Sabtu, 21 September 2013

Berpolitik ala Gandhi



Berpolitik ala Gandhi: Mahkota dari Kaum Miskin
Oleh I Gusti Agung Raka Santa (Bali Post, 21 September 2013)
GANDHI, politikus humanis-religius India yang mendunia, ketika meregang nyawa karena ditembak dengan pistol oleh Godse, warganya sendiri, 25 Januari 1948, sempat berujar: ''Jangan dihukum pembunuhku, karena sesungguhnya ia tidak tahu apa-apa''. Dalam konteks politik, kata-kata Gandhi selanjutnya, sebelum mengembuskan napas terakhirnya: ''Orang memandang aku sebagai yogi yang terjun ke dunia politik. Tapi sesungguhnya, aku adalah seorang politikus yang berkeinginan menjadi seorang yogi''. Berkat kata-kata bertuahnya inilah Gandhi kemudian dijuluki Sang Mahatma, ''ia yang berjiwa besar''.
Menjadikan politik sebagai ibadah berarti menjadikan seluruh kegiatan dan karya politik itu kita sebagai persembahan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, tanpa pernah menghitung hasilnya. Paling tidak, ada tiga kegunaan kalau kita menjadikan politik sebagai ibadah. Pertama, melalui kegiatan berpolitik, sekaligus menjadikan politik sebagai jalan hidup pribadi untuk mencapai kebahagiaan rohani, karena selalu merasa dekat dengan Tuhan. Kedua, secara sosial, seluruh kegiatan politik kita berdampak pada kemaslahatan orang banyak, terutama dalam rangka mencapai hidup yang rukun, damai, dan bahagia. Ketiga, langsung maupun tak langsung, kita telah mengembangkan keutamaan politik itu sendiri, yaitu, berpolitik sebagai salah satu jalan mulia untuk mencapai kehidupan yang bermartabat. Dengan menjadikan politik sebagai ibadah berarti kita mengembangkan demokrasi substansial, yakni kekuasaan dari, oleh, dan untuk rakyat dalam rangka mencapai kesejahteraan bersama.
Gandhi adalah teladan utama dalam melakoni politik sebagai ibadah. Semen pengunci etika politik sebagai ibadah didapatkan Gandhi melalui pengalaman ajaran filsafat kerja Hinduisme yang terkenal yakni Karmayoga. Secara harfiah karma berarti kerja pengabdian dan yoga berarti menghubungkan diri dengan Tuhan.
Jadi, Karmayoga artinya menghubungkan diri dengan Tuhan melalui pengabdian. Karmayoga menekankan kerja pengabdian itu ditujukan kepada kaum miskin. Dengan indahnya Rabindranath Tagore, pujangga India yang meraih Nobel sastra karena bukunya berjudul Gitanjali, mengomentari: ''Aku tak ingin pergi ke tengah hutan untuk bertapa. Aku akan temukan Tuhan di tengah-tengah derita dan air mata kaum miskin.'' Seturut ini, Gandhi mendapatkan momen yang amat tepat. Pertama, ketika kohesi sosial masyarakat India sangat rapuh karena friksi kasta yang bertakik-takik. Kedua, senyampang bangsa India menghadapi penjajahan Inggris yang amat menindas. Racikan kedua kondisi patologis ini, menyebabkan rakyat negeri India sangat miskin dan menderita. Dalam kehancuran inilah Gandhi tampil bak dewa penyelamat. Dengan kasih sayang universal yang dimiliki Gandhi, kaum miskin ini dirangkul dengan program-program pemberdayaan seperti menenun sendiri, bertani, pemberantasan buta huruf, dan sebagainya.
Untuk mengakrabkan hubungan dengan kaum pria, Gandhi menyebut dengan istilah harijan, yang kurang lebih berarti putra-putra Tuhan. Hubungan intim Gandhi dengan kaum harijan bahkan melanglang keluar India, yaitu ke Afrika Selatan, negeri yang sama-sama dijajah Inggris. Di Afrika Selatan, banyak sekali terdapat budak belian asal India yang dipekerjakan paksa oleh Inggris.
Sepuluh Dosa Sosial
Gandhi menuntut kebebasan para budak melalui proses peradilan di mana ia tampil sebagai pengacara piawai. Hasilnya amat mengagumkan. Para budak dibebaskan dari segala tuntutan hukum oleh penjajah Inggris di sana. Perjuangan Gandhi ini telah menginspirasi Nelson Mandela, peraih Nobel perdamaian dari Afrika Selatan, untuk membebaskan negerinya dari cengkraman politik apartheid. Gandhi pun kemudian lebih dikenal sebagai Bapak Kaum Miskin.
Dari permenungannya, ia menemukan tiga kearifan lokal bagi bangsanya sebagai landasan perjuangan melawan penjajah, yang amat menggetarkan dunia. Kita sebut saja Trilogi Gandhi, yaitu Ahimsa, Swadhesi, dan Satyagraha. Ahimsa diartikan secara sederhana yaitu pantang kekerasan, Swadhesi berarti mencintai tanah air dan menyukai pemakaian barang-barang buatan sendiri dan Satyagraha berarti selalu menegakkan kebenaran. Kendatipun trilogi ini merupakan satu kesatuan, namun Ahimsa yang bernilai utama, karena memberikan dampak yang amat luas pada segala segi kehidupan. Menyimpang dari ahimsa, menurut Gandhi akan menimbulkan sepuluh dosa sosial, yang salah satunya adalah politik tanpa hati nurani, penyimpangan politik sebagai ibadah.
Berkat penerapan Trilogi Gandhi itulah akhirnya Inggris bertekuk lutut tanpa daya. Kemerdekaan India diberikan melalui upacara besar, 15 Agustus 1947, dua tahun setelah kemerdekaan RI. Gandhi bahagia karena berlandaskan Trilogi, terutama Ahimsa, bangsanya tak banyak berdarah-darah dalam berjuang mencapai kemerdekaan. Dunia pun mengaguminya. Ketika Gandhi tewas, PBB mengibarkan bendera setengah tiang, tanda perkabungan internasional.
Warisan Gandhi berupa harta hampir tak ada sama sekali. Hanya tertinggal dalam gubuk ashramnya, adalah dua lembar selimut sekaligus dipakai jubah, satu sandal jepit dari kayu, dan satu mangkok batok kelapa untuk makan dan minum. Selebihnya adalah buku-buku perpustakaan. Namun, secara rohaniah, Gandhi tetap 'hidup', berkat ajaran-ajarannya yang terhimpun pada Gandhi Sutra, yang menjadi inspirasi dunia dalam segala aspek kehidupan.
Sezaman dengan perjuangan Gandhi di India, di Indonesia pun muncul banyak tokoh pemimpin yang berjuang bersama rakyat melawan penjajah Belanda. Sebut saja dua di antaranya yang patut diteladani adalah Soekarno-Hatta. Kedua tokoh pemimpin kita ini sama asketik dan reflektifnya dengan Gandhi. Soekarno, melalui permenungannya menemukan Pancasila, yang kita jadikan dasar negara yang sah dalam UUD 1945. Pada ranah politik, Soekarno menemukan ajaran Marhaenisme, yakni ide keberpihakan terhadap wong cilik, kaum miskin, sebagai ideologi Partai Nasional Indonesia yang didirikannya, untuk melawan penjajah Belanda. Kedua kearifan lokal temuan Soekarno ini menjadi komitmen yang amat kuat demi kemerdekaan bangsa Indonesia dan dilaksanakan dengan penuh mantap dan konsekuen.
Begitu juga Hatta, yang terkenal dengan sebutan Gandhinya Indonesia. Hatta adalah sosok pemimpin yang bersahaja dengan pemikirannya yang jernih dan bernas. Melengkapi Soekarno, Hatta adalah pemikir ekonomi kawakan. Impiannya yang belum terwujud adalah menjadikan koperasi sebagai sokoguru perekonomian Indonesia. Hatta terkenal dijuluki Bapak Koperasi. Pada domain politik, Hatta mendirikan partai yang dinamai Pendidikan Nasional Indonesia, yang berideologi sosial-demokrat dengan sasaran utama mendidik sebanyak mungkin kader penerus bangsa. Dalam kancah perjuangan, kedua tokoh kita ini terinspirasi juga oleh Trilogi Gandhi. Hanya saja, sebagai local genious, amat disesuaikan dengan situasi dan kondisi Indonesia yang lebih Bhineka untuk menuju ke dalam Tunggal Ika. Misalnya, ahimsa diterapkan melalui perjuangan diplomasi, demonstrasi, pemogokan. Perjuangan bersenjata ditempuh bila jalan damai sudah tak mungkin lagi.

Kamis, 19 September 2013

Berbakti Kepada Orang Tua Adalah Suatu Kewajiban



Berbakti Kepada Orang Tua Adalah Suatu Kewajiban
PENDAHULUAN
Dalam kitab Taittiriya Upanisad disebutkan bahwa ayah dan ibu itu adalah ibarat perwujudan Deva dalam keluarga: “Pitri deva bhava, matri deva bhava”. Vana Parva 27,214 menyebutkan bahwa ayah dan ibu termasuk sebagai Guru, di samping Agni, Atman, dan Rsi.
Di Bali ayah dan ibu disebut sebagai Guru Rupaka di samping Hyang Widhi sebagai Guru Svadyaya, pemerintah sebagai Guru Visesa, dan para pengajar sebagai Guru Pengajian.
Ada lima hal yang menyebabkan anak-anak harus berbakti kepada ayah dan ibunya, yang dalam kekawin Nitisastra VIII.3 disebut sebagai Panca Vida, yaitu:
1. Sang Ametwaken, karena pertemuan (hubungan suami/ istri) ayah dan ibu maka lahirlah anak-anak dari kandungan ibu.
Perjalanan hidup ayah dan ibu sejak kecil hingga dewasa, kemudian menempuh kehidupan Gryahasta, sampai mengandung bayi dan selanjutnya melahirkan, dipenuhi dengan pengorbanan-pengorbanan.
2. Sang Nitya Maweh Bhinojana, ayah dan ibu selalu mengusahakan memberi makan kepada anak-anaknya.
Bahkan tidak jarang dalam keadaan kesulitan ekonomi, ayah dan ibu rela berkorban tidak makan, namun mendahulukan anak-anaknya mendapat makanan yang layak. Ibu memberi air susu kepada anaknya, cairan yang keluar dari tubuhnya sendiri.
3. Sang Mangu Padyaya, ayah dan ibu menjadi pendidik dan pengajar utama.
Sejak bayi anak-anak diajari menyuap nasi, merangkak, berdiri, berbicara, sampai menyekolahkan. Pendidikan dan pengajaran oleh ayah dan ibu merupakan dasar pengetahuan bagi kesejahteraan anak-anaknya di kemudian hari.
4. Sang Anyangaskara, ayah dan ibu melakukan upacara-upacara manusa yadnya bagi anak-anaknya dengan tujuan mensucikan atma dan stula sarira.
Upacara-upacara itu sejak bayi dalam kandungan sampai lahir, besar dan dewasa: Magedong-gedongan, Embas rare, Kepus udel, Tutug Kambuhan, Telu bulanan, Otonan, Menek kelih, Mepandes, Pawiwahan.
5. Sang Matulung Urip Rikalaning Baya, ayah dan ibulah pembela anak-anaknya bila menghadapi bahaya, menghindarkan serangan penyakit dan menyelamatkan nyawa anak-anaknya dari bahaya lainnya.

PAHALA BAGI ANAK-ANAK YANG BERBHAKTI KEPADA ORANG TUA
Dalam kitab suci Sarasamuscaya disebutkan ada empat pahala yang diterima oleh anak-anak yang berbakti kepada orang tua:
1. Kirti.
Selalu dipuji dan didoakan untuk mendapatkan kerahayuan oleh sanak keluarga dan orang-orang lain keluarga, karena dipandang terhormat.
Puji dan doa yang positif seperti itu akan mendorong aktivitas dan gairah kehidupan sehingga anak-anak akan menjadi lebih meningkat kualitas kehidupannya.
2. Ayusa. Berumur panjang dan sehat.
Umur panjang dan sehat sangat diperlukan agar manusia dapat menempuh tahapan-tahapan kehidupannya dengan sempurnya, yaitu melalui Catur ashrama: Brahmacarya, gryahasta, wanaprastha, dan bhiksuka.
Brahmacarya adalah masa menempuh pendidikan, gryahastha adalah masa berumah tangga dan mengembangkan keturunan, wanaprastha adalah masa menyiapkan diri menuju kehidupan yang lebih suci, dan bhiksuka adalah masa kehidupan yang suci, lepas dari ikatan-ikatan keduniawian.
3. Bala.
Mempunyai kekuatan yang tangguh dalam menempuh kehidupan baik ketangguhan yang berupa pemenuhan kebutuhan hidup, kemampuan untuk memecahkan masalah-masalah kehidupan, dan juga ketangguhan dalam arti menguatkan kesucian mental/ rohani.
4. Yasa Pattinggal Rahayu.
Kebaktian pada orang tua akan menjadi contoh bagi keturunan selanjutnya dan akan dilanjutkan, sehingga bila anak-anak sudah menjadi tua atau meninggal dunia, secara sambung menyambung para keturunannya-pun akan menghormati dan berbakti kepadanya, karena kebaktian itu sudah menjadi tradisi yang baik di dalam keluarganya.

KESIMPULAN
Hubungan antara suami dan istri sejak awal perkawinan merupakan dasar yang menentukan bagi kehidupan rumah tangga selanjutnya menuju kebahagian hubungan suami-istri-dan anak-anak.
Sedangkan di dalam perkawinan, peranan istri-lah yang dominan dalam arti bahwa wanita merupakan kunci utama kebahagiaan rumah tangga.
Sebagaimana disebutkan dalam Manawa Dharmasastra di atas, bahwa bilamana seorang istri merasa bahagia maka berbahagia pulalah rumah tangga itu. Anak-anak yang lahir dari perkawinan yang baik hendaklah sejak kecil dididik agar berbakti kepada orang tua.
Orang tua melimpahkan kasih sayangnya kepada anak-anak dalam filosofi Agama Hindu adalah karena keyakinan bahwa roh yang menjelma menjadi anak-anak adalah roh leluhurnya sendiri.
Oleh karena itu hubungan antara manusia dengan roh leluhur mempunyai jalinan yang kuat dalam kaitan kepercayaan Atma tattwa dengan kepercayaan Punarbhawa.
Sebagaimana diuraikan di atas, kewajiban orang tua kepada anak-anak dimulai sejak jabang bayi masih dalam kandungan sampai anak-anak lahir menjadi besar dan menempuh kehidupan perkawinan.
Kewajiban itu digolongkan sebagai kewajiban skala (nyata) dan kewajiban niskala (tidak nyata).
Kewajiban skala adalah kewajiban memelihara secara fisik dan mental misalnya mencukupi kebutuhan sandang-pangan dan pendidikan.
Kewajiban niskala adalah kewajiban menyelenggarakan upacara-upacara manusa yadnya mulai dari magedong-gedongan sampai pawiwahan.
Setelah anak-anak mandiri dan berkeluarga maka berbaliklah kewjiban itu, bahwa anak-anak harus merawat dan memelihara orang tuanya sampai meninggal dunia, yaitu menjaga kesehatan, kegembiraan, dan kebahagiaan hidup, menyelenggarakan pitra yadnya dan mensucikan roh ayah-ibunya.
Demikianlah kehidupan ini berputar terus secara timbal balik, sehingga dapatlah dikatakan bahwa filsafat Tattwamasi merupakan cahaya bagi kehidupan umat manusia di dunia.

Selasa, 17 September 2013

Prajapati dan Mrajapati



Prajapati dan Mrajapati
Prajapati adalah ‘nama’ lain dari Sanghyang Widhi, di mana istilah itu terdiri dari dua kata bahasa kawi, yaitu: ‘praja’ artinya ‘kemanusiaan (manusia)’ dan ‘pati’ artinya ‘inti’ sehingga secara harfiah prajapati disimpulkan sebagai ‘inti manusia’, yaitu ‘atman’ (roh) yang sama dengan/ pecahan brahman (Sanghyang Widhi).
Mrajapati atau Merajapati terdiri dari dua kata bahasa Kawi (jawa kuno) di mana ‘meraja’ artinya ‘menjadi penguasa’ sedangkan ‘pati’ seperti penjelasan di atas artinya ‘roh’. Jadi ‘meraja pati’ artinya ‘penguasa roh’.
Menurut tradisi beragama Hindu di Bali atau Hindu-Bali, maka roh si mati yang jasadnya dikuburkan, dipercaya masih dikuasai oleh Sanghyang Widhi dalam ‘prabhawa-Nya’ sebagai Bhatara Merajapati.
Pelinggihnya ada di ‘ulun sema’ berbentuk ‘padma capah’ Itulah sebabnya bila upacara pitra yadnya, di saat mungkah sang Sulinggih memohon kepada Bhatara Merajapati untuk diijinkan membebaskan roh si mati untuk di aben dst. agar bisa ‘mantuk ke sunia’.
Hukuman Mati, Salah Pati, Ngulah Pati
Pertanyaan:
Banyak berita-berita di media masa maupun elektronik menyajikan berita-berita kriminal dan sampai vonis mati. Yang ingin saya tanyakan adalah bagaimana sebenarnya pandangan agama Hindu terhadap hukuman mati, apakah ajaran Hindu membenarkan hukuman mati dan apakah ada sumber hukum Hindu yang mengatur semua itu?
Mengingat Hindu adalah menjunjung tinggi ajaran Ahimsa dan kasih sayang, apakah arwahnya nanti bisa reinkarnasi? Termasuk jenis kematian apa orang yang terkena hukuman mati tersebut apakah ulahpati atau salah pati?
Jawaban:
Hukuman mati tidak disebutkan secara tegas/ pasti dalam kitab-kitab hukum Hindu.
Dalam Manawa Dharmasastra Buku ke-XI (Atha Ekadaso dhyayah) bentuk-bentuk kesalahan/ kejahatan digolongkan pada upa-pataka (kesalahan/ kejahatan kecil) dan maha-pataka (kesalahan/ kejahatan besar). Kesalahan/ kejahatan itu harus “ditebus” dengan prayascita.
Yang dimaksud dengan prayascita adalah pensucian kembali roh/ atman, tidak hanya dengan upacara saja, tetapi juga dengan tapa-brata-yoga-samadhi, dan menjalani hukuman atas dasar kesadaran, dan pengakuan, serta terbukti sah telah berbuat kesalahan/ kejahatan.
Hanya pasal 74 yang sedikit mengkiaskan “hukuman mati” sebagai berikut:
LAKSYAM SASTRABHRITAM WA, SYADWIDUSAMISCHAYATMANAH, PRASYEDATMANAMAGNAN WA, SAMIDDHE TRIRAWAKSARAH
Artinya: Atau biarkan menurut kemauannya sendiri perlahan-lahan (suntik mati), menjadi sasaran panah (hukum tembak) dari para pemanah (eksekutor) yang mengetahui tujuan itu (yang bertugas) atau ia boleh terjun jungkir balik ke unggun api (kursi listrik?, kamar gas?)
Istilah: “salah pati” dan “ngulah pati” hanya ada dalam tradisi beragama Hindu di Bali. Oleh karena itu penetapannya tergantung dari kebijaksanaan dan anumana pramana Sulinggih yang “muput” upacara pitra yadnya itu.
Kalau pendapat saya pribadi, hukuman mati bagi seorang pemeluk Hindu-Bali, termasuk “ngulah pati”, karena dia sudah tahu sebelumnya bahwa perbuatannya jahat; jika kemudian terbukti bersalah akan mendapat sanksi hukuman mati dari Pengadilan.
Masalah roh/ atman dari orang yang dihukum mati, apakah akan amoring acintya (moksah) ataukah akan lahir kembali ke dunia (re-inkarnasi/ punarbhawa), tentunya kita tidak tahu karena masalah itu termasuk astaaiswarya “kehendak” Sanghyang Widhi yang Maha Kuasa.
Namun perlu diingat bahwa hukuman mati yang diputuskan oleh “manusia” karena dipandang “bersalah”, belum tentu dalam pertimbangan Sanghyang Widhi dia juga dianggap “bersalah”. Misalnya para korban kemelut politik, huru-hara, dll.
Mati Salah Pati dan Ngulah Pati
Pertanyaan:
Menurut dharma sabha para Sulinggih, mati salah pati, ngulah pati, sampun kepatehang mekadi mati biasa. Pertanyaan:
1. Dwaning sampun wenten siaran asapunika, napi dados yening wenten anak mati salah pati/ ngulah pati nenten ngemargiang meseh lawang.
2. Sapunapi, utawi wenten tata cara mangda nenten terus menerus keni ala mati salah pati/ ulah pati, dwaning titiang maduwe kakilitan sampun wenten petang diri sane mati salah pati: kekalih rerame uwa, asiki misan, asiki pianak, matinnyane: kelebu di pasih, majukut ring carik, kabedil ring alase, lan mati sirep di proyek.
Jawaban:
1. Yang dimaksud dengan mati salah pati adalah mati yang tidak terduga-duga karena kecelakaan atau di sarap macan, buaya, disenggot sampi, digigit ular, dibunuh, dll. Yang dimaksud mati ngulah pati adalah mati karena bunuh diri.
Berdasarkan hasil pesamuhan Agung Para Sulinggih dan Walaka di Campuhan, Ubud, tanggal 21 Oktober 1961, dapat diupacarai sebagai orang mati biasa (karena sakit) hanya ditambah dengan upacara panebusan.
Ini merupakan reformasi atas Lontar: “Yama Purwa Tattwa Atma” yang menyatakan:
… YAN MATI SALAH PATI, TELUNG TIBAN WENANG PRATEKA, YAN NORA PRATEKA, WENANG ANGADEG SAMAYA;
YAN ANGALIH PATI LIMANG TIBAN WENANG PRETEKA;
YAN ATURU, MATI ATIMPUH, MATI ANGADEG, SININGOTING BANTENG, PITUNG TIBAN WENANG PRETEKA, YAN NORA PRATEKA WENANG ANGADEG SAMAYA;
YAN MATI NYUWANG SOMAH ANAK, LIMOLAS TIBAN WENANG PRETEKA, YAN NORA PRATEKA WENANG ANGADEG SAMAYA;
SEMALIH YAN HANA WANG NGEMADUWANG MUWANI, TEKANING PATINYA, TELUNG DASA TIBAN NANGGU TELUNG TIBAN WENANG PRETEKA …
Jadi kesimpulannya bahwa untuk mati salah pati dan ngulah pati dapat diupacarai sebagai mati biasa dengan syarat ditambah beberapa upacara panebusan yaitu di: perempatan jalan Desa, di tempat kejadian, dan di cangkem setra, lalu ketiga pejati penebusan disatukan dengan sawa baik bila mapendem maupun bila segera di-aben.
Upacara meseh lawang merupakan loka dresta yang dipandang perlu untuk melengkapi upacara panebusan itu namun berbeda-beda pelaksanaannya; ada yang melaksanakan pada saat 42 hari setelah ditanam , dan ada yang melaksanakan pada saat pengabenan.
2. Kematian dan cara mati seseorang sudah diperjanjikan jauh ketika Sang Atma belum reinkarnasi (lahir kembali menjadi manusia) yaitu ketika Sang Atma menghadap kepada Hyang Wisesa (Ida Sanghyang Widi Wasa).
Oleh karena itu maka menurut Lontar “Puja Pengabenan” Sang Pandita yang memimpin upacara pengabenan berkewajiban menuntun Sang Atma dalam perjalanannya menghadap Hyang Wisesa dengan nasihat/ pitutur kepada Sang Atma ketika upacara Nyekah yang disebut “Puja Putru Saji Nyekah” antara lain berbunyi:
… LUMARIS TA KITA RING KADEWATAN, JUMUJUG PWA KITA RING KAHYANGANIRA HYANG WISESA, MWAH TINAKONAN PATINTA DE BETHARA HYANG WISESA, WARAHIN PATINTA, ELING RING SAMAYANTA … DST
… AYUWA LAWAS DENTA MANDADI DEWATA, PITUNG LEK PITUNG WENGI LAWASANTA MANGGE RING SWARGA, AREP PWA KITA TUMITIS ANJANMA, AYUWA KITA NYOLONG TUMITIS ANJANMA MANAWA KITA ANWAN PEJAH … DST
… AYUWA KITA ASEMAYA MATI KESARIK, SININGGOTING KEBO SAMPI, AYUWA KITA ASEMAYA MATI SINAWUTANING WUHAYA, SINAWUTANING ULA, AYUWA KITA ASEMAYA MATI SEDENG BISA PAPALAYON, SEDENG SAPANGANGON, SEDENG RUMAJA PUTRA, SEDENG APAPANGKAS, SEDENG ANUWUH TUWUH, MWAH AYUWA KITA SAMAYA MATI SAKALWIRING KAPANGAWEN, ANGULAH PATI, SALAH PATI, ASEMAYA KITA ANUTUGAKEN TUWUH …
Demikianlah bunyi Lontar yang digunakan oleh Sang Pandita yang bertanggung jawab; oleh karena itu sangatlah penting artinya untuk memilih Sulinggih Dwijati/ Pandita yang diminta untuk muput upacara ngaben.
Bila Putru tersebut tidak diucapkan atau salah diucapkan atau diucapkan oleh yang tidak berwenang, maka bisa menyesatkan Sang Atma sehingga terjadilah kematian-kematian yang tidak wajar tersebut.
Suka Duka Lara Pati
Pertanyaan:
Kenapa kehidupan manusia lebih banyak susahnya dibandingkan senangnya?
Jawaban:
Kehidupan kita sebagai manusia tidak dapat lepas dari hukum Hyang Widhi, yaitu: suka – duka – lara – pati. Siapapun pernah mengalami empat keadaan itu baik ia orang berpangkat, berbangsa, berkuasa, bahkan rakyat jelata.
Agama (Hindu) berperan sebagai pedoman hidup di kala manusia mengalami empat keadaan itu. Singkatnya, di saat kita senang (suka) jangan terlalu takabur, di saat kita susah (duka), lara dan menemui kematian jangan terlalu sedih.
Empat keadaan itu juga membuktikan bahwa menjadi manusia lebih banyak susahnya (duka – lara – pati) dibanding dengan senangnya (suka) karena begitulah hukum Hyang Widhi yang bertujuan agar manusia selalu mawas diri karena tugas atman (roh) menjelma menjadi manusia adalah untuk meningkatkan kesucian secara bertahap sehingga di suatu saat atman (roh) bisa bersatu dengan Brahman (Hyang Widhi), itu yang dinamakan “amoring acintya” di mana akan ditemukan “suka tanpawali duka”.
Jadi gunakanlah kehidupan sebagai manusia dengan sebaik-baiknya dalam arti senantiasa menegakkan dharma.
Manusia berbuat kekeliruan namun apa yang telah terlanjur terjadi jangan terlalu disesalkan. Kita harus bersemangat untuk bangkit. Pengalaman lalu merupakan pelajaran berharga untuk memacu kita menjadi dewasa dan bertanggung jawab.
Hasil Karma
Pertanyaan:
Dalam hidup ini, kejadian sekarang dan yang akan datang apakah murni dari hasil karma kita? Dalam Hindu apakah ada “cobaan” (kejadian negatif yang tidak ada hubungan dengan karma kita yang lampau) atau “anugrah” (kebalikan dari yang di atas).
Yang saya tahu karmapala adalah hukum sebab akibat. Ada sebab maka ada akibatnya. Jadi dosa kita tidak akan pernah terhapuskan dan akan ada balasannya.
Kalau usaha yang gagal meskipun sudah bekerja keras apakah itu berarti karma kita yang dulu memang buruk atau hal itu adalah ujian dari Tuhan?
Jawaban:
Kehidupan manusia ditentukan oleh:
1. Takdir atau “Rta”, yaitu “hukum alam-Tuhan” bahwa semua manusia mengalami empat jenis kehidupan: suka (kesenangan), duka (kesusahan), lara (sakit), dan pati (kematian). Tak ada manusia seorang pun yang terhindar dari Rta karena itulah hukum-Nya.
2. Bahwa manusia lahir ke dunia karena roh-nya belum bersih sehingga roh itu harus menjelma (re-inkarnasi) agar di kehidupan selanjutnya manusia bisa memperbaiki diri atau lebih mensucikan roh-nya sehingga di suatu saat roh itu (setelah meninggal dunia) bisa bersatu dengan Brahman (Tuhan).
Inilah yang dinamakan moksah atau amoring acintya, cita-cita dari setiap roh.
3. Maka kehidupan di dunia adalah “samsara” atau sengsara, sedangkan kehidupan roh yang bisa moksah adalah: “suka tan pawali duhka” (kesenangan, tiada kedukaan).
4. Karma-phala (buah dari perbuatan) di masa kini atau di masa lampau atau di masa kehidupan periode yang lalu.
5. Tuhan (Sanghyang Widhi) “menguji” ketahanan manusia dengan memberikan penderitaan. Bila manusia berhasil mengatasi penderitaan/ kesulitan itu maka wara nugraha akan dilimpahkan kepadanya.
6. Pengaruh dari:
  • Kondisi ayah-ibu tatkala berhubungan badan kemudian hamil dan mengandung manusia sebagai bayi. Bila ayah-ibu berhubungan badan dalam keadaan: sedih, mabuk, marah, maka anaknya akan terpengaruh hal-hal yang sifatnya “keraksasaan” (asuri sampad)
  • Pengaruh dari posisi bintang, bulan, matahari ketika bayi lahir
  • Pengaruh dari lingkungan/ suasana sejak lahir sampai tumbuh besar
Sorga dan Neraka
Sorga dan Neraka bukan suatu tempat di alam sana seperti Kawah Candradimuka atau Nirwana, dan bukan pula sesuatu yang berwujud. Sorga atau Neraka adalah karmawasana yang membungkus Atman (Roh manusia) seperti kembungan karet yang mengurung udara di dalamnya.
Atman diibaratkan sebagai udara dalam kembungan karet. Atman ingin bersatu dengan Brahman (Hyang Widhi), begitu juga udara dalam kembungan ingin bergabung dengan udara di luarnya, namun bungkusan karet itulah yang menghalangi.
Atman dibungkus oleh tiga lapisan, yaitu:
  1. Panca Mahabutha sebagai bungkusan terluar berbentuk badan/ tubuh manusia
  2. Panca Tanmatra sebagai bungkusan kedua yaitu pengaruh panca indra manusia ketika masih hidup terhadap Atman
  3. Karmawasana adalah bungkusan ketiga yang merupakan karmaphala baik/buruk perbuatan manusia dalam kehidupannya dahulu
Ngaben dan Nyekah tujuannya mengembalikan Panca Mahabutha dan menghilangkan Panca Tanmatra. Karmawasana tidak dapat dihilangkan, dan inilah yang membawa Atma ke dalam keadaan Sorga dan Neraka.
Keadaan Sorga dialami Atman bila Karmawasana-nya baik karena di kehidupannya dahulu banyak berbuat dharma (subha karma). Keadaan Neraka dialami Atman bila Karmawasananya buruk karena di kehidupannya dahulu banyak berbuat adharma (asubha karma).
Bilamana Karmawasana-nya tiada cacat, di situlah Atman bersatu dengan Brahman. Selama Karmawasana belum sempurna, Atman akan bereinkarnasi berulang-ulang dengan tujuan agar di setiap kehidupan senantiasa berbuat subha karma agar suatu ketika menjadi sempurna.
Oleh karena itu manusia wajib selalu berbuat dharma agar Atman tidak lagi bereinkarnasi. Ketahuilah kehidupan sebagai manusia sebenarnya tidak enak karena masih mengalami Suka, Duka, Lara, Pati, yaitu: kesenangan, kesedihan, sakit, dan kematian.
Di alam Brahman yang menjadi cita-cita Atman, tersedia kehidupan kekal abadi, “Suka tanpawali duka”: kebahagiaan tanpa kesusahan. Inilah Sorga yang diidam-idamkan oleh setiap Atma.
Sekian semoga dapat memahaminya.