Kamis, 07 November 2013

Penyebab Kalutnya Dunia



Penyebab Kalutnya Dunia
Anyata vedapandityam.
Sastramacaram anyatha
Anyatha vadanacchantam
Lokah kisyami canayatha. (Canakya Niti, V.10).
Maksudnya: Meremehkan kebijaksanaan ajaran Veda (Veda Pandita), menghina tradisi yang sesuai dengan ajaran suci (sastra acara), menghina orang yang selalu berkata-kata lembut (vadana chantam). Tiada lain hal itulah yang menyebabkan kalutnya dunia

AJARAN suci seyogianya dijadikan dasar untuk mengembangkan upaya memperbaiki prilaku dan membenahi kebiasaan hidup yang kurang baik menjadi semakin baik semakin sesuai dengan konsep ajaran suci. Sarasamuscaya 177 menyatakan: Phalaning Sang Hyang Weda inaji kawruhaning ayuning sila muang acara: Pahala mempelajari Weda agar memiliki pengetahuan dan pemahaman akan cara memperbaiki prilaku dan kebiasaan hidup baik yang menyangkut kebiasaan hidup individual maupun kebiasaan hidup bersama dalam masyarakat. Hendaknya janganlah ajaran kitab suci hanya dibangga-banggakan semata, tetapi dalam prilaku dibalik dijadikan dasar untuk membenci pihak yang dianggap orang lain. Prilaku yang demikian itu sesungguhnya meremehkan ajaran suci sabda Tuhan. Faktanya masih banyak orang memusuhi pihak lain dengan alasan Agama. Ajaran suci itu seyogianya dijadikan kekuatan untuk memperbaiki tingkah laku dan kebiasaan-kebiasaan hidup. Ajaran suci yang dianut sebagai Agama masih saja ada yang dijadikan ajaran untuk menonjolkan ego tradisi keagamaan dengan menampilkan atribut agar dipandang sebagai penganut agama yang paling taat.
Orang lain yang tidak tampil menggunakan atribut keagamaan seperti itu diremehkan. Tampil dengan atribut keagamaan tapi ngejar mereka yang dianggap orang lain dengan pentung dan pedang main hakim sendiri. Ada yang menyalah gunakan adat melakukan kekerasan pada sesama dengan cara yang tidak berdasarkan keadilan. Adat seyogianya media untuk melakukan proses perbaikan tingkah laku dengan cara-cara yang persuasif dan edukatif. Adat bukan untuk melakukan balas dendam dan meminggirkan mereka yang tidak ada kekuasaan dan tidak punya pengaruh. Masih ada adat dijadikan media untuk menghukum pihak yang dianggap bersalah dengan cara-cara yang tidak adil. Padahal hukuman itu bertujuan untuk menegakkan keadilan.
Sesungguhnya fungsi adat adalah sebagai media untuk mentradisikan ajaran suci. Dalam Sarasamuscaya 260 dinyatakan ''Veda Abyasa'': artinya mentradisikan ajaran Weda. Ritual sering berhenti tanpa penguatan spiritual untuk mendukung kecerdasan intelektual mengendalikan kepekaan emosional yang tepat. Hal itu seyogianya dijadikan motivator mengembangkan kepedulian hidup seperti: Swastya Wahini yaitu peduli akan pengembangan hidup sehat. Peduli akan mengembangkan pendidikan (Widya Wahini) dan peduli akan nasib sesama (Praja Wahini). Ritual sesungguhnya adalah media untuk menguatkan daya spiritual untuk melakukan aksi sosial yang aktual dan kontektual memperhatikan nasib dalam lingkungan dan nasib sesama yang masih belum bernasib baik. Masih banyak sesama yang hidup dibawah kemiskinan yang semestinya menjadi perhatian sebagai wujud pengamalan ajaran suci. Keberagaman seperti itu memang sepertinya belum bisa dikatakan meremehkan ajaran suci karena didorong oleh semangat beragama yang tinggi tetapi tanpa pemahaman akan pemaknaannya. Kenyataan yang ditimbulkan sepertinya mengabaikan ajaran suci. Canakya Niti V.11 menyatakan sbb: Daaridraya naasanam daanam: Artinya kedermawanan menghilangkan kemiskinan. Ritual maupun perayaan hari-hari keagamaan sesungguhnya media untuk memotivasi umat untuk mampu untuk melakukan dana punia untuk memajukan pendidikan dan juga mengentaskan kemiskinan dan keterbelakangan.
Ada juga sikap yang meremehkan atau bersikap sinis terhadap tradisi yang berdasarkan petunjuk ajaran suci atau disebut dalam Canakya Niti V.10 itu sebagai ''sastra acara''. Seperti orang melakukan ritual sakral ''Agni Hotra'' atau Homa Yadnya''. Ritual tersebut adalah ritual sakral berdasarkan ajaran suci Weda yang disebut sebagai ''Spatika Yadnya''. Yang artinya permatanya yadnya. Upacara yadnya Agni Hotra tersebut sangat ditekankan oleh kitab suci Weda, seperti Rg Weda X.66.8. Demikian juga dalam mantra Atharwa Weda XXVVIII.6 disebutkan bahwa yadnya Agni Hotra tersebut dilakukan oleh mereka yang hatinya mulia. Agni Hotra dapat menimbulkan kedamaian hati, dapat menggugah hati para pemimpin, untuk bekerja dengan baik membina masyarakat dan tidak menyakiti hatinya serta memelihara binatang ternaknya dengan baik. Tidak seperti di Bali dewasa ini anjing dibiarkan hidup liar sampai menjadi penyebar penyakit rabies yang telah membunuh hampir seratus orang Bali mati sia-sia dan pemerintah sampai menghabiskan uang 26 miliar rupiah membeli vaksin anti rabies.
Padahal Sarasamuscaya 135 mengajarkan matangnyan prihen tikang bhutrahita, ayuwa tan masih ring sarwa prani. Oleh karenanya usahakan kesejahteraan semua makhluk, jangan tidak menaruh belas kasihan pada semua makhluk hidup. Upacara Bhuta Yadnya sudah sangat semarak dilakukan. Sesungguhnya ritual itu suatu pemulaan yang sudah baik. Tetapi menjadi mubazir karena tidak dilanjutkan dengan pemaknaannya dalam prilaku nyata. Tentang upacara Agni Hotra juga ada dalam Wrehaspati Tattwa Sloka 25 dinyatakan ada tujuh pengamalan dharma yaitu, Sila, Yadnya, Tapa, Dana Prawrayja, Bhiksu, dan Yoga. Dalam penjelasan bahasa Jawa kunonya yadnya dijelaskan sbb: yadnya ngaraning manghadakaken homa. Artinya yadnya adalah menyelenggarakan homa. Namun masih ada dari berbagai pihak yang meremehkan ritual sakral tersebut.
Berbagai pihak maupun kelompok masih mereka percaya diri kalau menyampaikan kritik, saran, usul dengan kata-kata pedas, menghujat dengan cara-cara yang anarkis. Ini artinya mereka meremehkan penyampaikan dengan kata-kata lembut memikat yang dapat mengetuk hati dan menyadarkan pihak-pihak yang dikritik. Prilaku meremehkan ajaran suci, meremehkan tradisi sastra suci dan meremehkan kata-kata lembut sopan dan memikat, ketiga hal itulah yang menyebabkan kalutnya dunia. Demikian Canakya Niti menyatakan.
Oleh I Ketut Wiana

Senin, 04 November 2013

Puputan Margarana



Puputan Margarana, Perang Hebat di Pulau Dewata
Puputan adalah tradisi perang masyarakat Bali. Puputan berasal dari kata puput. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia kata puput bermakna terlepas dan tanggal. Adapun yang dimaksud dengan kata puputan versi pribumi bali adalah perang sampai nyawa lepas atau tanggal dari badan. Dapat dikatakan kalau puputan adalah perang sampai game over atau titik darah terakhir. Istilah Margarana diambil dari lokasi pertempuran hebat yang saat itu berlangsung di daerah Marga, Tababan-Bali.
Menurut sejarah, ada sejumlah puputan yang meletus di Bali. Namun, yang terkenal dan termasuk hebat, terdapat sekitar dua puputan. Pertama, Puputan Jagaraga yang dipimpin oleh Kerajaan Buleleng melawan imprealis Belanda. Strategi puputan yang diterapkan ketika itu adalah sistem tawan karang dengan menyita transportasi laut imprealis Belanda yang bersandar ke pelabuhan Buleleng. Kedua, puputan Margarana yang berpusat di Desa Adeng, Kecamatan Marga, Tababan, Bali. Tokoh perang ini adalah Letnan Kolonel I Gusti Ngurah Rai. I Gusti Ngurah Rai dilahirkan di Desa Carangsari, Kabupaten Badung, Bali, 30 Januari 1917.
Puputan Margarana dianggap banyak pihak sebagai perang sengit yang pernah bergulir di Pulau Dewata, Bali. Terdahap beberapa versi yang melatarbelakangi meledaknya Puputan Margarana. Namun, jika kembali membalik lembaran sejarah Indonesia, maka dapat ditarik sebuah benang merah bahwa perang ini terjadi akibat ketidakpuasan yang lahir pasca Perjanjian Linggarjati. Perundingan itu terjadi pada 10 November 1946, antara Belanda dan pemerintahan Indonesia. Salah satu poin Linggarjati membuat hati rakyat Bali terasa tercabik hatinya adalah tidak masuknya daerah Bali menjadi bagian dari daerah teritorial Indonesia.
Linggar jati sangat menguntungkan Belanda. Melalui Linggarjati Belanda hanya mengakui Sumatera, Jawa dan Madura sebagai wilayah teritorial Indonesia secara de facto, sementara tidak untuk pulau seribu idaman, Dewata, Bali. Niat menjadikan bali sebagai Negara Indonesia Timur, Belanda menambah kekuatan militernya untuk menacapkan kuku imprealis lebih dalam di Bali. Pasca Linggarjati sejumlah kapal banyak mendarat di pelabuah lepas pantai Bali. Ini juga barangkali yang menyebabkan meletusnya Puputan Jagarana yang dipimpin oleh Kerajaan Buleleng.
Keadaan ini membuat suhu perpolitikan dalam negeri sedikit tidak stabil, goyah Sebagian pihak menilai perjanjian Linggarjati merugikan RI. Rakyat bali kecewa karena berhak menjadi bagian dari kesatuan RI. I Gusti Ngurah Rai yang saat itu menjabat sebagai Komandan Resiman Nusa Tenggara ‘digoda’ oleh Belanda. Sejumlah tawaran menggiurkan disodorkan untuk meluluhkan hati Sang Kolonel agar membentuk Negara Indonesia Timur. Gusti Ngurah Rai yang saat itu berusia 29 tahun lebih memilih Indonesia sebagai Tanah Airnya.
Alur Puputan Margarana bermula dari perintah I Gusti Ngurah Rai kepada pasukan Ciung Wanara untuk melucuti persenjata polisi Nica yang menduduki Kota Tabanan. Perintah yang keluar sekitar pertengahan November 1946, baru berhasil mulus dilaksakan tiga hari kemudian. Puluhan senjata lengkap dengan alterinya berhasil direbut oleh pasukan Ciung Wanara.
Pasca pelucutan senjata Nica, semua pasukan khusus Gusti Ngurah Rai kembali dengan penuh bangga ke Desa Adeng-Marga. Perebutan sejumlah senjata api pada malam 18 November 1946 telah membakar kemarahan Belanda. Belanda mengumpulkan sejumlah informasi guna mendeteksi peristiwa misterius malam itu. Tidak lama, Belanda pun menyusun strategi penyerangan. Tampaknya tidak mau kecolongan kedua kalinya, pagi-pagi buta dua hari pasca peristiwa itu (20 November 1946) Belanda mulai mengisolasi Desa Adeng, Marga.
Batalion Ciung Wanara pagi itu memang tengah mengadakan longmarch ke Gunung Agung, ujung timur Pulau Bali. Selain penjagaan, patroli juga untuk melihat sejuah mana aktivitas Belanda. Tidak berselang lama setelah matahari menyinsing (sekitar pukul 09.00-10.00 WIT), pasukan Ciung Wanara baru sadar kalau perjalanan mereka sudah diawasi dan dikepung oleh serdadu Belanda. Melihat kondisi yang cukup mengkhawatirkan ketika itu, pasukan Ciung Wanara memilih untuk bertahanan di sekitar perkebunan di daerah perbukitan Gunung Agung.
Benar saja, tiba-tiba rentetan serangan bruntun mengarah ke pasukan Ciung Wanara. I Gusti Ngurah Rai saat itu memang sudah gerah dengan tindak-tanduk Belanda mengobarkan api perlawanan. Aksi tembak-menembak pun tak terelakkan. Pagi yang tenang seketika berubah menjadi pertempuran yang menggemparkan sekaligus mendebarkan. Ciung Wanara saat ini memang cukup terkejut, sebab tidak mengira akan terjadi pertempuran hebat semacam itu.
Letupan senjata terdengar di segala sisi daerah marga. Pasukan Indische Civil Administration (NICA) bentukan Belanda, yang merasa sangatmerasa terhina dengan peristiwa malam itu sangat ambisius dan brutal mengemur Desa Marga dari berbagai arah. Serangan hebat pagi itu tak kunjung membuat Ciung Wanara dan Gusti Ngurah Rai Menyerah. Serangan balik dan terarah membuah Belanda kewalahan.
Sederetan pasukan lapis pertama Belanda pun tewas dengan tragis. Strategi perang yang digunakan Gusti Ngurah Rai saat itu tidak begitu jelas. Namun, kobaran semangat juang begitu terasa. Pantang menyerah, biarlah gugur di medan perang, menjadi prinsip mendarah daging di tubuh pasukan Gusti Ngurah Rai. Seketika itu, kebun jagung dan palawija berubah menjadi genosida manusia. Ada yang menyebutkan, saat itulah Gusti Ngurah Rai menerapkan puputan, atau prinsip perang habis-habisan hingga nyawa melayang.
Demi pemberangusan Desa Marga, Belanda terpaksa meminta semua militer di daerah Bali untuk datang membantu. Belanda juga mengerahkan sejulah jet tempur untuk membom-bardir kota Marga. Kawasan marga yang permai berganti kepulan asap, dan bau darah terbakar akibat seranga udara Belang. Perang sengit di Desa Marga berakhir dengan gugurnya Gusti Ngurah Rai dan semua pasukannya.
Puputan Margarana menyebabkan sekitar 96 gugur sebagai pahlawan bangsa, sementara di pihak Belanda, lebih kurang sekitar 400 orang tewas. Mengenang perperangan hebat di desa Marga maka didirikan sebuah Tuguh Pahlawan Taman Pujaan Bangsa. Tanggal 20 November 1946 juga dijadikan hari perang Puputan Margarana. Perang ini tercatat sebagai salah satu perang hebat di Pulau Dewata dan Indonesia.
Seberapa banyak anak muda Bali yang tahu kisah Puputan Margarana? Tidak banyak, bahkan dalam pelajaran sejarah pun hal itu hanya disinggung selintas. Orang tahu bahwa I Gusti Ngurah Rai adalah pahlawan nasional. Bandara di Bali dinamai Ngurah Rai, stadion sepak bola di Denpasar dinamai Ngurah Rai. Namun, semangat apa yang diwariskan oleh Ngurah Rai kepada bangsa ini tak banyak remaja Bali yang tahu. Cobalah tanya para peserta napak tilas perjalanan Ngurah Rai yang dimulai dari Kabupaten Jembrana. Para remaja yang mengarak panji-panji simbol perjuangan Ngurah Rai itu tak tahu harus menangkap semangat apa. Semangat kepahlawanan? Itu terlalu abstrak. Pantang menyerah? Itu sudah lazim di kalangan militer. Membela tanah Bali? Itu terlalu kecil buat sekaliber Pak Rai.
I Gusti Ngurah Rai meninggalkan warisan yang berharga, yakni bagaimana seorang prajurit profesional memimpin pasukan di lapangan. Tugasnya adalah mempertahankan kemerdekaan yang sudah diproklamasikan di Jakarta. Ia harus melawan setiap tindakan yang ingin menggagalkan kemerdekaan itu. Ia menolak melakukan diplomasi, karena tugasnya hanya berperang melawan siapa pun yang ingin menggagalkan kemerdekaan. Ucapannya tegas, urusan diplomasi adalah urusan pemimpin di Jakarta, sedangkan urusan di medan perang adalah bagaimana penjajah hengkang dari bumi Indonesia. Ketika perundingan yang akan dirancang Belanda itu buntu, perang pun terus berkobar dan Ngurah Rai memerintahkan ''perang puputan'', perang habis-habisan. Semangat heroik ini saling mengisi dengan pejuang-pejuang di daerah lain. Yang dibela Ngurah Rai tak sekadar Bali, tetapi Indonesia yang baru setahun merdeka.
Kepahlawanan Ngurah Rai dalam memutuskan Puputan Margarana diakui secara nasional dan itu sebabnya hampir di setiap kota besar ada jalan bernama Ngurah Rai. Namun, di Bali sendiri, Taman Makam Pahlawan Pancaka Tirta di Desa Marga, tempat para pejuang itu dulu gugur sebagai kusuma bangsa tak banyak dikunjungi orang. Inilah kegamangan orang Bali dalam menyikapi adanya taman makam pahlawan. Orang Bali tak tahu apa yang harus dilakukan di tempat itu. Sekadar mengheningkan cipta atau ikut menaburkan bunga di setiap makam? Tak heran kalau dulu Taman Makam Pahlawan di Tabanan lebih populer disebut Taman Bahagia.
Kegamangan membuat orang Bali enggan ke Taman Makam Pahlawan, karena serba salah. Di Taman Makam Pahlawan tidak ada makam para pahlawan Bali, lebih-lebih yang beragama Hindu. Kalau di situ ada makam, status tempat itu tentulah tergolong setra (kuburan) dan berlaku ketentuan cuntaka (sebel). Lagi pula, kalaupun nisan-nisan itu digolongkan makam, bagaimana mungkin orang Bali terus-menerus memuja leluhurnya di kuburan? Karena leluhur yang sudah diaben, berarti sudah menyatu dengan Hyang Widhi, amor ring acintya, dikenal dengan berbagai sebutan misalnya Hyang Pitara, Dewata-Dewati dan sebagainya. Sejak upacara Pitra Yadnya tak ada lagi pemujaan di kuburan. Hyang Pitara distanakan di kemulan, kawitan, rong tiga, tergantung dresta setempat.
Status Makam Pahlawan di Bali harus diperjelas agar umat tidak menjadi gamang. Tempat itu bukan kuburan, dan nisan-nisan yang bertuliskan nama pahlawan itu bukan makam tempat menanam jenazah, tetapi hanya sebuah simbol. Namanya saja monumen, jadi nisan itu pun sebuah monumen sebagai simbol bahwa di sana, pada masa lalu, ada pahlawan yang gugur. Tidak masalah kalau ada orang berdoa di sana, karena konsep Hindu kita bisa berdoa di mana saja, termasuk berdoa dengan menggunakan simbol. Cuma rasanya kurang etis kalau kita ke makam pahlawan membawa banten persembahan seperti sodan atau punjung. Ini bisa menimbulkan banyak tafsiran, seolah-olah sodan itu diperuntukkan bagi sang pahlawan yang sudah amor ring acintya. Kalau sesajen itu ditafsirkan sebagai persembahan kepada Hyang Widhi berkenaan dengan hari peringatan gugurnya sang pahlawan, masih bolehlah diterima.
Tetapi, sebaiknya tidak usah membawa sodan ke makam pahlawan, canang sari sudah cukup dan itu pun sarana persembahyangan kita ke hadapan Hyang Widhi dan bukan untuk pemujaan leluhur.
Mari kita merayakan Puputan Margarana dengan mewarisi kepahlawan Ngurah Rai, namun menempatkan beliau sebagai Hyang Pitara.