Senin, 04 November 2013

Puputan Margarana



Puputan Margarana, Perang Hebat di Pulau Dewata
Puputan adalah tradisi perang masyarakat Bali. Puputan berasal dari kata puput. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia kata puput bermakna terlepas dan tanggal. Adapun yang dimaksud dengan kata puputan versi pribumi bali adalah perang sampai nyawa lepas atau tanggal dari badan. Dapat dikatakan kalau puputan adalah perang sampai game over atau titik darah terakhir. Istilah Margarana diambil dari lokasi pertempuran hebat yang saat itu berlangsung di daerah Marga, Tababan-Bali.
Menurut sejarah, ada sejumlah puputan yang meletus di Bali. Namun, yang terkenal dan termasuk hebat, terdapat sekitar dua puputan. Pertama, Puputan Jagaraga yang dipimpin oleh Kerajaan Buleleng melawan imprealis Belanda. Strategi puputan yang diterapkan ketika itu adalah sistem tawan karang dengan menyita transportasi laut imprealis Belanda yang bersandar ke pelabuhan Buleleng. Kedua, puputan Margarana yang berpusat di Desa Adeng, Kecamatan Marga, Tababan, Bali. Tokoh perang ini adalah Letnan Kolonel I Gusti Ngurah Rai. I Gusti Ngurah Rai dilahirkan di Desa Carangsari, Kabupaten Badung, Bali, 30 Januari 1917.
Puputan Margarana dianggap banyak pihak sebagai perang sengit yang pernah bergulir di Pulau Dewata, Bali. Terdahap beberapa versi yang melatarbelakangi meledaknya Puputan Margarana. Namun, jika kembali membalik lembaran sejarah Indonesia, maka dapat ditarik sebuah benang merah bahwa perang ini terjadi akibat ketidakpuasan yang lahir pasca Perjanjian Linggarjati. Perundingan itu terjadi pada 10 November 1946, antara Belanda dan pemerintahan Indonesia. Salah satu poin Linggarjati membuat hati rakyat Bali terasa tercabik hatinya adalah tidak masuknya daerah Bali menjadi bagian dari daerah teritorial Indonesia.
Linggar jati sangat menguntungkan Belanda. Melalui Linggarjati Belanda hanya mengakui Sumatera, Jawa dan Madura sebagai wilayah teritorial Indonesia secara de facto, sementara tidak untuk pulau seribu idaman, Dewata, Bali. Niat menjadikan bali sebagai Negara Indonesia Timur, Belanda menambah kekuatan militernya untuk menacapkan kuku imprealis lebih dalam di Bali. Pasca Linggarjati sejumlah kapal banyak mendarat di pelabuah lepas pantai Bali. Ini juga barangkali yang menyebabkan meletusnya Puputan Jagarana yang dipimpin oleh Kerajaan Buleleng.
Keadaan ini membuat suhu perpolitikan dalam negeri sedikit tidak stabil, goyah Sebagian pihak menilai perjanjian Linggarjati merugikan RI. Rakyat bali kecewa karena berhak menjadi bagian dari kesatuan RI. I Gusti Ngurah Rai yang saat itu menjabat sebagai Komandan Resiman Nusa Tenggara ‘digoda’ oleh Belanda. Sejumlah tawaran menggiurkan disodorkan untuk meluluhkan hati Sang Kolonel agar membentuk Negara Indonesia Timur. Gusti Ngurah Rai yang saat itu berusia 29 tahun lebih memilih Indonesia sebagai Tanah Airnya.
Alur Puputan Margarana bermula dari perintah I Gusti Ngurah Rai kepada pasukan Ciung Wanara untuk melucuti persenjata polisi Nica yang menduduki Kota Tabanan. Perintah yang keluar sekitar pertengahan November 1946, baru berhasil mulus dilaksakan tiga hari kemudian. Puluhan senjata lengkap dengan alterinya berhasil direbut oleh pasukan Ciung Wanara.
Pasca pelucutan senjata Nica, semua pasukan khusus Gusti Ngurah Rai kembali dengan penuh bangga ke Desa Adeng-Marga. Perebutan sejumlah senjata api pada malam 18 November 1946 telah membakar kemarahan Belanda. Belanda mengumpulkan sejumlah informasi guna mendeteksi peristiwa misterius malam itu. Tidak lama, Belanda pun menyusun strategi penyerangan. Tampaknya tidak mau kecolongan kedua kalinya, pagi-pagi buta dua hari pasca peristiwa itu (20 November 1946) Belanda mulai mengisolasi Desa Adeng, Marga.
Batalion Ciung Wanara pagi itu memang tengah mengadakan longmarch ke Gunung Agung, ujung timur Pulau Bali. Selain penjagaan, patroli juga untuk melihat sejuah mana aktivitas Belanda. Tidak berselang lama setelah matahari menyinsing (sekitar pukul 09.00-10.00 WIT), pasukan Ciung Wanara baru sadar kalau perjalanan mereka sudah diawasi dan dikepung oleh serdadu Belanda. Melihat kondisi yang cukup mengkhawatirkan ketika itu, pasukan Ciung Wanara memilih untuk bertahanan di sekitar perkebunan di daerah perbukitan Gunung Agung.
Benar saja, tiba-tiba rentetan serangan bruntun mengarah ke pasukan Ciung Wanara. I Gusti Ngurah Rai saat itu memang sudah gerah dengan tindak-tanduk Belanda mengobarkan api perlawanan. Aksi tembak-menembak pun tak terelakkan. Pagi yang tenang seketika berubah menjadi pertempuran yang menggemparkan sekaligus mendebarkan. Ciung Wanara saat ini memang cukup terkejut, sebab tidak mengira akan terjadi pertempuran hebat semacam itu.
Letupan senjata terdengar di segala sisi daerah marga. Pasukan Indische Civil Administration (NICA) bentukan Belanda, yang merasa sangatmerasa terhina dengan peristiwa malam itu sangat ambisius dan brutal mengemur Desa Marga dari berbagai arah. Serangan hebat pagi itu tak kunjung membuat Ciung Wanara dan Gusti Ngurah Rai Menyerah. Serangan balik dan terarah membuah Belanda kewalahan.
Sederetan pasukan lapis pertama Belanda pun tewas dengan tragis. Strategi perang yang digunakan Gusti Ngurah Rai saat itu tidak begitu jelas. Namun, kobaran semangat juang begitu terasa. Pantang menyerah, biarlah gugur di medan perang, menjadi prinsip mendarah daging di tubuh pasukan Gusti Ngurah Rai. Seketika itu, kebun jagung dan palawija berubah menjadi genosida manusia. Ada yang menyebutkan, saat itulah Gusti Ngurah Rai menerapkan puputan, atau prinsip perang habis-habisan hingga nyawa melayang.
Demi pemberangusan Desa Marga, Belanda terpaksa meminta semua militer di daerah Bali untuk datang membantu. Belanda juga mengerahkan sejulah jet tempur untuk membom-bardir kota Marga. Kawasan marga yang permai berganti kepulan asap, dan bau darah terbakar akibat seranga udara Belang. Perang sengit di Desa Marga berakhir dengan gugurnya Gusti Ngurah Rai dan semua pasukannya.
Puputan Margarana menyebabkan sekitar 96 gugur sebagai pahlawan bangsa, sementara di pihak Belanda, lebih kurang sekitar 400 orang tewas. Mengenang perperangan hebat di desa Marga maka didirikan sebuah Tuguh Pahlawan Taman Pujaan Bangsa. Tanggal 20 November 1946 juga dijadikan hari perang Puputan Margarana. Perang ini tercatat sebagai salah satu perang hebat di Pulau Dewata dan Indonesia.
Seberapa banyak anak muda Bali yang tahu kisah Puputan Margarana? Tidak banyak, bahkan dalam pelajaran sejarah pun hal itu hanya disinggung selintas. Orang tahu bahwa I Gusti Ngurah Rai adalah pahlawan nasional. Bandara di Bali dinamai Ngurah Rai, stadion sepak bola di Denpasar dinamai Ngurah Rai. Namun, semangat apa yang diwariskan oleh Ngurah Rai kepada bangsa ini tak banyak remaja Bali yang tahu. Cobalah tanya para peserta napak tilas perjalanan Ngurah Rai yang dimulai dari Kabupaten Jembrana. Para remaja yang mengarak panji-panji simbol perjuangan Ngurah Rai itu tak tahu harus menangkap semangat apa. Semangat kepahlawanan? Itu terlalu abstrak. Pantang menyerah? Itu sudah lazim di kalangan militer. Membela tanah Bali? Itu terlalu kecil buat sekaliber Pak Rai.
I Gusti Ngurah Rai meninggalkan warisan yang berharga, yakni bagaimana seorang prajurit profesional memimpin pasukan di lapangan. Tugasnya adalah mempertahankan kemerdekaan yang sudah diproklamasikan di Jakarta. Ia harus melawan setiap tindakan yang ingin menggagalkan kemerdekaan itu. Ia menolak melakukan diplomasi, karena tugasnya hanya berperang melawan siapa pun yang ingin menggagalkan kemerdekaan. Ucapannya tegas, urusan diplomasi adalah urusan pemimpin di Jakarta, sedangkan urusan di medan perang adalah bagaimana penjajah hengkang dari bumi Indonesia. Ketika perundingan yang akan dirancang Belanda itu buntu, perang pun terus berkobar dan Ngurah Rai memerintahkan ''perang puputan'', perang habis-habisan. Semangat heroik ini saling mengisi dengan pejuang-pejuang di daerah lain. Yang dibela Ngurah Rai tak sekadar Bali, tetapi Indonesia yang baru setahun merdeka.
Kepahlawanan Ngurah Rai dalam memutuskan Puputan Margarana diakui secara nasional dan itu sebabnya hampir di setiap kota besar ada jalan bernama Ngurah Rai. Namun, di Bali sendiri, Taman Makam Pahlawan Pancaka Tirta di Desa Marga, tempat para pejuang itu dulu gugur sebagai kusuma bangsa tak banyak dikunjungi orang. Inilah kegamangan orang Bali dalam menyikapi adanya taman makam pahlawan. Orang Bali tak tahu apa yang harus dilakukan di tempat itu. Sekadar mengheningkan cipta atau ikut menaburkan bunga di setiap makam? Tak heran kalau dulu Taman Makam Pahlawan di Tabanan lebih populer disebut Taman Bahagia.
Kegamangan membuat orang Bali enggan ke Taman Makam Pahlawan, karena serba salah. Di Taman Makam Pahlawan tidak ada makam para pahlawan Bali, lebih-lebih yang beragama Hindu. Kalau di situ ada makam, status tempat itu tentulah tergolong setra (kuburan) dan berlaku ketentuan cuntaka (sebel). Lagi pula, kalaupun nisan-nisan itu digolongkan makam, bagaimana mungkin orang Bali terus-menerus memuja leluhurnya di kuburan? Karena leluhur yang sudah diaben, berarti sudah menyatu dengan Hyang Widhi, amor ring acintya, dikenal dengan berbagai sebutan misalnya Hyang Pitara, Dewata-Dewati dan sebagainya. Sejak upacara Pitra Yadnya tak ada lagi pemujaan di kuburan. Hyang Pitara distanakan di kemulan, kawitan, rong tiga, tergantung dresta setempat.
Status Makam Pahlawan di Bali harus diperjelas agar umat tidak menjadi gamang. Tempat itu bukan kuburan, dan nisan-nisan yang bertuliskan nama pahlawan itu bukan makam tempat menanam jenazah, tetapi hanya sebuah simbol. Namanya saja monumen, jadi nisan itu pun sebuah monumen sebagai simbol bahwa di sana, pada masa lalu, ada pahlawan yang gugur. Tidak masalah kalau ada orang berdoa di sana, karena konsep Hindu kita bisa berdoa di mana saja, termasuk berdoa dengan menggunakan simbol. Cuma rasanya kurang etis kalau kita ke makam pahlawan membawa banten persembahan seperti sodan atau punjung. Ini bisa menimbulkan banyak tafsiran, seolah-olah sodan itu diperuntukkan bagi sang pahlawan yang sudah amor ring acintya. Kalau sesajen itu ditafsirkan sebagai persembahan kepada Hyang Widhi berkenaan dengan hari peringatan gugurnya sang pahlawan, masih bolehlah diterima.
Tetapi, sebaiknya tidak usah membawa sodan ke makam pahlawan, canang sari sudah cukup dan itu pun sarana persembahyangan kita ke hadapan Hyang Widhi dan bukan untuk pemujaan leluhur.
Mari kita merayakan Puputan Margarana dengan mewarisi kepahlawan Ngurah Rai, namun menempatkan beliau sebagai Hyang Pitara.

2 komentar:

  1. Linggarjati itu bukannya 1946 ya?

    BalasHapus
  2. Model font yang tidak seragam menunjukkan materi ini copy paste. Mohon untuk belajar menghargai hasil karya orang lain, membahas sejarah dengan referensi yang tepat agar tidak semakin membuat kesimpangsiuran sejarah di negeri yang sejarahnya sudah banyak gak jelasnya.

    BalasHapus