Minggu, 04 Agustus 2013

Belog Polos

Belog Polos

Sifat perilaku kebanyakan orang Bali yang tidak suka menonjolkan diri, menunjukkan kelebihan, apalagi bertingkah sombong, mungkin didasari kesadaran penuh pada hakekat ke-Tuhan-an yang maha kuasa di mana ada unsur keyakinan bahwa apapun yang dimiliki dan diketahui umat manusia sangat tidak berarti jika dibandingkan dengan-Nya.
Tetua di jaman lampau suka menasihati anak-anak agar selalu bersikap, berkata dan berpikir sederhana, tidak mengada-ada, tersirat dari lagu anak-anak:
“de ngaden awak bisa, ndepang anake ngadanin, gaginane bukah nyampat, anak sai tumbuh luhu, ilang luhu ebuk katah, wiadin ririh liu enu pelajahin”
Artinya: … “jangan mengira dirimu serba bisa, biarkan orang lain yang menilai, kerja bagaikan menyapu, karena selalu ada sampah, hilang sampah masih ada debu yang banyak, andaikan pintar masih banyak yang perlu dipelajari”.
Perilaku sederhana seperti itu pula mendorong mereka untuk lebih banyak mengalah daripada gigih berkompetisi. Selanjutnya menunjukkan sikap toleransi tinggi, selalu memikirkan kepentingan dan perasaan orang lain. Ingin hidup damai, tenang, dan seia sekata dalam paguyuban kemasyarakatan.
Inti sari filsafat dalam itihasa Mahabharata dan Ramayana yang sering diungkapkan dalam kidung, kekawin, dan pementasan wayang menanamkan keyakinan bahwa sesuatu yang adharma pasti akan kalah dan hancur, walaupun pada mulanya tampak akan berjaya. Sebaliknya dharma pasti akan menang walaupun awalnya tercabik-cabik.
Dewa-Dewa pun memihak pada dharma, sedangkan Raksasa berada di seberang. Manusia yang memihak Dewa akan menuju sorga, sedangkan yang suka Raksasa akan menuju neraka. Selain itu kisah-kisah semacam Jayaprana, ceritra I Bawang – I Kesuna, I Siap Badeng, Cerukcuk Punyah, dan lain-lain, semuanya menghargai dan membela kebenaran.
Orang Bali umumnya sabar, bisa mengendalikan diri. Hal-hal yang mengecewakan atau tidak memuaskan dipendam dalam hati. Sepanjang sejarah hal ini telah terbukti.
Dahulu, pada abad ke-17 banyak pekerja asal Bali dijualbelikan sebagai budak oleh raja-raja mereka. Ada yang terpaksa meninggalkan keluarga, anak dan istri selama-lamanya karena tunduk pada titah raja dijual sebagai budak ke luar Bali.
Itulah asal mula adanya kampung Bali di Jakarta, dan Desa Kebalen di Jawa, sebagai sentra pemukiman budak asal Bali dahulu kala. Kejadian di zaman sekarang, tengoklah “Bom Kuta – Bali” yang demikian hebat membawa korban jiwa dan memporak-porandakan turisme yang menjadi andalan penghasilan penduduk.
Di Koran kemudian tersiar berita bahwa para pelaku ledakan bom yang divonis mati, belum juga dieksekusi, bahkan tujuh belas Agustus yang lalu para pelaku mendapat remisi. Orang Bali tetap sabar dan menyerahkan sepenuhnya kasus itu pada pemerintah.
Di bidang pendapatan daerah, imbalan bantuan pemerintah pusat kepada Bali tidak sesuai dengan sumbangan pendapatan devisa baik berupa pendapatan bisnis maupun pajak. Berbagai ketidakadilan nampak dengan jelas di pelupuk mata.
Bali yang kaya raya dengan beragam seni budaya, yang menarik kunjungan jutaan wisman tetap saja miskin karena keuntungan dari industri pariwisata yang dinikmati pemerintah pusat tidak dibagikan secara proporsional ke daerah.
Sarana dan prasarana masih ketinggalan jaman dibanding dengan kota-kota di Jawa. Orang Bali masih tetap sulit mendapat lapangan kerja karena investasi tidak diarahkan ke Bali.
“Belog – polos” ungkapan yang sekarang terasa kurang enak, tidak mau diterima oleh kalangan muda-mudi. Mereka mungkin mengira kata “belog” = bodoh, dan “polos” = lugu. Sebenarnya tidak demikian.
Belog – polos mempunyai satu pengertian tentang pola pikir, ucapan, dan perilaku yang sederhana, jujur, tidak mementingkan diri sendiri, dan menjunjung nilai-nilai spiritual utama seperti yang diungkapkan di atas.
Walaupun demikian, kesabaran, dan kekuatan memendam rasa tidak puas dan ketidakadilan pada orang-orang Bali ternyata ada batasnya. Sejarah pula mencatat pemberontakan Untung Suropati, pemuda Bali yang menjadi budak di Pasuruan. Perang Puputan Jagaraga, Klungkung, dan Badung. Kepahlawanan Ngurah Rai, Wisnu, Gempol, Kajeng, dan kawan-kawan mereka melawan penjajah.
Penumpasan PKI/G-30-S melawan kebathilan, dan banyak lagi kasus-kasus lainnya yang tidak mencuat ke permukaan, menyangkut perlawanan pada hal-hal yang beraroma adharma.
Bagaikan aliran sungai yang terbendung, suatu ketika bendungnya jebol, banjir dahsyat meluap, dan membinasakan sekitarnya. Orang Bali bahkan tidak takut mengorbankan nyawa bila tekad mereka sudah menggumpal.
Kini, kaum cendekiawan Bali mulai berpikir dan berbicara soal Bali di masa depan. Tetapkah Hindu dalam artian agama dan budayanya masih bisa dipertahankan? Apa pula upaya kita melindungi dan mengembangkan ke-Hindu-an? Bagaimana nasib anak-cucu kita kemudian? Masihkah kesucian tanah Bali ajeg?
Diskusi pun ramai, di Kampus, di Balai Banjar, di Geria para Sulinggih, di Pura, di pertemuan paguyuban warga/ soroh, di pemerintahan, di radio/ televisi, di koran, di mana saja orang bertemu bahkan di dunia maya seperti website Hindu-Dharma Net, Babad Bali, Hindu Reform, dll.
Selain itu organisasi-organisasi ke-Hinduan muncul bak cendawan di musim hujan, dalam bentuk organisasi pemuda, mahasiswa, LSM, dll.
Bagus! Menggembirakan! Menambah semangat! Itu tanda-tanda kita peduli pada diri kita sendiri. Logis dan smart, jika bukan kita yang mengurus diri sendiri, lalu siapa? Mungkinkah suku lain yang memikirkannya, sementara orang Bali tidur ayem-ayem?
Sudah waktunya orang Bali unjuk gigi. Belog – Polos boleh-boleh saja namun ada batasnya dan jangan terlalu lama menahan ketidakpuasan, jangan terlalu lama membiarkan adharma mencabik-cabik kita, jangan pula membiarkan pihak-pihak tertentu “ngerjain” Bali.
Bangkitlah dan berjuanglah, karena jika tidak demikian kita akan tertinggal dan terlanggar oleh derasnya arus atau “rush”. Kita akan diinjak-injak, misalnya ada pejabat tinggi negara yang seenaknya ngomong meremehkan Bali.
Mungkin dalam pikirannya kita ini dianggap suku yang paling mudah diatur, paling penurut, paling penakut, paling “koh-ngomong”. Maka segera perkuat konsolidasi ke dalam, artinya bina, pupuk, dan kembangkan rasa kesatuan dan persatuan sesama umat Hindu khususnya yang ada di Bali.
Jangan mau di-adu domba, jangan silau dengan kemilau Rupiah atau Dollar dari suap, sogokan, pemberian, dll., jangan mau dirayu dengan janji-janji gombal, dan yang terpenting jangan mau ditipu. Hanya orang bodoh saja yang mudah di tipu. Kita bukan orang bodoh, kita sudah punya Professor, Doktor, segudang!
Kita sudah punya pejabat-pejabat tinggi di sipil dan militer, kita sudah punya usahawan yang berhasil, kita sudah punya kaum muda yang bersemangat. Tinggal dikoordinasikan saja. Para pejabat dan orang-orang Bali yang “sukses” dalam karir dan ekonomi yang ada di luar pulau Bali, mohonlah memperhatikan tanah air leluhurnya.
Jangan berpeluk tangan, tolong ikut memikirkan, memberi masukan, membantu perjuangan menuju kelestarian Bali: agama, budaya, penduduk, dan alam pulau Bali. Mencintai Bali sama juga mencintai leluhur kita sendiri, karena beliau orang Bali!

2 komentar:

  1. Selamat Malam

    artikel belog dan polos, namun kenyataannya tidak demikian, kini Bali tepatnya orang bali sudah pinter dan 'nyenye' (cerewet). Kepada siapa ? kepada para pemimpin yang telah berkata mensejahterakan rakyat, namun kenyataannya lebih mensejahterakan investor (penanam modal), dimanjakan, dibela mati-matian, sedangkan rakyatnya sendiri dianggap pengganggu di tanahnya sendiri... inggih suksma
    dumogi Bali semakin sejahtera secara lahir dan spiritual

    BalasHapus
  2. om swastyastu,

    Rahajeng kecunduk ring dunia maya pak wayan. Artikel niki becik pisan, meskipun masyarakat bali sudah ada yang pintar. tetapi "Belog Polos" sampunang punah. niki anggen slogan kemanten. Ampure niki bahasa tiyang campuran he he he.

    BalasHapus