Galungan adalah hari raya besar keagamaan yang hingga kini masih dirayakan umat Hindu di Bali. Perayaan yang jatuh setiap Buda Kliwon wuku Dungulan ini merupakan peringatan terhadap menangnya dharma atas adharma. Dharma adalah suatu istilah dalam Hindu, jika diterjemahkan secara gampang ia bermakna kebenaran. Sebaliknya adharma adalah kebalikan dari dharma, yaitu aspek ketidakbenaran atau kejahatan.
Hari raya ini berpedoman kepada kitab Usana Bali yang ada memuat cerita Maya Danawa, seorang raja di Bedahulu yang konon atheis, melarang rakyatnya menyembah Tuhan. Paling tidak, demikian kitab Usana Bali menyebutkan, Raja Maya Danawa ini pula selanjutnya diidentikkan sebagai pihak yang mewakili tokoh adharma di masa silam, sedangkan tokoh dharma-nya adalah Dewa Indra. Beginilah kehebatan cerita yang berkisah tentang terjadinya peperangan antara manusia (Maya Danawa) melawan Dewa (Dewa Indra, Hyang Pasupati dan Dewa Mahadewa).
Namun, bagi Drs. Made Dhama, MBA.MM, cerita Maya Danawa itu tak lebih dari cerita rekayasa penguasa masa silam yang berkaitan dengan persaingan antar sekte di Bali. ”Cerita Maya Danawa yang diwarisi masyarakat Bali sekarang ini tak lebih dari muslihat pembelaan golongan dan penistaan golongan kepercayaan lain,” katanya. Guru Made Dama, demikian ia akrab disapa, menduga sangat mungkin cerita ini disusun pada zaman raja Dalem Waturenggong di Gelgel. Entah siapa yang mengarang cerita yang melegenda ini, yang pasti penyusunnya tentulah pengikut sekte Saiwa dan pemuja Indra.
Maya Danawa sejatinya bukanlah suatu figur yang nyata, namun ia lebih merupakan mahluk ilusi yang dihakimi oleh penulis cerita dalam pikirannya. Maya Danawa lebih menunjuk kepada suatu kata sandi, yaitu Maya-Danu dan Wa. Maya berarti hilang, Danu artinya air, dan Wa berarti pengikut. Jadi Maya Danawa memuat arti rahasia tentang lenyapnya pengikut Dewa Air (Wisnu) di Bali. Sebaliknya pengikut Saiwa mengesahkan kemenangan hegemoninya dalam cerita tersebut, terbukti dengan suksesnya Dewa Mahadewa dan Dewa Indra menumpas Raja Maya Danawa. Dengan demikian, sesuatu yang disembunyikan di balik cerita ini adalah persaingan sengit faham Siwa Sidhanta dan Waisnawa di Bali.
Perseteruan faham ini nampaknya kian memuncak di zaman Gelgel, kerajaan yang berdaulat penuh atas Pulau Bali saat itu. Faham Waisnawa yang lebih mengedepankan aspek Jnana Yoga dan meminimalkan ritual-ritual meriah rupanya telah menjadi ancaman yang merongrong eksistensi keberadaan faham Siwa Sidhanta zaman itu. Faham Waisnawa lebih sibuk dengan pendalaman tattwa, mengedepankan jalan bhakti dengan yoga kemudian dikritik habis-habisan oleh pengikut faham Saiwa. Penyembah Dewa Air (Danu) ini kemudian dihakimi sebagai orang-orang atheis, karena dianggap telah ‘berdosa’ oleh pihak lain, karena sedikit melakukan upacara-upacara, tidak seperti yang biasa dilakukan oleh para pengikut Saiwa.
Dalam Bhuwana Tattwa Rsi Markandeya yang disusun Ketut Ginarsa ada disebutkan, bahwa pada zaman Raja Waturenggong terjadi sebuah intrik asmara antara putri Dalem yang dilahirkan dari istri penawing (selir) dengan Ida Bhujangga Guru, seorang guru spiritual puri dari Waisnawa. Sebenarnya Dalem Waturenggong memiliki empat keturunan: tiga putra dan seorang putri. Mereka itu adalah :
I Dewa Pamayun,
I Dewa Ayu Laksemi,
I Dewa Sagening dan
I Dewa Ularan.
I Dewa Ayu Laksemi dan I Dewa Ularan adalah putra dari selir.
I Dewa Pamayun dan I Dewa Saganing berguru kepada Brahmana Siwa,
I Dewa Ayu Laksemi berguru kepada Brahmana Bhoda dan
I Dewa Ularan berguru kepada Sang Bhujangga Waisnawa.
Entah berapa lama mereka aguron-guron, hingga usia remaja Dewa Ayu Laksemi memekarkan musim asmaranya. Celakanya ia jatuh cinta pada Sang Bhujangga Waisnawa, dan sang guru ini juga mempunyai perasaan yang sama terhadapnya. Jadilah hubungan asmara itu terjadi, hingga membuat Brahmana Siwa dan Bodha marah. Demikian juga Dalem Waturenggong tak kepalang murkanya, serta merta bersiap mengambil senjata pusaka untuk membunuh sang Bhujangga. Sayang, rencana sang raja gagal, karena Sang Bhujangga telah membaca gelagat buruk itu. Jejaknya tak dijumpai lagi di Klungkung, dan ia mengungsi ke Gunung Sari yang kemudian menikahi Dewa Ayu laksemi.
Sejak intrik asmara yang merembet ke intrik politik ini terjadi, golongan Bhujangga tidak mendapat posisi istimewa lagi di Gelgel. Tidak cukup sampai di situ, kemudian kuat dugaan para rakawi lantas membuat suatu kisah yang menceritakan lenyapnya pengikut pemuja Dewa Air di Bali.
Cerita rekayasa sia-sia belaka, sebab sejak Mpu Kuturan meletakkan gagasan Desa Pakraman dengan khas Kahyangan Tiga, maka praktik Tri Murti Paksa kian kuat di Bali. Tiadalah mungkin lagi mendirikan dominasi satu sekte secara formal di atas sekte-sekte lain. Kecuali dalam ranah budaya yang saling campur-baur, akan nampaklah jejak-jejak warna praktik masing-masing sekte, itu pun tidak dalam wujudnya yang utuh lagi.
Kentalnya pesan-pesan faham Siwa dan Sakti dalam Usana Bali juga terdapat pada bagian setelah cerita Maya Danawa.
Dikisahkan ada seorang penguasa Bali lahir yang bernama Sri Aji Jaya Kasunu, namun awalnya tidak berminat menjadi raja. Ia selalu memuja dewata dan ketika tengah malam ia pergi ke Gandamayu melakukan semadi memuja Hyang Nini Batari (Dewi Durga). Seketika Dewi Durga datang dan bersabda, “Wahai Sri Jaya Kasunu, Aku memberitahukan engkau, ada pun yang menyebabkan setiap yang menjadi raja di Bali segera wafat, karena ia setiap Kala Tiga wuku Dungulan tidak melakukan upacara Abeyakala, tidak mematuhi tatakrama yang berlaku sejak zaman dulu kala, hal itu yang menyebabkan, setiap yang dinobatkan menjadi raja belum mencapai waktu dua tahun segera wafat, bersama rakyat di wilayah kekuasaannya meninggal dunia.
Karena para dewata menyebarkan wabah penyakit, oleh karena pura dan semua tempat suci dalam keadaan rusak, tidak seperti masa silam. Dan bila ananda berkeinginan untuk menjadi raja, maka anandalah yang patut memugar, memperbaiki pura tenpat suci untuk pemujaan, tunjukkan keteguhan sujud bhaktimu serta laksanakan yoga samadi, memuja para dewata. Lagi pula, apabila saat Kala Tiga wuku Dungulan yang jatuh pada hari Selasa Wage Dungulan , ananda patut melaksanakan upacara Abeyakala, yang diikuti bersama-sama oleh umat di Pulau Bali. Mereka agar bersenang-senang makan dan minum di wilayah desanya masing-masing dengan terlebih dahulu mempersembahkan sesajen di puranya masing-masing, serta menancapkan penjor di halaman depan rumahnya masing-masing, utamakanlah ananda mematuhi tata karma di masa silam.
Demikiaanlah diceritakan Sri Jaya Kasunu menerima anugerah dari Bhatari Durga, kemudian ia memerintah Bali dengan sentosa.
Titah Bhatari Durga itu kini dirayakan sebagai Penampahan Galungan, saat mana masyarakat mengadakan pesta makan dengan menyembelih babi atau hewan lain. Sekalian menancapkan penjor dan melangsungkan upacara Abyekala.
Sebagaimana diketahui, di masa silam di Bali terdapat banyak sekte: Saiwa, Ganapatya, Sora (Surya), Brahmana, Sakta, Pasupata, Waisnawa, dan lainnya. Kemudian setelah kedatangan Mpu Kuturan, semua sekte di Bali dilebur menjadi sistem pemujaan Tri Murti dengan ciri khas Kahyangan Tiga:
Pura Puseh sebagai tempat pemujaan Dewa Wisnu,
Pura Desa sebagai tempat memuja Dewa Brahma dan
Pura Dalem sebagai tempat memuja Dewa Siwa.
Kahyangan Tiga ini ada di setiap Desa Pakraman. Toh dalam bentuk pura atau tempat suci, tiga dewa utama itu yang disembah sebagai manifestasi Tuhan dalam fungsi sebagai pencipta, pemelihara dan perehabilitasi, namun dalam praktik ritual dan pemujaan berbagai figur ista dewata (dewa yang dimuliakan) masing-masing sekte semuanya dipuja. Sebutlah menyembah Dewa Surya dalam acara kramaning sembah atau Nyurya Sewana para sulinggih setiap pagi. Demikian juga Ganesha dipuja dalam upacara pecaruan sebagai dewa penghancur semua halangan. Tapi dalam ritual yang berwarna praktik tantrik rupanya yang dominan adalah pengaruh faham Sakti, utamanya Bhima Bhairawa. Sebutlah misalnya upacara persembahan dengan darah seperti dalam caru, penggunaan arak-berem dalam tetabuhan, makanan lawar yang bercampur darah mentah, tabuh rah (sabung ayam), mudra (gerakan tangan bermakna mistik), mantra rahasia dan lainnya. Dan dalam amanat Usana Bali, khususnya cerita Jaya Kasunu dengan tegas menyebutkan kalau perayaan Galungan bersumber dari Dewi Durga, ista dewata pemuja Sakti (Dewi).
Demikian juga adanya anjuran untuk bersenang-senang dengan makan dan minum pada hari Penampahan Galungan (Selasa Wage Dungulan) adalah bagian dari ajaran Panca Makara Bhairawa. Ini hanya memberi jalan terang, bahwa kitab Usana Bali yang sekaligus memuat cerita Maya Danawa adalah disusun oleh pengikut Siwa dan Sakti. Pemuja Sakti bukan mewakili faham Tri Murti Paksa yang digiatkan oleh Mpu Kuturan. Wajar kemudian cerita Maya Danawa menggunggulkan ista dewata tertentu saja, bukan Dewa Tri Murti.
Dalam pandangan Guru Made Dama, kisah Maya Danawa yang menyindir lenyapnya pengikut air (penyembah Wisnu) di Bali adalah hal yang mustahil, karena praktik Hindu tidak bisa lepas dari kebudayaan air, di mana pun berada. Di India misalnya, umat Hindu melakukan penyucian diri di sungai Gangga, sedangkan di Bali berbagai ritual memanfaatkan tirta (air suci) untuk melaksanakan upacara. Bahkan agama Hindu di Bali dulu disebut agama tirta, agama air. Inilah unifikasi, berbagai faham telah bersatu padu dalam berbagai praktik keagamaan, sehingga tidak masanya lagi mengedepankan hegemoni salah satu sekte saja.
Galungan sendiri menurut Made Dama adalah perang dharma dan adharma dalam diri manusia itu sendiri. Ia berkaitan dengan ajaran hukum karma. Jika selama enam bulan itu kecenderungan-kecenderungan baik lebih banyak dikembangkan, maka dharma-lah yang menang. Namun, jika selama enam bulan itu justru hal-hal buruk mendominasi kehidupan seseorang, jelas tak layak merayakan kemenangan dharma pada hari Galungan. ”Galungan adalah evaluasi karma selama enam bulan,” jelasnya, dan menambahkan tak ada hubungannya dengan cerita Maya Danawa.
Berbeda dengan ulasan Made Dama, di tempat terpisah Guru Besar Fakultas Sastra, Universitas Udayana, Prof. Dr. I Nyoman Weda Kusuma, MS menyatakan, Maya Danawa tidak bisa diuraikan menjadi maya-danu+wa. Karena berdasarkan etimologi dan tipologi kata, danawa itu adalah bahasa sanskerta kemudian diserap oleh bahasa Jawa Kuno. Danawa itu adalah kata tunggal yang berarti mahluk-mahluk gaib sejenis raksasa, daitya dan sejenisnya. Jadi menurut kaidah bahasa, mustahil kata danawa dipecah-pecah menjadi danu + wa, kecuali itu ulasan gaya bebondresan topeng.
Toh demikian, Weda Kusuma pun sependapat soal adanya misi politik keagamaan dalam mitologi Maya Danawa ini. ”Dengan mitologi ini kemudian muncul keyakinan, bahwa Galungan harus dirayakan. Berarti apa yang diinginkan pembuat mitologi ini berhasil mencapai targetnya,” sebutnya. Ia pun menegaskan, persetruan sekte yang telah disintesiskan Mpu Kuturan menjadi Tri Murti Paksa kenyataannya belum mengakhiri persaingan tersebut secara sempurna. ”Persaingan sekte itu terus berlanjut dengan mengambil saluran atau media baru, salah satunya lewat karya sastra,” jelas Weda Kusuma yang telah meneliti secara khusus kakawin Usana Bali yang bercerita tentang Maya Danawa.
Percaya atau tidaknya anda dengan pembuktian dari profesor-profesor diatas itu terserah anda ,tapi mitos hanyalah sekedar mitos.Entah itu mitos atau tidak asalkan mitos itu dapat mengajari kita arti dharma dalam agama hindu dan menjadi tuntunan umat kita hingga masih dalam jalan kebaikan sampai sekarang ,itu tidak masalah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar