Minggu, 27 Oktober 2013

Kepemimpinan Hindu



Kepemimpinan Hindu
            Kemampuan individual seoarang pemimpin dalam melaksanakan kepemimpinannya melahirkan model atau gaya-gaya kepemimpinan. Menurut Nagon (1994:126) gaya kepemimpinan seorang pemimpin akan tepat, jika bersikap otoriter terhadap anggota yang tidak terdidik dan kurang mampu, sebaliknya sikap demokratis atau partisipatif cocok dimiliki pemimpin yang membawahi anggota yang intelektual dan berpendidikan. Pimpinan otoriter bersifat inisiatif tidak melibatkan tenaga kerja dalam proses pengambilan keputusan one man show dan menyenangi organisasi yang bersifat sentralistik. Pemimpin bersifat partisipatif lebih meningkatkan aspek menusia dan kerja serta menyenangi system kerja yang desentralisasi dan sering memberi delegasi wewenang. Ini menggambarkan tipe-tipe kepemimpinan yang paling mungkin diberikan oleh seorang pemimpin kepada organisasi dan masyarakat.
            Hindu, sebagai agama tertua di dunia ternyata telah memiliki pemikiran yang cemerlang tentang kepemimpinan. Salah satu tipe pemimpin ideal yang direkomendasikan oleh Arthasastra adalah Rajarshi. Secara harafiah Rajarshi terdiri atas dua kata, Raja dan Rshi. Raja berarti seorang pemimpin tertinggi dalam system monarki atau kerajaan. Sementara itu rshi menunjuk pada seseorang yang berkedudukan sebagai pendeta agama, atau orang yang memiliki pengetahuan mendalam di bidang keagamaan. Dengan demikian Rajarshi adalah dua buah konsep yang berbeda untuk membentuk sebuah kata baru sebagai satu kesatuan konseptual. Dalam konteks pemimpin dan kepemimpinan, raja dan rshi telah menjadi satu kesatuan karakter yang memeribadi dalam diri seorang pemimpin (Radendra S, 2005:37).
            Di zaman kerajaan India Kuno, tugas seorang pemimpin (raja) adalah menciptakan sebuah Negara yang sejahtera, sebagaimana tertuang dalam kitab Yajurveda yang diucapkan oleh Pendeta sebagai amanat sebelum pelantikan raja dilakukan, sebagai berikut :
 “Oh Tuhan, inilah kerajaan yang mulia, jadilah engkau seorang raja yang menjalani undang-undang dan memberi petunjuk kepada rakyat; tetaplah tabah dalam kedudukan; yang mulia adalah seniman yang mengetahui kalau pertanian akan tumbuh subur, dan kemakmuran Negara akan tetap tak tergoyahkan ; yang mulia tahu kalau rakyat akan menjadi kaya, dengan demikian rakyat akan dapat menikmati kehidupan yang layak” (Rao, 2003:177).
         
Sementara itu, ajaran Parikesit yang tertuang  dalam Atharvaveda juga menyebutkan tentang nyanyian pujian terhadap raja menyatakan bahwa pertanian dan perkebunan hendaknya berada dalam kondisi subur, perdamaian dan kebahagaiaan memiliki kedudukan yang penting didalam suatu kerajaan, dan yang namanya kelangkaan hendaknya tidak terjadi dalam kerajaan (Rao, 2003:178).
Pemimpin yang baik menurut Hindu adalah pemimpin yang mampu memberikan tauladan, selalu mengusahakan kesejahteraan rakyat (sukanikangrat), dan menghindari kesenangan pribadi (agawe sukaning awak). Hal ini ditegaskan dalam Arthasastra, bahwa kebahagiaan kepala Negara terletak pada kebahagiaan rakyatnya, apapun yang menyebabkan dirinya senang hendaknya tidak beranggapan bahwa itu yang baik, tetapi apapun yang membuat rakyat bahagia itulah yang terbaik bagi seorang raja (Gunadha, 2003:vii).
Dalam menjalankan kepemimpinannya seorang pemimpin wajib menjalankan konsep-konsep kepemimpinan Hindu yang telah dituangkan dalam kitab suci. Berbagai kitab yang berisi tentang konsep-konsep kepemimpinan seperti : Nitisastra, Arthasastra, Manawadharmasastra, Kakawin Ramayana, dan sebagainya memberikan petunjuk-petunjuk tentang cara mengelola Negara dengan baik dan berorientasi pada tercapainya kesejahteraan rakyat.
Terkait dengan penelitian ini maka ada dua konsep kepemimpinan Hindu yang akan dibahas, yaitu Catur Upaya Sandhi dan Asta Brata. Catur Upaya Sandhi, yaitu Sama, Bedha, Dana dan Danda. Sama bermakna bahwa seorang raja harus menjamin setiap warga negaranya mendapatkan hak yang sama dalam hukum, hak yang sama untuk hidup dan beraktivitas sesuai dengan swadharmanya, termasuk juga hak-hak istimewa yang mungkin didapatkan karena kecakapannya. Bedha, bermakna bahwa seorang raja harus bisa membedakan kawan dan lawan, teman dan musuh, untuk mengetahui hal-hal yang dapat membahayakan kedaulatan bangsa dan negara. Dana, bermakna bahwa seorang raja harus mampu mengusahakan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat, memberikan penghargaan kepada yang berjasa, memberikan sedekah bagi rakyat miskin, membantu negara lain yang menderita kesusahan akibat bencana, dan sebagainya. Danda, bermakna bahwa seorang raja adalah penegak hokum yang memiliki ketegasan dalam memberikan hukuman (punishment) kepada orang yang bersalah tanpa kecuali. Untuk menjalankan keempat hal ini tentu seorang pemimpin harus memiliki karakter kuat sehingga mampu melaksanakan tugas tanpa adanya pertimbangan-pertimbangan emosional yang bertentangan dengan prinsip-prinsip dharma (Gunadha, 2006).
Di samping itu dalam Hindu dikenal juga sebuah konsep yang disebut Astabrata. Astabrata sebagai delapan sifat mulia para dewa dalam pandangan Hindu dianggap sebagai komponen yang memadai untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat. Kedelapan komponen kepemimpinan menurut astabrata sebagaimana dijelaskan dalam Kakawin Ramayana dan kitab Manawa Dharmasastra adalah sebagai berikut :
(1)    Indra Brata, yakni Hyang Indra dianggap mengadakan hujan di dunia caranya dengan memberi atau menurunkan hujan kepada bumi sama rata, tidak boleh pilih kasih. Artinya, seorang pemimpin harus mampu memberi kesenangan, mengayomi, dan memberi kesejahteraan pada bawahan atau orang-orang yang dipimpin.
(2)     Yama Brata, yakni Bhatara Yama dianggap menjadi dewanya atma neraka, mengatur, dan menghukum orang yang berbuat curang dan memuji orang suci, jujur, dan setia. Artinya, seorang pemimpin harus mampu berlaku adil dan tegas, menghukum atau memberi sanksi kepada yang salah dan memberi penghargaan pada yang berprestasi.
(3)    Surya Brata, yakni tugas berat surya adalah tiap-tiap hari memanasi atau menerangi seluruh alam karena panasnya seluruh isi dan penghuni alam ini dapat bergerak atau tumbuh dengan baik. Oleh karena terangnya mereka dapat berjalan dengan cepat tidak meraba-raba dalam kegelapan. Artinya, seorang pemimpin harus mampu memberikan penerangan dan kekuatan pada orang-orang yang dipimpin.
(4)    Chandra Brata, yakni tercermin dalam sifat-sifat bulan, tatkala bulan penuh (purnama) semua penghuni dunia senang olehnya. Kias rakyat bahwa alam semesta ramah-tamah dan menunjukkan muka yang tenang kepada rakyat atau pengikutnya, baik dalam keadaan senang maupun kesusahan. Artinya, seorang pemimpin harus dapat memberi kesejukan dan kenyamanan pada bawahannya.
(5)    Bayu Brata, yakni sifat bayu (angin) ini tersebar keseluruh pelosok penjuru dunia sampai kepada badan seluruh makhluk untuk memberi kesejateraan hidupnya dengan tak dapat dilihat orang. Artinya, seorang pemimpin harus memahami hal ikhwal orang-orang yang dipimpin.
(6)    Kuwera Brata (Dana Brata), yakni Bhatara Kuwara dianggap dewa kekayaan. Pemimpin harus mengikhtiarkan kekayaan harta benda untuk kemegahan dan kemakmurannya dan seorang pemimpin harus berpenampilan simpatik dan rapi, baik dalam penampilan maupun dalam bertutur kata.
(7)    Barurna (Waruna Brata), yakni Bhatara Baruna dianggap dewa yang bersenjatakan Naga Panca yang bertugas membasmi sekalian durjana dan musuh. Artinya, pemimpin harus memiliki pengetahuan atau wawasan yang luas sehingga mampu mengendalikan bawahannya dengan kearifan dan kebijaksanaan.
(8)    Agni Brata, yakni konsep kepemimpinan ini ditirukan sifatnya agni (api) yang selalu menyala dan berkobar. Artinya, seorang pemimpin hendaknya mampu memotivasi dan membangkitkan semangat bawahan.
      Begitu pula dalam Kakawin Ramayana yang termuat dalam Sloka 84, dan bagian terakhir dari ajaran Asta Brata, yaitu sebagai berikut :
       Nahan de sang natha kemita, iringkang bhumi subhaga,
       Pararthasih yagong sakalara, nikang rat wi nulatan,
       Tuminghal yatna asing sawuwusikanang sasana tinut,
       Tepet masih tar weruh kutima, milaging bancana dumeh.
Artinya :
 Demikian   kewajiban    seorang    raja    untuk     melindungi   dunia   demi   untuk kemakmuran dan kebahagiaan rakyat. Seorang raja  harus  selalu mengutamakan kepentingan-kepentingan rakyatnya dan segala penderitaan rakyat harus dipikirkan. Segala ajaran-ajaran di dalam kitab-kitab suci harus diikuti dengan seksama. Dengan demikian, rakyat  akan  tetap mencintai raja dengan teguh, tidak mengenal kecurangan serta menjauhi penipuan, itulah akibatnya.