediaman
Dewa Wisnu, dan di sana mereka meminum tirta amerta sehingga hidup abadi.
Seorang rakshasa yang merupakan anak Sang Wipracitti dengan Sang Singhika
mengetahui hal itu, kemudian ia mengubah wujudnya menjadi Dewa dan turut serta meminum tirta amerta. Hal tersebut diketahui oleh Dewa Aditya dan Chandra,
yang kemudian melaporkannya kepada Dewa Wisnu.
Dewa Wisnu kemudian mengeluarkan senjata chakranya dan memenggal leher sang rakshasa, tepat ketika tirta amerta sudah
mencapai tenggorokannya. Badan sang rakshasa mati, namun kepalanya masih hidup
karena tirta amerta sudah menyentuh tenggorokannya. Sang rakshasa marah kepada
Dewa Aditya dan Chandra,
dan bersumpah akan memakan mereka pada pertengahan bulan. Sehingga terjadilah
gerhana bulan dan gerhana matahari.
3. Waraha Avatar
Waraha
adalah awatara (penjelmaan) ketiga dari Dewa Wisnu yang berwujud babi
hutan. Awatara ini muncul pada masa Satyayuga (zaman kebenaran). Kisah mengenai Waraha
Awatara selengkapnya terdapat di dalam kitab Warahapurana
dan Purana-Purana lainnya.
Pada
zaman Satyayuga (zaman kebenaran), ada seorang
raksasa bernama Hiranyaksa, adik raksasa Hiranyakasipu. Keduanya merupakan kaum Detya (raksasa). Hiranyaksa hendak menenggelamkan Pertiwi (planet bumi) ke dalam "lautan
kosmik," suatu tempat antah berantah di ruang angkasa.
Melihat
dunia akan mengalami kiamat, Wisnu menjelma
menjadi babi hutan yang memiliki dua taring panjang mencuat dengan tujuan
menopang bumi yang dijatuhkan oleh Hiranyaksa. Usaha penyelamatan yang
dilakukan Waraha tidak berlangsung lancar karena dihadang oleh
Hiranyaksa.
Maka
terjadilah pertempuran sengit antara raksasa Hiranyaksa
melawan Dewa Wisnu. Konon pertarungan ini
terjadi ribuan tahun yang lalu dan memakan waktu ribuan tahun pula. Pada
akhirnya, Dewa Wisnu yang menang.
Setelah
Beliau memenangkan pertarungan, Beliau mengangkat bumi
yang bulat seperti bola dengan dua taringnya yang panjang mencuat, dari lautan
kosmik, dan meletakkan kembali bumi pada
orbitnya. Setelah itu, Dewa Wisnu menikahi
Dewi Pertiwi dalam wujud awatara tersebut.
Waraha
Awatara dilukiskan sebagai babi hutan yang membawa planet
bumi dengan kedua taringnya dan meletakkannya
di atas hidung, di depan mata. Kadangkala dilukiskan sebagai manusia berkepala
babi hutan, dengan dua taring menyangga bola dunia, bertangan empat,
masing-masing membawa: cakra, terompet dari
kulit kerang (sangkakala), teratai, dan gada.
4. Narasinga Avatar
Narasinga
(disebut juga Narasingh, Nārasiṃha) adalah awatara (inkarnasi /penjelmaan) Wisnu yang turun ke dunia, berwujud manusia dengan
kepala singa, berkuku tajam seperti pedang,
dan memiliki banyak tangan yang memegang senjata. Narasinga merupakan simbol dewa pelindung yang melindungi setiap pemuja Wisnu
jika terancam bahaya.
Menurut
kitab Purana, pada menjelang akhir
zaman Satyayuga (zaman kebenaran), seorang
raja asura Hiranyakasipu membenci segala
sesuatu yang berhubungan dengan Wisnu, dan dia tidak senang apabila di
kerajaannya ada orang yang memuja Wisnu. Sebab bertahun-tahun yang lalu,
adiknya yang bernama Hiranyaksa dibunuh oleh Waraha, awatara Wisnu.
Agar
menjadi sakti, ia melakukan tapa yang sangat berat, dan hanya memusatkan
pikirannya pada Dewa Brahma. Setelah Brahma
berkenan untuk muncul dan menanyakan permohonannya, Hiranyakasipu meminta agar
ia diberi kehidupan abadi, tak akan bisa mati dan tak akan bisa dibunuh. Namun
Dewa Brahma menolak, dan menyuruhnya untuk meminta permohonan lain. Akhirnya
Hiranyakashipu meminta, bahwa ia tidak akan bisa dibunuh oleh manusia, hewan
ataupun dewa, tidak bisa dibunuh pada saat
pagi, siang ataupun malam, tidak bisa dibunuh di darat, air, api, ataupun
udara, tidak bisa dibunuh di dalam ataupun di luar rumah, dan tidak bisa
dibunuh oleh segala macam senjata. Mendengar permohonan tersebut, Dewa Brahma
mengabulkannya.
Sementara
ia meninggalkan rumahnya untuk memohon berkah, para dewa
yang dipimpin oleh Dewa Indra, menyerbu
rumahnya. Narada datang untuk menyelamatkan
istri Hiranyakasipu yang tak berdosa, bernama Lilawati. Saat Lilawati meninggalkan rumah, anaknya
lahir dan diberi nama Prahlada. Anak itu
dididik oleh Narada untuk menjadi anak yang
budiman, menyuruhnya menjadi pemuja Wisnu, dan
menjauhkan diri dari sifat-sifat keraksasaan ayahnya.
Mengetahui
para dewa melindungi istrinya, Hiranyakasipu menjadi sangat marah. Ia semakin
membenci Dewa Wisnu, dan anaknya sendiri, Prahlada yang kini menjadi pemuja Wisnu. Namun, setiap kali ia membunuh putranya, ia
selalu tak pernah berhasil karena dihalangi oleh kekuatan gaib yang merupakan
perlindungan dari Dewa Wisnu. Ia kesal karena selalu gagal oleh kekuatan Dewa
Wisnu, namun ia tidak mampu menyaksikan Dewa Wisnu
yang melindungi Prahlada secara langsung. Ia menantang Prahlada untuk
menunjukkan Dewa Wisnu. Prahlada menjawab, "Ia ada dimana-mana, Ia ada di
sini, dan Ia akan muncul".
Mendengar
jawaban itu, ayahnya sangat marah, mengamuk dan menghancurkan pilar rumahnya.
Tiba-tiba terdengar suara yang menggemparkan. Pada saat itulah Dewa Wisnu
sebagai Narasinga muncul dari pilar yang dihancurkan Hiranyakasipu. Narasinga
datang untuk menyelamatkan Prahlada dari
amukan ayahnya, sekaligus membunuh Hiranyakasipu.
Namun, atas anugerah dari Brahma, Hiranyakasipu tidak bisa mati apabila tidak
dibunuh pada waktu, tempat dan kondisi yang tepat. Agar berkah dari Dewa Brahma
tidak berlaku, ia memilih wujud sebagai manusia berkepala singa untuk membunuh
Hiranyakasipu. Ia juga memilih waktu dan tempat yang tepat. Akhirnya, berkah
dari Dewa Brahma tidak berlaku. Narasinga
berhasil merobek-robek perut Hiranyakasipu.
Akhirnya Hiranyakasipu berhasil dibunuh oleh Narasinga, karena ia dibunuh bukan
oleh manusia, binatang, atau dewa. Ia dibunuh
bukan pada saat pagi, siang, atau malam, tapi senja hari. Ia dibunuh bukan di
luar atau di dalam rumah. Ia dibunuh bukan di darat, air, api, atau udara, tapi
di pangkuan Narasinga. Ia dibunuh bukan dengan senjata, melainkan dengan kuku.
Narasinga
memberi contoh bahwa Tuhan itu ada dimana-mana. Rasa bakti yang tulus dari
Prahlada menunjukkan bahwa sikap seseorang bukan ditentukan dari golongannya,
ataupun bukan karena berasal dari keturunan yang jelek, melainkan dari
sifatnya. Meskipun Prahlada seorang keturunan Asura, namun ia juga seorang
penyembah Wisnu yang taat.
Membunuh
Hiranyakasipu dengan mengambil wujud sebagai Narasinga merupakan salah satu
cara menghukum yang paling sadis dari Dewa Wisnu. Di India, Narasinga sangat
terkenal. Dalam festival tradisional India, kisah ini berhubungan dengan
perayaan Holi, salah satu perayaan terpenting di India. Dari sinilah Narasimha
menjadi terkenal. Di India Selatan, Narasinga sering dituangkan ke dalam bentuk
seni pahatan dan lukisan. Narasinga merupakan awatara yang paling terkenal
setelah Rama dan Kresna.
5. Wamana Avatar
|
Wamana
adalah awatara Wisnu
yang kelima, turun pada masa Tretayuga, sebagai
putra Aditi dan Kasyapa,
seorang Brahmana. Ia (Wisnu)
turun ke dunia guna menegakkan kebenaran dan memberi pelajaran kepada raja Bali (Mahabali),
seorang Asura, cucu dari Prahlada. Raja Bali telah merebut surga dari
kekuasaan Dewa Indra, karena itu Wisnu turun
tangan dan menjelma ke dunia, memberi hukuman pada Raja Bali. Wamana awatara dilukiskan sebagai Brahmana dengan raga anak
kecil yang membawa payung. Wamana Awatara merupakan penjelmaan pertama Dewa
Wisnu yang mengambil bentuk manusia lengkap, meskipun berwujud Brahmana mungil. Wamana kadang-kadang dikenal juga
dengan sebutan "Upendra."
Kisah
Wamana Awatara dimuat dalam kitab Bhagawatapurana.
Menurut cerita dalam kitab, Wamana sebagai Brahmana cilik datang ke istana Raja
Bali karena pada saat itu Raja Bali mengundang
seluruh Brahmana untuk diberikan hadiah. Ia
sudah dinasehati oleh Sukracarya agar tidak
memberikan hadiah apapun kepada Brahmana yang
aneh dan lain daripada biasanya. Pada waktu pemberian hadiah, seorang Brahmana
kecil muncul di antara Brahmana-Brahmana yang sudah tua-tua. Brahmana tersebut juga
akan diberi hadiah oleh Bali.
Brahmana
kecil itu meminta tanah seluas tiga jengkal yang diukur dengan langkah kakinya.
Raja Bali begitu takabur dan melupakan nasehat dari Sukracarya.
Lalu Raja Bali menyuruh Brahmana kecil itu
untuk melangkah.
Pada
waktu itu juga, Brahmana tersebut membesar dan
terus membesar. Dengan ukurannya yang sangat besar, ia mampu melangkah di surga
dan bumi sekaligus (Bhur, Bwah, Swah). Pada langkah yang pertama, ia menginjak
surga. Pada langkah yang kedua, ia menginjak bumi. Pada langkah yang ketiga,
karena tidak ada lahan untuknya berpijak, maka Bali menyerahkan kepalanya.
Sejak itu, tamatlah kekuasaan Bali. Karena terkesan dengan kedermawanan Bali,
Wamana memberinya gelar Mahabali. Ia juga berjanji bahwa kelak Bali akan
menjadi Indra pada Manwantara
berikutnya.
6. Parasurama Avatar
Parasurama
adalah nama seorang tokoh Ciranjiwin dalam
ajaran agama Hindu. Secara harfiah, nama Parashurama bermakna "Rama
yang bersenjata kapak". Nama lainnya adalah Bhargawa yang bermakna
"keturunan Maharesi Bregu". Ia
sendiri dikenal sebagai awatara Wisnu yang keenam dan hidup pada zaman Tretayuga. Pada zaman ini banyak kaum kesatria yang berperang satu sama lain sehingga
menyebabkan kekacauan di dunia. Maka, Wisnu sebagai dewa
pemelihara alam semesta lahir ke dunia sebagai
seorang brahmana berwujud angker, yaitu Rama
putra Jamadagni, untuk menumpas para kesatria tersebut.
Parasurama
merupakan putra bungsu Jamadagni, seorang resi keturunan Bregu.
Itulah sebabnya ia pun terkenal dengan julukan Bhargawa. Sewaktu lahir
Jamadagni memberi nama putranya itu Rama. Setelah dewasa, Rama pun
terkenal dengan julukan Parasurama karena selalu membawa kapak sebagai
senjatanya. Selain itu, Parasurama juga memiliki senjata lain berupa busur
panah yang besar luar biasa.
Sewaktu
muda Parasuama pernah membunuh ibunya sendiri, yang bernama Renuka. Hal itu
disebabkan karena kesalahan Renuka dalam melayani kebutuhan Jamadagni sehingga
menyebabkan suaminya itu marah. Jamadagni kemudian memerintahkan putra-putranya
supaya membunuh ibu mereka tersebut. Ia menjanjikan akan mengabulkan apa pun
permintaan mereka. Meskipun demikian, sebagai seorang anak, putra-putra
Jamadagni, kecuali Parasurama, tidak ada yang bersedia melakukannya. Jamadagni
semakin marah dan mengutuk mereka menjadi batu.
Parasurama
sebagai putra termuda dan paling cerdas ternyata bersedia membunuh ibunya
sendiri. Setelah kematian Renuka, ia pun mengajukan permintaan sesuai janji
Jamadagni. Permintaan tersebut antara lain, Jamadagni harus menghidupkan dan
menerima Renuka kembali, serta mengembalikan keempat kakaknya ke wujud manusia.
Jamadagni pun merasa bangga dan memenuhi semua permintaan Parasurama.
Pada
zaman kehidupan Parasurama, ketenteraman dunia dikacaukan oleh ulah kaum kesatria yang gemar berperang satu sama lain.
Parasurama pun bangkit menumpas mereka, yang seharusnya berperan sebagai
pelindung kaum lemah. Tidak terhitung banyaknya kesatria, baik itu raja ataupun
pangeran, yang tewas terkena kapak dan panah milik Rama putra Jamadagni.
Konon
Parasurama bertekad untuk menumpas habis seluruh kesatria dari muka bumi. Ia
bahkan dikisahkan telah mengelilingi dunia sampai tiga kali. Setelah merasa
cukup, Parasurama pun mengadakan upacara pengorbanan suci di suatu tempat
bernama Samantapancaka. Kelak pada zaman berikutnya, tempat tersebut terkenal
dengan nama Kurukshetra dan dianggap sebagai
tanah suci yang menjadi ajang perang saudara
besar-besaran antara keluarga Pandawa
dan Korawa.
Penyebab
khusus mengapa Parasurama bertekad menumpas habis kaum kesatria adalah karena
perbuatan raja Kerajaan Hehaya bernama Kartawirya Arjuna yang telah merampas sapi milik
Jamadagni. Parasurama marah dan membunuh raja tersebut. Namun pada kesempatan
berikutnya, anak-anak Kartawirya Arjuna membalas dendam dengan cara membunuh
Jamadagni. Kematian Jamadagni inilah yang menambah besar rasa benci Parasurama
kepada seluruh golongan kesatria.
Meskipun
jumlah kesatria yang mati dibunuh Parasurama tidak terhitung banyaknya, namun
tetap saja masih ada yang tersisa hidup. Antara lain dari Wangsa Surya yang berkuasa di Ayodhya, Kerajaan Kosala.
Salah seorang keturunan wangsa tersebut adalah Sri
Rama putra Dasarata. Pada suatu hari ia
berhasil memenangkan sayembara di Kerajaan Mithila
untuk memperebutkan Sita putri negeri
tersebut. Sayembara yang digelar ialah yaitu membentangkan busur pusaka
pemberian Siwa. Dari sekian banyak pelamar
hanya Sri Rama yang mampu mengangkat, bahkan mematahkan busur tersebut.
Suara
gemuruh akibat patahnya busur Siwa sampai terdengar oleh Parasurama di
pertapaannya. Ia pun mendatangi istana Mithila untuk menantang Rama yang
dianggapnya telah berbuat lancang. Sri Rama dengan lembut hati berhasil
meredakan kemarahan Parasurama yang kemudian kembali pulang ke pertapaannya.
Ini merupakan peristiwa bertemunya sesama awatara
Wisnu, karena saat itu Wisnu telah menjelma kembali Ciranjiwin, ia hidup abadi sebagai
Rama sedangkan Parasurama sendiri masih hidup. Peran Parasurama sebagai awatara
Wisnu saat itu telah berakhir.
Pada
zaman Dwaparayuga Wisnu terlahir kembali
sebagai Kresna putra Basudewa.
Pada zaman tersebut Parasurama menjadi guru sepupu Kresna yang bernama Karna yang menyamar sebagai anak seorang brahmana. Setelah mengajarkan berbagai ilmu
kesaktian, barulah Parasurama mengetahui kalau Karna berasal dari kaum
kesatria. Ia pun mengutuk Karna akan lupa terhadap semua ilmu kesaktian yang
pernah dipelajarinya pada saat pertempuran terakhirnya. Kutukan tersebut
menjadi kenyataan ketika Karna berhadapan dengan adiknya sendiri, yang bernama Arjuna, dalam perang di
Kurukshetra.
Parasurama
diyakini masih hidup pada zaman sekarang. Konon saat ini ia sedang bertapa
mengasingkan diri di puncak gunung, atau di dalam hutan belantara.
7. Rama Avatar
Rama
atau Ramacandra adalah seorang raja legendaris yang terkenal dari India yang konon hidup pada zaman Tretayuga, keturunan Dinasti
Surya atau Suryawangsa. Ia berasal dari
Kerajaan Kosala yang beribukota Ayodhya. Menurut pandangan Hindu,
ia merupakan awatara Dewa Wisnu yang ketujuh yang turun ke bumi pada zaman Tretayuga. Sosok dan kisah kepahlawanannya yang
terkenal dituturkan dalam sebuah sastra Hindu Kuno
yang disebut Ramayana, tersebar dari Asia Selatan sampai Asia
Tenggara. Terlahir sebagai putera sulung dari pasangan Raja Dasarata dengan Kosalya,
ia dipandang sebagai Maryada Purushottama, yang artinya "Manusia
Sempurna". Setelah dewasa, Rama memenangkan sayembara
dan beristerikan Dewi Sita, inkarnasi dari
Dewi Laksmi. Rama memiliki anak kembar, yaitu Kusa dan Lawa.
Dalam
wiracarita Ramayana
diceritakan bahwa sebelum Rama lahir, seorang raja raksasa
bernama Rahwana telah meneror Triloka (tiga
dunia) sehingga membuat para dewa merasa cemas. Atas hal tersebut, Dewi bumi menghadap Brahma
agar beliau bersedia menyelamatkan alam beserta isinya. Para dewa juga mengeluh kepada Brahma,
yang telah memberikan anugerah kepada Rahwana sehingga raksasa tersebut menjadi
takabur. Setelah para dewa bersidang, mereka memohon agar Wisnu bersedia menjelma kembali ke dunia untuk
menegakkan dharma serta menyelamatkan
orang-orang saleh. Dewa Wisnu menyatakan bahwa ia bersedia melakukannya. Ia
berjanji akan turun ke dunia sebagai Rama, putera raja Dasarata
dari Ayodhya. Dalam penjelmaannya ke dunia,
Wisnu ditemani oleh Naga Sesa yang akan
mengambil peran sebagai Laksmana, serta Laksmi yang akan mengambil peran sebagai Sita.
8. Kresna Avatar
Kresna
adalah salah satu dewa yang dipuja oleh umat Hindu,
berwujud pria berkulit gelap atau biru tua, memakai dhoti
kuning dan mahkota yang dihiasi bulu merak. Dalam seni lukis
dan arca, umumnya ia digambarkan sedang
bermain seruling sambil berdiri dengan kaki yang ditekuk ke samping. Legenda
Hindu dalam kitab Purana dan Mahabharata menyatakan bahwa ia adalah putra
kedelapan Basudewa dan Dewaki dari kerajaan Surasena,
kerajaan mitologis di India Utara. Secara
umum, ia dipuja sebagai awatara (inkarnasi) Dewa Wisnu
kedelapan di antara sepuluh awatara Wisnu.
Dalam beberapa sekte Hindu, misalnya Gaudiya Waisnawa,
ia dianggap sebagai manifestasi dari kebenaran mutlak, atau perwujudan Tuhan
itu sendiri, dan dalam tafsiran kitab-kitab yang mengatasnamakan Wisnu atau Kresna, misalnya Bhagawatapurana, ia dimuliakan sebagai
Kepribadian Tuhan Yang Maha Esa. Dalam Bhagawatapurana, ia digambarkan
sebagai sosok penggembala muda yang mahir
bermain seruling, sedangkan dalam wiracarita Mahabharata
ia dikenal sebagai sosok pemimpin yang bijaksana, sakti, dan berwibawa. Selain
itu ia dikenal pula sebagai tokoh yang memberikan ajaran filosofis, dan umat
Hindu meyakini Bhagawadgita sebagai
kitab yang memuat kotbah Kresna kepada Arjuna tentang ilmu rohani.
9. Gautama Buddha Avatar
Budha
adalah perwujudan Awatara Wisnu yang kesembilan dan di antara perwujudan
awatara Wisnu awatara Budha adalah yang sempurna di mana umat manusia diajarkan
tentang dharma dan kebahagiaan yang mutlak.Di jaman kerajaan Kapilavastu dengan
rajanya Suddhodana dan ratunya Mahamaya. Di mana sang ratu kemudian melahirkan
seorang bayi laki-laki yang tampan yang mereka beri nama Siddhartha, akan
tetapi sungguhlah sayang tujuh hari kemudian, sang ratu Mahamaya meninggal
dunia.
Seorang
Rsi bijaksana/penasehat raja pada saat itu yang bernama Kala Devala memberi
tahu sang raja bahwa ketika pangeran Siddhartha beranjak dewasa ia akan melihat
hal-hal yang akan membuatnya sedih dan pergi menuju hutan. Mendengar hal itu
raja tidak memperbolehkan Siddhartha untuk pergi melewati gerbang istana.
Siddhartha merupakan anak pintar, berbahagia dan juga amat penyayang serta lembut. Pada suatu hari Siddhartha dan sepupunya Devadatta sedang berjalan-jalan. Devadatta tiba-tiba melihat seekor angsa dan memanahnya sehingga angsa tersebut terjatuh. Siddhartha amat terkejut melihat burung yang terluka tersebut, Devadatta bersikeras untuk memiliki burung angsa tersebut karena ia yang memanahnya. Akan tetapi Siddharta mengatakan itu adalah miliknya. Akhirnya mereka pergi ke Rsi Kala Devala sang penasehat raja di mana kemudian Rsi itu mengatakan angsa tersebut menjadi milik orang yang menyelamatkannya bukan orang yang berusaha membunuhnya.
Siddhartha tumbuh dewasa dan menjadi seorang pria muda. Raja Suddhodana menikahkannya dengan seorang putri cantik yang bernama Yashodhara. Raja berharap agar Siddhartha tidak akan pernah meninggalkan istana. Tapi Siddhartha tidak merasa bahagia di dalam istana. Ia memerintahkan pelayannya yang setia Channa untuk menemaninya berjalan-jalan keluar istana. Dalam perjalanannya Siddhartha melihat orang yang sudah tua yang bungkuk dimana Siddhartha tidak pernah melihatnya di dalam istana. Melihat orang yang sedang sakit keras dan melihat orang meninggal. Siddartha menyadari bahwa ayahnya mengungkungnya di dalam istana, untuk melindunginya agar ia tidak melihat hal-hal semacam itu.
Siddhartha merupakan anak pintar, berbahagia dan juga amat penyayang serta lembut. Pada suatu hari Siddhartha dan sepupunya Devadatta sedang berjalan-jalan. Devadatta tiba-tiba melihat seekor angsa dan memanahnya sehingga angsa tersebut terjatuh. Siddhartha amat terkejut melihat burung yang terluka tersebut, Devadatta bersikeras untuk memiliki burung angsa tersebut karena ia yang memanahnya. Akan tetapi Siddharta mengatakan itu adalah miliknya. Akhirnya mereka pergi ke Rsi Kala Devala sang penasehat raja di mana kemudian Rsi itu mengatakan angsa tersebut menjadi milik orang yang menyelamatkannya bukan orang yang berusaha membunuhnya.
Siddhartha tumbuh dewasa dan menjadi seorang pria muda. Raja Suddhodana menikahkannya dengan seorang putri cantik yang bernama Yashodhara. Raja berharap agar Siddhartha tidak akan pernah meninggalkan istana. Tapi Siddhartha tidak merasa bahagia di dalam istana. Ia memerintahkan pelayannya yang setia Channa untuk menemaninya berjalan-jalan keluar istana. Dalam perjalanannya Siddhartha melihat orang yang sudah tua yang bungkuk dimana Siddhartha tidak pernah melihatnya di dalam istana. Melihat orang yang sedang sakit keras dan melihat orang meninggal. Siddartha menyadari bahwa ayahnya mengungkungnya di dalam istana, untuk melindunginya agar ia tidak melihat hal-hal semacam itu.
Siddartha
keluar lagi dan kali ini ia melihat seorang pria dengan kepala gundul. Ia
bertanya pada pelayannya dan pelayannya berkata itu adalah seorang bijak yang
meninggalkan segalanya serta pergi ke hutan untuk mencari kebahagiaan.
Pada
suatu kesempatan Siddharta berpikir untuk meninggalkan Istana dan mencari
kebahagiaan. Akhirnya pada suatu malam, ketika istri dan anaknya Rahula sedang
tertidur, Siddartha bersama pelayannya yang setia Channa dengan diam-diam pergi
meninggalkan istana. Mereka menyeberangi sungai Anoma, disana Siddartha
melepaskan jubah kerajaanya dan memberikannya kepada Channa untuk
mengembalikannya ke istana. Kemudian Siddartha menggunakan jubah oranye serta
memotong rambut panjangnya. Siddartha pergi menemui satu guru ke guru yang lain
menanyakan; Apakah Anda tahu jalan untuk mencapai kebahagian?
Tapi
tidak ada seorang pun bisa memberitahunya. Akhirnya ia duduk di bawah pohon
Bodhi dan berusaha menemukan jawabannya sendiri. Beberapa hari kemudian ia
menjadi seorang yang bijak dan orang-orang menyebutnya Gautama Budha. Budha
mencintai seluruh binatang dan memperlakukan mereka dengan penuh kasih sayang.
Pada suatu hari Dewa Siwa menguji Sang Budha karena Siwa tahu Awatara ini yang akan membawa umat dunia untuk mencari jalan kebahagian karena mempunyai jiwa kasih sayang terhadap semua makhluk.
Pada suatu hari Dewa Siwa menguji Sang Budha karena Siwa tahu Awatara ini yang akan membawa umat dunia untuk mencari jalan kebahagian karena mempunyai jiwa kasih sayang terhadap semua makhluk.
Dewa
Siwa mengirim binatang buas yaitu gajah liar dan harimau liar nan ganas. Tetapi
yang terjadi pada binatang-binatang tersebut setelah melihat cahaya kasih
sayang yang dipancarkan oleh Sang Budha binatang-binatang tersebut langsung
tunduk hormat dan bersimpuh di bawah kaki Sang Budha. Akhirnya Sang Budha
mempunyai pengikut yang sangat banyak dan pengikutnya tinggal di dalam sebuah
grup yang di sebut Sangha.
Sang
Budha mengajarkan bahwa seseorang bisa mendapatkan kebahagiaan dengan merasa
puas akan apa yang dimilikinya dan menunjukkan kasih sayang pada semua mahluk.
Pada akhirnya di sebuah tempat yang bernama Kusinara, Sang Budha berbaring di
bawah pohon Sala dan menghembuskan nafasnya yang terakhir.
Maka sesuai petunjuk dari Sakyamuni yang diperoleh oleh Ida Mpu Kuturan, Sang Budha Gautama akan bereinkarnasi kembali karena di jaman Kali Sang Budha akan berkhotbah kembali sebagai Awatara yang terakhir agar dunia ini bisa tentram dan damai. Dengan alasan tersebut Sang Budha tidak moksha atau kembali ke Nirwana di jaman itu karena Sang Budha akan bereinkarnasi kembali dengan Awataranya yang terakhir yaitu Kalki Awatara.
Maka sesuai petunjuk dari Sakyamuni yang diperoleh oleh Ida Mpu Kuturan, Sang Budha Gautama akan bereinkarnasi kembali karena di jaman Kali Sang Budha akan berkhotbah kembali sebagai Awatara yang terakhir agar dunia ini bisa tentram dan damai. Dengan alasan tersebut Sang Budha tidak moksha atau kembali ke Nirwana di jaman itu karena Sang Budha akan bereinkarnasi kembali dengan Awataranya yang terakhir yaitu Kalki Awatara.
10. Kalki Avatar
Kalki
(juga disalin sebagai Kalkin dan Kalaki) adalah awatara kesepuluh dan awatara (inkarnasi) terakhir Dewa Wisnu Sang pemelihara, yang akan datang pada akhir zaman Kaliyuga (zaman kegelapan dan kehancuran).
Kata
Kalki seringkali merupakan suatu kiasan dari “keabadian” atau “masa”.
Asal mula nama tersebut diperkirakan berasal dari kata Kalka yang
bermakna “kotor”, “busuk”, atau “jahat” dan oleh karena itu "Kalki"
berarti “Penghancur kejahatan”, “Penghancur kekacauan”, "Penghancur
kegelapan", atau “Sang Pembasmi Kebodohan”. Dalam bahasa
Hindi, kalki avatar berarti “inkarnasi hari esok”.
Berbagai
tradisi memiliki berbagai kepercayaan dan pemikiran mengenai kapan, bagaimana,
di mana, dan mengapa Kalki Awatara muncul. Penggambaran yang umum mengenai
Kalki Awatara yaitu beliau adalah Awatara yang mengendarai kuda putih (beberapa
sumber mengatakan nama kudanya “Devadatta” (anugerah Dewa) dan
dilukiskan sebagai kuda bersayap). Kalki memiliki pedang berkilat yang
digunakan untuk memusnahkan kejahatan dan menghancurkan iblis Kali, kemudian menegakkan kembali Dharma dan memulai zaman yang baru.
Salah
satu sumber yang pertama kali menyebutkan istilah Kalki adalah Wisnu Purana, yang diduga muncul setelah masa
Kerajaan Gupta sekitar abad ke-7 sebelum Masehi. Wisnu adalah Dewa pemelihara dan pelindung,
salah satu bagian Trimurti, dan merupakan
penengah yang mempertimbangkan penciptaan dan kehancuran sesuatu. Kalki juga
muncul di salah satu dari 18 kitab Purana yang
utama, Agni Purana. Kitab purana yang memuat
khusus tentang Kalki adalah Kalki Purana. Di
sana dibahas kapan, dimana, bagaimana, dan mengapa Kalki muncul.
Membuka Wawasan Pikiran Kita
Beberapa
orang meyakini bahwa filsafat Dasa Awatara menunjukkan perkembangan kehidupan
dan peradaban manusia di muka bumi. Setiap Awatara merupakan lambang dari
setiap perkembangan zaman yang terjadi. Matsya
Awatara merupakan lambang bahwa kehidupan pertama terjadi di air. Kurma Awatara menunjukkan perkembangan selanjutnya,
yakni munculnya hewan amphibi. Waraha Awatara
melambangkan kehidupan selanjutnya terjadi di darat. Narasimha
Awatara melambangkan dimulainya evolusi mamalia. Wamana Awatara melambangkan perkembangan makhluk yang disebut
manusia namun belum sempurna. Parashurama Awatara,
pertapa bersenjata kapak, melambangkan perkembangan manusia di tingkat yang
sempurna. Rama Awatara melambangkan peradaban
manusia untuk memulai pemerintahan. Krishna Awatara,
yang mahir dalam enam puluh empat bidang pengetahuan dan kesenian melambangkan
kecakapan manusia di bidang kebudayaan dan memajukan peradaban. Balarama Awatara, Kakak Kresna yang bersenjata alat
pembajak sawah, melambangkan peradaban dalam bidang pertanian. Buddha Awatara, yang mendapatkan pencerahan,
melambangkan kemajuan sosial manusia.
Awatara
yang turun ke dunia juga memiliki makna-makna menurut zamannya: masa para Raja
meraih kejayaan dengan pemerintahan Rama Awatara pada masa Treta Yuga, dan keadilan sosial dan Dharma
dilindungi oleh Sri Kresna pada masa Dwapara Yuga.
Makna dari turunnya para Awatara selama masa Satya
Yuga menuju Kali Yuga juga menunjukkan
evolusi makhluk hidup dan perkembangan peradaban manusia.
Awatara-awatara
dalam daftar di atas merupakan inkarnasi Wisnu,
yang mana dalam suatu filsafat merupakan lambang dari takaran dari nilai-nilai
kemasyarakatan. Istri Dewa Wisnu bernama Laksmi,
Dewi kemakmuran. Kemakmuran dihasilkan oleh masyarakat, dan diusahakan agar
terus berjalan seimbang. Hal tersebut dilambangkan dengan Dewi Laksmi yang
berada di kaki Dewa Wisnu. Dewi Laksmi sangat setia terhadapnya.
Filsafat
Catur Yuga yang merupakan masa-masa yang
menjadi latar belakang turunnya suatu Awatara dideskripsikan sebagai berikut:
- Satya Yuga, dilambangkan dengan seseorang membawa sebuah kendi
(kamandalu)
- Treta Yuga, dilambangkan dengan seseorang yang membawa sapi dan sauh
- Dwapara Yuga, dilambangkan
dengan seseorang membawa busur panah dan kapak
- Kali Yuga,
dilambangkan dengan seseorang yang sangat jelek, telanjang, dan melakukan
tindakan yang tidak senonoh.
Jika
deskripsi di atas diamati dengan seksama, maka masing-masing zaman memiliki
makna tersendiri yang mewakili perkembangan peradaban masyarakat manusia. Pada
masa pertama, Satya Yuga, ada peradaban mengenai tembikar, bahasa, ritual
(yajña), dan sebagainya. Pada masa yang kedua, Treta Yuga, manusia memiliki
kebudayaan bertani, bercocok tanam dan beternak. Pada masa yang ketiga, manusia
memiliki peradaban untuk membuat senjata karena bidang pertanian dan kemakmuran
perlu dijaga. Yuga yang terakhir merupakan puncak dari kekacauan, dan akhir
dari peradaban manusia.
Langganan:
Postingan (Atom)