Senin, 29 Juli 2013

SHAKTI


SHAKTI

Pada masa dewa Siva berawatara sebagai Mahesvaran yang melakukan tugas penyamaran. Shakti yang mendampingi nya disebut Mahesvari. Akhirnya ketika Dewa Siva berawatara sebagai Sadhaasivam, tugasnya adalah merestui semua umat manusia maka saktinya yang mendam¬pingi nya disebut Manoonmani. Kebenaran ini harus dipahami dengan jelas.

Dewa Siva sebenarnya tidak pernah mempunyai istri. Dewa Siva atau yang sering disebut sebagai Tuhan sebenarnya bukanlah seorang Lelaki atau Wanita. Melainkan sebagai simbol ( Nyaya) dari Siva Shakti (lihat Siva Linggam) dalam hal ini dimaksudkan bahwa agama Hindu tidak menganut Tuhan perempuan ataupun Tuhan Lelaki serta tidak beranak ataupun diperanakkan. Tapi jika dunia ataupun ciptaannya dalam bahaya maka beliau bisa mengambil segala rupa yang dike-hendakinya untuk turun ke dunia untuk menyelesaikan. seperti yang disabdakan dalam Bhagawad Gita. Bab 4 sloka 7

yadà yadà hi dharmasya glànir bhavati bhàrata,
abhyutthànam adharmasya tadàtmànam srjàmy aham.

Artinya.
Sesungguhnya manakala dharma terancam dan Adharma merajalela wahai Arjuna, saat itu Aku ciptakan diriku sendiri untuk menyelamatkan dharma.

Pengikut aliran Shakta, menyembah Shakti sebagai perwu-judan Tuhan yang maha segalanya. Pada suatu ketika aliran ini tersebar begitu pesat di seluruh India. Shakti disebut dengan berbagai nama seperti Aathi Shakti, Para sahkti, Purani, Raja Raajeswari, dan Thiripura Sundhari dll.
Shakti dalam seni musik atau pun kesenian disebut sebagai Kalaimagal (Dewi kesenian). Sedangkan dalam hal kemakmuran Shakti disebut sebagai Thirumagal (Dewi kemakmuran). Sakti dalam perwujudannya disembah sebagai dewi. Sebe¬narnya Siva dan Sakti bukan dua unsur yang berbeda. Jika Siva diandaikan sebagai Batu permata, maka pancaran permata itu adalah Shathi. Pancaran tersebut tidak dapat dibuang dari batu permata. Begitu juga dengan Shakti ia tidak dapat dipisahkan dari Siva dan sebaliknya.
Dalam perayaan Navaraatthiri, Shakti dipuja dalam bentuk Parasakthi, Lakhsmi dan Saraswati untuk mendapatkan restu bagi keberanian kemakmuran dan pendidikan. Apabila Shakti mendamplngi Siva, maka beliau disebut Para sakti. Ketika Sakti sebagai waktu atau zaman, maka beliau disebut Kaali. Pada saat Shakti melindungi dunia, maka ia dipuja sebagai Puwenesvari atau Ulaga naayagi.

MANTRA GAYATRl
Om katyaye naye widmahi.
Kaniya Kumari dhimahi
Tanno durge pracodayatho.

Om Shanti Shanti Shanti Om

Sabtu, 27 Juli 2013

Hindu Nusantara di Masa Depan

Aspek Upacara Hindu Nusantara di Masa Depan

Upacara dalam Bahasa Sanskrit berasal dari kata Upa yang artinya “dekat” dan Cara yang artinya “kegiatan”. Jadi Upacara arti sempitnya adalah kegiatan yang dilakukan dalam rangka berbakti atau mendekatkan diri kepada Tuhan.
Arti sempit ini kemudian berkembang sehingga dalam bahasa sehari-hari, upacara tidak saja berarti kegiatan dalam lingkup keagamaan, tetapi juga kegiatan seremonial di bidang lain.
Tiga aspek yang menjadi kerangka Agama Hindu adalah: Tattwa, Susila, dan Upacara.
  1. Tattwa: membentuk pola pikir manusia tentang pemahaman filsafat Veda
  2. Susila: menggerakkan dan mengendalikan perilaku berdasar Tattwa
  3. Upacara: ritual yang menguatkan keyakinan Tattwa
Ketiga aspek itu menyatu dan saling berkaitan sehingga bila salah satu aspek lemah atau tidak ada maka kehidupan beragama tidak berjalan sempurna.
Penonjolan salah satu aspek dari tiga kerangka Agama Hindu mencerminkan dua hal pokok yaitu kemampuan inteligensi dan “marga” yang digunakan dalam mencapai kesehatan spiritual.
Seseorang yang terpelajar akan lebih banyak menekuni bidang Tattwa dan Susila dibanding Upacara, sedangkan mereka yang terlalu menekankan aspek Upacara biasanya kurang mengerti Tattwa dan Susila.
Catur Marga adalah empat “jalan” menuju Tuhan yaitu Bhakti Marga, Karma Marga, Jnana Marga, dan Yoga Marga. Aspek Upacara bisa sangat menonjol pada Bhakti Marga sedangkan pada Marga-marga lainnya masalah ritual tidak terlalu diperhatikan.
Walaupun demikian, dengan berbagai Marga manusia Hindu dapat mencapai Tuhan karena Veda telah menyediakan alternatif yang paling sesuai di mana pada hakekatnya ke-empat Marga dapat digunakan secara serentak dengan perimbangan bobot menurut kemampuan masing-masing.
Inilah salah satu ciri kebesaran Agama Hindu sebagaimana disebutkan dalam Bhagavadgita IV.11:
YE YATHA MAM PRAPADYANTE, TAMS TATHAI VA BHAJAMY AHAM, MAMA VARTMA NUVARTANTE, MANUSYAH PARTHA SAVASAH
Dengan jalan bagaimanapun orang-orang mendekati, dengan jalan yang sama itu juga Aku memenuhi keinginan mereka. Melalui banyak jalan manusia mengikuti-Ku, O Partha.
Aspek Upacara sangat berkaitan dengan Panca Yadnya, yaitu Deva Yadnya, Rsi Yadnya, Pitra Yadnya, Bhuta Yadnya, dan Manusia Yadnya. Dalam Manava Dharmasastra III.73 disebut sebagai:
AHUTA, HUTA, PRAHUTA, BRAHMAHUTA, DAN PRASITA
Yadnya adalah bhakti dalam bentuk pengorbanan suci yang tulus ikhlas.
Yadnya diadakan karena hidup manusia berawal dari adanya Rna atau “hutang” kepada tiga pihak yaitu:
  1. Deva Rna: hutang kepada Tuhan yang telah memberi kesempatan pada Atman untuk bereinkarnasi dalam kehidupan.
  2. Pitra Rna: hutang kepada orang tua yang telah melahirkan dan memelihara.
  3. Rsi Rna: hutang kepada para Maha Rsi yang telah memberikan pengetahuan Veda.
Di samping itu ada kelompok Yadnya yang tidak berkaitan dengan Rna, yaitu Drwya Yadnya, Jnana Yadnya, dan Tapa Yadnya.
Drwya Yadnya adalah memberi dana punia, Jnana Yadnya adalah kegiatan belajar dan mengajar, dan Tapa Yadnya adalah pengendalian diri.
Tiga jenis Yadnya ini yang juga disebut sebagai Yadnya dalam arti luas, tidak berkaitan dengan aspek Upacara tetapi harus dilaksanakan untuk mewujudkan Bhakti dan mencapai kesadaran rohani yang tinggi.
Oleh karena itu Panca Yadnya sering disebut sebagai Yadnya dalam arti sempit, artinya belum sempurna jika tidak diikuti dengan Drwya, Jnana, dan Tapa Yadnya.
Upacara Panca Yadnya menggunakan Upakara, dari Bahasa Sanskrit di mana Upa artinya “dekat” dan Kara artinya “tangan” yaitu sesuatu yang dikerjakan dengan tangan dalam mewujudkan Bhakti. Bentuk upakara adalah sesajen dan sarana pendukungnya.
Unsur-unsur Upakara adalah: bunga, air, api, biji-bijian/ buah-buahan dan harum-haruman. Kelima unsur ini disebut Panca Upakara, sebagai pengembangan dari sloka Bhagawadgita IX.26:
PATTRAM PUSPAM PHALAM TOYAM, YO ME BHAKTYA PRAYACCHATI, TAD AHAM BHAKTYUPAHRTAM, ASNAMI PRAYATATMANAH
Siapapun yang dengan kesujudan mempersembahkan pada-Ku daun, bunga, buah-buahan, atau air, persembahan yang didasari oleh cinta dan keluar dari hati suci, Aku terima.
Penggunaan api disebutkan dalam Manava Dharmasastra III.76:
AGNAU PRASTAHUTIH SAMYAG ADITYAM UPATISTATE, ADITYAJJAYATE VRSTIR VRISTERANNAM TATAH PRAJAH
Persembahan yang dijatuhkan ke dalam api akan mencapai matahari, dari matahari turunlah hujan, dari hujan timbullah makanan, dari mana mahluk mendapatkan hidupnya.
Upakara berupa sesajen dan sarana pendukungnya adalah simbol atau Niyasa. Mencakup jenis yang banyak karena berkembang lebih jauh berdasarkan tafsir-tafsir para Maha Rsi.
Dari bentuk dasar berupa Panca Upakara menjadi berbagai variasi, ornamen, warna, dan tatanan, selanjutnya menyatu dalam tradisi yang membudaya.
Pengembangannya dimulai dari sloka Manava Dharmasastra III.81:
SVADHYAYANARCAYET SAMSIMNHOMAIR DEVANYATHAVIDHI, PITRRN CRADDHAISCA NRRNAM NAIRBHUTANI BALIKARMANA
Hendaknya sembahyang sesuai menurut aturan; kepada Rsi dengan mengucapkan Veda, kepada Deva dengan sesajen yang berisi api, kepada leluhur dengan Sraddha, kepada manusia dengan pemberian makanan dan kepada Bhuta dengan upacara kurban.
Dari sini berkembanglah berbagai jenis sesajen yang terdiri dari unsur tumbuh-tumbuhan dan hewan, serta penggunaan warna-warna tertentu menurut ciri dan kedudukan Deva-Deva di arah mata angin, yaitu: Ishvara di timur berwarna putih, Brahma di selatan berwarna merah, Mahadeva di barat berwarna kuning, dan Visnu di utara berwarna hitam.
Selanjutnya Deva dan warna-warna sela: Mahesora di tenggara berwarna merah muda, Rudra di barat daya berwarna oranye, Sangkara di barat laut berwarna hijau, Sambhu di timur laut berwarna abu-abu dan Siva di tengah-tengah berwarna campuran.
Upakara sebagai simbol atau Niyasa dalam bentuk sesajen dapat berfungsi sebagai:
  1. Kekuatan Tuhan,
  2. Wujud bhakti,
  3. Prasadam,
  4. Sarana pensucian roh,
  5. Mantra.
Sebagai kekuatan atau Sakti Tuhan misalnya niyasa yang disebut sebagai Daksina, banyak digunakan di India dan Nusantara; sebagai wujud bhakti, antara lain berbagai jenis sesajen persembahan; sebagai Prasadam adalah makanan-minuman yang telah diberkati;
Sarana pensucian roh banyak digunakan pada upacara Sraddha baik berupa bunga, air dan api; kemudian Mantra-Mantra dapat pula diwujudkan dalam bentuk ornamen dan sesajen tertentu, atau kain dengan warna tertentu bertuliskan aksara-aksara suci misalnya OM, Ang, Ung, Mang, dll.
Selain itu Niyasa dalam bentuk bangunan misalnya Pura/ Mandir, dan patung/ arca.
Upacara dari masa ke masa mengalami evolusi secara perlahan dan pasti karena terjadi perubahan-perubahan pada kehidupan manusia meliputi:
  1. Kecerdasan,
  2. Adanya sumber alam berupa tumbuh-tumbuhan dan hewan, dan
  3. Pola kehidupan manusia.
Umat Hindu Nusantara semakin terdidik dan terpelajar sehingga konsep Catur Marga mengalami pergeseran bobot yaitu lebih cenderung mendalami Marga-Marga Jnana dan Yoga.
Sejalan dengan itu dalam upaya memantapkan keyakinan pada Tuhan YME, pola pikir umat Hindu bergeser dari Praktiyasa Pramana dan Upamana Pramana, menuju pada Agama Pramana dan Anumana Pramana.
Tidak seperti leluhur kita di zaman lampau yang kurang pengetahuannya, berusaha meyakini kebesaran Tuhan dengan pengandaian (upamana) dan memperhatikan (praktiyasa) peristiwa-peristiwa alam yang tidak dipahami seperti “terbitnya matahari” di timur, adanya kilat/ petir, pasang surut air laut, bulan purnama, dan bulan gelap, adanya hari siang dan malam, perubahan posisi bintang-bintang, dll.
Perubahan pola pikir yang membentuk kepercayaan dan keyakinan pada kebesaran Tuhan akan banyak diperoleh dari mempelajari Veda (agama) dan menarik kesimpulan pada suatu kebenaran yang tak terbantah (anumana).
Di samping itu dalam pelaksanaan upacara, bahan-bahan dari sumber alam berupa tumbuh-tumbuhan dan hewan semakin langka. Di kota-kota besar sulit menemukan bahan-bahan untuk sesajen misalnya janur, daun pisang, jenis bunga tertentu, babi, bebek, dll.
Oleh karena itu umat Hindu Nusantara di masa depan akan sulit mempertahankan tradisi jenis upakara seperti yang diajarkan oleh tetua mereka dari generasi ke generasi.
Demikian pula hal-hal yang menyangkut pola kehidupan, telah bergeser dari pola kehidupan masyarakat agraris ke masyarakat industrialis.
Di masyarakat agraris seperti leluhur kita di masa lampau, aktivitas kehidupan seolah-olah terbagi dua yaitu di musim hujan dan musim kemarau. Di musim hujan ada pekerjaan seperti mengolah sawah, menanam pohon, mulai memelihara hewan, dll.
Sebaliknya di musim kemarau banyak waktu luang, hasil panen cukup, maka upacara-upacara keagamaan boleh dengan santai dilaksanakan di musim itu.
Kini, di era industrialisasi, pola hidup sudah sangat berubah; tidak lagi dipengaruhi musim dan iklim, waktu setiap menit sangat berharga. Segala aktivitas kehidupan mengacu pada pertimbangan-pertimbangan efektivitas dan efisiensi.
Pedoman dasar upacara Agama Hindu disebut dalam Veda sebagai Brahmana (Karma Kanda), dan Aranyaka/ Upanisad (Jnana Kanda).
Kitab-kitab yang tergolong Karma Kanda dari Rg Veda adalah Aiteraya dan Kausitaki, dari Sama Veda adalah Pancavimsa dan Sadvimsa, dari Yayur Veda adalah Satapatha dan Taittiriya, dari Atharva Veda adalah Gopatha.
Kitab-kitab yang tergolong Jnana Kanda dari masing-masing Samhita jumlahnya puluhan buah.
Upacara-upacara yang berkaitan dengan Rg Veda Samhita meliputi arti kedudukan yang penting dari Div, dan prosedur pemujaan yakni urutan pengucapan mantra.
Yang berkaitan dengan Yayur Veda Samhita, baik Sukla Yayur Veda maupun Krsna Yayur Veda adalah upacara korban dan penjelasan mistisnya.
Yang berkaitan dengan Sama Veda Samhita adalah cara atau irama suara di kala mengucapkan mantra, dan yang berkaitan dengan Atharva Veda Samhita menyangkut cara memanfaatkan pengetahuan untuk kehidupan dan kesehatan.
Apa yang dapat disimpulkan dari kitab-kitab Brahmana, Aranyaka, dan Upanisad bahwa upacara Agama Hindu seharusnya lebih banyak menekankan wujud Bhakti kepada Tuhan sebagai dasar kebenaran dalam mencari pencerahan spiritual.
Tidak sebagaimana tafsir kebanyakan orang, terutama di Bali yang membesarkan unsur upakara pada setiap upacara sehingga kadang-kadang tujuan utama sebagai Bhakti tidak jelas terlihat.
Dalam Aiteraya dan Kausitaki misalnya disebutkan bahwa setiap pemuja yang melakukan upacara baik sendiri-sendiri maupun secara berkelompok harus mengucapkan mantra menurut urutan dan irama yang tertentu.
Walaupun pada pemujaan berkelompok Pendeta atau Hotr bertugas memimpin pengucapan mantra, tetapi ia hanyalah sebagai pengarah.
Hotr tidak hanya bertugas sebagai pemandu, tetapi ia juga wajib menjelaskan makna upacara yang dilakukan. Hotr yang demikian disebut sebagai Adhvaryu karena ia menguasai Yayurveda Samhita dengan baik.
Dalam kitab-kitab Karma Kanda lainnya seperti Satapatha, Taittiriya, dan Gopatha juga disebutkan bahwa persembahan berupa upakara apapun tidak akan bermanfaat jika tidak disertai dengan mantra yang tepat dari Bhakta yang bersangkutan.
Dengan demikian, di masa depan umat Hindu Nusantara hendaknya melakukan upacara yang lebih tinggi kualitasnya dari masa lampau, lebih efektif dan lebih efisien.
Kitab-kitab Brahmana, Aranyaka dan Upanisad dapat digunakan sebagai pedoman untuk memastikan perolehan manfaat tinggi dalam pelaksanan upacara.
Kerajinan dan keuletan mempelajari kitab-kitab suci sudah menjadi kewajiban kita untuk memastikan pola upacara sehingga tidak tergantung pada tradisi-tradisi berupacara yang tidak jelas acuan sastranya.
Segala bentuk upakara, simbol atau Niyasa yang ada di masa kini mestinya dikaji ulang, apakah masih relevan dan tidak menyimpang dari kitab-kitab Brahmana, Aranyaka, dan Upanisad.
Banyak hal-hal yang tidak dipahami benar, tetapi diterima sebagaimana adanya karena tidak mempunyai acuan sehingga tidak mempunyai pilihan lain.
Pemeluk Hindu Nusantara pada umumnya meniru tradisi beragama di Bali. Ambillah contoh mengenai bangunan pemujaan yang berbentuk Padmasana.
Bangunan ini pertama kali diperkenalkan di Bali pada abad ke-14 oleh Mpu Nirartha, di mana sebelumnya umat Hindu di Jawa tidak mengenal bentuk Padmasana. Mereka mengenal bentuk bangunan pemujaan sebagai Candi-Candi atau lebih menyerupai Mandir di India.
Demikian pula tentang upakara yang di Bali disebut Banten. Banten mula-mula dikenalkan oleh Maharsi Markandeya sekitar abad ke-8 kepada penduduk di sekitar pertapaan beliau di Desa Puakan, Taro (sekarang Kecamatan Tegallalang, Gianyar).
Jenis simbol/ niyasa ini adalah pengganti Mantra, sebagaimana disebutkan dalam Lontar Yajnya Prakerti dan Mpu Lutuk. Jadi banten dikembangkan kepada umat Hindu yang tidak menguasai mantra-mantra dalam kegiatan bhaktinya.
Banten itu dahulu dinamakan Bali, sehingga orang-orang yang melakukan upacara persembahyangan menggunakan Banten disebut orang Bali. Lama kelamaan ajaran Maharsi Markandeya ini berkembang ke seluruh pulau maka jadilah nama pulau kecil ini: Pulau Bali.
Berbicara mengenai simbol “pengganti ucapan Mantra” di beberapa tempat berbeda. Di India dan Nepal simbolnya adalah lonceng-lonceng besar yang digantungkan di sebelah patung Deva. Mereka yang tidak pandai mengucapkan mantra cukup dengan menyembah patung dan memukul lonceng.
Di Bali, seperti yang dijelaskan di atas, banten juga berfungsi sebagai pengganti mantra. Generasi Hindu Nusantara di masa depan mempunyai pilihan yang jelas, yaitu bila tidak mampu membuat banten yang mahal, rumit, sulit dan memakan waktu, maka mantra-mantra harus dikuasai dengan baik.
Sehingga walaupun bantennya sederhana misalnya hanya susunan daun (daun Tulasi, Bila, Mangga, Beringin, dll), bunga, buah, harum-haruman (serbuk cendana), air dan dupa, atau canang sari, manfaat upacara akan lebih bagus.
Bentuk-bentuk bangunan pemujaan tidak harus dipaksakan seperti di Bali. Mestinya budaya lokal digali dan dikembangkan apakah berbentuk candi, atau patung. Tempat sembahyang juga tidak harus terbuka.
Di tempat-tempat yang curah hujannya tinggi atau jika ingin sembahyang dengan tenang, santai dan bersih, boleh saja tempat sembahyang tertutup, diberi atap dengan lantai marmer, memakai air condition, sehingga konsentrasi tidak terganggu ketika melakukan yoga atau meditasi ataupun sembahyang biasa.
Bentuk bangunan Pura-Pura di Bali yang kita warisi dari leluhur sejak berabad yang lampau, dibangun ketika situasi dan kondisi lingkungan masih memungkinkan, karena tersedianya lahan yang luas, dan belum ada polusi debu, asap mobil, kebisingan, dan gangguan kabel-kabel telepon-listrik.
Di Kota Denpasar misalnya, alangkah “merana”-nya sebuah Pura yang berdiri lesu di tengah-tengah kawasan bisnis. Timbul pertanyaan apa mungkin berkonsentrasi dengan baik memuja Tuhan, sementara bunyi klakson dan deru mobil di sekitarnya tiada henti.
Agama Hindu adalah Agama yang sangat mudah dilaksanakan. Ia sangat toleran dengan berbagai perubahan karena ia adalah Sanatana Dharma. Ia juga bukan doktrin yang kaku.
Ia memberikan kebebasan yang luas kepada umat-Nya untuk menempuh berbagai jalan yang termudah dan terbaik menurut keyakinan masing-masing.
Kita mestinya menyadari hal ini dan selalu mengembangkan pikiran-pikiran yang positif dan aktif dalam membangun reformasi menuju kehidupan yang lebih baik.

Senin, 22 Juli 2013

Sulinggih di Jaman Kali

Menjadi Sulinggih di Jaman Kali

Kedudukan Pandita (Pendeta) dalam masyarakat Hindu sangat mulia sehingga dinamakan Sulinggih, artinya kedudukan yang utama. Selain disebut sebagai Sulinggih juga disebut sebagai Sang Dwijati, artinya yang lahir kedua kali.
Kelahiran pertama dari rahim Ibu sebagai manusia biasa yang membawa karma wasana dari atman yang ber-reinkarnasi. Karma wasana terdiri dari dua kelompok yaitu Swabhawa dan Guna. Swabhawa adalah bibit-bibit sifat sedangkan Guna adalah bibit-bibit minat dan bakat.
Kelahiran kedua adalah kelahiran yang diberikan oleh seorang Guru (Nabe) yang mengajarkan Weda sesuai dengan peraturan dan mendapatkannya melalui Sawitri Mantram.
Kelahiran kedua ini melalui proses yang panjang karena terlebih dahulu Swabhawa dan Guna diarahkan pada hal-hal yang suci dan positif sejak usia dini kemudian berbagai disiplin dan ilmu diajarkan dalam proses aguron-guron yang dipimpin oleh Nabe
Tahapan dan proses itu diuraikan antara lain dalam Manawa Dharmasastra II sloka 169 dan 170.
Jika itu dapat dilaksanakan dengan baik maka menjadilah ia Sulinggih yang memenuhi empat kriteria yaitu:
  1. Sang Satya Wadi, artinya orang yang selalu berbicara mengenai kebenaran dan hal-hal yang benar.
  2. Sang Apta, artinya orang yang dapat dipercaya.
  3. Sang Patirthan, artinya orang yang dapat dimintai mensucikan diri oleh umatnya.
  4. Sang Panadaham Upadesa, artinya orang yang memiliki swadharma memberikan pendidikan moral kesusilan kepada masyarakat agar hidup dengan harmonis dan berbudi luhur.
Kesimpulannya, Sulinggih yang ideal adalah yang berperan sebagai Adi Guru Loka artinya guru utama dalam masyarakat lingkungannya.
Dewasa ini banyak Sulinggih yang tidak sempat melalui proses panjang itu namun berhasil menjadi Sulinggih ideal karena beliau berusaha memenuhi kekurangan-kekurangan di masa walaka yakni mengembangkan Swabhawa dan Guna pada hal-hal yang positif dan suci.
Di samping itu senantiasa memperhatikan gejolak masyarakat serta membekali diri dengan berbagai pengetahuan lebih dari apa yang telah diperoleh dari Nabenya. Nabe yang baik tentu menginginkan putranya menjadi lebih baik daripada dirinya sebagaimana swadharma seorang guru biasa.
Misalnya seorang guru SLTA tentu tidak menginginkan muridnya hanya tamatan S.1 seperti dirinya; ia pasti ingin agar anak didiknya di suatu saat mencapai pendidikan tertinggi misalnya S.3, dll. Keberhasilan dalam kiprah ke-Sulinggihan seorang Putra akan membawa keharuman dan nama baik Nabe-nya.
Kriteria Sulinggih di tiap-tiap zaman pada umumnya sama seperti yang disebutkan di atas, namun dalam implementasi tugas dan fungsi, fokusnya berbeda-beda.
Di zaman Kertayuga, Sulinggih menerima wahyu Hyang Widhi dan meneruskannya berupa ajaran-ajaran agama kepada para pengikutnya.
Di zaman Tritya dan Dwapara di mana adharma sudah muncul sampai ke setengah jumlah penduduk, tugas Sulinggih semakin berat memperjuangkan tegaknya dharma.
Di zaman Kali seperti sekarang ini tugas Sulinggih sudah sangat-sangat berat karena getaran-getaran serta rangsangan untuk berbuat adharma tidak hanya terjadi pada umatnya saja tetapi juga bisa terjadi pada diri Sulinggih, sehingga perilaku kebanyakan manusia di zaman Kali mempunyai ciri-ciri antara lain:
  1. Atyanta Kopah, yaitu sifat yang mudah marah apabila keinginannya tidak tercapai.
  2. Katukaa cawani, yaitu suka berkata-kata kasar, membentak, berbohong, menipu, dan memfitnah karena merasa kepentingannya terancam.
  3. Daridrata, yaitu sifat lobha atau tidak pernah puas dengan apa yang sudah dimiliki, kikir, malas ber-dana punia atau membantu orang lain yang ditimpa kesusahan.
  4. Swajanesu wairan, yaitu tega memusuhi keluarganya sendiri karena didorong oleh kepentingan pribadi.
  5. Niica prasangga, yaitu melakukan swadharma bukan dari hati nurani yang suci, tetapi demi harta kekayaan tanpa memperhatikan segi-segi sosial.
  6. Kulahiina sewa, yaitu bersahabat dengan orang-orang bejat.
Upaya yang kuat perlu dilaksanakan agar keempat kriteria Sulinggih seperti yang disebutkan di atas dapat terus dipertahankan. Sulinggih mestinya sudah mampu mengendalikan diri agar tidak terkena godaan-godaan Sad Ripu serta teguh pada norma-norma kesulinggihan antara lain teguh melaksanakan yama brata, niyama brata, trikaya parisudha, dll.
Setelah berhasil mensucikan diri dan memperkuat pertahanan dari getaran-getaran adharma barulah ia dapat memenuhi swadharmanya sebagai Adi Guru Loka Namun demikian untuk mencapainya tidak sedikit kendala yang dihadapi Sulinggih dan lembaga kesulinggihan di masa kini, antara lain:
1. Latar belakang pendidikan yang kurang memadai.
Kebanyakan Sulinggih “tidak sengaja” menjadi Sulinggih, artinya tidak dipersiapkan sejak dini, misalnya mengikuti pendidikan Agama Hindu pada Perguruan Tinggi, atau Perguruan Tingi lainnya yang sederajat. Pendidikan yang kurang memadai ini berakibat pada wawasan yang sempit.
Seandainya Sulinggih berpendidikan yang memadai, maka ia akan memiliki keterampilan leadership, memiliki daya analisis, memiliki kemampuan problem solving, serta pandai mengambil keputusan sebagai decision maker, karena Sulinggih adalah leader bagi umatnya yang tugasnya setiap hari adalah mengambil keputusan.
Contoh-contoh kegiatan Sulinggih misalnya: Sebagai pemuput upacara, ia adalah pemimpin upacara; tugasnya akan lebih lancar bila mengetahui teori-teori manajemen, network planning, cost benefit analysis, dll. Dalam menghadapi problema di masyarakat, seorang Sulinggih yang berpendidikan cukup mengerti pada peraturan perundangan yang berlaku misalnya Undang-Undang Perkawinan.
Dalam upaya melindungi umat Hindu dari pengaruh budaya atau agama lain, Sulinggih yang terdidik baik akan mencoba menerapkan teori SWOT analysis.
Sering dijumpai, karena kurangnya wawasan dan kemampuan berdialog, para Sulingih kita keteteran dalam forum-forum Seminar, Paruman, atau pertemuan antar pemimpin umat beragama lain. Para Pendeta dari kalangan umat Kristen, Budha, dan Ustadz atau Kiayi dari umat Islam rata-rata berpendidikan S1.
2. Pemerintah kurang memperhatikan pendidikan Agama Hindu.
Belum ada sekolah yang bernuansa Hindu sejak dasar sampai perguruan tinggi yang berkelanjutan. Sekolah-sekolah umum sejak TK menggunakan pengantar Bahasa Indonesia, sehingga ketika memasuki Perguruan Tinggi bernuansa Hindu siswa menjadi asing pada bahasa Bali, aksara Bali, apalagi bahasa Kawi, dan Sanskerta.
3. Minat kaum muda untuk menjadi Sulinggih hampir tidak ada
Kecuali bagi keluarga tertentu di mana ia diharapkan menjadi calon pengganti pendahulunya yang sudah menjadi Sulinggih. Dewasa ini seseorang menjadi Sulinggih rata-rata di atas usia 50 tahun, pada usia mana biasanya fisik sudah kurang fit, daya pikir sudah berkurang, dan efek psikologis negatif lainnya seperti post power syndrome.
4. Pemerintah kurang memperhatikan nasib Sulinggih.
Ada Sulinggih yang kehidupan sehari-harinya memprihatinkan dan tidak mampu berobat ke dokter bila sakit. Sangat berbeda dengan apa yang dijumpai di Thailand misalnya, Pemerintah mengeluarkan dana yang tidak sedikit bagi tunjangan kehidupan para Bhiku, memelihara kuil/ pagoda, dan menyelenggarakan upacara-upacara.
Sumber dana untuk itu di Thailand berasal dari share income tourisme yang menjadikan pagoda dan kehidupan bhiku sebagai objek wisata, serta dari sumbangan (dana punia) umat. Kita mengenal adanya Rsi Yadnya dan Rsi Bojana, tetapi itu baru dilaksanakan insidentil dan tidak merata kepada semua Sulinggih.
Itulah gambaran kontradiktif yang dilihat dewasa ini. Kontradiktifnya terletak pada tugas-tugas Sulinggih yang sangat berat dibanding dengan kemampuan Sulinggih untuk memimpin umatnya agar selamat sejahtera di zaman Kali.
Yang menyedihkan, ada yang menuding lembaga kesulinggihan cukup keras karena menurut pengamatannya Sulinggih sebagai pemuka agama dianggap sudah terkooptasi (terbeli) oleh kekuasaan dan uang, bahkan dikatakan sudah berhianat karena memutar balikkan makna dharma dan widiya.
Seandainya itu benar, tentu kita sepakat untuk membenahinya dengan terlebih dahulu mengerti akar permasalahan seperti yang diuraikan di atas. Berbagai solusi bisa saja diambil bila pra kondisi berikut ini diperhatikan:
  1. Mereka yang ingin menjadi Sulinggih hendaknya menyadari bahwa tujuannya adalah mengabdi kepada umat, selain tujuan mensucikan diri sebagaimana diatur dalam kaidah Catur Ashrama. Mengabdi kepada umat berarti menjadi pelayan masyarakat di bidang kerohanian tanpa pamrih.
  2. Masyarakat menghargai serta menghormati Sulinggih bukan karena hubungan-hubungan tradisional gugon tuwon (mula keto) tetapi karena melihat Sulinggihnya benar-benar sebagi tokoh yang membela kepentingan umat.
  3. Pemerintah memberikan dorongan agar lembaga ke-Sulinggihan tetap ajeg dengan memberi bantuan fasilitas yang memadai, tetapi juga meminta prestasi swadharma kesulinggihan dalam membantu Pemerintah mendidik dan membina budi pekerti masyarakat.
  4. Merangsang kaum intelektual untuk menjadi Sulinggih. Hal ini bisa terjadi bila Masyarakat dan Pemerintah dapat menciptakan kondisi bahwa lembaga kesulinggihan itu terhormat dan diperlukan. Dewasa ini Sulinggih memang merasa dihormati, tetapi belum merasa diperlukan, atau keperluannya terbatas insidentil pada kegiatan muput-muput karya saja.
Apa yang dipaparkan di atas mudah-mudahan dapat membawa pembaca pada kesadaran perlunya kita mempunyai Adi Guru Loka dalam menghadapi kehidupan yang sulit di masa kini.

Minggu, 21 Juli 2013

Awatara Dewa Wisnu



Awatara Dewa Wisnu
Awatara atau Avatar dalam agama Hindu adalah inkarnasi dari Tuhan Yang Maha Esa maupun manifestasinya. Tuhan Yang Maha Esa ataupun manifestasinya turun ke dunia, mengambil suatu bentuk dalam dunia material, guna menyelamatkan dunia dari kehancuran dan kejahatan, menegakkan dharma dan menyelamatkan orang-orang yang melaksanakan Dharma/Kebenaran.Agama Hindu mengenal adanya Dasa Awatara yang sangat terkenal di antara Awatara-Awatara lainnya. Dasa Awatara adalah sepuluh Awatara yang diyakini sebagai penjelmaan material Dewa Wisnu dalam misi menyelamatkan dunia. Dari sepuluh Awatara, sembilan diantaranya diyakini sudah pernah menyelamatkan dunia, sedangkan satu di antaranya, Awatara terakhir (Kalki Awatara), masih menunggu waktu yang tepat (konon pada akhir Kali Yuga) untuk turun ke dunia. Kisah-kisah Awatara tersebut terangkum dalam sebuah kitab yang disebut Purana.
1. Matsya Avatar


Dalam ajaran agama Hindu, Matsya adalahawatara Wisnu yang berwujud ikan raksasa. Dalam bahasa Sanskerta, kata matsya sendiri berarti ikan. Menurut mitologi Hindu, Matsya muncul pada masa Satyayuga, pada masa pemerintahan Raja Satyabrata (lebih dikenal sebagai Maharaja Waiwaswata Manu), putra Wiwaswan, dewa matahari. Matsya turun ke dunia untuk memberitahu Maharaja Manu mengenai bencana air bah yang akan melanda bumi. Ia memerintahkan Maharaja Manu untuk segera membuat bahtera besar.
Kisah dengan tema serupa juga dapat disimak dalam kisah Nabi Nuh, yang konon membuat bahtera besar untuk melindungi umatnya dari bencana air bah yang melanda bumi. Kisah dengan tema yang sama juga ditemukan di beberapa negara, seperti kisah dari penduduk asli Amerika dan dari Yunani.Dalam diri manusia "ikan" adalah lambang sebuah benih. Atau sel sperma dan sel telur. Sel seperma tidak akan mengalami pembuahan jika tidak ada sel telur yang bagus. Untuk menampung pertemuan tersebut dalam organ tubuh wanita disebut dengan rahim ( perahu dari raja Manu). Jaman Satya Yuga jika dalam diri manusia adalah ketika masih dalam kandungan hingga berumur 3 tahun.
Pada kehidupan di bumi = ikan merupakan binatang air. Pada awal terbentuknya dunia yang ada adalah kehidupan satwa air. Jaman Ordovisium (500 - 440 juta tahun lalu) Zaman Ordovisium dicirikan oleh munculnya ikan tanpa rahang (hewan bertulang belakang paling tua) dan beberapa hewan bertulang belakang yang muncul pertama kali seperti Tetrakoral, Graptolit, Ekinoid (Landak Laut), Asteroid (Bintang Laut), Krinoid (Lili Laut) dan Bryozona. Koral dan Alaga berkembang membentuk karang, dimana trilobit dan Brakiopoda mencari mangsa. Graptolit dan Trilobit melimpah, sedangkan Ekinodermata dan Brakiopoda mulai menyebar. Meluapnya Samudra dari Zaman Es merupakan bagian peristiwa dari zaman ini. Gondwana dan benua-benua lainnya mulai menutup celah samudera yang berada di antaranya. 
Kisah tentang Matsya dapat disimak dalam Matsyapurana dan juga Purana lainnya. Diceritakan bahwa pada saat Raja Satyabrata (yang lebih dikenal sebagai Waiwaswata Manu) mencuci tangan di sungai, seekor ikan kecil menghampiri tangannya dan sang raja tahu bahwa ikan itu meminta perlindungan. Akhirnya ia memelihara ikan tersebut. Ia menyiapkan kolam kecil sebagai tempat tinggal ikan tersebut. Namun lambat laun ikan tersebut bertambah besar, hampir memenuhi seluruh kolam. Akhirnya ia memindahkan ikan tersebut ke kolam yang lebih besar. Kejadian tersebut terus terjadi berulang-ulang sampai akhirnya beliau sadar bahwa ikan yang ia pelihara bukanlah ikan biasa.
Akhirnya melalui upacara, diketahuilah bahwa ikan tersebut merupakan penjelmaan Dewa Wisnu. Dalam versi lain, ikan itu dibawa ke samudera. Ikan itu sendiri menyampaikan kabar bahwa di bumi akan terjadi bencana air bah yang sangat hebat selama tujuh hari. Ikan itu berpesan agar sang raja membuat sebuah bahtera besar untuk menyelamatkan diri dari banjir besar, dan mengisi bahtera tersebut dengan berbagai makhluk hidup yang setiap jenisnya berjumlah sepasang (betina dan jantan), serta membawa obat-obatan, makanan, bibit segala macam tumbuhan, dan mengajak Saptaresi (Tujuh Maha Rsi). Ikan tersebut juga menambahkan bahwa setelah banjir besar tiba, diharapkan agar bahtera tersebut diikat ke tanduk sang ikan dengan naga Basuki sebagai talinya. Setelah menyampaikan seluruh pesan, ikan ajaib tersebut menghilang.
Menurut Matsyapurana, seratus tahun kemudian, kekeringan yang hebat melanda bumi. Banyak makhluk yang mati kelaparan. Kemudian, langit dipenuhi oleh tujuh macam awan yang mencurahkan hujan lebat tak terhentikan. Dengan cepat, air yang dicurahkan menutupi daratan di bumi. Oleh karena Waiwaswata Manu sudah membuat bahtera sesuai dengan petunjuk yang disampaikan awatara Wisnu, maka ia beserta pengikutnya selamat dari bencana. 

2. Kurma Avatar


 Kurma adalah awatara (penjelmaan) kedua dewa Wisnu yang berwujud kura-kura raksasa. Awatara ini muncul pada masa Satyayuga. Menurut kitab Adiparwa, kura-kura tersebut bernama Akupa.
Menurut berbagai kitab Purana, Wisnu mengambil wujud seekor kura-kura (kurma) dan mengapung di lautan susu (Kserasagara atau Kserarnawa). Di dasar laut tersebut konon terdapat harta karun dan tirta amerta yang dapat membuat peminumnya hidup abadi. Para Dewa dan Asura berlomba-lomba mendapatkannya. Untuk mangaduk laut tersebut, mereka membutuhkan alat dan sebuah gunung yang bernama Gunung Mandara Giri, yang digunakan untuk mengaduknya. Para Dewa dan para Asura mengikat gunung tersebut dengan Naga Wasuki (Naga Basuki) dan memutar gunung tersebut. Kurma menopang dasar gunung tersebut dengan tempurungnya. Dewa Indra memegang puncak gunung tersebut agar tidak terangkat ke atas. Setelah sekian lama tirta amerta berhasil didapat dan Dewa Wisnu mengambil alih.
Kisah tentang Kurma Awatara muncul dari kisah pemutaran Mandaragiri yang terdapat dalam Kitab Adiparwa. Dikisahkan pada zaman Satyayuga, para Dewa dan asura (rakshasa) bersidang di puncak gunung Mahameru untuk mencari cara mendapatkan tirta amerta, yaitu air suci yang dapat membuat hidup menjadi abadi. Sang Hyang Nārāyana (Wisnu) bersabda, "Kalau kalian menghendaki tirta amerta tersebut, aduklah lautan Ksera (Kserasagara), sebab dalam lautan tersebut terdapat tirta amerta. Maka dari itu, kerjakanlah."
Setelah mendengar perintah Sang Hyang Nārāyana, berangkatlah para Dewa dan asura pergi ke laut Ksera. Terdapat sebuah gunung bernama Gunung Mandara (Mandaragiri) di Sangka Dwipa (Pulau Sangka), tingginya sebelas ribu yojana. Gunung tersebut dicabut oleh Sang Anantabhoga beserta segala isinya. Setelah mendapat izin dari Dewa Samudera, gunung Mandara dijatuhkan di laut Ksira sebagai tongkat pengaduk lautan tersebut. Seekor kura-kura (kurma) raksasa bernama Akupa yang konon katanya sebagai penjelmaan Wisnu, menjadi dasar pangkal gunung tersebut. Ia disuruh menahan gunung Mandara supaya tidak tenggelam.


Naga Basuki dipergunakan sebagai tali, membelit lereng gunung tersebut. Dewa Indra menduduki puncaknya, suapaya gunung tersebut tidak melambung ke atas. Setelah siap, para Dewa, rakshasa dan asura mulai memutar gunung Mandara dengan menggunakan Naga Basuki sebagai tali. Para Dewa memegang ekornya sedangkan para asura dan rakshasa memegang kepalanya. Mereka berjuang dengan hebatnya demi mendapatkan tirta amerta sehingga laut bergemuruh. Gunung Mandara menyala, Naga Basuki menyemburkan bisa membuat pihak asura dan rakshasa kepanasan. Lalu Dewa Indra memanggil awan mendung yang kemudian mengguyur para asura dan rakshasa. Lemak segala binatang di gunung Mandara beserta minyak kayu hutannya membuat lautan Ksira mengental, pemutaran Gunung Mandara pun makin diperhebat.
Saat lautan diaduk, racun mematikan yang disebut Halahala menyebar. Racun tersebut dapat membunuh segala makhluk hidup. Dewa Siwa kemudian meminum racun tersebut maka lehernya menjadi biru dan disebut Nilakantha (Sanskerta: Nila: biru, Kantha: tenggorokan). Setelah itu, berbagai dewa-dewi, binatang, dan harta karun muncul, yaitu:
1. Sura, Dewi yang menciptakan minuman anggur
2. Apsara, Kaum bidadari kahyangan
3. Kostuba, Permata yang paling berharga di dunia
4. Uccaihsrawa, Kuda para Dewa
5. Kalpawreksa, Pohon yang dapat mengabulkan keinginan
6. Kamadhenu, Sapi pertama dan ibu dari segala sapi
7. Airawata, Kendaraan Dewa Indra
8. Laksmi, Dewi keberuntungan dan kemakmuran
Akhirnya keluarlah Dhanwantari membawa kendi berisi tirta amerta. Karena para Dewa sudah banyak mendapat bagian sementara para asura dan rakshasa tidak mendapat bagian sedikit pun, maka para asura dan rakshasa ingin agar tirta amerta menjadi milik mereka. Akhirnya tirta amerta berada di pihak para asura dan rakshasa dan Gunung Mandara dikembalikan ke tempat asalnya, Sangka Dwipa.
Melihat tirta amerta berada di tangan para asura dan rakshasa, Dewa Wisnu memikirkan siasat bagaimana merebutnya kembali. Akhirnya Dewa Wisnu mengubah wujudnya menjadi seorang wanita yang sangat cantik, bernama Mohini. Wanita cantik tersebut menghampiri para asura dan rakshasa. Mereka sangat senang dan terpikat dengan kecantikan wanita jelmaan Wisnu. Karena tidak sadar terhadap tipu daya, mereka menyerahkan tirta amerta kepada Mohini. 
Setelah mendapatkan tirta, wanita tersebut lari dan mengubah wujudnya kembali menjadi Dewa Wisnu. Melihat hal itu, para asura dan rakshasa menjadi marah. Kemudian terjadilah perang antara para Dewa dengan asura dan rakshasa. Pertempuran terjadi sangat lama dan kedua pihak sama-sama sakti. Agar pertempuran dapat segera diakhiri, Dewa Wisnu memunculkan senjata cakra yang mampu menyambar-nyambar para asura dan rakshasa. Kemudian mereka lari tunggang langgang karena menderita kekalahan. Akhirnya tirta amerta berada di pihak para Dewa.


Para Dewa kemudian terbang ke Wisnuloka, kediaman Dewa Wisnu, dan di sana mereka meminum tirta amerta sehingga hidup abadi. Seorang rakshasa yang merupakan anak Sang Wipracitti dengan Sang Singhika mengetahui hal itu, kemudian ia mengubah wujudnya menjadi Dewa dan turut serta meminum tirta amerta. Hal tersebut diketahui oleh Dewa Aditya dan Chandra, yang kemudian melaporkannya kepada Dewa Wisnu. Dewa Wisnu kemudian mengeluarkan senjata chakranya dan memenggal leher sang rakshasa, tepat ketika tirta amerta sudah mencapai tenggorokannya. Badan sang rakshasa mati, namun kepalanya masih hidup karena tirta amerta sudah menyentuh tenggorokannya. Sang rakshasa marah kepada Dewa Aditya dan Chandra, dan bersumpah akan memakan mereka pada pertengahan bulan. Sehingga terjadilah gerhana bulan dan gerhana matahari.

3. Waraha Avatar


 Waraha adalah awatara (penjelmaan) ketiga dari Dewa Wisnu yang berwujud babi hutan. Awatara ini muncul pada masa Satyayuga (zaman kebenaran). Kisah mengenai Waraha Awatara selengkapnya terdapat di dalam kitab Warahapurana dan Purana-Purana lainnya.
Pada zaman Satyayuga (zaman kebenaran), ada seorang raksasa bernama Hiranyaksa, adik raksasa Hiranyakasipu. Keduanya merupakan kaum Detya (raksasa). Hiranyaksa hendak menenggelamkan Pertiwi (planet bumi) ke dalam "lautan kosmik," suatu tempat antah berantah di ruang angkasa.
Melihat dunia akan mengalami kiamat, Wisnu menjelma menjadi babi hutan yang memiliki dua taring panjang mencuat dengan tujuan menopang bumi yang dijatuhkan oleh Hiranyaksa. Usaha penyelamatan yang dilakukan Waraha tidak berlangsung lancar karena dihadang oleh Hiranyaksa. 
Maka terjadilah pertempuran sengit antara raksasa Hiranyaksa melawan Dewa Wisnu. Konon pertarungan ini terjadi ribuan tahun yang lalu dan memakan waktu ribuan tahun pula. Pada akhirnya, Dewa Wisnu yang menang.


Setelah Beliau memenangkan pertarungan, Beliau mengangkat bumi yang bulat seperti bola dengan dua taringnya yang panjang mencuat, dari lautan kosmik, dan meletakkan kembali bumi pada orbitnya. Setelah itu, Dewa Wisnu menikahi Dewi Pertiwi dalam wujud awatara tersebut.
Waraha Awatara dilukiskan sebagai babi hutan yang membawa planet bumi dengan kedua taringnya dan meletakkannya di atas hidung, di depan mata. Kadangkala dilukiskan sebagai manusia berkepala babi hutan, dengan dua taring menyangga bola dunia, bertangan empat, masing-masing membawa: cakra, terompet dari kulit kerang (sangkakala), teratai, dan gada. 

4. Narasinga Avatar
Narasinga (disebut juga Narasingh, Nārasiṃha) adalah awatara (inkarnasi /penjelmaan) Wisnu yang turun ke dunia, berwujud manusia dengan kepala singa, berkuku tajam seperti pedang, dan memiliki banyak tangan yang memegang senjata. Narasinga merupakan simbol dewa pelindung yang melindungi setiap pemuja Wisnu jika terancam bahaya.
Menurut kitab Purana, pada menjelang akhir zaman Satyayuga (zaman kebenaran), seorang raja asura Hiranyakasipu membenci segala sesuatu yang berhubungan dengan Wisnu, dan dia tidak senang apabila di kerajaannya ada orang yang memuja Wisnu. Sebab bertahun-tahun yang lalu, adiknya yang bernama Hiranyaksa dibunuh oleh Waraha, awatara Wisnu.
Agar menjadi sakti, ia melakukan tapa yang sangat berat, dan hanya memusatkan pikirannya pada Dewa Brahma. Setelah Brahma berkenan untuk muncul dan menanyakan permohonannya, Hiranyakasipu meminta agar ia diberi kehidupan abadi, tak akan bisa mati dan tak akan bisa dibunuh. Namun Dewa Brahma menolak, dan menyuruhnya untuk meminta permohonan lain. Akhirnya Hiranyakashipu meminta, bahwa ia tidak akan bisa dibunuh oleh manusia, hewan ataupun dewa, tidak bisa dibunuh pada saat pagi, siang ataupun malam, tidak bisa dibunuh di darat, air, api, ataupun udara, tidak bisa dibunuh di dalam ataupun di luar rumah, dan tidak bisa dibunuh oleh segala macam senjata. Mendengar permohonan tersebut, Dewa Brahma mengabulkannya.
Sementara ia meninggalkan rumahnya untuk memohon berkah, para dewa yang dipimpin oleh Dewa Indra, menyerbu rumahnya. Narada datang untuk menyelamatkan istri Hiranyakasipu yang tak berdosa, bernama Lilawati. Saat Lilawati meninggalkan rumah, anaknya lahir dan diberi nama Prahlada. Anak itu dididik oleh Narada untuk menjadi anak yang budiman, menyuruhnya menjadi pemuja Wisnu, dan menjauhkan diri dari sifat-sifat keraksasaan ayahnya.
Mengetahui para dewa melindungi istrinya, Hiranyakasipu menjadi sangat marah. Ia semakin membenci Dewa Wisnu, dan anaknya sendiri, Prahlada yang kini menjadi pemuja Wisnu. Namun, setiap kali ia membunuh putranya, ia selalu tak pernah berhasil karena dihalangi oleh kekuatan gaib yang merupakan perlindungan dari Dewa Wisnu. Ia kesal karena selalu gagal oleh kekuatan Dewa Wisnu, namun ia tidak mampu menyaksikan Dewa Wisnu yang melindungi Prahlada secara langsung. Ia menantang Prahlada untuk menunjukkan Dewa Wisnu. Prahlada menjawab, "Ia ada dimana-mana, Ia ada di sini, dan Ia akan muncul".


Mendengar jawaban itu, ayahnya sangat marah, mengamuk dan menghancurkan pilar rumahnya. Tiba-tiba terdengar suara yang menggemparkan. Pada saat itulah Dewa Wisnu sebagai Narasinga muncul dari pilar yang dihancurkan Hiranyakasipu. Narasinga datang untuk menyelamatkan Prahlada dari amukan ayahnya, sekaligus membunuh Hiranyakasipu. Namun, atas anugerah dari Brahma, Hiranyakasipu tidak bisa mati apabila tidak dibunuh pada waktu, tempat dan kondisi yang tepat. Agar berkah dari Dewa Brahma tidak berlaku, ia memilih wujud sebagai manusia berkepala singa untuk membunuh Hiranyakasipu. Ia juga memilih waktu dan tempat yang tepat. Akhirnya, berkah dari Dewa Brahma tidak berlaku. Narasinga berhasil merobek-robek perut Hiranyakasipu. Akhirnya Hiranyakasipu berhasil dibunuh oleh Narasinga, karena ia dibunuh bukan oleh manusia, binatang, atau dewa. Ia dibunuh bukan pada saat pagi, siang, atau malam, tapi senja hari. Ia dibunuh bukan di luar atau di dalam rumah. Ia dibunuh bukan di darat, air, api, atau udara, tapi di pangkuan Narasinga. Ia dibunuh bukan dengan senjata, melainkan dengan kuku.
Narasinga memberi contoh bahwa Tuhan itu ada dimana-mana. Rasa bakti yang tulus dari Prahlada menunjukkan bahwa sikap seseorang bukan ditentukan dari golongannya, ataupun bukan karena berasal dari keturunan yang jelek, melainkan dari sifatnya. Meskipun Prahlada seorang keturunan Asura, namun ia juga seorang penyembah Wisnu yang taat.
Membunuh Hiranyakasipu dengan mengambil wujud sebagai Narasinga merupakan salah satu cara menghukum yang paling sadis dari Dewa Wisnu. Di India, Narasinga sangat terkenal. Dalam festival tradisional India, kisah ini berhubungan dengan perayaan Holi, salah satu perayaan terpenting di India. Dari sinilah Narasimha menjadi terkenal. Di India Selatan, Narasinga sering dituangkan ke dalam bentuk seni pahatan dan lukisan. Narasinga merupakan awatara yang paling terkenal setelah Rama dan Kresna.

5. Wamana Avatar


Wamana adalah awatara Wisnu yang kelima, turun pada masa Tretayuga, sebagai putra Aditi dan Kasyapa, seorang Brahmana. Ia (Wisnu) turun ke dunia guna menegakkan kebenaran dan memberi pelajaran kepada raja Bali (Mahabali), seorang Asura, cucu dari Prahlada. Raja Bali telah merebut surga dari kekuasaan Dewa Indra, karena itu Wisnu turun tangan dan menjelma ke dunia, memberi hukuman pada Raja Bali. Wamana awatara dilukiskan sebagai Brahmana dengan raga anak kecil yang membawa payung. Wamana Awatara merupakan penjelmaan pertama Dewa Wisnu yang mengambil bentuk manusia lengkap, meskipun berwujud Brahmana mungil. Wamana kadang-kadang dikenal juga dengan sebutan "Upendra."
Kisah Wamana Awatara dimuat dalam kitab Bhagawatapurana. Menurut cerita dalam kitab, Wamana sebagai Brahmana cilik datang ke istana Raja Bali karena pada saat itu Raja Bali mengundang seluruh Brahmana untuk diberikan hadiah. Ia sudah dinasehati oleh Sukracarya agar tidak memberikan hadiah apapun kepada Brahmana yang aneh dan lain daripada biasanya. Pada waktu pemberian hadiah, seorang Brahmana kecil muncul di antara Brahmana-Brahmana yang sudah tua-tua. Brahmana tersebut juga akan diberi hadiah oleh Bali.


Brahmana kecil itu meminta tanah seluas tiga jengkal yang diukur dengan langkah kakinya. Raja Bali begitu takabur dan melupakan nasehat dari Sukracarya. Lalu Raja Bali menyuruh Brahmana kecil itu untuk melangkah.
Pada waktu itu juga, Brahmana tersebut membesar dan terus membesar. Dengan ukurannya yang sangat besar, ia mampu melangkah di surga dan bumi sekaligus (Bhur, Bwah, Swah). Pada langkah yang pertama, ia menginjak surga. Pada langkah yang kedua, ia menginjak bumi. Pada langkah yang ketiga, karena tidak ada lahan untuknya berpijak, maka Bali menyerahkan kepalanya. Sejak itu, tamatlah kekuasaan Bali. Karena terkesan dengan kedermawanan Bali, Wamana memberinya gelar Mahabali. Ia juga berjanji bahwa kelak Bali akan menjadi Indra pada Manwantara berikutnya.

6. Parasurama Avatar


Parasurama adalah nama seorang tokoh Ciranjiwin dalam ajaran agama Hindu. Secara harfiah, nama Parashurama bermakna "Rama yang bersenjata kapak". Nama lainnya adalah Bhargawa yang bermakna "keturunan Maharesi Bregu". Ia sendiri dikenal sebagai awatara Wisnu yang keenam dan hidup pada zaman Tretayuga. Pada zaman ini banyak kaum kesatria yang berperang satu sama lain sehingga menyebabkan kekacauan di dunia. Maka, Wisnu sebagai dewa pemelihara alam semesta lahir ke dunia sebagai seorang brahmana berwujud angker, yaitu Rama putra Jamadagni, untuk menumpas para kesatria tersebut.
Parasurama merupakan putra bungsu Jamadagni, seorang resi keturunan Bregu. Itulah sebabnya ia pun terkenal dengan julukan Bhargawa. Sewaktu lahir Jamadagni memberi nama putranya itu Rama. Setelah dewasa, Rama pun terkenal dengan julukan Parasurama karena selalu membawa kapak sebagai senjatanya. Selain itu, Parasurama juga memiliki senjata lain berupa busur panah yang besar luar biasa.
Sewaktu muda Parasuama pernah membunuh ibunya sendiri, yang bernama Renuka. Hal itu disebabkan karena kesalahan Renuka dalam melayani kebutuhan Jamadagni sehingga menyebabkan suaminya itu marah. Jamadagni kemudian memerintahkan putra-putranya supaya membunuh ibu mereka tersebut. Ia menjanjikan akan mengabulkan apa pun permintaan mereka. Meskipun demikian, sebagai seorang anak, putra-putra Jamadagni, kecuali Parasurama, tidak ada yang bersedia melakukannya. Jamadagni semakin marah dan mengutuk mereka menjadi batu.
Parasurama sebagai putra termuda dan paling cerdas ternyata bersedia membunuh ibunya sendiri. Setelah kematian Renuka, ia pun mengajukan permintaan sesuai janji Jamadagni. Permintaan tersebut antara lain, Jamadagni harus menghidupkan dan menerima Renuka kembali, serta mengembalikan keempat kakaknya ke wujud manusia. Jamadagni pun merasa bangga dan memenuhi semua permintaan Parasurama.
Pada zaman kehidupan Parasurama, ketenteraman dunia dikacaukan oleh ulah kaum kesatria yang gemar berperang satu sama lain. Parasurama pun bangkit menumpas mereka, yang seharusnya berperan sebagai pelindung kaum lemah. Tidak terhitung banyaknya kesatria, baik itu raja ataupun pangeran, yang tewas terkena kapak dan panah milik Rama putra Jamadagni.
Konon Parasurama bertekad untuk menumpas habis seluruh kesatria dari muka bumi. Ia bahkan dikisahkan telah mengelilingi dunia sampai tiga kali. Setelah merasa cukup, Parasurama pun mengadakan upacara pengorbanan suci di suatu tempat bernama Samantapancaka. Kelak pada zaman berikutnya, tempat tersebut terkenal dengan nama Kurukshetra dan dianggap sebagai tanah suci yang menjadi ajang perang saudara besar-besaran antara keluarga Pandawa dan Korawa.
Penyebab khusus mengapa Parasurama bertekad menumpas habis kaum kesatria adalah karena perbuatan raja Kerajaan Hehaya bernama Kartawirya Arjuna yang telah merampas sapi milik Jamadagni. Parasurama marah dan membunuh raja tersebut. Namun pada kesempatan berikutnya, anak-anak Kartawirya Arjuna membalas dendam dengan cara membunuh Jamadagni. Kematian Jamadagni inilah yang menambah besar rasa benci Parasurama kepada seluruh golongan kesatria.
Meskipun jumlah kesatria yang mati dibunuh Parasurama tidak terhitung banyaknya, namun tetap saja masih ada yang tersisa hidup. Antara lain dari Wangsa Surya yang berkuasa di Ayodhya, Kerajaan Kosala. Salah seorang keturunan wangsa tersebut adalah Sri Rama putra Dasarata. Pada suatu hari ia berhasil memenangkan sayembara di Kerajaan Mithila untuk memperebutkan Sita putri negeri tersebut. Sayembara yang digelar ialah yaitu membentangkan busur pusaka pemberian Siwa. Dari sekian banyak pelamar hanya Sri Rama yang mampu mengangkat, bahkan mematahkan busur tersebut.
Suara gemuruh akibat patahnya busur Siwa sampai terdengar oleh Parasurama di pertapaannya. Ia pun mendatangi istana Mithila untuk menantang Rama yang dianggapnya telah berbuat lancang. Sri Rama dengan lembut hati berhasil meredakan kemarahan Parasurama yang kemudian kembali pulang ke pertapaannya. Ini merupakan peristiwa bertemunya sesama awatara Wisnu, karena saat itu Wisnu telah menjelma kembali Ciranjiwin, ia hidup abadi sebagai Rama sedangkan Parasurama sendiri masih hidup. Peran Parasurama sebagai awatara Wisnu saat itu telah berakhir.
Pada zaman Dwaparayuga Wisnu terlahir kembali sebagai Kresna putra Basudewa. Pada zaman tersebut Parasurama menjadi guru sepupu Kresna yang bernama Karna yang menyamar sebagai anak seorang brahmana. Setelah mengajarkan berbagai ilmu kesaktian, barulah Parasurama mengetahui kalau Karna berasal dari kaum kesatria. Ia pun mengutuk Karna akan lupa terhadap semua ilmu kesaktian yang pernah dipelajarinya pada saat pertempuran terakhirnya. Kutukan tersebut menjadi kenyataan ketika Karna berhadapan dengan adiknya sendiri, yang bernama Arjuna, dalam perang di Kurukshetra.
Parasurama diyakini masih hidup pada zaman sekarang. Konon saat ini ia sedang bertapa mengasingkan diri di puncak gunung, atau di dalam hutan belantara.

7. Rama Avatar


Rama atau Ramacandra adalah seorang raja legendaris yang terkenal dari India yang konon hidup pada zaman Tretayuga, keturunan Dinasti Surya atau Suryawangsa. Ia berasal dari Kerajaan Kosala yang beribukota Ayodhya. Menurut pandangan Hindu, ia merupakan awatara Dewa Wisnu yang ketujuh yang turun ke bumi pada zaman Tretayuga. Sosok dan kisah kepahlawanannya yang terkenal dituturkan dalam sebuah sastra Hindu Kuno yang disebut Ramayana, tersebar dari Asia Selatan sampai Asia Tenggara. Terlahir sebagai putera sulung dari pasangan Raja Dasarata dengan Kosalya, ia dipandang sebagai Maryada Purushottama, yang artinya "Manusia Sempurna". Setelah dewasa, Rama memenangkan sayembara dan beristerikan Dewi Sita, inkarnasi dari Dewi Laksmi. Rama memiliki anak kembar, yaitu Kusa dan Lawa.
Dalam wiracarita Ramayana diceritakan bahwa sebelum Rama lahir, seorang raja raksasa bernama Rahwana telah meneror Triloka (tiga dunia) sehingga membuat para dewa merasa cemas. Atas hal tersebut, Dewi bumi menghadap Brahma agar beliau bersedia menyelamatkan alam beserta isinya. Para dewa juga mengeluh kepada Brahma, yang telah memberikan anugerah kepada Rahwana sehingga raksasa tersebut menjadi takabur. Setelah para dewa bersidang, mereka memohon agar Wisnu bersedia menjelma kembali ke dunia untuk menegakkan dharma serta menyelamatkan orang-orang saleh. Dewa Wisnu menyatakan bahwa ia bersedia melakukannya. Ia berjanji akan turun ke dunia sebagai Rama, putera raja Dasarata dari Ayodhya. Dalam penjelmaannya ke dunia, Wisnu ditemani oleh Naga Sesa yang akan mengambil peran sebagai Laksmana, serta Laksmi yang akan mengambil peran sebagai Sita.

8. Kresna Avatar


Kresna adalah salah satu dewa yang dipuja oleh umat Hindu, berwujud pria berkulit gelap atau biru tua, memakai dhoti kuning dan mahkota yang dihiasi bulu merak. Dalam seni lukis dan arca, umumnya ia digambarkan sedang bermain seruling sambil berdiri dengan kaki yang ditekuk ke samping. Legenda Hindu dalam kitab Purana dan Mahabharata menyatakan bahwa ia adalah putra kedelapan Basudewa dan Dewaki dari kerajaan Surasena, kerajaan mitologis di India Utara. Secara umum, ia dipuja sebagai awatara (inkarnasi) Dewa Wisnu kedelapan di antara sepuluh awatara Wisnu. Dalam beberapa sekte Hindu, misalnya Gaudiya Waisnawa, ia dianggap sebagai manifestasi dari kebenaran mutlak, atau perwujudan Tuhan itu sendiri, dan dalam tafsiran kitab-kitab yang mengatasnamakan Wisnu atau Kresna, misalnya Bhagawatapurana, ia dimuliakan sebagai Kepribadian Tuhan Yang Maha Esa. Dalam Bhagawatapurana, ia digambarkan sebagai sosok penggembala muda yang mahir bermain seruling, sedangkan dalam wiracarita Mahabharata ia dikenal sebagai sosok pemimpin yang bijaksana, sakti, dan berwibawa. Selain itu ia dikenal pula sebagai tokoh yang memberikan ajaran filosofis, dan umat Hindu meyakini Bhagawadgita sebagai kitab yang memuat kotbah Kresna kepada Arjuna tentang ilmu rohani.

9. Gautama Buddha Avatar
Budha adalah perwujudan Awatara Wisnu yang kesembilan dan di antara perwujudan awatara Wisnu awatara Budha adalah yang sempurna di mana umat manusia diajarkan tentang dharma dan kebahagiaan yang mutlak.Di jaman kerajaan Kapilavastu dengan rajanya Suddhodana dan ratunya Mahamaya. Di mana sang ratu kemudian melahirkan seorang bayi laki-laki yang tampan yang mereka beri nama Siddhartha, akan tetapi sungguhlah sayang tujuh hari kemudian, sang ratu Mahamaya meninggal dunia.
Seorang Rsi bijaksana/penasehat raja pada saat itu yang bernama Kala Devala memberi tahu sang raja bahwa ketika pangeran Siddhartha beranjak dewasa ia akan melihat hal-hal yang akan membuatnya sedih dan pergi menuju hutan. Mendengar hal itu raja tidak memperbolehkan Siddhartha untuk pergi melewati gerbang istana.
Siddhartha merupakan anak pintar, berbahagia dan juga amat penyayang serta lembut. Pada suatu hari Siddhartha dan sepupunya Devadatta sedang berjalan-jalan. Devadatta tiba-tiba melihat seekor angsa dan memanahnya sehingga angsa tersebut terjatuh. Siddhartha amat terkejut melihat burung yang terluka tersebut, Devadatta bersikeras untuk memiliki burung angsa tersebut karena ia yang memanahnya. Akan tetapi Siddharta mengatakan itu adalah miliknya. Akhirnya mereka pergi ke Rsi Kala Devala sang penasehat raja di mana kemudian Rsi itu mengatakan angsa tersebut menjadi milik orang yang menyelamatkannya bukan orang yang berusaha membunuhnya.
Siddhartha tumbuh dewasa dan menjadi seorang pria muda. Raja Suddhodana menikahkannya dengan seorang putri cantik yang bernama Yashodhara. Raja berharap agar Siddhartha tidak akan pernah meninggalkan istana. Tapi Siddhartha tidak merasa bahagia di dalam istana. Ia memerintahkan pelayannya yang setia Channa untuk menemaninya berjalan-jalan keluar istana. Dalam perjalanannya Siddhartha melihat orang yang sudah tua yang bungkuk dimana Siddhartha tidak pernah melihatnya di dalam istana. Melihat orang yang sedang sakit keras dan melihat orang meninggal. Siddartha menyadari bahwa ayahnya mengungkungnya di dalam istana, untuk melindunginya agar ia tidak melihat hal-hal semacam itu.
Siddartha keluar lagi dan kali ini ia melihat seorang pria dengan kepala gundul. Ia bertanya pada pelayannya dan pelayannya berkata itu adalah seorang bijak yang meninggalkan segalanya serta pergi ke hutan untuk mencari kebahagiaan.
Pada suatu kesempatan Siddharta berpikir untuk meninggalkan Istana dan mencari kebahagiaan. Akhirnya pada suatu malam, ketika istri dan anaknya Rahula sedang tertidur, Siddartha bersama pelayannya yang setia Channa dengan diam-diam pergi meninggalkan istana. Mereka menyeberangi sungai Anoma, disana Siddartha melepaskan jubah kerajaanya dan memberikannya kepada Channa untuk mengembalikannya ke istana. Kemudian Siddartha menggunakan jubah oranye serta memotong rambut panjangnya. Siddartha pergi menemui satu guru ke guru yang lain menanyakan; Apakah Anda tahu jalan untuk mencapai kebahagian?
Tapi tidak ada seorang pun bisa memberitahunya. Akhirnya ia duduk di bawah pohon Bodhi dan berusaha menemukan jawabannya sendiri. Beberapa hari kemudian ia menjadi seorang yang bijak dan orang-orang menyebutnya Gautama Budha. Budha mencintai seluruh binatang dan memperlakukan mereka dengan penuh kasih sayang.
Pada suatu hari Dewa Siwa menguji Sang Budha karena Siwa tahu Awatara ini yang akan membawa umat dunia untuk mencari jalan kebahagian karena mempunyai jiwa kasih sayang terhadap semua makhluk.
Dewa Siwa mengirim binatang buas yaitu gajah liar dan harimau liar nan ganas. Tetapi yang terjadi pada binatang-binatang tersebut setelah melihat cahaya kasih sayang yang dipancarkan oleh Sang Budha binatang-binatang tersebut langsung tunduk hormat dan bersimpuh di bawah kaki Sang Budha. Akhirnya Sang Budha mempunyai pengikut yang sangat banyak dan pengikutnya tinggal di dalam sebuah grup yang di sebut Sangha.
Sang Budha mengajarkan bahwa seseorang bisa mendapatkan kebahagiaan dengan merasa puas akan apa yang dimilikinya dan menunjukkan kasih sayang pada semua mahluk. Pada akhirnya di sebuah tempat yang bernama Kusinara, Sang Budha berbaring di bawah pohon Sala dan menghembuskan nafasnya yang terakhir.
Maka sesuai petunjuk dari Sakyamuni yang diperoleh oleh Ida Mpu Kuturan, Sang Budha Gautama akan bereinkarnasi kembali karena di jaman Kali Sang Budha akan berkhotbah kembali sebagai Awatara yang terakhir agar dunia ini bisa tentram dan damai. Dengan alasan tersebut Sang Budha tidak moksha atau kembali ke Nirwana di jaman itu karena Sang Budha akan bereinkarnasi kembali dengan Awataranya yang terakhir yaitu Kalki Awatara.

10. Kalki Avatar


Kalki (juga disalin sebagai Kalkin dan Kalaki) adalah awatara kesepuluh dan awatara (inkarnasi) terakhir Dewa Wisnu Sang pemelihara, yang akan datang pada akhir zaman Kaliyuga (zaman kegelapan dan kehancuran).
Kata Kalki seringkali merupakan suatu kiasan dari “keabadian” atau “masa”. Asal mula nama tersebut diperkirakan berasal dari kata Kalka yang bermakna “kotor”, “busuk”, atau “jahat” dan oleh karena itu "Kalki" berarti “Penghancur kejahatan”, “Penghancur kekacauan”, "Penghancur kegelapan", atau “Sang Pembasmi Kebodohan”. Dalam bahasa Hindi, kalki avatar berarti “inkarnasi hari esok”.


Berbagai tradisi memiliki berbagai kepercayaan dan pemikiran mengenai kapan, bagaimana, di mana, dan mengapa Kalki Awatara muncul. Penggambaran yang umum mengenai Kalki Awatara yaitu beliau adalah Awatara yang mengendarai kuda putih (beberapa sumber mengatakan nama kudanya “Devadatta” (anugerah Dewa) dan dilukiskan sebagai kuda bersayap). Kalki memiliki pedang berkilat yang digunakan untuk memusnahkan kejahatan dan menghancurkan iblis Kali, kemudian menegakkan kembali Dharma dan memulai zaman yang baru.
Salah satu sumber yang pertama kali menyebutkan istilah Kalki adalah Wisnu Purana, yang diduga muncul setelah masa Kerajaan Gupta sekitar abad ke-7 sebelum Masehi. Wisnu adalah Dewa pemelihara dan pelindung, salah satu bagian Trimurti, dan merupakan penengah yang mempertimbangkan penciptaan dan kehancuran sesuatu. Kalki juga muncul di salah satu dari 18 kitab Purana yang utama, Agni Purana. Kitab purana yang memuat khusus tentang Kalki adalah Kalki Purana. Di sana dibahas kapan, dimana, bagaimana, dan mengapa Kalki muncul.

Membuka Wawasan Pikiran Kita
Beberapa orang meyakini bahwa filsafat Dasa Awatara menunjukkan perkembangan kehidupan dan peradaban manusia di muka bumi. Setiap Awatara merupakan lambang dari setiap perkembangan zaman yang terjadi. Matsya Awatara merupakan lambang bahwa kehidupan pertama terjadi di air. Kurma Awatara menunjukkan perkembangan selanjutnya, yakni munculnya hewan amphibi. Waraha Awatara melambangkan kehidupan selanjutnya terjadi di darat. Narasimha Awatara melambangkan dimulainya evolusi mamalia. Wamana Awatara melambangkan perkembangan makhluk yang disebut manusia namun belum sempurna. Parashurama Awatara, pertapa bersenjata kapak, melambangkan perkembangan manusia di tingkat yang sempurna. Rama Awatara melambangkan peradaban manusia untuk memulai pemerintahan. Krishna Awatara, yang mahir dalam enam puluh empat bidang pengetahuan dan kesenian melambangkan kecakapan manusia di bidang kebudayaan dan memajukan peradaban. Balarama Awatara, Kakak Kresna yang bersenjata alat pembajak sawah, melambangkan peradaban dalam bidang pertanian. Buddha Awatara, yang mendapatkan pencerahan, melambangkan kemajuan sosial manusia.
Awatara yang turun ke dunia juga memiliki makna-makna menurut zamannya: masa para Raja meraih kejayaan dengan pemerintahan Rama Awatara pada masa Treta Yuga, dan keadilan sosial dan Dharma dilindungi oleh Sri Kresna pada masa Dwapara Yuga. Makna dari turunnya para Awatara selama masa Satya Yuga menuju Kali Yuga juga menunjukkan evolusi makhluk hidup dan perkembangan peradaban manusia.
Awatara-awatara dalam daftar di atas merupakan inkarnasi Wisnu, yang mana dalam suatu filsafat merupakan lambang dari takaran dari nilai-nilai kemasyarakatan. Istri Dewa Wisnu bernama Laksmi, Dewi kemakmuran. Kemakmuran dihasilkan oleh masyarakat, dan diusahakan agar terus berjalan seimbang. Hal tersebut dilambangkan dengan Dewi Laksmi yang berada di kaki Dewa Wisnu. Dewi Laksmi sangat setia terhadapnya.
Filsafat Catur Yuga yang merupakan masa-masa yang menjadi latar belakang turunnya suatu Awatara dideskripsikan sebagai berikut:
- Satya Yuga, dilambangkan dengan seseorang membawa sebuah kendi (kamandalu)
- Treta Yuga,  dilambangkan dengan seseorang yang membawa sapi dan sauh
- Dwapara Yuga, dilambangkan dengan seseorang membawa busur panah dan kapak
- Kali Yuga, dilambangkan dengan seseorang yang sangat jelek, telanjang, dan melakukan tindakan yang tidak senonoh.
Jika deskripsi di atas diamati dengan seksama, maka masing-masing zaman memiliki makna tersendiri yang mewakili perkembangan peradaban masyarakat manusia. Pada masa pertama, Satya Yuga, ada peradaban mengenai tembikar, bahasa, ritual (yajña), dan sebagainya. Pada masa yang kedua, Treta Yuga, manusia memiliki kebudayaan bertani, bercocok tanam dan beternak. Pada masa yang ketiga, manusia memiliki peradaban untuk membuat senjata karena bidang pertanian dan kemakmuran perlu dijaga. Yuga yang terakhir merupakan puncak dari kekacauan, dan akhir dari peradaban manusia.